ISSN 9777.2086796.000.2Prosiding Sem minar Ilmiahh Nasional Unpam 2010
UNIIVERS SITAS S PAM MULA ANG
PR ROSID DING SEMINA AR IL LMIA AH NA ASION NAL U UNIVE ERSIT TAS PAMU P ULAN NG K KE-1 T UN 20010 TAHU
FAK KULTAS S TEKN NIK UN NIVERS SITAS PAMU ULANG Jl. Surrya Kenccana No.1 Pamullang Baraat Tangeerang Sellatan – Banten B Telp. (021) 74412566 Fax. F (021)) 741249 91
i
ISSN 977.2086796.00.2Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Unpam 2010
KATA SAMBUTAN PANITIA Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di industri saat ini sangat luas dan senantiasa berkembang secara berkesinambungan. Perkembangan ini senantiasa pula didukung oleh ketekunan para peneliti dan dosen baik negeri maupun swasta untuk melakukan inovasi-inovasi industri sesuai dengan tuntutan masyarakat terhadap produk industri tersebut. Terkait dengan hal tersebut di atas, Universitas Pamulang melalui kegiatan “Pekan Teknologi UNPAM II”, mengadakan “Seminar Ilmiah Nasional” yang bertujuan untuk menjaring pengetahuan atau temuan baru dari para peneliti, dosen dan mahasiswa. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 22 Maret 2010 yang bertempat di Universitas Pamulang, Jl. Surya Kencana No.1 Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Dengan mengucap Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya, Seminar Ilmiah Nasional Fakultas Teknik Universitas Pamulang ini dapat dilaksanakan. Berberapa makalah dari para peneliti, dosen, dan mahasiswa akan di presentasikan dalam Seminar Ilmiah Nasional ini. Panduan ini berisikan tentang Susunan Panitia, Susunan Kegiatan Seminar, Tata Tertib Seminar, Daftar Judul dan Penyaji Makalah, Daftar Abstrak Makalah dan Daftar Peserta Seminar. Pamulang, 19 Maret 2010 Ketua Panitia
Ir. Sewaka, MM
ii
ISSN 977.2086796.00.2Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Unpam 2010
KATA PENGANTAR REDAKSI Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di industri saat ini sangat luas dan senantiasa berkembang secara berkesinambungan. Perkembangan ini senantiasa pula didukung oleh ketekunan para peneliti dan dosen baik negeri maupun swasta untuk melakukan inovasi-inovasi industri sesuai dengan tuntutan masyarakat terhadap produk industri tersebut. Terkait dengan hal tersebut di atas, Universitas Pamulang melalui kegiatan “Pekan Teknologi UNPAM II”, mengadakan “Seminar Ilmiah Nasional” yang bertujuan untuk menjaring pengetahuan atau temuan baru dari para peneliti, dosen dan mahasiswa. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 22 Maret 2010 yang bertempat di Universitas Pamulang, Jl. Surya Kencana No.1 Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Berdasarkan jumlah pemakalah yang masuk adalah 84 makalah ilmiah, setelah melalui seleksi abstrak akhirnya diterima 48 makalah untuk dipresentasikan pada seminar ilmiah tanggal 22 maret 2010. Setelah melalui seleksi oleh editor dari sis kelayakan ilmiah, maka ditetapkan sejumlah 38 makalah yang layak diterbitkan. Prestsi yang cukup aik karena seminar ini merupakan seminar ilmiah yang pertama diadakan Fakultas Teknik UNPAM, dengan jumlah peserta mencapai 200 peserta dari berbagai institusi, baik institusi pendidikan (UI, UIN, UNIKA Atmajaya, UNJ), lembaga penelitian pemerintah (LAPAN, BATAN, LIPI, BPPT), dan peserta swasta lain. Demkian, semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi perkembangan teknologi nasional. Amin. Pamulang, 10 April 2010 Ketua Redaksi
Dr Heri Budi W, MT
iii
ISSN 977.2086796.00.2Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Unpam 2010
DAFTAR ISI Halaman SAMBUTAN KETUA PANITIA
i
KATA PENGANTAR DEWAN REDAKSI
ii
SUSUNAN PANITIA DAN DEWAN REDAKSI
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR JUDUL MAKALAH
v
DAFTAR PESERTA
ix
STUDI PENGARUH PENAMBAHAN MAGNESIUM PADA SIFAT MEKANIK ALUMINIUM MURNI (BURHANUDIN*, HERY ADRIAL **)
1 14
PENGARUH PENAMBAHAN PELAT ZN (1 WT%, 3 WT%, 8 WT%) TERHADAP ALUMINIUM PRODUKSI PT. INDONESIA ASAHAN ALUMINIUM (INALUM) UNTUK MENINGKATKAN SIFAT MEKANIK PADA PROSES PENGECORAN DENGAN CETAKAN LOGAM (DJUHANA*, SUNARDI**, EKO SUPRIANTO***) UJI AKTIVITAS ACTINOMYCETES ENDOFIT YANG BERPOTENSI SEBAGAI PENGHASIL ANTIBIOTIK (HARMOKO SAPUTRA)
24
PENGARUH PENAMBAHAN ( 1 WT%, 3 WT%, 7 WT% ) TEMBAGA ( CU ) PADA ALUMINIUM PRODUKSI PT. INDONESIA ASAHAN ALUMINIUM (INALUM) TERHADAP SIFAT MEKANIK (MUHIDI *, DJUHANA **, HERY ADRIAL)
34
FERMENTASI ETANOL MENGGUNAKAN GULA HASIL HIDROLISIS ENZIMATIS TEPUNG EMPULUR BATANG SAGU (METROXYLON SAGU ROTTB.) MENGGUNAKAN BEBERAPA SACCHAROMYCES CEREVISIAE SP. (RUDIYONO)
44
ANALISIS STRUKTUR KRISTAL PADUAN ALSI HASIL PROSES COR PERAH DENGAN METODE RIETVELD (SUNARDI1,2), HERY ADRIAL3) )
54
DISTRIBUSI FLUKS NEUTRON TERMAL PADA POSISI D-9 DAN E-4 RSG G.A. SIWABESSY (JAKA IMAN, DAMAR YANTI)
63
KARAKTERISASI DAN PENGGUNAAN FILM MEDIUM AGFA D-7 PADA RADIOGRAFI (SUNARDI !,2), HERY ADRIAL 3))
72
PENENTUAN CALIBRATION SETTINGDOSE CALIBRATOR CAPINTEC CRC-7BT UNTUK ZN-65 (HOLNISAR1), ROSDIANI1,2))
84
IN SERVICE INSPECTION UNTUK ALAT PENUKAR KALOR (SYAFRUL ,DJUNAIDI*) )
88
ANALISIS KEHANDALAN SISTEM PENANGKAL PETIR EKSTERNAL BANGUNAN REAKTOR SERBA GUNA G.A SIWABESSY (TEGUH SULISTYO)
96
PENGARUH SUHU TERHADAP PENYISIHAN KARBOFURAN SECARA OZONASI (FITRI CODARIAH)
108
*)
iv
ISSN 977.2086796.00.2Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Unpam 2010
PENGOLAHAN LIMBAH PESTISIDA SECARA OZONASI KATALITIK DAN NON KATALITIK (IKA PUSPITA)
117
PERAWATAN SISTEM INSTRUMENTASI DAN KENDALI RSG-GAS PADA UMUR OPERASI LEBIH DARI 20 TAHUN ( KOES INDRAKOESUMA*) DJUNAIDI*))
129
PENURUNAN KEMAMPUAN PADA ALAT PENUKAR KALOR (DJUNAIDI *) ,SARWANI*))
138
KINCIR RODA AIR SUDU BERGERAK (RASB) SEBAGAI JAWABAN KEBUTUHAN ENERGI LISTRIK PEDESAAN DI PEDALAMAN KALIMANTAN BARAT (HERU SUPRAPTO1; SAVITRI2 ; ISMUN UA3)
146
SINTESIS SILIKA GEL DARI ABU BAGASSE DAN UJI ADSORPSINYA TERHADAP ION LOGAM TIMBAL(II)* (NUNUNG CHOIRINA)
155
PENGGUNAAN METODE GEOLISTRIK DALAM MENENTUKAN RESISTIVITAS AIR BAWAH PERMUKAAN DI TPA BABAKAN CIPARAY DAN SEKITARNYA DI KABUPATEN BANDUNG (MIMIN IRYANTI * DAN NANANG DWI ARDI *)
165
PENERAPAN DISTRBUTED CONTROL SYSTEM (DCS) PADA LAPANGAN MINYAK DAN GAS BUMI (RADITA.ARINDYA,ST,MT )
172
ADSORPSI GAS CO MENGGUNAKAN ZEOLITE ALAM TERAKTIVASI (YULIUSMAN 1), WIDODO WP 2), YULIANTO S.N. 3), APRIAWAN P4), )
185
ANALISIS KEBUTUHAN PROSES BISNIS MENGGUNAKAN METODE KANO (1SRI NURHAYATI)
194
SISTEM PEMETAAN LINGKUNGAN DENGAN METODE MODIFIED HISTOGRAMIC IN-MOTION MAPPING (M-HIMM) PADA KURSI RODA MANDIRI E-CHAIR (LUKAS, FELIX FEBRIAN ISKANDAR, FERRY RIPPUN G.M.)
199
SISTEM PENGHINDAR RINTANGAN DENGAN METODE MINIMUM VECTOR FIELD HISTOGRAM PADA KURSI RODA MANDIRI E-CHAIR (LUKAS, EDWIN, FERRY RIPPUN G.M.)
217
PENGEMBANGAN ROKET KORINDO 2010 SEBAGAI PELUNCUR MINI UAV-SURVEILANCE (GUNAWAN S PRABOWO *)
233
ANALISA KEKUATAN STRUKTUR SATELIT INASAT-1 TERHADAP GANGGUAN LINGKUNGAN ANTARIKSA (GUNAWAN S PRABOWO)
241
PENGUJIAN KELAYAKAN DESAIN PEMBUATAN BUTADIENA DARI NBUTANA (HERI BUDI WIBOWO)
250
UJI KELAYAKAN PEMBUATAN BUTADIENA DARI GAS LPG (LIQUID PETROLEUM GAS) (HERI BUDI WIBOWO)
258
v
ISSN 977.2086796.00.2Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Unpam 2010
KAJIAN PENERAPAN ISO/IEC 17024:2003 SEBUAH SERTIFIKASI PERSONEL (MEDI YARMEN1 , SIK SUMAEDI2)
LEMBAGA
268
IDENTIFIKASI DAN PEMERINGKATAN FAKTOR KUNCI SUKSES PENERAPAN ISO/IEC 17024:2003 PADALEMBAGASERTIFIKASIPERSONELDIINDONESIADENGANANALYTICALHIERARCHYPROCESS (MEDI YARMEN1 , SIK SUMEDI2 )
276
PENGUKURAN KEPUASAN PELANGGAN SEBUAH LEMBAGA SERTIFIKASI PERSONEL DENGAN SERVICE QUALITY (SERVQUAL) (SIK SUMAEDI1 , MEDI YARMEN2 )
282
PENERAPAN E-GOVERNMENT DI INDONESIA: SUATU TINJAUAN (MARIA A. KARTAWIDJAJA)
289
PEMETAAN MASALAH DALAM PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN MUTU PADA PERUSAHAAN SERTA SOLUSINYA (DJOKO AGUSTONO 1), DYNA SRI ANDRIYANIE 2) )
294
KETIDAKSESUAIAN YANG SERING DITEMUKAN PADA AUDIT INTERNAL LABORATORIUM BERBASIS SNI ISO/IEC 17025:2008 (SRI KADARWATI )
301
PENINGKATAN KUANTITAS DAN KUALITAS INDUSTRI MANUFAKTURING NASIONAL MELALUI PENERAPAN SERIUS SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9000 (MASRI WENDY ZULFIKAR)
306
MAPPING KESEIMBANGAN KENDARAAN UMUM DAN KENDARAAN PRIBADI UNTUK MENGURANGI POLUSI UDARA DI KOTA METROPOLITAN (MASRI WENDY ZULFIKAR)
316
KUALITAS VERSUS STANDAR (NUR METASARI, I GEDE MAHATMA YUDHA BAKTI)
327
ANALISIS HUBUNG SINGKAT 3 FASA UNTUK MENGEVALUASI KEMAMPUAN BUSBAR DAN CIRCUIT BREAKER TEGANGAN 11 KV PT PERTAMINA UNIT PENGOLAHAN II DUMAI (SUDIRMAN PALALOI 1) )
334
ANALISIS PENGGUNAAN (SUDIRMAN PALALOI 1) )
BAJA
349
FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL EPOKSIDASI DARI MINYAK KELAPA SAWIT (GENI ROSITA)
358
MENCARI PERBANDINGAN REAKSI HIDROTERMINETED POLI BUTADIEN DENGAN TOLUENDIISO SIANAT UNTUK BINDER PROPELAN PADAT KOMPOSIT (GENI ROSITA)
364
PERHITUNGAN PRESTASI TERBANG ROKET RKX 170-LPN BERBAGAI SUDUT ELEVASI (TURAH SEMBIRING)
DENGAN
369
UJI STATIK RANCANG BANGUN SISTEM SEPARASI BERTINGKAT ( WIGATI )
ROKET
377
ENERGI
LISTRIK
DI
INDUSTRI
388
vi
ISSN 977.2086796.00.2Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Unpam 2010
PEMBUATAN MONOGLISERID DARI MINYAK KELAPA SAWIT (CPO) (ESTININGSIH) 393 UPAYA MENDAPATKAN DISRIBUSI BERAT MOLEKUL YANG SEMPIT (HERI BUDI WIBOWO) ANALISIS RASIO PROFITABILITAS SEBELUM DAN SESUDAH SERTIFIKASI ISO 9001 PADA PT. UNITED TRACTORS, Tbk (I GEDE MAHATMA YUDA BAKTI1 , NUR METASARI)
401
ANALISA TINGKAT KEPUASAN PELANGGAN TERHADAP JASA PELATIHAN PUSLIT SMTP-LIPI BERBASIS IMPORTANCE PERFORMANCE ANALYSIS (IPA) (DARMAWAN BAGINDA NAPITUPULU)
410
RANCANGAN SASARAN MUTU SEBUAH LEMBAGA SERTIFIKASI PERSONEL BERBASIS BALANCE SCORE CARD (SIKSUMAEDI1,MEDIYARMEN2) PERLENGKAPAN OPTOELEKTRONIK BAGI PENGEMUDI UNTUK MEMANDU SECARA VISUAL TERHADAP BAGIAN BELAKANG KENDARAAN BERODA EMPAT ATAU LEBIH ( SUGIONO)
419
KAJIAN KEMAMPUAN SMK DALAM PROSES PENERAPAN STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN (SNP) BERBASIS SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001 (DARMAWAN BAGINDA NAPITUPULU)
439
428
vii
ISSN 977.2086796.00.2Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Unpam 2010
SUSUNAN PANITIA Pelindung Penasehat Pembina
Pengarah Ketua Pelaksana Wakil Ketua Pelaksana I Wakil Ketua Pelaksana II Bendahara Sekretaris I Sekretaris II Anggota
Koordinator Pameran & Sie Acara Anggota Publikasi & Dokumentasi Anggota Perlengkapan Anggota
Koordinator Sie Dana Anggota
Editor Dewan Penelaah
: Ketua Yayasan Sasmita Jaya : Rektor : Wakil Rektor I Wakil Rektor II Wakil Rektor III : Dekan Fakultas Teknik : DR. Heri Budi Wibowo, MT : Ir. Sewaka, MM : Ir. Dadang Kurnia, MM : Ir. Suwoto, MT : Kartika Sekarsari, ST.MT : Irwan Mulyadi, ST : Ari Mulyoto, SPd, MSi Agus Supriyadi, ST Ferdinand Marcos Taufik Ardianti : Drs. Heri Adrial, MT : Ir. Wiwik Indrawati Ir. Umi Rosilawati, MM : Ir. Atang Susila, M.Eng : Saadah Abas : Dadang Sudirman, S.Sos : Jarot Hendrik Udin dkk : Estiningsih,ST : Drs.Hendro Waryanto Ir. Ahmad Sukmana, MM Keli Sri Untoro, ST : Heri Budi W : Dr. Heri Budi W (Ilmu Polimer) Ir Sarwani, MT (T Kimia) Ir Atang S., MT (Komputer) Drs Hery Adrial, MT (T Mesin) Kartika, ST, MT (T Elektro) Sewaka, Ir,MT (T Industri) Amarno, SE, MM (Manajemen)
viii
ISSN 977.2086796.00.2Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Unpam 2010
DAFTAR PESERTA SEMINAR ILMIAH NASIONAL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS PAMULANG 2010 22 Maret 2010 NO
NAMA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
ADELINA P.W APRIAWAN P. BAMBANG TEGUH P. DAMAR YANTI DARMAWAN BAGINDA N. DJOKO AGUSTONO DJUNAIDI DRS. SUGIONO DRS.A.HARIMAWAN, MSI DYNA SRI ANDRIYANIE ESTININGSIH TRIHANDAYANI FITRI CODARIAH GENI ROSITA HARMOKO SAPUTRA HERI BUDI WIBOWO HERU SUPRAPTO HERY ADRIAL HONISAR I GEDE MAHATMA Y.B IHWAN HARYONO IKA PUSPITA
22
ISMUN UA
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
JAKA IMAN KOES INDRAKUSUMA LUKMAN SHALAHUDIN MARIA A. KARTAWIDJYA MARSELLINUS BACHTIAR MASRI WENDY ZULFIKAR MEDI YARMEN MIMIN IRYANTI NANANG DWI ARDI NOVITA CHANDRA
33
RADITA ARINDYA, ST,MT
34 35 36 37 38
NUNUNG CHOIRINA NUR METASARI ROSDIANI RUDOYONO SARWANIH
INSTANSI DEP. TEK KIMIA, FT-UI DEP. TEK KIMIA, FT-UI BTMP-BPPT PRSG-BATAN P2SMTP-LIPI P2SMTP-LIPI FT-UNPAM LIPI LIPI P2KIM-LIPI FT-UNPAM TEKNIK KIMIA, UNPAM LAPAN TEKNIK KIMIA, UNPAM UNPAM UNPAM PTRKN-BATAN PTKMR-BATAN P2SMTP-LIPI BTMP TEKNIK KIMIA, UNPAM UNIV.PROKLAMASI, YOGYAKARTA PRSG-BATAN FT-UNPAM BTMP FAK. TEKNIK, UNIKA ATMAJAYA FAK. TEKNIK, UNIKA ATMAJAYA BTMP-BPPT, PUSPIPTEK P2SMTP-LIPI JURUSAN FISIKA, FPMIPA-UPI JURUSAN FISIKA, FPMIPA-UPI FAK. TEKNIK, UNIKA ATMAJAYA UNIV. SATYAGAMA/ INSTRUMENT TOTAL E&P INDONESIA FMIPA-UNY P2SMTP-LIPI FT-UNPAM TEKNIK KIMIA, UNPAM FT-UNPAM ix
ISSN 977.2086796.00.2Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Unpam 2010
39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
SAVITRI SIK SUMAEDI SITI YUBAIDAH SRI NURHAYATI SUDIRMAN PALALOI SUNARDI SYAFRUL TEGUH SULISTYO TURAH SEMBIRING WIDODO WP WIGATI YULIANTO S.N YULIUSMAN DJUHANA BURHANUDIN MOCH.TOSYIM B.SUHARI DWI MULYADI RIKO PRATOMO DINDIN SOLIHUDIN BASUKI ROCHMAD ANDRI WIJAYANTO KASMAD BUDI SETYO MUHAMAD DEDI JOKO PRIAMBODO ACHMAD UDIN ZAILANI HADI ZAKARIA R. BENNY WAHYUADI YUDI KURNIAWAN RENI HINDRIARI,SE.MM SUHAYA DRS. H. DARSONO
71
DRS. H.M SUGENG HIDAYAT, M.SI.
72 73
DRS. DAYAT HIDAYAT, MM DR. H.M ANWAR, LC,M.SC,MM
74
IR. SARWANI, MM.MT
75
77 78 79
YOYON DARUSMAN, SH, MM DJASMINAR ANWAR BA, PG DIPL. MA DRS. BUCHORI NURIMAN, MM KHAYATUN NUFUS, SE, M.SI DR. HERI BUDI WIBOWO, MT
80
AMARNO, SE, MM
81 82 83 84
KARTIKA SEKARSARI, ST.MT DRS. HERY ADRIAL, MT IR. ATANG SUSILA, M.ENG ENDANG RUKIYAT, SE,MM
76
P2KIMIA-LIPI P2SMTP-LIPI BTMP FTIK-UNIKOM B2TE-BPPT FT-UNPAM FT-UNPAM BSRPRSG-BATAN LAPAN DEPT. TEKNIK KIMIA, FT-UI LAPAN DEPT. TEKNIK MESIN, FT-UI DEPT. TEKNIK KIMIA, FT-UI P2KIMIA - LIPI FT-UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM UNPAM KETUA YAYASAN SASMITA JAYA REKTOR UNIVERSITAS PAMULANG WAKIL REKTOR I WAKIL REKTOR II DEKAN FAKULTAS TEKNIK UNPAM DEKAN FAKULTAS HUKUM DEKAN FAKULTAS SASTRA INGGRIS KEPALA BAAPM KETUA LP2M SEKRETARIS PROGRAM PPS, MM PENANGGUNG JAWAB KELAS NON REGULER KA. PRODI TEKNIK ELEKTRO KA. PRODI TEKNIK MESIN KA. PRODI TEKNIK INFORMATIKA KA. PRODI MANAJEMEN x
ISSN 977.2086796.00.2Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Unpam 2010
85
NURAINI YUSUF, SE,M.SI,AK.
86
IR. UMI RUSILOWATI, MM
AKUNTANSI S.1 & D.3 KA. PRODI MANAJEMEN EKONOMI KA. PRODI SEKRETARIS D.3
xi
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
STUDI PENGARUH PENAMBAHAN MAGNESIUM PADA SIFAT MEKANIK ALUMINIUM MURNI Burhanudin*, Hery Adrial ** *
Teknik Mesin Universitas Pamulang,
** BATAN, Serpong
ABSTRAK Penambahan magnesium pada aluminium murni untuk meningkatkan sifat mekanik dilakukan dengan cara pengecoran menggunakan dapur krusibell dengan bahan bakar batu bara. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aluminium yang masih berupa batangan serta Magnesium yang berupa blok. Dicampur magnesium yang divariasikan, kemudian dilebur dalam tungku peleburan, setelah dibuat benda uji yang selanjutnya dilakukan proses pengujian tarik, pengujian kekerasan, pemeriksaan struktur mikro. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan unsur Magnesium terhadap sifat mekanik. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa penambahan Mg (1 %, 3 %, dan 8 %) pada aluminium, diperoleh kekuatan tarik tertinggi 207.785 MPa ( 207,8 MPa ) pada Mg 8 % dan juga kekerasan tertinggi 79 BHNada pada penambahan Mg 8 %. Kata kunci : Aluminium, Magnesium, pengecoran, dapur krusibel.
1
ISSN 977.2086796.00.2
1.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Pendahuluan Aluminium adalah logam non ferrous salah satu produk industri yang penggunannya sudah semakin luas.
Pemakaian aluminium dari mulai alat untuk rumah tangga sampai untuk pembuatan pesawat terbang. Aluminium murni kekuatannya masih rendah untuk meningkatkan kekuatan adalah dengan cara pengecilan ukuran butir dan penambahan unsur ( logam ). Penambahan unsur lain seperti : tembaga, magnesium, seng dan timah akan meningkatkan sifat mekanik kekuatan dan ketahanan dengan kondisi laku panas yang berbeda. Peleburan dilakukan pada sebuah tungku Penggunaan paduan Al - Mg pada saat ini terutama disebabkan titik lebur eutektiknya yang relatif tinggi, sehingga amat layak digunakan untuk komponen – komponen yang memerlukan perakitan dengan brazing. Karakteristik lain yang menguntungkan dari paduan ini adalah kekuatan, mampu mesin, stabilitas dimensi, dan ketahanan korosi yang baik. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aluminium yang masih berupa batangan serta Magnesium yang berupa blok. Proses pembuatan spesimen dilakukan dengan cara penimbangan Al murni untuk menentukan komposisi paduan yang diinginkan. Dengan pencampuran Mg dari berat aluminium. Setelah dibuat benda uji, selanjutnya dilakukan proses pengujian tarik, pengujian kekerasan, pemeriksaan struktur mikro. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan unsur Magnesium terhadap sifat mekanik secara teoritis aluminium kekuatan dan ketahanannya masih rendah dan dapat ditingkatkan, untuk meningkatkan sifat mekanik ( Kekuatan tarik dan Kekerasan ) salah satunya adalah dengan penambahan unsur lain berupa Magnesium dan juga selain pengujian dilakukan pemeriksaan struktur mikro paduan tuang AL – Mg. 2.
Teori Dasar
Aluminium Aluminium juga digunakan hampir di semua bidang produksi industri dan alam bidang ekonomi, karena aluminium memiliki sifat sifat yang lebih baik dari logam yang lain. Secara umum aluminium dalam bentuk murni mempunyai kekuatan tarik maksimum 69 MPa, kebanyakan aluminium digunakan dalam bentuk paduan dan modulus elastisitas hanya 69MPa karena memiliki tingkat mampu cor yang tinggi dan dapat digunakan untuk hampir seluruh metode pengecoran yang ada.
Paduan Aluminium Paduan tuang aluminium memiliki rentang temperatur operasi yang relatif rendah (650 – 7500C) dibanding sebagian logam struktural yang lain. Paduan aluminium mengalami kontraksi yang cukup besar selama pendinginan setelah pembekuan, dengan rentang kontraksi 3,5 – 8,5 % volume. Kekuatan aluminium
2
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
paduan yang berkisar antara 83-310 MPa dapat dilipatkan melalui pengerjaan dingin atau pengerjaan panas dengan menambahkan unsur paduan, pengerjaan panas atau dingin dan perlakuan panas dapat diperoleh paduan dengan kekuatan melebihi 700 MPa. Paduan aluminium dapat ditempa, diekstrusi, dilengkungkan, diregang, diputar, dipons, di embos, dibentuk sambil dirol atau ditarik menjadi kawat. [1] Penambahan Unsur Penggunaan logam aluminium secara murni praktikal adalah terbatas. Kebanyakan aluminium dipadukan dengan unsur lain untuk memperoleh sifat yang dikehendaki. Berikut ini dipaparkan pengaruh unsur paduan terhadap aluminium. Elemen ini merupakan paduan utama aluminium – magnesium. Kelarutan padat magnesium di dalam aluminium adalah 17,4 %. Penambahan magnesium meningkatkan kekuatan Aluminium tanpa mengurangi keuletan. Magnesium (Mg) Magnesium adalah logam berwarna putih perak yang sangat ringan tetapi kuat, mudah bereaksi dengan asam dan banyak unsur bukan logam, seperti Nitrogen dan juga dapat mereduksi senyawa senyawa logam lain. Logam ini memegang peranan dalam proses kehidupan tumbuhan dan hewan. Klorofil mengandung Magnesium berperan dalam menduplikasi zat zat DNA dan RNA magnesium juga membangkitkan banyak enzim . Elemen ini merupakan paduan utama aluminium – magnesium. Kelarutan padat magnesium di dalam aluminium adalah 17,4 %. Penambahan magnesium meningkatkan kekuatan Aluminium tanpa mengurangi keuletan. Paduan Aluminium Magnesium Magnesium adalah merupakan logam konstruksi yang paling ringan, ⅔ dari berat jenis aluminium. Magnesium dapat membentuk paduan dengan kekuatan tinggi, kemampuan permesinan yang baik, mudah dilas dan mudah dibentuk. Magnesium mudah diekstrusi. Paduan magnesium terkorosi oleh asam yang kuat dan lemah dan larutan garam. Magnesium tidak dapat digunakan pada suhu diatas 150 0C karena kekuatannya berkurang dengan naiknya suhu. Pada suhu rendah Cryogenic temperatures (kekuatan magnesium tetap tinggi) angka muai magnesium tinggi, oleh karena itu perlu berhati-hati dalam perhitungan konstruksi. Magnesium lebih mahal dari pada aluminium atau baja dan hanya digunakan bila diperlukan konstruksi yang ringan. Paduan magnesium banyak pemanfaatannya di industri pesawat terbang, alat potret, teropong, suku cadang mesin suhu rendah, peralatan yang dapat dipidahkan, penghisap debu dan untuk peralatan yang berputar dengan cepat dimana diperlukan nilai intersia yang rendah. Magnesium dipasarkan dalam bentuk batang, plat dan lembaran.[2]
3
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Gambar 1. Diagram fasa Al – Mg
3.
Metodologi Penelitian Metodelogi Penelitian dimulai dari pembuatan paduan Al-Mg, Peleburan, Cetak Spesimen, Pengujian dan
Pemeriksaan, Pengamatan Struktur Mikro. Pembuatan Paduan Al -Mg Tahap persiapan yang meliputi penghitungan material ( Material balance ) dan menyiapkan material peleburan, cetakan dan penyiapan dapur serta sarana peralatan peleburan. Sarana dan peralatan yang di gunakan pada saat penelitian adalah : 1.
Dapur Peleburan yang digunakan dalam pengecoran.
2.
Krussibell tipe ciduk yang digunakan dalam penelitian berkapasitas 20 Kg
3.
Pengukur Suhu yang digunakan adalah Indicator suhu dan Termokopel untuk mengukur suhu dapur dan suhu pada aluminium cair yang sedang dicairkan secara berkala..
4.
Blower yang digunakan untuk meniupkan udara ke ruang bakar.
Persiapan Komposisi. 1.
Menyiapkan Alumunium Murni Seberat 2.000 gram untuk peleburan dan penuangan pertama .
2.
Menyiapkan Aluminium murni seberat 1980 gram dan 20 gram ( 1 % ) Magnesium untuk peleburan dan penuangan kedua .
3.
Menyiapkan Aluminium murni seberat 1940 gram dan 60 gram ( 3 % ) Magnesium untuk peleburan dan Penuangan ketiga.
4
ISSN 977.2086796.00.2
4.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Menyiapkan Aluminium murni seberat 1840 gram dan 160 gram ( 8 % ) Magnesium untuk peleburan dan penuangan keempat.
Peleburan Material peleburan yang dipakai adalah ingot Al murni, Mg murni, sesuai dengan perhitungan material yang sudah di siapkan untuk mencapai target yang di inginkan. Peleburan pertama dilakukan dengan memasukkan Al murni seberat 2 Kg kedalam krusibel, setelah Al murni mencair kemudian dituang kedalam cetakan logam pada suhu 750 °C. Cetak Spesimen Cetakan yang di gunakan adalah cetakan logam yang sudah sesuai dengan standar JIS H 5202 (sesuai ISO 2378) yang sudah berupa sampel uji tarik, dalam cetakan terdiri dari dua buah sampel uji tarik. Pengujian dan Pemeriksaan Pengujian tarik dilakukan dengan cara menguji spesimen hingga putus, kemudian nilai gaya dapat dibaca pada display alat ukur gaya. Pengujian kekerasan menggunakan metode uji pantul merk alat uji pantul EQOUTIP. Hasil dari nilai kekerasan LD dikonversi pada metode kekerasan Brinell. Langkah – langkah dalam pengamatan struktur mikro dimulai dengan melakukan penggerindaan, pemolesan yang menggunakan serbuk alumina, lalu dilanjutkan dengan dietsa dan dilakukan pengamatan dengan mikroskop metalurgi. 4.
Hasil Pengujian dan Pembahasan
Hasil Pengujian Uji Tarik Dari hasil pengujian pada tabel dibawah ini dapat di analisa hasil kekuatan tarik rata – rata dengan nilai tertinggi dan terendah yang dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
5
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 1. Perbandingan Kekuatan Tarik Rata – Rata UTS Rata –
Peningkatan %
rata Sampel
1
2
3
4
Al( MPa )
Murn i
Aluminiu m AL –Mg 1%
AL-Mg
AL- Mg
1%
3%
89.171
82.802
75.241
86.076
83.322
89.172
117.377
98.726
131.251
109.100
31
121.898
197.401
127.521
142.887
71,4
30
207.785
172.242
157.394
182.424
119
67
Al –Mg 3
124.72
%
7
Al – Mg 8
192.27
%
8
27,7
Dari tabel 1 dibuat grafik pengujian tarik yang memuat hubungan antara kekuatan tarik dan material Al murni
KEKUATAN TARIK MAKS ( N/m 2)
dan Al-Mg 1%,3%, dan 8%.
GRAFIK KEKUATAN TARIK 250
200
150
100
50
0 Al-Murni
Al + Mg 1 %
Al + Mg 3%
Al +Mg 8 %
Gambar 1. Grafik kekuatan Tarik
6
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Dari diagram di atas dapat dibandingan kekuatan tarik alumnium murni dengan tambahan unsur Mg 1%,3 %, 8 % adalah sebagai berikut: ¾
Pada Aluminium Murni di dapat hasil dari pengujian tarik rata rata sebesar 83.322 MPa.
¾
Setelah di lakukan penambahan Mg sebesar 1 %, kekuatan tarik meningkat menjadi 109.100 MPa dan ini menandakan terjadinya peningkatan kekuatan tarik sebesar 31 % dari sebelum ditambahkan
unsur
paduan. ¾
Sedangkan untuk paduan Aluminium dengan penambahan Mg 3 % kekuatan tarik rata rata meningkat menjadi 142.887 MPa meningkat dari aluminium murni sebesar 71,4 % dan meningkat 30 % dari penambahan Mg 1%.
¾
Pada penambahan Mg sebesar 8 % didapat hasil uji tarik rata rata sebesar 182.424 MPa atau meningkat 119 % dari aluminium murni dan 67 % dari penambahan Mg 1 %. Sedangkan untuk perbandingan antara Aluminium dengan penambahan Mg 3 % di dapat peningkatan sebesar 27,7 %.
Regangan Perubahan panjang yang terjadi pada benda uji di analisa pada tabel berikut :
7
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 2. Perbandingan Regangan Rata – Rata Sampel
1
2
3
4
Rata – rata regangan
Aluminium
33 %
46 %
39 %
50 %
42 %
AL –Mg 1%
18 %
36 %
10 %
19 %
20,8 %
Al –Mg 3 %
2%
11 %
12 %
2%
6,75 %
Al – Mg 8 %
7%
2%
2%
4%
3,75 %
GRAFIK REGANGAN 60 50
REGANGAN (%)
50 40
36
33
30 20 12
10
7
10 2
2
Al+Mg3%
Al+Mg8%
0 Al-Murni
Al +Mg 1%
1
Gambar 2. Grafik Regangan Tertingi dan rendah
8
ISSN 977.2086796.00.2
¾
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Pada Aluminium Murni di terlihat cukup tinggi hingga mencapi 50 % sedangkan pada pengukuran yang terendah di dapat 33 % untuk nilai prosentase dari regangann sehingga rata rata perpanjangan Aluminium murni sebesar 42 %.
¾
Aluminium dengan penambahan Mg 1 % perpanjangan yang terjadi menjadi lebih rendah di bandingkan dengan aluminium murni hasil terendah di dapat menjadi 10 % dan tertinggi menjadi 36 % rata rata perpanjangan 20,8 % lebih rendah dibandingkan dengan aluminium murni, jadi penurunan yang terjadi sebesar 41%.
¾
Sedangkan regangan yang terjadi pada Aluminium dengan penambahan Mg 3 % regangan yang terjadi sebesar 2 % dan 12 % untuk rata rata perpanjangan sebesar 6,75 % ini menandakan semakin turun tingkat perpanjangan yang terjadi, jiks dibandingkan dengan Al Murni sebesar 41 %, sedangkan dengan Mg 1 % sebesar 20 %.
¾
Untuk penambahan Mg 8 % regangan yang terjadi sebesar 2 % dan 7 % sedangkan perpanjangan rata rata sebesar 3,75 % yang menandakan semakin rendah regangan yang terjadi jika di bandingkan dengan penambahan magnesium 3 % penurunan sebesar 80 %. Sedangkan jika di bandingkan dengan Mg 1 % menjadi 82 % dan untuk aluminium Murni sebesar 91 %.
Hasil Pengujian Kekerasan Untuk mengetahui kekerasan yang terjadi pada Aluminium dilakukan pembahas mengenai perubahan perubahan kekerasan yang terjadi sebagai berikut :
9
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 3. Perbandingan Kekerasan Kekerasan Rata – Rata
Aluminium AL –Mg 1% Al –Mg 3 % Al – Mg 8 %
Peningkatan %
(BHN)
Sampel 1
2
3
4
Al-Murni
AL-Mg 1%
41
41.67
43
30
41.33
51.33
42
42
37
19
65.67
64.67
61
67.67
103
57
47
32
60.67
61.67
79
72.67
102
0.8
47
0.5
AL- Mg 3%
0.09
0.17
¾ Pada Aluminium murni pengukuran kekerasan rata rata terendah diperoleh 30 BHN dan rata rata tertinggi 41 BHN. Sedangkan setelah penambahan Mg 1% di dapat kekerasan rata rata terendah sebesar 41 BHN dan kekerasan rata rata tertinggi 51,3BHN ini terjadi kenaikan sebesar 37 % dan 19 % dari aluminium murni. Untuk penambahan Mg 3 % kekerasan yang terjadi 61 BHN dan 67,7 BHN ini menandakan kenaikan kekerasan sebesar 103 % dan 57 % dari aluminium murni, sedangkan perbandingan peningkatan dengan penambahan Mg 1 % sebesar 47 % dan 32 % yang menandakan kenanikan terhadap paduan di bawahnya. Pada penambahan Mg 8 % kekerasan aluminium meningkat menjadi 60,7 BHN dan 79 BHN ini menandakan semakin meningkatanya kekerasan pada paduan Aluminium peningkatan yang terjadi di bandingkan dengan aluminium murni sebesar 102 % dan 0,8 % sedangkan dengan penambahan Mg 1 % sebesar 47 % dan 0,5 % dan untuk penambahan Mg 3 % perbandingan kekerasan didapat 0,09 % dan 0,17 %. Pengamatan Struktur Mikro Pengamatan struktur mikro yang dilakukan adalah dengan membandingkan gambar gambar dengan komposisi yang berbeda :
10
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar Al – Murni Gambar Al – Mg 1%
Gambar. Al –Mg 3 %
Gambar Al –Mg 8 %
Aluminium sebelum penambahan unsur mempunyai pola struktur atom yang menyatu dengan jumlah yang besar sehingga junlah butir terlihat lebih rendah dan adanya pengotor dalam hasil tuangan (gambar a) Pada gambar (b) telihat struktur yang lebih terbuka sehingga butir butir paduan yang berada pada atom terlihat lebih banyak dan juga adanya pengotor sedangkan pada gambar (c) terlihat lebih banyak batas butir paduan sehingga campuran Al–Mg lebih tersebar yang dapat meningkatkan sifat sifat mekanik material pada gambar (d) pembentukan butir lebih banyak dan lebih halus sehingga lebih merata pada setiap atom yang menyebabkan kekuatan jauh lebih meningkat, dan juga terdapat pengotor yang terdapat antar butir yang bisa menyebabkan cacat coran, ini disebabkan karena peleburan dan penuangan yang kurang sempurna.
5.
KESIMPULAN Dari seluruh rangkaian metoda yang di laksanakan dan hasil pengujian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Kekuatan Tarik •
Pada Aluminium Murni di dapat hasil dari pengujian tarik rata rata sebesar 83.322 MPa.
•
Setelah di lakukan penambahan Mg sebesar 1 %, 3 %, dan 8 % kekuatan tarik meningkat masing-masing menjadi 109.100, 142.887, dan 182.887 MPa.
2.
Regangan
11
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
•
Aluminium dengan penambahan Mg 1%, 3% dan 8% perpanjangan yang terjadi menjadi lebih rendah di bandingkan dengan aluminium murni hasil rata rata perpanjangan 20,8 %, 6,75% dan 3,75%.
3.
Kekerasan •
Pada Aluminium murni pengukuran kekerasan rata rata 41 BHN.
•
Sedangkan setelah penambahan Mg 1% di dapat kekerasan rata rata 51,3 BHN ini terjadi kenaikan sebesar 37 % dan 19 % dari aluminium murni.
•
Untuk penambahan Mg 3 % kekerasan yang terjadi 61 BHN dan 67,7 BHN.
•
Pada penambahan Mg 8 % kekerasan aluminium meningkat menjadi 60,7 BHN dan 79 BHN ini menandakan semakin meningkatanya kekerasan pada paduan Aluminium.
4.
Pengamatan Struktur Mikro. • Pada hasil pengamatan struktur mikro batas batas butir antar atom dapat terlihat lebih halus pada penambahan Magnesium sebanyak 8 % menyebabkan kekerasan dan kekuatan tarik meningkat sedangkan perpanjangannya menurun dan regangan yang terjadi semakin rendah.
DAFTAR PUSTAKA 1.
American Society for Metals, Aluminium, Properties and Physical Metallurgi(Edisi Jhon E. Hatch)
2.
B.H.AMSTEAD, PHILLIP F. OSTWALD, Ir. Sriati Djaprie, M.E, M.Met, Teknologi Mekanik, Edisi Ketujuh, Erlangga Jakarta, 1995.
3.
George E. Dieter. Metalurgi Mekanik, Jilid 1, Edisi Ketiga, Penerbit Erlangga, 1993
4.
Lawrence H. Van Vlack, Prof. Dr, Ilmu dan Teknologi Bahan, Edisi Kelima. Penerbit Erlangga Jakarta, 1995.
5.
Teori Seng, diakses tanggal 29 Desember 2008, dari http://.id.wikipedia.org/wiki/seng.
6.
Tata Surdia, Prof. Ir, Ms Met E dan Chenji Chijiwa, Prof. Dr, Teknik Pengecoran Logam, PT. Pradnya Paramita Jakarta, 1986.
Pertanyaan dan Jawaban . Nama Penyaji : Burhanudin. Penanya : Teguh Sulistyo. 1.
Alasan penambahan 1%; 3% dan 8%.
2.
Apakah hasil studi anda sudah dibandingkan dengan acuan/standar yang baku?.
Jawaban : 1.
Alasan penambahan 1%; 3% dan 8% bisa menambah 17,6% Al mmempunyai 83 s/d 720 mpd.
2.
Hasil studi ini sudah dibandingkan dengan standar logam yang sudah ada.
12
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Penanya : Sarwani. Apakah dalam penelitian paduan ini hanya ditinjau dari strength atau regangan saja? Bagaimana dengan tingkat kerapuhan dari paduan tersebut? Jawaban : Al murni regangannya 42 regangan, ditambah 1% turun menjadi 20,8 regangan, ditambah 3% turun menjadi 6,75 regangan dan ditambah 8% turun menjadi 3,75 regangan
13
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
PENGARUH PENAMBAHAN PELAT Zn (1 wt%, 3 wt%, 8 wt%) TERHADAP ALUMINIUM PRODUKSI PT. INDONESIA ASAHAN ALUMINIUM (INALUM) UNTUK MENINGKATKAN SIFAT MEKANIK PADA PROSES PENGECORAN DENGAN CETAKAN LOGAM *
Djuhana*, Sunardi**, Eko Suprianto*** Puslit KIM LIPI Serpong, ** BATAN, Serpong,*** Teknik Mesin Universitas Pamulang
ABSTRAK Penambahan seng pada aluminium murni untuk meningkatkan sifat mekanik dengan cara pengecoran dan menggunakan dapur krusibell telah dilakukan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aluminium yang masih berupa batangan serta seng yang berupa plat. Dicampur seng yang divariasikan, kemudian dilebur dalam tungku peleburan, setelah dibuat benda uji yang selanjutnya dilakukan proses pengujian tarik, pengujian kekerasan, pemeriksaan struktur mikro. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan unsur Zn terhadap sifat – sifat mekanis ( Kekuatan tarik dan Kekerasan ) dan pemeriksaan struktur mikro paduan tuang AL – Zn. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa penambahan pelat Zn (1 wt%, 3 wt%, dan 8 wt%) pada aluminium, diperoleh kekuatan tarik rata-rata tertinggi pada Zn 8 % sebesar 160 [N/mm2], serta regangan rata-rata tertinggi ada pada Al Murni sebesar 42 %, dan kekerasan tertinggi pada Zn 8 % sebesar 65.42 [BHN]. Kata kunci : Aluminium, Seng, pengecoran, dapur krusibell.
14
ISSN 977.2086796.00.2
1.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Pendahuluan Dalam tiga dasawarsa terakhir aluminium telah menjadi salah satu logam non ferous industri yang paling
luas penggunaannya di dunia. Aluminium telah merupakan satu masukan yang di perlukan dalam sektor utama industri seperti angkutan, kontruksi, listrik, peti kemas, kemasan, alat rumah tangga serta peralatan mekanis.Penambahan unsur lain seperti : tembaga, magnesium, seng dan timah akan meningkatkan sifat mekanik kekuatan dan ketahanan dengan kondisi laku panas yang berbeda. Peleburan dilakukan pada sebuah tungku Penggunaan paduan Al – Zn pada saat ini terutama disebabkan titik lebur eutektiknya yang relatif tinggi, sehingga amat layak digunakan untuk komponen – komponen yang memerlukan perakitan dengan brazing. Karakteristik lain yang menguntungkan dari paduan ini adalah kekuatan, mampu mesin, stabilitas dimensi, dan ketahanan korosi yang baik. Saat ini paduan tuang komersial Al – Zn digunakan untuk komponen otomotif dan trailler, peralatan pertambangan, komponen mesin perkakas, torque converter impeller blades, pompa, alat pertanian, coran kelautan (marine), dan komponen furnitur. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aluminium yang masih berupa batangan serta seng yang berupa plat. Dicampur magnesium yang divariasikan, kemudian dilebur dalam tungku peleburan, setelah dibuat benda uji yang selanjutnya dilakukan proses pengujian tarik, pengujian kekerasan, pemeriksaan struktur mikro. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan unsur Zn terhadap sifat – sifat mekanis (Kekuatan tarik dan Kekerasan ) dan pemeriksaan struktur mikro paduan tuang AL – Zn. 2.
Teori Dasar Dalam tiga dasawarsa terakhir aluminium telah menjadi salah satu logam non ferrous industri yang
paling luas penggunaannya di dunia. Aluminium telah merupakan satu masukan yang di perlukan dalam sektor utama industri seperti angkutan, kontruksi, listrik, peti kemas, kemasan, alat rumah tangga serta peralatan mekanis. Aluminium juga digunakan hampir di semua bidang produksi industri dan alam bidang ekonomi, karena aluminium memiliki sifat sifat yang lebih baik dari logam yang lain. Secara umum aluminium dalam bentuk murni mempunyai kekuatan tarik maksimum 69 MPa, kebanyakan aluminium di gunakan dalam bentuk paduan dan modulus elastisitas hanya 69.000 MPa karena memiliki tingkat mampu cor yang tinggi dan dapat digunakan untuk hampir seluruh metode pengecoran yang ada. Paduan tuang aluminium memiliki rentang temperatur operasi yang relatif rendah (650 – 7500C) dibanding sebagian logam struktural yang lain. Paduan aluminium mengalami kontraksi yang cukup besar selama pendinginan setelah pembekuan, dengan rentang kontraksi 3,5 – 8,5 % volume. Kekuatan aluminium paduan yang berkisar antara 83-310 MPa dapat dilipatkan melalui pengerjaan dingin atau pengerjaan panas dengan menambahkan unsur paduan, pengerjaan panas atau dingin dan perlakuan panas dapat diperoleh paduan dengan kekuatan melebihi 700 MPa. Paduan aluminium dapat ditempa, diekstrusi, dilengkungkan, diregang, diputar, dipons, di embos, dibentuk sambil dirol atau ditarik menjadi kawat. [1]
15
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Penambahan Unsur Penggunaan logam aluminium secara murni praktikal adalah terbatas. Kebanyakan aluminium dipadukan dengan unsur lain untuk memperoleh sifat yang dikehendaki. Berikut ini dipaparkan pengaruh unsur paduan terhadap aluminium. Seng (Zn) dapat meningkatkan kekuatan paduan aluminium walaupun akan menurunkan sifat keuletan. Peningkatan Zn juga mengurangi sifat ketahanan korosi Al-Si, sehingga kandungan Zn perlu dibatasi. Seng Penambahan seng dapat meningkatkan kekuatan paduan aluminium walaupun akan menurunkan sifat keuletan. Peningkatan Zn juga mengurangi sifat ketahanan korosi Al-Si, sehingga kandungan Zn perlu dibatasi. Seng adalah unsur kimia berupa logam lunak, berwarna putih kebiru – biruan yang termasuk dalam golongan II B dari sistem periodik. Di udara seng mengkilat, tetapi dengan cepat memudar di dalam air atau udara basah. Seng larut dalam asam. Lebih dari 75 % produk cetak-tekan terdiri dari paduan seng. Logam mudah dicetak, permukaan bersih dan rata, daya tahan korosi baik dan biaya murah. Dikenal Seng komersial dengan 99,99% seng, sering disebut “Special High Grade”. Untuk cetak-tekan diprlukan logam murni karena unsur-unsur seperti timah, cadmium dan tin merupakan dapat menyebabkan kerusakan pada cetakan dan cacat sepuh ( aging defect ). Unsur paduan lainnya aluminium, tembaga dan magnesium, hanya dapat ditambahkan dalam jumlah kecil saja.[2]
Gambar 1. Diagram Fasa Al – Zn
16
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
3.
METODOLOGI PENELITIAN
Diagram Alir Penelitian Mulai Penyiapan Komposisi Al Murni
Al - Zn 1%
Al - Zn 3%
Al - Zn 8%
Peleburan Cetak Spesimen Pengujian Uji Tarik
Uji Kekerasan
Periksa Struktur Mikro
Hasil Pengujian Analisa/Pembahasan Kesimpulan Selesai
17
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Sarana dan Peralatan Peleburan. 1.
Dapur Peleburan yang digunakan dalam pengecoran adalah dapur krusibell.
2.
Krussibell tipe ciduk yang digunakan dalam penelitian.
3.
Pengukur Suhu yang digunakan adalah Indicator suhu dan Termokopel untuk mengukur suhu dapur dan suhu pada aluminium cair yang sedang dicairkan secara berkala.
4.
Blower yang digunakan untuk meniupkan udara ke ruang bakar.
Penyiapan Komposisi Paduan Al – Zn 1.
Menyiapkan dapur peleburan dan bahan bakar briket batubara.
2.
Menyiapkan aluminium murni seberat 2 Kg dengan menggunakan timbangan badan .
3.
Menyiapkan Zn besar 1 wt%, 3 wt%, dan 8 wt% dari berat aluminium dengan mengunakan timbangan dacin diperoleh berat masing-masing 20 gr, 60 gr, dan 160 gr.
Peleburan Material peleburan yang dipakai adalah ingot Al murni, Zn murni, sesuai dengan perhitungan material yang sudah di siapkan untuk mencapai target yang di inginkan. Peleburan pertama dilakukan dengan memasukkan Al murni seberat 2 Kg kedalam krusibel, setelah Al murni mencair kemudian dituang kedalam cetakan logam pada suhu 730 °C. Cetakan yang di gunakan adalah cetakan logam yang sudah sesuai dengan standar JIS H 5202 (sesuai ISO 2378) yang sudah berupa sampel uji tarik, dalam cetakan terdiri dari dua buah sampel uji tarik. Pengujian tarik dilakukan dengan cara menguji spesimen hingga putus, kemudian nilai gaya dapat dibaca pada display alat ukur gaya. Pengujian kekerasan menggunakan metode uji pantul merk alat uji pantul EQOUTIP. Hasil dari nilai kekerasan LD dikonversi pada metode kekerasan Brinell. Langkah – langkah dalam pengamatan struktur mikro dimulai dengan melakukan penggerindaan, pemolesan yang menggunakan serbuk alumina, lalu dilanjutkan dengan dietsa dan dilakukan pengamatan dengan mikroskop metalurgi. 4.
Hasil dan pembahasan Dari hasil uji tarik yang telah dilakukan, didapat kekuatan tarik terendah dan tertinggi pada tiap –
tiap spesimen dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
18
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 1. Perbandingan Peningkatan Uji Tarik Peningkatan %
UTS Rata – Sampel
Aluminium
1
2
3
4
Rata
Al +
[N/mm2]
Murni
Al+Zn Al+Zn Al+Zn 1
89.2
82.8
79.6
92.4
86
105.1
107.6
105.7
98.1
104
20.93
130.6
128.7
132.5
132.5
131
52.33
25.96
Al+ Zn 8 wt% 187.3
159.2
166.9
127.4
160
86.05
53.85
Al+Zn 1wt% Al+Zn 3 wt%
3
8
18.13
Dari tabel 1 dibuat grafik pengujian tarik yang memuat hubungan antara kekuatan tarik dan material Al murni dan Al-Zn 1%, 3%, dan 8%.
[N/mm2]
Kekuatan Tarik
Grafik Kekuatan Tarik Rata - Rata 160 140 120 100 80 60 40 20 0
160 131 104 86
Al Murni
Al+Zn 1 %
Al+Zn 3 %
Al+Zn 8 %
Spesimen
Gambar 2. Grafik Kekuatan Tarik Rata – Rata
19
ISSN 977.2086796.00.2
•
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Pada aluminium murni kekuatan tarik terendah terdapat pada sampel 3 sebesar 79.6 [N/mm2] dan kekuatan tarik tertinggi ada pada sampel 4 sebesar 92.4 [N/mm2], dengan kekuatan tarik rata-rata sebesar 86 [N/mm2].
•
Setelah dilakukan penambahan Zn 1 wt%, kekuatan tarik terendah terdapat pada sampel 4 sebesar 98.1 [N/mm2] dan kekuatan tarik tertinggi ada pada sampel 2 sebesar 107.6 [N/mm2], kekuatan tarik rata-rata sebesar 104 [N/mm2]. Bila dibandingkan dengan aluminium murni maka terjadi peningkatan kekuatan tarik sebesar 20.93 %.
•
Sedangkan pada penambahan Zn 3 wt%, kekuatan tarik terendah terdapat pada sampel 2 sebesar 128.7 [N/mm2] dan kekuatan tarik tertinggi ada pada sampel 3 dan 4 dengan nilai yang sama sebesar 132.5 [N/mm2], kekuatan tarik rata-rata sebesar 131 [N/mm2]. Kemudian jika dibandingkan dengan aluminium murni terjadi peningkatan sebesar 52.33 % dan meningkat 25.96 % dari Zn 1 wt%.
•
Pada penambahan Zn 8 wt% kekuatan tarik terendah terdapat pada sampel 4 sebesar 127.4 [N/mm2], ini disebabkan karena adanya pengotor ( inclusi ) yang terkontaminasi pada saat pengecoran dan penuangan, dan kekuatan tarik tertinggi ada pada sampel 1 dengan nilai yang sama sebesar 187.3 [N/mm2], kekuatan tarik rata-rata sebesar 131 [N/mm2]. Meningkat 86.05 % dari aluminium murni dan 53.85 % dengan penambahan Zn 1 wt%. Sedangkan jika dibandingan antara paduan Zn 3 wt%, di dapat peningkatan sebesar 18.13 %.
Pada tabel 17. dibawah ini dapat dilihat perubahan regangan yang terjadi pada benda uji yang ditunjukkan dalam prosentase.
20
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 2. Nilai Rata – Rata Regangan Sampel
1
2
3
4
Rata – rata regangan
Aluminium
33 %
46 %
39 %
50 %
42 %
Al + Zn 1wt%
29 %
21 %
24 %
32 %
27 %
Al + Zn 3 wt%
29 %
21 %
24 %
26 %
25 %
Al + Zn 8 wt%
9%
8%
6%
3%
6 %
Regangan [% ]
Grafik Regangan Rata-Rata 45 40 35 30 25 20 15 10 5
42
27
25
6
0 Al Murni
Al+Zn 1 %
Al+Zn 3 %
Al+Zn 8 %
Gambar 3. Grafik Regangan Rata – Rata. Pada Aluminium murni diperoleh nilai regangan tertinggi 50 % dan nilai regangan terendah 33 %. Pada Al + Zn 1 wt% diperoleh nilai regangan tertinggi 32 % dan nilai regangan terendah 21 %. Pada Al + Zn 3 wt% diperoleh nilai regangan tertinggi 29 % dan nilai regangan terendah 21 %. Pada Al + Zn 8 wt% diperoleh nilai regangan tertinggi 9 % dan nilai regangan terendah 3 %. Pada grafik diatas menunjukkan penurunan tingkat regangan rata – rata yang terjadi pada tiap – tiap spesimen : 1.
Pada aluminium murni nilai regangan rata-rata yang terjadi sebesar 42 %,
2.
Paduan Al + Zn 1 wt% nilai regangan rata-rata yang terjadi sebesar 27 %,
3.
Paduan Al + Zn 3 wt% nilai regangan rata-rata yang terjadi sebesar 25 %,
4.
Sedangkan untuk paduan Al + Zn 8 wt% nilai regangan rata-rata yang terjadi sebesar 6 %.
21
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 3. Perbandingan Peningkatan Uji Kekerasan
Sampel
Kekerasan Rata – Rata (BHN)
Kekeasa
1
n Rata-
2
3
4
Peningkatan (%) Al Murni
Al + Zn 1 wt% Al + Zn 3 wt%
Rata [BHN]
Al Murni
41
41.67
43
30
38.92
Al + Zn 1wt%
41
50
45
36.33
43.08
21
16
42.33
51
43
43.25
22
18
1
2
67
52.67
71
65.42
75
65
45
42
Al + Zn 3wt% 36.67 Al + Zn 8wt%
71
44
39
Pada aluminium murni kekerasan rata – rata terendah terdapat pada sampel 4 sebesar 30 [BHN] dan kekerasan rata – rata tertinggi ada pada sampel 3 sebesar 43 [BHN]. Pada Al + Zn 1 wt% kekerasan rata – rata terendah terdapat pada sampel 4 sebesar 36.33 [BHN] dan kekerasan rata – rata tertinggi ada pada sampel 2 sebesar 50 [BHN]. Bila dibandingkan dengan aluminium murni maka terjadi peningkatan kekerasan rata – rata terendah terjadi peningkatan sebesar 21 % dan kekerasan rata – rata tertinggi sebesar 16 %. Pada Al + Zn 3 wt% kekerasan rata – rata terendah terdapat pada sampel 1 sebesar 36.67 [BHN] dan kekerasan rata – rata tertinggi ada pada sampel 3 dengan nilai yang sama sebesar 51 [BHN]. Bila dibandingkan dengan Aluminium murni maka terjadi peningkatan kekerasan rata – rata terendah sebesar 22 %, dengan kekerasan rata – rata tertinggi sebesar 18 %, jika dibandingkan Al + Zn 1 wt%, maka terjadi peningkatan kekerasan rata – rata terendah sebesar 1wt%, serta peningkatan kekerasan rata – rata tertinggi sebesar 2 %. Pada Al + Zn 8 wt%, kekerasan rata – rata terendah terdapat pada sampel 3 sebesar 52.67 [BHN] dan kekerasan rata – rata tertinggi ada pada sampel 3 dan 4 dengan nilai yang sama sebesar 71 [BHN]. Bila dibandingkan dengan Aluminium murni maka terjadi peningkatan kekerasan rata – rata terendah sebesar 75 %, dengan kekerasan rata – rata tertinggi sebesar 65 %, jika dibandingkan Al + Zn 1 wt%, maka terjadi peningkatan kekerasan rata – rata terendah sebesar 45 %, serta kekerasan rata – rata tertinggi sebesar 42 %, apabila dibandingkan dengan Al + Zn 3 wt%, maka kekerasan rata – rata terendah sebesar 44 %, dengan kekerasan rata – rata tertinggi sebesar 39 %.
Grafik Kekerasan Rata - Rata 65.42
K ekerasan [B H N ]
70.00 60.00 50.00
38.92
43.08
43.25
40.00 30.00 20.00 10.00 -
Al Murni Al + Zn 1 % Al + Zn 3 % Al + Zn 8 %
Al Murni
Al + Zn 1 % Al + Zn 3 % Al + Zn 8 % Spesimen
Gambar 4. Grafik Kekerasan Rata – Rata Pada grafik diatas menunjukkan penurunan tingkat regangan rata – rata yang terjadi pada tiap – tiap spesimen. Pada aluminium murni nilai kekerasan rata-rata yang terjadi sebesar 38.92 [BHN], Paduan Al + Zn 1
22
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
wt% nilai kekerasan rata-rata yang terjadi sebesar 43.08 [BHN], Paduan Al + Zn 3 wt% nilai kekerasan ratarata yang terjadi sebesar 43.25 [BHN], Sedangkan untuk paduan Al + Zn 8 wt% nilai kekerasan rata-rata yang terjadi sebesar 65.42 [BHN]. Pemeriksaan Struktur Mikro Pemeriksaan struktur mikro dilakukan dengan membandingkan hasil dari fotomorfologi dengan pembesaran 500 x, antara lain sebagai berikut : Aluminium sebelum dilakukan penambahan unsur mempunyai pola struktur atom yang menyatu dengan jumlah yang besar sehingga jumlah butir terlihat lebih rendah, dengan jumlah butir yang kecil ini dapat menaikkan sifat mekanik dari aluminium. Pada Al + Zn 1 wt% yang dapat kita lihat pada gambar 30µm dimana terdapat besarnya batas butir dan banyak, serta terdapat kadar karbon yang berwarna hitam pada gambar. Pada Al + Zn 3 wt% yang dapat kita lihat pada gambar 30µm dimana terdapat batas butir yang kecil dan lebih sedikit dibandingkan dengan Al – Zn 1 wt%. Pada Al + Zn 8 wt% yang dapat kita lihat pada gambar 30µm nampak jelas sekali batas butir yang besar dan banyak, serta terdapat banyak sekali kadar karbon yang tercampur. Dengan batas butir yang besar memiliki kecenderungan untuk distorsi, namun dengan adanya kadar karbon yang terbentuk dapat menaikkan sifat mekaniknya dan akan lebih mudah untuk permesinan. 5.
Kesimpulan Berdasarkan hasil data penelitian dan hasil analisa, maka dapat disimpukan adalah sebagai berikut :
Pada Al Murni kekuatan tarik tertinggi 92.4 N/mm2, Untuk Al + Zn 1wt%, 3wt%, dan 8 wt% kekuatan tarik tertinggi masing-masing adalah 107.6 N/mm2, 132.5 N/mm2 dan 187.3 N/mm2. Pada aluminium murni nilai regangan rata-rata yang terjadi sebesar 42 %, untuk nilai regangan rata-rata yang terjadi pada paduan Al + Zn 1 wt%, 3 wt%, dan 8 wt% nilai regangan rata-rata yang terjadi pada masing-masing paduan sebesar 27 %,25 %, dan 6 %. Ini menandakan semakin banyak perpanjangan yang terjadi pada Zn akan semakin menurun bila dibanding Al murni. Untuk Al Murni kekerasan rata – rata 38.92 [BHN], Pada penambahan Zn 1 wt%, 3 wt%, dan 8 wt% terdapat kekerasan rata – rata masing-masing sebesar 43.08 [BHN], 43.25 [BHN], 65.42 [BHN]. Ini menandakan terjadinya peningkatan kekerasan pada Al murni setelah dilakukan penambahan Zn. Daftar Pustaka 1.
American Society for Metals, Aluminium, Properties and Physical Metallurgi (Edisi Jhon E. Hatch)
2.
B.H.AMSTEAD, PHILLIP F. OSTWALD, Ir. Sriati Djaprie, M.E, M.Met, Teknologi Mekanik, Erlangga Jakarta, 1995.
3.
George E. Dieter. Metalurgi Mekanik, Jilid 1, Edisi Ketiga, Penerbit Erlangga, 1993
4.
Lawrence H. Van Vlack, Prof. Dr, Ilmu dan Teknologi Bahan, Edisi Kelima. Penerbit Erlangga Jakarta, 1995.
5.
Teori Seng, diakses tanggal 29 Desember 2008, dari http://.id.wikipedia.org/wiki/seng
6.
Tata Surdia, Prof. Ir, Ms Met E dan Chenji Chijiwa, Prof. Dr, Teknik Pengecoran Logam, PT. Pradnya Paramita Jakarta, 1986.
23
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
UJI AKTIVITAS ACTINOMYCETES ENDOFIT YANG BERPOTENSI SEBAGAI PENGHASIL ANTIBIOTIK Harmoko Saputra Teknik Kimia - Fakultas Teknik - Universitas Pamulang
ABSTRAK Mikroba endofit adalah organisme berukuran mikroskopis yang hidup dalam jaringan tanaman dan menghasilkan metabolit sekunder yang berpotensi menghasilkan senyawa aktif sebagai antibiotik. Penelitian yang berjudul “ Uji Aktivitas Actinomycetes Endofit yang Berpotensi Sebagai Penghasil Antibiotik ” bertujuan untuk mendapatkan metabolit sekunder yang berpotensi dalam menghasilkan senyawa aktif sebagai antibiotik. Actinomycetes hasil isolasi diuji aktivitas antibiotiknya kemudian difermentasi dan di ekstraksi dengan menggunakan pelarut butanol dan etil asetat untuk mendapatkan senyawa aktif yang berpotensi sebagai antibiotik. Hasil penelitian menunjukan bahwa actynomycetes endofit yang di ekstraksi bersifat semi polar yaitu dengan mengggunakan pelarut etil asetat , kromatografi lapis tipis menghasilkan nilai Rf = 0.9 cm dan pada control positif (kloramfenikol,novobiosin,cyclohexamide) menunjukan bahwa novobiosin memiliki nilai yang hampir sama yaitu dengan nilai Rf = 0,92 cm. Dari penelitian ini dapat di simpulkan bahwa isolat RP-PR-37.2 memiliki kemiripan dengan antibiotik jenis Novobiosin. Kata kunci : Actinomycetes Endofit, Antibiotik. 1.
Pendahuluan Memuncaknya minat industri Farmasi dan bioteknologi untuk memanfaatkan produk hasil alam
terutama dalam pengembangan obat baru (Natural Product Drug Discovery) menyebabkan banyak pihak mulai mengejar sumber-sumber senyawa bioaktif tradisional seperti tumbuhan, mikroba, dan dari bermacam-macam sampel tanah.(Prasetyoputri dan Atmokusumo, 2006). Tanaman telah lama kita ketahui merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting dalam upaya pengobatan dan upaya mempertahankan kesehatan masyarakat. Bahkan sampai saat ini pun menurut badan kesehatan dunia (WHO) 80% penduduk dunia masih menggantungkan dirinya pada pengobatan tradisional termasuk penggunaan obat yang berasal dari tanaman. Sampai saat ini seperempat dari obat-obat modern yang beredar di dunia berasal dari bahan aktif yang di isolasi dan di kembangkan dari tanaman. Sebagai contoh misalnya paclitaxel dan vinblastine merupakan obat anti kanker yang sangat potensial yang berasal dari tanaman (Pezzuto j, 1996). Sebanyak 300.000 jenis tanaman tingkat tinggi diketahui mengandung satu atau lebih mikroba endofit yang terdiri dari bakteri dan jamur (Strobel et al., 2003). Mikroba endofit yang diisolasi dari suatu tanaman dapat menghasilkan jenis alkaloid atau metabolit sekunder yang sama dengan kadar lebih tinggi dibanding tanaman inangnya. Peran mikroba endofit yang dapat memproduksi metabolit sekunder sama kualitasnya dengan tanaman inang sangat potensial untuk terus dikembangkan (Radji, 2005). Salah satu organisme penghasil antibiotik yang sedang diteliti orang pada saat ini adalah mikroba endofit. Mikroba endofit pertama kali dilaporkan oleh Darnel dkk, pada tahun1904. Sejak itu, definisi mikroba endofit telah di sepakati “mikroba yang hidup didalam jaringan internal tumbuhan hidup tanpa menyebabkan efek negative langsung yang nyata”. Mikroba endofit yang umum ditemukan adalah berupa bakteri dan kapang, namun kapang lebih sering di isolasikan (Prasetyoputri dan Atmosukarto, 2006). Tumbuhan yang hidup di daerah-daerah yang memiliki keanekaragaman tinggi juga berpotensi untuk memiliki mikroba endofit dengan keanekaragaman yang tinggi pula. Seperti tumbuhan yang hidup di lingkungan
24
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
yang unik pula. Seperti tumbuhan yang hidup di lingkungan yang unik, berbagai jenis tumbuhan yang memiliki karakteristik biologis yang khas juga dianggap sebagai sumber potensial mikroba endofit dan senyawa-senyawa baru (Prasetyoputri dan Atmosukarto, 2006). Tanaman berkhasiat obat merupakan salah satu sumber yang potensial untuk mendapatkan isolate actinomycetes baru, sehingga diharapkan dapat diperoleh pula senyawa bioaktif baru dari isolat tersebut. Castillo et al., (2003) telah berhasil mengisolasi actinomycetes endofit dari tanaman Kennedia nigricans. Suku aborigin di Australia telah lama menggunakan tanaman ini untuk mengurangi infeksi pada luka luar. Actinomycetes endofit tersebut memiliki susunan basa 16S rRNA yang unik dibandingkan dengan data yang ada di GeneBank. Hasil identifikasi menunjukan bahwa isolat tersebut merupakan Streptomyces NRRL 30562 yang menghasilkan antibiotik baru yaitu munumbicins. Antibiotik jenis ini sangat aktif terhadap bakteri gram positif. Usaha untuk mendapatkan senyawa antibiotik dari actinomycetes dapat dilakukan dengan proses fermentasi yang dilanjutkan dengan ekstraksi. Fermentasi bertujuan untuk merangsang mikrorganisme endofit dalam mengeluarkan suatu metabolit sekunder yang merupakan senyawa antibiotik itu sendiri. Metabolit sekunder merupakan senyawa yang disintesis oleh suatu mikroba, tidak untuk memenuhi kebutuhan primernya (tumbuh dan berkembang) melainkan untuk mempertahankan eksistensinya dalam berinteraksi dengan lingkungannya (Radji, 2005). Metabolit sekunder yang telah dihasilkan kemudian diekstrak untuk memisahkan senyawa aktif dengan medium fermentasinya dapat menggunakan pelarut yang bersifat semi polar dan non polar (Chrisnayanti dkk. 2008). Iklim tropis yang dimiki oleh Indonesia sangat menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroorgansme , khususnya mikroorganisme pathogen yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia dan tanaman. Tingkat penyebaran penyakit infeksi pada manusia di Indonesia masih sangat tinggi, sehingga di butuhkan biaya penanggulangan yang cukup besar untuk pengadaan antibiotik. Namun Negara ini belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut sehingga harus mengimpor bahan baku antibiotik dari Negara lain. Dana yang di butuhkan untuk keperluan tersebut berkisar antara Rp. 81,6 sampai Rp. 122,4 miliar pertahun (Dhanutirto, 1987 dalam Purwanto, 2008). Untuk mengurangi ketergantungan tersebut dan untuk mengurangi penggunaan pestisida, dapat di lakukan suatu penelitian tentang bahan baku antibiotik dengan memenfaatkan kekayaan alam Indonesia, dan hal ini mulai terwujud dengan di temukannya mikroorganisme sebagai penghasil antibiotik (Purwanto, 2008). 2.
Bahan dan metode Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi bahan-bahan untuk kultur isolat, uji
pendahuluan, fermentasi dan ekstraksi, uji penegasan,Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Bahan-bahan untuk kultur isolat meliputi isolat actinomycetes endofit (Koleksi Laboratorium Mikrobiologi Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Serpong, medium (International Streptomyces Project) ISP2 padat, akuades, alkohol 70%. Bahan-bahan untuk uji pendahuluan meliputi isolat actinomycetes endofit, Medium YEME (Yeast Extract Malt Extract), Nutrien Agar (NA), Nutrien Broth (NB), Potato Dextrose Agar (PDA), Potato Dextrose Broth (PDB), mikroba uji (BioMCC Bacillus subtilis, BioMCC Staphylococcus aureus, BioMCC Pseudomonas aeruginosa, BioMCC Escherichia coli, BioMCC Candida albican, BioMCC Aspergillus niger).
25
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Bahan-bahan untuk fermentasi dan ekstraksi meliputi isolat actinomycetes endofit,C Medium, pelarut butanol dan etil asetat. Bahan-bahan untuk uji penegasan meliputi ekstrak dari isolat actinomycetes endofit, Nutrien Agar (NA), Nutrien Broth (NB), Potato Dextrose Agar (PDA), Potato Dextrose Broth (PDB), mikroba uji (BioMCC Bacillus subtilis, BioMCC Staphylococcus aureus, BioMCC Pseudomonas aeruginosa, BioMCC Escherichia coli, BioMCC Candida albican, BioMCC Aspergillus niger), kertas cakram, kontrol positif Chloramfenicol (antibakteri) dan Nystatin (anti jamur), kontrol negatif metanol. Bahan-bahan untuk Kromatografi Lapis Tipis (KLT) meliputi plat silika, metanol, etil asetat, butanol, heksan. Media Media yang di gunakan dalam penelitian ini ialah: dengan menggunakan media vegetative dan fermentative yang sama yaitu medium C yang terdiri atas D-glucose 2 gr, cybean meal 2 gr, rice powder 2 gr, yeast extract 0.5 gr, NaCl 0.25 gr, CaCO 0.32 gr, mineral solution 0,2 ml,akuades 100 ml (pH:7).
Peremajaan Isolat Actinomycetes Endofit (Taechowisan and Lumyong, 2003) Sebanyak 11 actinomycetes endofit ditumbuhkan pada medium padat ISP2 dalam cawan, selanjutnya diinkubasi pada suhu 28 0C selama 5 x 24 jam. Koloni actinomycetes endofit dibuat dalam dua tipe kultur media, yaitu stock culture dan work culture. Stock culture dibuat menjadi serum dan disimpan dalam suhu dingin - 70 0C, sedangkan work culture dalam ISP2 slant untuk dikerjakan lebih lanjut. Uji Aktivitas Antibiotik (Simarmata dkk., 2007) Isolat actinomycetes endofit yang telah diremajakan selanjutnya dilakukan uji aktivitas antibiotik pendahuluan untuk mengetahui aktivitas antibiotik yang dihasilkan. Isolat yang telah disimpan dalam ISP2 slant kemudian ditumbuhkan dalam cawan dan diinkubasi selama 5 x 24 jam pada suhu 28 0C. Biakan tersebut kemudian diambil menggunakan silinder atau plug berdiameter 6 mm dan diletakan dalam cawan petri berisi media Nutien Agar (untuk bakteri uji), Potato Dextrose Agar (untuk jamur uji) yang telah di inokulasikan masing-masing mikroba uji yaitu BioMCC Staphylococcus aureus dan BioMCC Bacillus subtilis (bakteri Gram positif), BioMCC Pseudomonas aeruginosa dan BioMCC Escherichia coli (bakteri Gram negatif), BioMCC Candida albicans dan BioMCC niger (jamur). Jumlah mikroba uji yang digunakan yaitu sel bakteri 106 CFU’s/ml, yeast 105 CFU’s/ml serta 105 spora/ml untuk kapang. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu 37 0C untuk bakteri uji, 48 jam pada suhu 28 0C untuk yeast dan kapang. Aktivitas antimikroba ditunjukan dengan terbentuknya zona hambat di sekitar isolat actinomycetes. Zona hambat kemudian diukur dengan menggunkan jangka sorong digital. Isolat yang memiliki aktivitas antimikroba kemudian dipilih untuk lebih lanjut dilakukan fermentasi. Fermentasi Antibiotik (Naidenova and Nedialkova, 2005) Uji aktivitas antibiotik penegasan adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibiotic yang dihasilkan oleh actinomycetes dalam bentuk ekstrak. Isolat actinomycetes yang memiliki aktivitas antibiotik kemudian dikultur vegetatif dan fermentatif. Kultur vegetatif menggunakan medium C yang diinkubasi selama 3 x 24 jam pada suhu 28 0C Selanjutnya dari kultur vegetatif dipindahkan dalam kultur fermentatif yaitu
26
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
medium C. Isolat dari kultur vegetatif dipindahkan sebanyak 10% dari kultur fermentatif kemudian di kocok selama 4 x 24 jam pada suhu 28 0C. Ekstraksi (Anansiriwattana et al., 2006) Senyawa antibiotik diekstraksi dari kaldu fermentasi yang dihasilkan. Kaldu fermentasi dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge masing-masing sebanyak 100 ml. Tambahkan 100 ml butanol dan etil asetat, kocok selama 1 jam 250 rpm. Sentrifugasi selama 15 menit, 3000 rpm hingga terpisah menjadi supernatant dan biomassa. Supernatan yang telah dipisahkan kemudian dipekatkan menggunakan rotari evaporator atau dapat pula menggunakan konsentrator. Labu ataupun tabung yang akan digunakan pada saat pemekatan harus diketahui terlebih dahulu berat awalnya. Sehingga berat ekstrak dalam labu maupun tabung yang sudah dipekatkan dapat diketahui dengan menghitung selisih beratnya. Ekstrak yang sudah peroleh kemudian dilarutkan menggunkan metanol dengan konsentrasi 20.000 ppm. Uji Aktivitas Antibiotik Penegasan (Chrisnayanti dkk., 2008) Uji aktivitas dilakukan menggunakan metode kertas cakram (Kirby Baur). Masing – masing ekstrak yang telah dilarutkan dalam metanol dengan konsentrasi 20.000 ppm kemudian diteteskan sebanyak 10 μl pada kertas cakram berdiameter 6 mm. Media Nutien Agar (untuk bakteri uji) dan Potato Dextrose Agar (untuk jamur uji) yang telah di inokulasikan masing-masing mikroba uji yaitu BioMCC Staphylococcus aureus dan BioMCC Bacillus subtilis (bakteri Gram positif), BioMCC Pseudomonas aeruginosa dan BioMCC Escherichia coli (bakteri Gram negatif), BioMCC Candida albicans dan BioMCC Aspergillus niger (jamur) dengan konsentrasi untuk bakteri 106 CFU’s/ml, yeast 105 CFU’s/ml serta 105 spora/ml untuk kapang. Sebelum diinkubasi cawan petri didifusikan dalam refrigerator selama ± 2 jam. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu 37 0C untuk bakteri uji, 48 jam pada suhu 28 0C untuk yeast dan kapang kemudian amati dan diukur zona hambatnya. KLT (Kromatografi Lapis Tipis) (Setianingsih, N. 2002) KLT dilakukan dengan cara meneteskan 10 μl ekstrak kasar pada lempeng silika yang berukuran 0,6 x 8 cm, kemudian dielusikan dengan menggunakan eluen yang dapat menggunakan campuran dari metanol, etil asetat, butanol, dan hexana. Setelah dielusikan, bercak yang terbentuk dapat dilihat di bawah sinar UV (Lamag UV- cabinet) dengan panjang gelombang 254 nm atau 366 nm. Nilai Rf (Retention factor) dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini :
Rf =
Jarak perpindaha n bercak dari titik awal Jarak l int asan pelarut dari titik awal
Hasil KLT kemudian di cocokan dengan control positif yaitu dengan mengetahui masing-masing nilai Rf nya. 3.
Hasil Dan Pembahasan
Uji Aktivitas Antibiotik
27
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Sebanyak 8 isolat actinomycetes endofit yang diperoleh dari hasil isolasi berbagai tanaman obat di Indonesia dapat tumbuh pada medium ISP2 padat. Hasil pengujian aktivitas antibiotik pada 8 isolat actinomycetes endofit ternyata hanya menghasilkan beberapa isolat saja yang aktif terhadap 6 mikroba uji. Uji aktivitas antibiotik dilakukan untuk mengetahui kemampuan actinomycetes endofit dalam menghasilkan metabolit yang berpotensi sebagai antibiotik. Isolat actinomycetes endofit yang dinyatakan mempunyai aktivitas antibiotik adalah jika terbentuk zona hambat di sekeliling mikroba uji (Simarmata dkk., 2007). Tabel Hasil Uji Aktivitas antibiotik isolat actinomycetes endofit Isolat
Diameter Zona Hambat Pada Mikroba Uji (mm)
Actinomycetes
1
2
3
4
5
6
1
RP-SR-36.5
-
-
-
-
-
-
2
RP-PR-19.1
-
-
-
-
-
-
3
RP-SR-35.9
19.79
-
-
-
-
-
4
RP-SR-23.4
12.03
-
-
13.05
-
-
5
RP-PR-34.1
14.64
19.61
-
-
-
-
6
RP-PR-37.2
15.34
23.25
-
-
-
-
7
RP-SR-7.7
-
9.39
-
8.25
-
-
8
RP-SR-14.2
-
13.44
-
12.87
-
-
No
Keterangan : 1. Bio MCC Aspergillus niger 2. Bio MCC Candida albican 3. Bio MCC Bacillus subtilis 4. Bio MCC Staphylococcus aureus 5. Bio MCC Pseudomonas aeroginosa 6. Bio MCC Eschericia coli Senyawa penghambat atau antibiotik yang dihasilkan oleh actinomycetes endofit merupakan salah satu mekanisme untuk menghambat mikroorganisme lain yang berkompetisi dengan isolate tersebut dalam mendapatkan nutrisi (Madigan et al., 1997). Hasil uji aktifitas antibiotik didapatkan 6 isolat memperlihatkan aktivitas antibiotik terhadap mikroba uji yang berbeda. Sebanyak 2 isolat memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan BioMCC Staphylococcus aureus, 4 isolat menghambat pertumbuhan BioMCC Aspergillus niger, dan hanya 4 isolat yang mampu menghambat pertumbuhan BioMCC Candida albicans. Sedangkan 2 isolat tidak menunjukan aktivitas penghambatan pada 6 mikroba uji. Isolat actinomycetes endofit yang tidak menunjukkan aktivitas antibiotic kemungkinan memiliki senyawa aktif antibiotik namun jumlahnya kecil atau memiliki senyawa aktif dengan potensi yang lain (Son and Cheah, 2002). Ektraksi Dari hasil uji pendahuluan aktifitas antibiotik dilakukan seleksi isolat endofit actinomycetes yang memiliki aktifitas yang lebih baik ternyata yang di pilih 3 isolat dan kemudian di ekstraksi dengan menggunakan dua pelarut yang berbeda yaitu butanol dan etil asetat. Adapun isolat yang dipilih dan menunjukkan aktivitas
28
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
penghambatan yang besar terhadap mikroba uji yaitu RP-PR-34.1, RP-PR-37.2, dan RP-SR-14.2. Ternyata perbedaan pelarut sangat berpengaruh terhadap hasil ekstraksi, dari penelitian yang dilakukan terdapat perbedaan antara pelarut butanol dan etil asetat. Isolate yang di ekstraksi dengan menggunakan pelarut butanol memiliki hasil ekstraksi dengan berat yang lebih tinggi di bandingkan dengan menggunakan pelarut etil asetat. Tetapi hasil ekstraksi tiap isolate mempunyai tingkat kepolaran yang berbeda-beda. Tabel hasil ekstraksi dengan menggunakan pelarut Butanol dan Etil asetat Isolate
Pelarut
Berat tabung
Berat total
Berat isi
Rp-PR-34.1
Butanol
11.536
11.738
0.202
Etil asetat
11.330
11.432
0.102
Butanol
11.328
11.507
0.179
Etil asetat
11.328
11.407
0.079
Butanol
11.134
11.322
0.188
Etil asetat
11.330
11.455
0.125
RP-PR-37.2 RP-SR-14.2
Uji Penegasan Dari hasil uji pendahuluan aktifitas antibiotik kemudian dilakukan seleksi isolate endofit actynomycetes yang memiliki aktifitas yang baik ternyata yang dipilih 3 isolat. Hasil pengujian ekstrak dari 3 isolat actinomycetes endofit yang menggunakan pelarut yang berbeda yaitu RP-PR-34.1, RP-PR-37.2, dan RPSR-14.2 menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap mikroba uji. Data yang diperoleh pada uji penegasan menunjukkan adanya perbedaan aktivitas antibiotik oleh beberapa isolat dalam membentuk zona hambat. Dari ketiga isolat dipilih satu isolat yang menunjukan aktifitas terhadap beberapa bakteri uji. Ekstrak dari isolat actinomycetes endofit yang menunjukkan aktivitas antibiotik pada beberapa mikroba uji,yaitu isolate RP-PR37.2 . Isolat ini mampu menghambat BioMCC C. albican dengan baik pada uji penegasan yaitu dengan terbentuknya diameter zona hambat mencapai 28,02 mm, Bio MCC Bacillus subtilis 13,85 mm, BioMCC Staphylococcus aureus 11,83 mm, BioMCC A. niger 17,75 mm. Berdasarkan hasil uji penegasan maka, ekstrak dari isolat RP-PR-34.1berpotensi penghasil senyawa sebagai bahan baku antibiotik. Menurut Purwakusumah (1990) selain faktor genetik dari mikroorganisme, produksi antibiotik juga dipengaruhi oleh kondisi fermentasi yang meliputi pH awal medium, temperatur fermentasi, aerasi dan nutrient. Komposisi nutrient merupakan faktor utama dalam medium untuk pertumbuhan sel dan biosintesis antibiotik. Sehingga perbedaan kemampuan tiap isolat dapat terjadi karena nutrient yang dibutuhkan khususnya dalam biosintesis antibiotik tidak persis sama.
29
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Gambar 1. hasil uji penegasan Tabel 1. hasil uji penegasan
No 1
2
3
Isolat
Diameter Zona Hambat Pada Mikroba Uji (mm)
Actinomycetes
1
2
3
4
5
6
Butanol
19.97
27.64
-
-
-
-
Etil asetat
17.75
28.02
13.85
11.83
-
-
Butanol
17.10
27.36
-
-
-
-
Etil asetat
16.42
27.42
-
-
-
-
Butanol
-
-
-
-
-
-
Etil asetat
-
-
-
-
-
-
standar
16.80
25.89
28.77
21.76
RP-PR-37.2
RP-PR-34.1
RP-SR-14.2
28.77
Keterangan : 1. Bio MCC Aspergillus niger 2. Bio MCC Candida albican 3. Bio MCC Bacillus subtilis 4. Bio MCC Staphylococcus aureus 5. Bio MCC Pseudomonas aeroginosa 6. Bio MCC Eschericia coli
30
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Prinsip KLT pada dasarnya adalah pemisahan fisikokimia yang melibatkan fase diam dan fase gerak. Fase diam merupakan lapisan penyerap yang mengandung pengikat dapat berupa silika gel, selulosa, resin dan magnesium silika. Fase gerak berupa larutan tunggal maupun campuran tergantung pada kepolaran sampel yang dianalisis serta fase diam yang digunakan (Melliawati, 2006). Pemilihan eluen pada saat KLT dilakukan dengan mencoba menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya. pelarut –pelarut yang di gunakan antara lain: butanol (non polar), Heksan (non polar), Etil asetat (semi polar), methanol (polar), hasil KLT awal menggunakan pelarut tunggal yang berbeda menunjukan sifat kepolaran dari ekstrak tersebut, sehingga ekstrak dapat terpisah dengan sempurna. Masing-masing pelarut menunjukan hasil Rf yang berbeda dan pada pelarut hexan-butanol menunjukan hasil yang sempurna sehingga butanol-hexan dipilih sebagai palarut/eluen pada KLT ekstrak isolat RP-PR-37.2. Hasil KLT menggunakan pengembang berupa campuran Butanol : Heksan dengan perbandingan 6 : 4 pada ekstrak RP-PR-37.2 menghasilkan pemisahan dua bercak kromatogram pada lempeng KLT (silika gel) dengan nilai bercak masing-masing mempunyai Rf = 0,92 cm dan Rf = 0,57 cm. Control positifyang digunakan pada kormatografi lapis tipis adalah cloramfenicol (yang di hasilkan oleh streptomyces venezeulae,streptomyces phaeochromogenes van, streptomyces omiyamensis dan chloromyceticus ), Novobiosin (streptomyces niveus), Cyclohexamide (streptomyces griseus). Sampel kromatografi memiliki Rf yang sama dengan control positf pada novobiosin yaitu dengan Rf = 0,92cm. Hasil tersebut menunjukan adanya kemiripan ekstrak dari isolate RP-PR37.2 dengan control positif novobiosin. Penentuan untuk meyakinkan bahwa noda fraksi yang aktif hanya terdiri dari satu komponen dan dapat diketahui struktur senyawanya, maka perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut dengan menggunakan instrumen lain, misalnya HPLC dan GC-MS (Isnaeni, 1998) dalam istianto (2009).
4.
Kesimpulan.
Berdasarkan atas hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1.
Dari uji pendahuluan actinomycetes endofit di dapat 8 isolat yang mengalami daya hambat terhadap beberapa bakteri uji, setelah di ekstraksi dan di uji penegasan di dapatkan 3 isolat yang mengalami penghambatan terhadap bakteri ujia kemudian dipilih satu isolate yang mengalami penghambatan terhadap bakteri uji yang lebih banyak yaitu dengan kode isolate RP-PR-37.2 yang di ekstraksi dengan menggunakan pelarut etil asetat, setelah di lakukan KLT dan di cocokan dengan control positif (cloramfenicol, novobiosin, cyclohexamide) ternyata isolat tersebut di duga memiliki kesamaan dengan novobiosin yaitu dengan mengasilkan nilai Rf yang sama.
2.
Isolat RP-PR-37.2 memiliki hubungan kekerabatan filogenetik yang paling dekat dengan Streptomyces sp. GU 26387.1.
31
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
DAFTAR PUSTAKA 1.
Anansiriwattana W., S. Tanasupawat, S. Amnuoypol, and K. Suwanborirux. 2006. Identification and antimicrobial activities of actinomycetes from soils in Samed Island, and geldanamycin from strain PC4 – 3. Thailand Journals Pharmaceutical. Sci. 30 (2006) 49-56.
2.
Anggia Prasetyoputri dan Ines Atmosukarto 2006. Mikroba Endofit dalam Bio Trend VolI Nomor 2.Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI,Cibinong.
3.
Chrisnayanti, E., D. Dewi., Suyanto., B. Marwoto. 2008. Uji Aktivitas Antimikroba Actinomycetes yang diisolasi dari Tanaman Obat Berkhasiat. Proseeding kongres ilmiah ISFI XVI 2008.
4.
Istianto, Y. 2009. Identifikasi Actinomycetes Penghasil antibiotik. Universitas Jendral Soedirman Purwokerto.
5.
Madigan M.T, Martikno J.M dan Parker J. 1997. Biology of Microorganism. Prentice Hall International. New Jeresey.
6.
Melliawati R., D. N Widyaningrum, A.C. Djohan, H.Sukiman. 2006. Pengkajian Bakteri Endofit Penghasil Senyawa Bioaktif untuk Proteksi Tanaman. B I O D I V E R S I T A S. Volume 7, Nomor 3. Halaman: 221-224.
7.
Moncheva P., S. Tishkov., N. Dimitrova., V. Chipeva, S. A. Nikolova and N. Bogatzevska. 2002. Charateristics Of Soil Actinomycetes From Antarctica. Journal Of Culture Collections. Volume 3, pp.3 – 14.
8.
Nedialkova, D. dan M. Naidenova,. 2004. Screening The Antimicrobial Activity of Actinomycetes Strains Isolated from Antarctica. Journal of Culture Collections, volume 4, pp. 29-35.
9.
Pessuto J. (1996)Taxol Production in plant cell culture comes of age. Nature Biotechnol. 14: 1083.
10. Purwanto, R. 2008. Peranan Mikroorganisme Endofit sebagai Penghasil Antibiotik. 11. http://www.kabarindonesia.com. 12. Purwakusumah, ED. 1990. Perbandingan Fermentasi antibiotik oleh Streptomyces sp. S-34 dan dua rekombinasi pada beberapa medium. Tesis Sarjana Biologi. Jurusan Biologi. Institut Teknologi Bandung. 13. Radji, M. 2005. Peranan Bioteknologi dan Mikroba Endofit dalam Pengembangan Obat Herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.3, pp : 113 – 126. 14. Sambrook, J., E.R. Frisch and T. Maniatis. 1989. Molecular Cloning : A Laboratory Mnual. Vol 1 Second Ed. Cold Spring Harbour Press. Cold Spring Harbour, USA. 15. Satsuma, K., M. Kameshiro, O. Hayashi, K. Sato and Y. Kato. 2006. Characterization of a Nocardiodidesbased, atrazine-mineralizing microbial colony isolated from japanese riverbed sediment. Journals Pestic science., 31 (4), 420-423. 16. Simarmata, R. S. Lekatompessy, dan H. Sukiman. 2007. Isolasi Mikroba Endofitik Dari Tanaman Obat Sambung Nyawa (Gynura procumbens) dan Analisis Potensinya Sebagai Antimikroba. Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan, LIPI,Cibinong-Bogor 16911. 17. Son R and Cheah YK.2002. Preliminary Screening of Endophytic Fungi from Medical Plantsin Malaysia for Antimicrobial and Antitumor Activity. Malaysian Journal of Medical Sciences, 9(2): 23–33.
32
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
18. Strobel, G. A and Daisy, B. 2003. Bioprospecting for Microbial Endophytes and Their Natural Products. Microbiology And Molecular Biology Reviews, Dec. 2003, p. 491–502 Vol. 67, No. 4 10922172/03/$08.00_0 DOI: 10.1128/MMBR.67.4.491–502.2003. American Society for Microbiology. 19. Taechowisan,T., J. F. Peberdy and Lumyong, S .2003. Isolation of endophytic actinomycetes from selected plants and their antifungal activity. World Journal of Microbiology & Biotechnology 19: 381–385.
Pertanyaan dan Jawaban. Nama Penyaji : Harmoko Saputra. Penanya : Nunung Choiriah. 3.
Bagaimana pengaruh komposisi pada NA dan PDA pada tanda timbulnya bakteri itu tumbuh?.
4.
Bagaimana karakterisasi antibiotik hasil pembuatan dengan antibiotik asli ?
Jawaban : 3.
Pada PDA dan NA bakteri untuk pertumbuhan jamur, Mikroba yang mengalami aktivitas ditunjukkan dengan adanya zona bening.
4.
Untuk mengetahui antibiotik yang murni dilakukan penelitian lebih lanjut, mungkin dengan adanya HPLC.
Penanya : Teguh S. 1.
Apakah metode uji aktivitas yang dilakukan sama caranya sehingga memperoleh hasil nilai yang mirip dengan antibiotic jenis Novobiosin?
2.
Mohon parameter-parameter ujinya perlu disajikan!.
Jawaban : 1.
Berdasarkan metoda yang ada sama, hanya untuk mengetahui lebih lanjut digunakan metoda HPLC.
2.
Parameter yang kami gunakan hanya pada mikroba-mikroba yang punya potensi sebagai antibiotik.
33
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
PENGARUH PENAMBAHAN ( 1 wt%, 3 wt%, 7 wt% ) TEMBAGA ( Cu ) PADA ALUMINIUM PRODUKSI PT. INDONESIA ASAHAN ALUMINIUM (INALUM) TERHADAP SIFAT MEKANIK Oleh : Muhidi *, Djuhana **, Hery Adrial * Alumni T.Mesin Universitas Pamulang ** Puslit KIM LIPI, Serpong ***BATAN, Serpong ABSTRAK Dalam makalah ini membahas tentang pengaruh penambahan tembaga ( cu ) pada aluminium produksi PT. Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) terhadap sifat mekanik. Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aluminium (Al) murni (INALUM) dan Tembaga (Cu) yang divariasikan. Selanjutnya dilakukan peleburan dan pencetakan yang sudah berupa Sampel Uji Tarik, Sampel Uji Kekerasan dan Sampel Uji Struktur Mikro dilakukan pengujian sesuai dengan masing-masing mesin uji yang dibutuhkan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan Cu (1 wt %, 3 wt%, 7 wt%) pada aluminium, didapat kekuatan tarik tertinggi rata-rata pada penambahan 7 wt% Cu sebesar 19,73 Kgf/mm², kekerasan tertinggi rata-rata pada penambahan 7 wt% Cu sebesar 56 BHN. Kata Kunci : Aluminium, Tembaga, Pengecoran, Dapur Krusibel.
1.
Pendahuluan Aluminium adalah logam non ferros salah satu produk industri yang penggunaannya sudah semakin luas.
Pemakaian aluminium dari mulai alat untuk rumah tangga sampai untuk pembuatan pesawat terbang. Aluminium murni kekuatannya masih rendah, mudah teroksidasi, oleh karena itu untuk mendapatkan aluminium dengan karakteristik sesuai dengan kebutuhan harus dipadu dengan paduan unsur logam yang lain. Penambahan unsur logam yang lain seperti : tembaga, magnesium, seng dan timah akan meningkatkan sifat mekanik kekuatan dan ketahanan dengan kondisi laku panas yang berbeda. Peleburan/pengecoran dilakukan pada sebuah tungku/dapur krussibel dengan bakar briket batu bara. Paduan Al – Cu, kandungan Cu dapat meningkatkan kekuatan dan kekerasan apabila dilakukan proses sepuh tetapi keuletan akan menurun dan ketahanan terhadap korosi kecil. Penggunaan paduan Al - Cu pada saat ini terutama disebabkan titik lebur eutektiknya yang relatif tinggi, sehingga amat layak digunakan untuk komponen – komponen yang memerlukan perakitan dengan brazing. Karakteristik lain yang menguntungkan dari paduan ini adalah kekuatan tinggi, mampu mesin, stabilitas dimensi dan mampu cor. Namun, ketahanan terhadap korosi dan ketahanan terhadap hot tear kecil. Saat ini paduan tuang komersial Al – Cu digunakan untuk komponen penutup (casing) generator, tangkai (frame) kaca mata, peleg sepeda, motor dan mobil, rangka sepeda dan accesoriesnya, Pulley, roda gigi, komponen mesin perkakas, torque converter impeller blades dan komponen furnitur. Metode yang dilakukan dalam kegiatan ini dimulai dari persiapan sarana dan material, persiapan material peleburan dan material balance, persiapan peralatan peleburan, peleburan dan penuangan, pembuatan sampel/spesimen. pengujian sifat mekanis ( pengujian tarik dan pengujian kekerasan ) dan pengamatan metalografi. Tujuan adalah mengetahui sifat mekanik kekuatan tarik dan kekerasan campuran aluminium murni dan tembaga.
34
ISSN 977.2086796.00.2
2.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Teori Dasar Penggunaan logam aluminium secara murni praktikal adalah terbatas. Kebanyakan aluminium dipadukan
dengan unsur lain untuk memperoleh sifat yang dikehendaki. Berikut ini dipaparkan pengaruh unsur paduan terhadap aluminium. Tembaga Copper (Cuprum) adalah unsur kimia dengan lambang atomnya Cu, nomor atomnya 29, massa atom relatifnya 63,546, kerapatannya 8,96 gram/cm³, titik lelehnya 1083 °C, titik didihnya 2567 °C, berupa logam kemerahan yang termasuk kedalam golongan I B dari sistem periodik. Dalam senyawa tembaga membentuk ion kupro Cu+ dan kupri Cu2+. Ion ini mudah direduksi menjadi tembaga. Tembaga tidak mudah berkarat, mudah ditempa, dan kawatnya mudah ditekuk. Sebagian besar digunakan sebagai logam atau aliase. Campuran tembaga dan seng menghasilkan kuningan. [1]4 Kandungan Cu pada paduan Al-Cu adalah 2 - 10%. Wujudnya Cu didalam Aluminium meningkatkan kekuatan dan kekerasan apabila dilakukan proses perlakuan panas (heat treatment). Kekuatan aluminium dapat meningkat4-6%. 3.
Metodologi Penelitian Pembuatan paduan dilakukan dengan peleburan dalam dapur krusibel, setelah sebelumnya dilakukan
tahap persiapan pertama yang meliputi menyiapkan material peleburan, bahan bakar briket batu bara dan peralatan potong material serta timbangan material. Material peleburan yang dipakai adalah ingot, batangan Al murni dan Cu yang diambil dari potongan kawat (kabel) yang dipotong dengan ukuran yang seragam. Untuk mencapai komposisi target yang di inginkan, dilakukan perhitungan material balance dengan perhitungan presentase kehilangan berat setiap unsur yang di masukan, kehilangan saat peleburan 0. Adapun berat paduan Al + Cu pada tiap-tiap peleburan seberat 7 Kg (100 %) : 99 % Al, 1 % Cu (6930 gram Al, 70 gram Cu), 97 % Al, 3 % Cu (6790 gram Al, 210 gram Cu), 93 % AL, 7 % Cu (6510 gram Al, 490 gram Cu), dan 100 % Al, (Al murni) Tahap – tahap yang dilakukan selama proses peleburan dan penuangan adalah: 1.
Pemasukan umpan peleburan I. Umpan yang di masukkan adalah ingot Al murni. Umpan di susun dengan umpan – umpan yang berukuran besar dan di letakan pada bagian bawah kowi agar dihasilkan peleburan yang merata.
2.
Penyalaan Dapur, bahan bakar briket batu bara disusun pada sekeliling
dan bagian bawah dan sekeliling
kowi hingga mencapai ± 5 Kg, kemudian briket batubara dinyalakan dengan bantuan minyak solar, selanjutnya untuk mempercepat proses briket batubara menjadi bara api, maka digunakan blower (hembusan angin). 3.
Pemasukan umpan peleburan II. Umpan yang dimasukkan berupa Cu yang didapat dari kawat tembaga yang dipotong-potong dengan ukuran yang seragam. Ingot Al murni melebur pada temperature 550 – 560 °C dan pada temperatur 660° C unsur Cu dimasukkan yaitu dengan menaburkan potongan-potongan Cu secara merata pada permukaan Al yang telah mencair dilakukan dengan bertahap, kemudian dilakukan pengadukkan secara merata agar
35
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Cu dapat cepat larut. Terak yang terbentuk dibuang dengan penyiduk terak sebelum melakukan penuangan agar terak tidak ikut masuk kedalam cetakan yang dapat menyebabkan terjadinya cacat coran. 4.
Penuangan dilakukan setelah terak yang terbentuk dibuang. Penuangan dilakukan pada temperatur sekitar 750 °C dengan waktu dan jarak penuangan diusahakan konstan.
Cetak Spesimen Cetakan yang di gunakan adalah cetakan logam yang sudah sesuai dengan standar JIS H 5202 (sesuai ISO 2378) yang sudah berupa sampel uji tarik, dalam cetakan terdiri dari dua buah sampel uji tarik. Pengujian dan Pemeriksaan Pengujian tarik dilakukan dengan cara menguji spesimen hingga putus, kemudian nilai gaya dapat dibaca pada display alat ukur gaya. Pengujian kekerasan menggunakan metode uji pantul merk alat uji pantul EQOUTIP. Hasil dari nilai kekerasan LD dikonversi pada metode kekerasan Brinell. Langkah – langkah dalam pengamatan struktur mikro dimulai dengan melakukan penggerindaan, pemolesan yang menggunakan serbuk alumina, lalu dilanjutkan dengan dietsa dan dilakukan pengamatan dengan mikroskop metalurgi. 4.
Hasil Dan Pembahasan
Pengujian Tarik Dari data hasil pengujian tarik kemudian dihitung tegangan tarik dan regangan dapat dilihat pada tabel dibawah
ini:
36
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 1. Hasil Perhitungan Pengujian Tarik Kekuatan Tarik No.
1 2 3 4
Sampel
Sampel Al Murni (INALUM)
1
σ =
F kgf / mm 2 A
Kekuatan Tarik Rata-rata (Kgf/mm²)
9,09 8,44 8,12
Regangan
ε=
ΔL 100% L0 (%)
8,765
46,4 39 49,54
12,99
24,11
Sampel
10,39
3
1 wt% Cu
12,66
12,26
5,70 14,56
4
12,99
22
1
17,86
13,09
2
Sampel
17,47
3
3 wt% Cu
17,21
17,52
10.92 11,77
4
17,53
11,42
1
18,19
4,17
2
Sampel
19,16
3
7 wt% Cu
20,14
4
21,44
(ε) Rata-rata (%)
32,7
9,41
2
Regangan
19,73
3,00 6,27
41,91
16,6
11,8
4,983
6,49
37
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
1. Pada sampel uji Al murni (INALUM), kekuatan tarik rata-rata 8,765 kgf/ mm². Regangan rata-rata didapat 41,91 %. 2.
Pada sampel uji Al-1 wt% Cu, kekuatan tarik rata-rata 12,26 kgf/mm². Prosentase kenaikkan kekuatan tarik rata-rata Al 1 wt% Cu terhadap Al-murni 39,874 %. Regangan rata-ratanya adalah 16,6 %, penurunan regangan terhadap Inalum, 25,31 %.
3.
Pada sampel uji Al-3 wt% Cu, kekuatan tarik rata-rata 17,52 kgf/mm². Prosentase kenaikkan kekuatan tarik Al-3 wt% Cu terhadap Al-1 wt% Cu adalah 42,9 %. Regangan rata-ratanya adalah 11,8 %, Penurunan regangan terhadap Al-1 wt% Cu, 4,8 %.
4.
Pada sampel uji Al-7 wt% Cu, kekuatan tarik rata-rata 19,73 kgf/mm². Prosentase kenaikkan kekuatan tarik Al-7 wt% Cu terhadap Al-3 wt% Cu adalah 12,6 %. Regangan rata-ratanya adalah 4,983 %, Penurunan regangan terhadap Al-3 wt% Cu, 6,817 %. 25 17.52
Kgf/mm 2
20 12.26
15 10
19.73
8.765
5 0 INALUM 1 w t% Cu 3 w t% Cu 7 w t% Cu
Regangan ( ) (%)
Gambar 5. Grafik Kekuatan Tarik Rata-rata Al murni (INALUM) dan masing-masing Penambahan unsur Cu
50 41.9 40 30 16.6
20
11.8 4.98
10 0 INALUM
1 w t% Cu
3 w t% Cu
7 w t% Cu
Gambar 6. Grafik Prosentase Regangan Rata-rata Al murni (INALUM) Tabel 4.6. Hasil Pengujian Kekerasan AL Murni (INALUM) Sampel (1)
Rata-rata Kekerasan
Sampel (2)
Sampel (3)
Sampel (4)
LD
BHN
LD
BHN
LD
BHN
LD
BHN
244
41
244
41
244
41
200
30
244
41
250
42
250
42
200
30
244
41
254
43
254
43
200
30
4
42
42
30
sampel (BHN) Rata-rata Kekerasan
39
Al murni (BHN)
38
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 4.7. Hasil Pengujian Kekerasan Al-1 wt% Cu Sampel (1)
Sampel (2)
Sampel (3)
Sampel (4)
LD
BHN
LD
BHN
LD
BHN
LD
BHN
210
33
244
37
260
45
235
39
210
33
250
38
265
47
240
40
219
35
254
43
263
46
238
39
Rata-rata Kekerasan
34
39
46
39
Sampel (3)
Sampel (4)
sampel (BHN) Rata-rata Kekerasan
40
Al-1wt % Cu (BHN)
Tabel 4.8. Hasil Pengujian Kekerasan Al-3 wt% Cu Sampel (1)
Sampel (2)
LD
BHN
LD
BHN
LD
BHN
LD
BHN
266
47
260
45
252
43
250
42
262
45
263
46
248
42
261
46
260
45
265
47
246
41
257
44
Rata-rata Kekerasan
46
46
42
44
Sampel (3)
Sampel (4)
sampel (BHN) Rata-rata Kekerasan Al-3 wt % Cu (BHN)
45
Tabel 4.9. Hasil Pengujian Kekerasan Al-7 wt% Cu Sampel (1)
Rata-rata Kekerasan
Sampel (2)
LD
BHN
LD
BHN
LD
BHN
LD
BHN
295
55
338
69
243
41
318
62
230
37
337
69
241
40
328
65
290
56
330
66
249
42
329
66
49
68
41
64
sampel (BHN) Rata-rata Kekerasan Al-
56
7wt % Cu (BHN)
39
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
1.
Pada sampel uji Al murni (INALUM), diperoleh kekerasan rata-rata 39 BHN.
2.
Pada sampel uji Al-1 wt% Cu, diperoleh kekerasan rata-rata 40 BHN.
3.
Pada sampel uji Al-3 wt% Cu, diperoleh kekerasan rata-rata 45 BHN.
4.
Pada sampel uji Al-7 wt% Cu, diperoleh kekerasan rata-rata 56 BHN.
56
60 50
39
40
45
HB
40 30 20 10 0 INALUM 1 w t% Cu 3 w t% Cu
7 wt % Cu
Gambar 7. Grafik Pengujian Kekerasan Rata-rata Al murni (INALUM) dan masing- masing Penambahan Unsur Cu Pengujian/Pengamatan Struktur Mikro Untuk menampakkan karakteristik struktur logam benda uji dilakukan proses etsa pada permukaan benda yang akan diuji. Etsa berupa HNO 3, 50 % akan bereaksi dan melarutkan
bagian-bagian tertentu,
sehingga secara mikro permukaan mengalami pengkorosian.
40
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 8. Pengujian Mikro Struktur Al Murni (INALUM) Pembesaran 500 X, Etsa NaOH 50 % dicampur Aquades
Gambar 9. Pengujian Mikro Struktur Al-1 wt% Cu Pembesaran 500 X, Etsa NaOH 50 % dicampur
Gambar 10. Pengujian Mikro Struktur Al-3 wt% Cu Pembesaran 500 X, Etsa NaOH 50 % dicampur Aquades
Gambar 11. Pengujian Mikro Struktur Al-7 wt% Cu Pembesaran 500 X, Etsa NaOH 50 % dicampur Aquades
41
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Dari hasil foto strktur mikro, bahwa pada Al murni (INALUM) dapat dilihat pada gambar 4.1, terlihat partikel-partikel berbentuk panjang-panjang (bercabang) seperti kolom akibat adanya perbedaan kecepatan pembekuan. Selama proses pembekuan berlangsung inti-inti kristal tumbuh. Bagian dalam coran mendingin lebih lambat daripada bagian luar, sehingga kristal-kristal dari inti asal mengarah ke bagian dalam coran. Kristal berbentuk dendritik dan tumbuh secara radial pada arah yang sama dengan aliran panas. Setelah penambahan 1 wt% Cu, (gambar 4.2, ) terlihat adanya perbedaan bentuk kristal pada batas butir, atom-atom Cu yang memiliki diameter atom dan struktur elektron yang berbeda dari atom-atom aluminium menciptakan gangguan pada kisikisi aluminium pada tingkat yang berbeda-beda pula. Atom-atom Cu berada dalam larutan atau mengendap dengan distribusi yang tidak merata. Morfologi kristal kolumnar (dendritik). Pada penambahan 3 wt% Cu (gambar 4.3) terlihat atom-atom Cu berbentuk memanjang yang terputus pada batas butir dan terjadi berbedaan ukuran relatif dendritik dan
terdistribusi tidak merata. Pada penambahan 7 wt% Cu nampak atom-atom Cu
terdistribusi hampir merata morfologi kolumnar dan dendritik. 5.
Kesimpulan Pada Al murni kekuatan
tarikrata-rata 8,765 Kgf/mm², pada penambahan 1 wt% Cu kekuatan tarik
rata- rata 12,26 Kgf/mm², pada penambahan 3 wt% Cu kekuatan tarik rata-rata 17,52 Kgf/mm² dan pada penambahan 7 wt% Cu kekuatan tarik rata-rata 19,73 Kgf/mm². Prosentase regangan rata-rata yang paling besar adalah Al murni 41,91 % dan yang paling kecil adalah pada penambahan 7 wt% Cu yaitu 4,983 %. Sedangkan pada penambahan 1 wt% Cu adalah 16,6 % dan pada penambahan 3 wt% Cu adalah 11,8%. Pada Al murni (INALUM) diperoleh Rata-rata kekerasan 39 BHN dengan penambahan 1 wt% Cu diperoleh 40 % BHN, 3 wt% Cu diperoleh 45 BHN dan 7 wt% Cu diperoleh 56 BHN. Kekerasan rata-rata tertinggi adalah pada penambahan 7 wt% Cu dan terendah pada Al murni. Peningkatan kekerasan dan kekuatan tarik pada penambahan 7 wt% Cu cukup besar tapi prosentase regangannya kecil, berarti bahwa paduan Al-Cu penambahan 7 wt% Cu getas. Penambahan Cu juga mempengaruhi struktur mikro, dimana makin banyak penambahan unsur Cu, nampak pula atom-atom Cu bertambah banyak mengendap pada kisi-kisi aluminium dan terdistribusi tidak merata. Tingkatan komposisi prosentase penambahan unsur Cu yang baik untuk Aluminium paduan dapat dilihat pada diagram fasa. Batas fasa Alpha yang kaya akan Cu terhadap garis eutektik dan garis liquidus pada komposisi Cu 5,6 wt% dan larutan Cu akan berdifusi pada larutan Aluminium dan menghasilkan larutan Alpha+Al. Jika lebih dari komposisi
tersebut, maka
larutan CuAl2 akan bersenyawa, sehingga akan
menghasilkan paduan yang rapuh (getas). Komposisi yang baik untuk paduan Aluminium, yaitu Aluminium lebih dari 90 %, Cu, 1 % sampai dengan 4 %, dan ditambah dengan paduan yang lain.
42
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Daftar Pustaka 1. American Society for Metals, Aluminium, Properties and Physical Metallurgi(Edisi Jhon E. Hatch) 2.
Sriati Djapri, Teknologi Mekanik, Erlangga Jakarta,1990
3.
Lawrence H. Van Vlack, Prof. DR, Ilmu dan Teknologi Bahan, Edisi kelima, Alih bahasa Ir. Sriati Djapri, ME, Mmet, Penerbit Erlangga Jakarta, 1992.
4.
William F. Smith, Principles of Materials Science and Engineering (Second Edition)
5.
http://gregoriusagung.wordpress.com/2009/11/22/ujiuji-kekerasan-dan-jomny test diakses 2 Januari 2010.
6.
http://aluminiumdanplastik.blogspot.com/2008/04/aluminium.htm, diakses pada 5 Januari 2010.
7.
http://www.world-aluminium.org diakses 25 Desmber 2009.
8.
Tata Surdia, Prof. Ir. Ms. Met E dan Chenji Chijiwa, Prof. Dr, Teknik Pengecoran Logam, PT. Pradnya Paramita Jakarta, 1986.
9.
Syukri, S. 1999. Kimia Dasar 2. ITB Press. Bandung.
43
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
FERMENTASI ETANOL MENGGUNAKAN GULA HASIL HIDROLISIS ENZIMATIS TEPUNG EMPULUR BATANG SAGU (Metroxylon sagu Rottb.) MENGGUNAKAN BEBERAPA Saccharomyces cerevisiae sp. Rudiyono Teknik Kimia - Fakultas Teknik - Universitas Pamulang ABSTRAK Penggunaan energi berbasis fosil semakin mendapatkan tantangan karena isu pemanasan global yang diakibatkannya. Bioetanol merupakan salah satu sumber energi alternatif yang dapat menggantikan minyak bumi. Bioetanol merupakan produk fermentasi yang dapat dibuat dari substrat yang mengandung karbohidrat. Tanaman sagu telah dikenal sebagai tanaman penghasil karbohidrat tertinggi bila dibandingkan dengan sumber karbohidrat yang lain. Saccharomyces cerevisiae dapat memproduksi etanol dalam jumlah besar dan mempunyai toleransi terhadap alkohol yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan etanol dengan konsentrasi tertinggi dari hasil hidrolisis secara enzimatis tepung empulur batang sagu menggunakan beberapa Saccharomyces cerevisiae sp. Galur tersebut antara lain Saccharomyces cerevisiae ATCC 9763, Saccharomyces cerevisiae KDR, Saccharomyces cerevisiae DI/P3GI, Saccharomyces cerevisiae Probiotik Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Fermentasi dilakukan selama 48 jam. Hasil penelitian menunjukkan kadar gula pereduksi hasil hidrolisis enzimatis sebesar 62,7% (b/v), dengan kadar glukosa awal pada proses fermentasi sebesar 6,08% (b/v). Galur Saccharomyces cerevisiae DI/P3GI pada waktu fermentasi 36 jam menghasilkan etanol dengan konsentrasi tertinggi yaitu sebesar 2,01% (v/v). Kata Kunci : Bioetanol, sagu, Saccharomyces cerevisiae, fermentasi, hidrolisis enzimatis . 1.
Pendahuluan Kebutuhan energi dunia termasuk Indonesia di dalamnya semakin meningkat dari tahun ketahun. Lebih
dari 80 % kebutuhan energi dunia dipenuhi oleh bahan bakar fosil yang berasal dari minyak bumi dan gas alam (Gozan, 2007). Penggunaan energi berbasil fosil semakin mendapatkan tantangan karena isu pemanasan global yang diakibatkannya (Puspitasari, 2009). Bioetanol merupakan salah satu sumber energi alternatif yang dapat menggantikan minyak bumi. Dalam kurun waktu 2007-2010, pemerintah menargetkan mengganti 1,48 miliar liter bensin dengan bioetanol sesuai peraturan pemerintah No. 5/2006. Diperkirakan kebutuhan bioetanol akan meningkat 10 % pada tahun 2011-2015, dan 15 % pada 2016-2025. Pada kurun waktu 2007-2010 selama 3 tahun pemerintah memerlukan rata-rata 30.833.000 liter bioetanol per bulan. Saat ini bioetanol baru dapat dipasok sebanyak 137.000 liter tiap bulannya (0,4 %). Hal ini berarti tiap bulan pemerintah kekurangan pasokan 30.696.000 liter bioetanol sebagai bahan bakar (Nurianti, 2007 dalam Bustaman, 2008). Potensi areal sagu di Indonesia sangat luas sekitar 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha total areal sagu dunia. Areal sagu ini terpusat di Papua dengan luas sekitar 90% dari luas areal sagu Indonesia (Budianto, 2003;). Untuk itu tanaman sagu memiliki potensi yang besar sebagai bahan baku pembuatan etanol. Proses hidrolisa untuk memproduksi monomer-monomer gula dari selulosa dan hemiselulosa dapat berlangsung melalui proses hidrolisa asam encer, asam pekat maupun enzimatik (Anonim1, 2009). Hidrolisa enzimatik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan hidrolisis asam yaitu kondisi hidrolisis yang lunak, hasil hidrolisis tinggi (Taherzadeh dan Karimi, 2006 dalam isroi), konversi lebih tinggi , menghasilkan produk samping yang minimal, kebutuhan energi dan kondisi operasi yang relatif lebih rendah (Ikhsan, dkk).
44
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Mikroorganisme yang banyak digunakan dalam fermentasi gula menjadi etanol adalah dari jenis Saccharomyces cerevisiae yang mampu hidup dalam keadaan konsentrasi alkohol (etanol) yang tinggi, memiliki hasil dan tingkat fermentasi etanol yang juga tinggi (Rouhollah,et al., 2007). Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai penggunaan Saccharomyces cerevisiae sp. dari berbagai galur dan sumber serta pemanfaatan sagu untuk produksi etanol dengan hidrolisis secara enzimatis. Maksud dari penelitian ini adalah mengetahui proses hidrolisis enzimatis tepung empulur batang sagu untuk menghasilkan gula yang bisa dikonversi oleh Saccharomyces cerevisiae sp. menjadi etanol. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan etanol dengan konsentrasi tertinggi dari hasil hidrolisis secara enzimatis tepung empulur batang sagu menggunakan beberapa Saccharomyces cerevisiae sp. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi produsen etanol tentang sumber karbohidrat dari empulur batang sagu yang dihidrolisis secara enzimatis dan selanjutnya dapat difermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae sp. menjadi etanol. Serta memberikan sumbangan informasi bagi para peneliti dalam meningkatkan pemanfaatan dan pengolahan sumber daya alam di Indonesia. Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Analitik Balai Pengkajian Bioteknologi – BPPT, Kawasan PUSPIPTEK Serpong. 2.Landasan Teori Bioetanol merupakan produk fermentasi yang dibuat dari substrat yang mengandung karbohidrat (Judoamidjojo dkk., 1992). Sagu merupakan tanaman yang dapat memberikan produksi karbohidrat tertinggi bila dibandingkan dengan sumber karbohidrat yang lain. Dalam setiap 100 gram sagu terkandung 85,9 gram karbohidrat, sedangkan pada beras sebesar 80,4 gram, jagung 71,7 gram, singkong 23,7 dan kentang 23,7 gram (Budianto, 2003). Batang sagu merupakan bagian yang terpenting, karena merupakan tempat penyimpanan pati atau karbohidrat. Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat dan pati (Haryanto dan Pangloli, 1992). Kandungan pati (karbohidrat) tersimpan di dalam batang (Bustaman, 2008). Pati sagu dalam setiap 100 gram terkandung 85,9 gram karbohidrat, 1,4 gram protein, 0,2 gram lemak, 15 mg Ca, dan 1,4 mg Fe serta menghasilkan 357 kalori (Budianto, 2003). Pati sagu mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin sehingga bersifat lebih lekat. Pati diperoleh dari hasil ekstraksi yang kemudian menghasilkan ampas serta serat lain (Yasin, 2003). Proses hidrolisa untuk memproduksi monomer – monomer gula dari selulosa dan hemiselulosa dapat berlangsung melalui proses hidrolisa asam encer , asam pekat maupun enzimatik.(Anonim1, 2009). Hidrolisis menggunakan asam dapat dilakukan dengan menggunakan asam lemah ataupun asam kuat. Asam kuat yang sering digunakan antara lain asam klorida (HCl) dan asam sulfat (H2SO4). Asam lemah yang digunakan misalnya asam sulfida (H2S) (Winarno, 1983). Hidrolisis secara enzimatis dapat dilakukan dengan menggunakan enzim hidrolase berupa enzim αamilase, hemiselulase, selulase, dan amiloglukosidase (Gerhartz, 1990 dalam Supitasari, 2008). Hidrolisis hemiselulosa akan menghasilkan unit gula yang dapat dibagi menjadi kelompok pentosa dan heksosa. Unit gula pentosa meliputi silosa dan arabinosa. Unit gula heksosa meliputi glukosa, galaktosa, manosa dan sedikit
45
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
ramnosa (Taherzadeh dan Karimi, 2007). Unit gula pentosa maupun heksosa yang didapat dipergunakan dalam proses fermentasi pembuatan etanol. Gelatinisasi berperan untuk memudahkan kerja enzim dalam menghidrolisis subtrat (Muchtadi dkk., 1992). Menurut Supitasari (2008), Konsentrasi gula pereduksi optimum terjadi pada temperatur 110°C. Proses hidrolisa bertujuan untuk memecahkan ikatan dan menghilangkan kandungan lignin dan hemiselulose serta merusak struktur kristal selulose menjadi senyawa gula sederhana (sun dan Cheng, 2002 dalam Rachmaniah et.al. ) Proses hidrolisis dengan enzim dibagi menjadi tiga tahapan, yang pertama adalah likuifikasi, yaitu proses pencairan gel tepung empulur sagu dengan menggunakan enzim α-amilase (Judoamidjojo dkk., 1992). Tahap kedua adalah hidrolisis hemiselulosa menggunakan enzim hemiselulase. Tujuan pemberian enzim hemiselulase adalah untuk mengubah hemiselulosa menjadi unit gula yang lebih sederhana baik berupa unit gula heksosa maupun unit gula pentosa. Kemudian dilanjutkan dengan sakarifikasi, yaitu pemecahan hasil likuifikasi menjadi glukosa dengan menggunakan enzim amiloglukosidase (Judoamidjojo dkk., 1992). Fermentasi gula-gula sederhana menjadi etanol biasanya dilakukan oleh mikroorganisme dari kelompok bakteri, khamir dan kapang (Lynd, 1996 dalam Isroi). Jenis Khamir (yeast) yang umum digunakan dalam industri pembuatan minuman beralkohol, gliserol dan enzim invertase adalah Saccharomyces cerevisiae. Sebagian besar yeast tidak memproduksi etanol sebanyak yang dihasilkan oleh Saccharomyces cerevisiae (Balia, 2004) Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi etanol dengan menggunakan yeast. Saccharomyces cerevisiae menghasilkan enzim Zimase dan Invertase. (Judoamidjojo dkk., 1992). Enzim invertase digunakan untuk mengkonversi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Dilanjutkan dengan enzim zimase, untuk mengkonversi glukosa menjadi etanol dan CO2 (Bahl dan Arun, 1979). Reaksinya adalah sebagai berikut: Inversi C12 H22 O11 + H2O
Zimase
C6 H12 O6
C6 H12 O6 +
C6 H12 O6
2 C2 H5 OH + 2 CO2
Pada dasarnya fermentasi yang terjadi pada gula seperti glukosa, fruktosa, sukrosa dan maltosa tersebut dirubah menjadi etanol dan CO2. Disamping itu juga terbentuk hasil akhir fermentasi yang berupa asam asetat, ester, dan asetaldehida yang diproduksi oleh beberapa yeast (Balia, 2004). Peningkatan kosentrasi etanol menunjukkan kadar glukosa yang semakin berkurang dan pembentukan produk samping (Gozan, 2007). Kosentrasi pada setiap metabolit yang dihasilkan Saccharomyces cerevisiae sangat dipengaruhi oleh strain dari yeast dan faktor –faktor lingkungan seperti ketersediaan oksigen, temperatur dan komposisi kimia dari zat untuk pertumbuhannya (Balia, 2004). Fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae menghasilkan etanol 0,32 g/L per gram glukosa (atau sebesar 62%) dengan konsentrasi etanol 14,25 g/L dan produktivitas etanol adalah 0,88g/L/jam (Rouhollah et al., 2007))
46
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
3.Metodologi Penelitian Bahan utama berupa empulur batang sagu.
Mikroorganisme yang digunakan adalah galur
Saccharomyces cerevisiae ATCC 9763, Saccharomyces cerevisiae KDR, Saccharomyces cerevisiae DI/P3GI, Saccharomyces cerevisiae Probiotik. diperoleh dari Balai Pengkajian Bioteknologi – BPPT. Bahan lainnya antara lain : enzim α-amilase, enzim amiloglukosidase, enzim hemiselulose, enzim selulosa, glukosa monohydrate, HCl, NaCl, NaOH, (NH4)2SO4, peptone, pereaksi DNS, larutan standar etanol, asam laktat, asam acetate, Potato dextrose Agar (oxoid), dan Yeast Extract (oxoid). Alat yang digunakan antara lain: autoklaf, High Performance Liquid Chromatography (HPLC) Waters 1525 EF (Aminex HPX-87H), laminar air flow, mikropipet, neraca analitik,
Shaker, pH meter,
Spektrofotometer merk UV-160A SHIMADZU dan Water Bath Shaker. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif yang dilakukan di laboratorium. Gula yang digunakan sebagai sumber karbon dalam proses fermentasi adalah hasil hidrolisis enzimatis tepung empulur batang sagu. Sebelumnya tepung empulur batang sagu digelatinisasi dengan konsentrasi empulur 10% (b/v). Tahap hidrolisis terbagi menjadi tiga proses, yaitu likuifikasi, hidrolisis hemiselulosa dan sakarifikasi. Proses likuifikasi menggunakan enzim α-amilase, hidrolisis hemiselulosa dilakukan dengan menggunakan enzim hemiselulase, sedangkan sakarifikasi menggunakan kombinasi enzim selulase dan enzim amiloglukosidase. Hasil hidrolisis kemudian disentrifuse dan disaring, diperoleh hidrolisat tepung empulur batang sagu yang digunakan untuk proses fermentasi etanol. Parameter yang diukur pada tahap ini adalah Konsentrasi gula pereduksi. Parameter yang diukur pada tahap fermentasi adalah konsentrasi etanol yang dihasilkan, kosentrasi glukosa, konsentrasi gula pereduksi sisa, perubahan pH selama fermentasi, kosentrasi asam asetat dan konsentrasi asam laktat. Proses Fermentasi Masing-masing galur Saccharomyces cerevisiae sp. terlebih dahulu diremajakan dan diperbanyak pada Potato Dextrose Agar (PDA) agar miring. Khamir ini diambil sebanyak 1 ose dan diinokulasikan pada medium agar miring tersebut dengan cara digesek pada medium secara aseptik. Kemudian biakan diinkubasi pada suhu 280C selama 24 jam. Pembuatan starter diawali dengan penyediaan suspensi mikroba yang dibuat dengan cara menambahkan 2 ml larutan NaCl fisiologis steril ke dalam agar miring. Kemudian 1 ml suspensi [1% (v/v)] dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml yang telah berisi medium starter hingga volume akhir mencapai 100 ml. Kemudian diinkubasi pada suhu 28-300C selama 20 jam menggunakan orbital shaker dengan kecepatan 150 rpm. Medium starter menggunakan Potato Dextrose Yeast (PDY) dengan komposisi glukosa 20 gr/lt; yeast ekstrak 5 gr/lt; dan ekstrak kentang 20% 1 lt pada pH 5,6 ± 0.2. Sebelum proses fermentasi, gula hasil hidrolisis enzimatis tepung empulur batang sagu yang akan digunakan sebagai subtrat fermentasi dimasukkan nutrisi tambahan ammonium sulfat [(NH4)2 SO4 ] sebanyak 40 gr/lt dan Peptone 10 gr/lt dengan pH optimum sesuai dengan mikroorganisme fermentatif yang digunakan, yaitu 5.0. Selanjutnya substrat fermentasi sebanyak 90 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml.
47
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Rancangan penelitian untuk fermentasi oleh masing-masing galur Saccharomyces cerevisiae ATCC 9763,
Saccharomyces cerevisiae KDR, Saccharomyces cerevisiae DI/P3GI, Saccharomyces cerevisiae
Probiotik. adalah sebanyak 10% [v/v (10ml)] starter dimasukkan ke dalam substrat fermentasi sehingga volume total menjadi 100 ml. Substrat fermentasi tersebut kemudian diinkubasi sambil dikocok (shake-incubation) pada suhu 28-300C selama 48 jam dengan kecepatan agitasi 150 rpm. Selama inkubasi, sampel sebanyak 7,5 ml diambil secara aseptik dalam laminar airflow setiap 12 jam (12; 24; 36 dan 48 ). Konsentrasi etanol, glukosa, asam asetat dan asam laktat diukur menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Kondisi HPLC yang dipergunakan: Kolom Sampel inject
: Biorad Animex HPX-87H : 10µl
Fase gerak Flow rate
: 0, 008 N H2SO4 : 0,6 ml/menit
Temperatur kolom dan detektor
: 35 0 C
Detektor
: RI WATERS 2414 dan PDA WATERS 2966
Pompa
: Waters 1525 EF
Standar etanol, asam asetat dan asam laktat
: 0.5 % (v/v)
Standar glukosa
: 0.6 % (b/v)
Metode yang digunakan untuk mengukur konsentrasi gula pereduksi adalah metode DNS (Apriyantono, 1989). Pertama sampel diambil dan diencerkan sesuai dengan perkiraan konsentrasi gula pereduksi yang terdapat dalam sampel. Sampel yang telah diencerkan ini diambil sebanyak 1 ml, kemudian tambahkan 3 ml pereaksi DNS, dihomogenkan dengan vorteks, dan diinkubasi pada penangas air bertemperatur
100ºC
selama 5 menit. Selanjutnya didinginkan dalam penangas es dan dilakukan pengukuran konsentrasi gula pereduksi dengan cara dibaca absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Sebagai blanko dibuat sama seperti prosedur ini kecuali sampel diganti dengan akuades. Kurva standar dibuat dari larutan glukosa standar 200, 300 dan 400 ppm dengan cara seperti prosedur penetapan sampel. Bila sampel yang akan diuji keruh, maka sampel disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 20 menit. Supernatan diambil sebagai sampel untuk penetapan gula pereduksi. Kadar keasaman atau pH diukur dengan menggunakan pH meter. pH meter yang akan digunakan terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan buffer pH 4 dan 7. Selanjutnya probe dicelupkan dengan posisi tegak pada medium atau substrat yang akan diukur pHnya. Setelah probe dicelupkan dan ditunggu beberapa saat, maka pH meter akan menunjukkan nilai pH dari medium atau substrat yang diukur. 4.Hasil Dan Pembahasan Setelah selesai seluruh proses hidrolisis, dihasilkan gula pereduksi sebesar 62,7%.(Lampiran 3). Dalam subsrat fermentasi terdapat gula pereduksi sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan mikroorganisme fermentatif dan pembentukan etanol. Selain karbon, mikroorganisme fermentatif juga membutuhkan nutrisi lain untuk pertumbuhannya salah satu yang terpenting adalah nitrogen. Kebutuhan nitrogen ini dapat dipenuhi dengan penambahan garam ammonium sulfat [(NH4)2SO4] dan pepton.
48
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Substrat fermentasi yang telah diberi tambahan nutrisi tersebut kemudian diatur nilai pH-nya sampai 5. Hal ini dilakukan agar mikroorganisme fermentatif dapat tumbuh secara optimum . Menurut Gozan (2007), bahwa pH 5 merupakan kondisi yang lebih optimum daripada pH 4 dan 4,5 dari yeast Saccharomyces Cerevisiae. Kadar glukosa awal yang dipergunakan pada proses fermentasi sebesar 6,08% (b/v). (Lampiran 5). Menurut Budianto (2003), konsentrasi gula yang optimum untuk menghasilkan kadar alkohol yang optimum 14 28 % (b/v). Walaupun secara teoritis jumlah kadar gula dirasa tidak maksimal namun proses fermentasi tetap berjalan. Hasil Fermentasi Saccharomyces cerevisiae Konsentrasi 7 6 5 4 3 2 1 0 0 12 24 36
DI/P3GI
Glukosa Etanol pH Asam asetat
48
Waktu (jam)
Grafik 5.1 Hasil Fermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae DI/P3GI Berdasarkan grafik 5.1 bahwa terjadi penurunan konsentrasi glukosa seiring dengan kenaikan konsentrasi etanol pada tiap bertambahnya waktu fermentasi. Konsentrasi glukosa menurun dari waktu ke waktu hingga pada jam ke-24 jam tidak ditemukan lagi konsentrasi glukosa pada substrat fermentasi. Hal ini juga diiringi dengan terbentuknya etanol pada konsentrasi tertinggi didalam substrat fermentasi yaitu sebesar 2,01% (v/v) pada jam ke-36 Namun masih tersisa gula pereduksi sebesar 2,72% (b/v). (lampiran 8) sehingga dapat digunakan oleh yeast untuk pembentukan etanol. Secara teoritis pada reaksi pembentukan etanol dari glukosa, 1 mol glukosa akan membentuk 2 mol etanol dan 2 mol CO2 serta ATP (energi) sehingga berdasarkan bobotnya secara teoritis 1 gram glukosa akan menghasilkan 0,51 gram etanol (Judoamidjojo dkk., 1992) atau dengan perbandingan 100 bagian gula akan menjadi 51,1% bagian etanol dan 48,9% menjadi CO2 (Amerine dkk., 1967). Bila dikaitkan dengan teori maka secara kasar dapat diperoleh dari 6,08% kadar glukosa dalam larutan hidrolisat akan terbentuk etanol dengan konsentrasi 3,11% dan karbondioksida sebesar 2,97%. Namun dalam prakteknya konsentrasi etanol yang terbentuk hanya mampu mencapai tingkat 2,01%, hal ini dapat terjadi karena selain menghasilkan etanol dihasilkan senyawa sampingan pula berupa asam-asam organik seperti asam laktat, asam piruvat, asetatdehid, asam asetat dan gliserol. Peningkatan kosentrasi etanol menunjukkan kadar glukosa yang semakin berkurang dan pembentukan produk samping berupa asam asetat. Konsentrasi asetat tertinggi yang dihasilkan pada fermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae DI/P3GI sebagai produk samping sebesar 0,3% (v/v) pada jam ke -48. Pada proses pembentukan etanol menghasilkan senyawa-senyawa berupa asam yang mampu menurunkan pH hidrolisat. Dua aspek yang menghubungkan mikroorganisme dengan pH adalah perubahan pH
49
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
dari medianya disebabkan aktivitas mikroorganisme itu sendiri. Mikroorganime dapat memproduksi asam yang membuat keadaan pH semakin rendah. Selain itu penurunan pH tersebut dapat terjadi karena penggunaan sumber nitrogen berupa garam ammonium sulfat. Perubahan pH yang terjadi selama proses fermentasi disebabkan karena H+ dilepaskan selama konsumsi NH4+ dan dikonsumsi selama metabolisme NO3- dan penggunaan asam amino sebagai sumber karbon.. Semakin banyak biomassa dan bertambahnya waktu fermentasi menyebabkan ion H+ ini semakin banyak dalam substrat. Oleh karena itu, pH substrat menjadi menurun. Nilai pH yang menurun tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dan pembentukan produk Konsentrasi etanol hasil fermentasi
2 (%)
Konsentrasi etanol
2.5 SC. DI/P3GI SC. KDR
1.5
SC. Probiotik
1
SC. ATCC 9763
0.5 0 0
12
24
36
48
Waktu (Jam)
Grafik 5.2 Konsentrasi Etanol oleh galur Saccharomyces cerevisiae sp. Berdasarkan grafik 5.2 diatas, dapat diketahui galur Saccharomyces cerevisiae DI/P3GI menghasilkan konsentrasi etanol dengan kadar tertinggi yaitu sebesar 2.01 % (v/v). Konsentrasi etanol dipengaruhi oleh waktu fermentasi. Konsentrasi etanol optimum dicapai pada waktu fermentasi jam ke-36 dan menurun pada jam ke48. Hal ini diduga pada jam ke-12 sampai dengan jam ke-24 sel yeast mulai memasuki fase eksponensial dimana etanol sebagai metabolit primer dihasilkan. Pada saat jam ke-36 sel yeast berada pada fase logaritmik atau fase untuk pembentukan etanol yang paling tinggi sedangkan antara jam ke-36 sampai ke-48 sel-sel mulai mamasuki fase stasioner. Untuk galur Saccharomyces cerevisiae ATCC 9763 proses pembentukan etanol sama dengan galur Saccharomyces cerevisiae DI/P3GI konsentrasi yang optimum dicapai pada waktu fermentasi jam ke-36 dan menurun pada jam ke-48. Saccharomyces cerevisiae ATCC 9763 menghasilkan konsentrasi etanol sebesar 1,84% (v/v). Berbeda dengan galur sebelumnya galur Saccharomyces cerevisiae KDR menghasilkan konsentrasi etanol yang optimum pada waktu fermentasi jam ke-24. Hasil konsentrasi etanol yang dicapai sebesar 1,57% (v/v) Sedangkan galur Saccharomyces cerevisiae Probiotik hasil optimum dicapai pada jam ke-48 namun masih dapat mengalami penigkatan pada jam berikutnya. Hal ini menunjukkan pada jam ke-48 yeast memasuki fase eksponensial dimana etanol sebagai metabolit primer dihasilkan, kosentrasi etanol yang dihasilkan sebesar 1.04% (v/v) yang merupakan galur penghasil etanol terendah. Pembentukan etanol dalam jumlah yang relatif kecil dapat disebabkan pada proses fermentasi mempergunakan sumber karbon untuk berkembang biak saja.
50
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Konsentrasi glukosa(%)
Konsentrasi Glukosa Hasil fermentasi 7 6
SC. DI/P3GI
5 4 3
SC. KDR
2
SC. Probiotik
1 0 0
12
24
36
48
SC. ATCC 9763
Waktu (jam)
Grafik 5.3 Konsentrasi glukosa oleh galur Saccharomyces cerevisiae sp. Perubahan pH Hasil Fermentasi 6 SC. DI/P3GI
pH
5 4
SC. KDR
3 2
SC. Probiotik
1 0 0
12
24
36
48
SC. ATCC 9763
Waktu (jam)
Grafik 5.4 Perubahan pH oleh galur Saccharomyces cerevisiae sp. Berdasarkan grafik 5.2, 5.3 dan 5.4 pada semua galur Saccharomyces cerevisiae sp terjadi penurunan konsentrasi glukosa dan pH seiring dengan kenaikan konsentrasi etanol pada tiap bertambahnya waktu fermentasi. Penurunan konsentrasi glukosa yang terjadi menunjukkan mikroorganisme fermentatif menggunakan glukosa yang terkandung dalam substrat sebagai sumber karbon untuk memperbanyak massa sel dan menghasilkan metabolit selama fermentasi. Penurunan konsentrasi glukosa dan perubahan pH ini terjadi diduga berhubungan dengan aktivitas metabolik mikroorganisme fermentatif dalam biokonversi glukosa sebagai substrat menghasilkan metabolit selama proses fermentasi berlangsung. Selain menghasilkan etanol, pada proses fermentasi dihasilkan metabolit-metabolit lainnya berupa asam organik yang mampu menurunkan nilai pH substrat. Sejalan dengan pertumbuhan mikroorganisme fermentatif selama fermentasi, maka kebutuhan glukosa pun meningkat, akibatnya konsentrasi glukosa pada substrat menurun. Glukosa yang terkandung dalam substrat digunakan sebagai sumber karbon sehingga mikroorganisme dapat mensintesis energi melalui proses fermentasi etanol. Berdasarkan hasil pengukuran dengan HPLC ditemukan senyawa asam organik berupa asam asetat yang disajikan pada grafik 5.6 (lampiran 7). Sedangkan senyawa asam laktat tidak terbentuk pada semua galur Saccharomyces cerevisiae sp. selama proses fermentasi. Berdasarkan grafik 5.6 diatas, diketahui semua galur Saccharomyces cerevisiae sp. menghasilkan produk samping berupa asam asetat. Hasil samping yang terbentuk dengan konsentrasi tertinggi adalah galur Saccharomyces cerevisiae probiotik yaitu sebesar 0,33 % (v/v) yang merupakan galur penghasil etanol terendah. Konsentrasi tertinggi dihasilkan pada jam ke-12 dan pada saat tersebut konsentrasi etanol sebesar 0,2%. Kadar asetat yang lebih tinggi dibandingkan kadar etanol pada jam tersebut diduga menghambat pembentukan etanol selama fermentasi. Namun pada jam tersebut juga kadar glukosa masih tinggi sebesar
51
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
4,79% (b/v) sehingga masih digunakan oleh yeast untuk memperbanyak massa sel dan menghasilkan metabolit selama proses fermentasi, hingga jam ke-48 masih menunjukkan peningkatan. Untuk galur Saccharomyces cerevisiae ATCC
9763 dan Saccharomyces cerevisiae KDR produk
samping berupa asam asetat yang dihasilkan masing – masing sebesar 0,26% (v/v) dan 0,25% (v/v).
(%)
Konsentrasi asamasetat
Konsentrasi Asam asetat Hasil Fermentasi 0.35 0.3 0.25 0.2
SC. DI/P3GI SC. KDR
0.15 0.1 0.05 0
SC. Probiotik SC. ATCC 9763 0
12
24
36
48
Waktu (jam)
Grafik 5.6 Konsentrasi Asam Asetat oleh galur Saccharomyces cerevisiae sp.
5.Kesimpulan Berdasarkan penelitian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Hasil gula pereduksi hidrolisa enzimatis dengan kombinasi enzim α-amilase, enzim hemiselulase, enzim selulase serta enzim amiloglukosidase dari empulur batang sagu sebesar 62,7% (b/v) dapat digunakan untuk fermentasi etanol.
2.
Galur Saccharomyces cerevisiae DI/P3GI pada waktu fermentasi 36 jam menghasilkan etanol dengan konsentrasi tertinggi yaitu sebesar 2,01% (v/v)
Saran Pada optimasi proses fermentasi selanjutnya dilakukan penambahan glukosa saat penurunan konsentrasi glukosa untuk meningkatkan konsentrasi etanol. Daftar Pustaka 1.
Apriyantono, A. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
2.
Bahl, B.S. dan Arun, B. 1979. Advanced Organic Chemistry. S., Chand & Company LTD. New Delhi
3.
Balia, R. L. 2004. Potensi dan Prospek Yeast (Khamir) Dalam Meningkatkan Diversifikasi Pangan di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Mutu Pangan pada Fakultas Peternakan. UNPAD. Bandung.
4.
Bustaman, S. 2008. Strategi Pengembangan Bio-etanol Berbasis Sagu di Maluku, Perspektif Vol. 7. No 2. hal 65-79.
5.
Gozan, M., M., Samsuri., Fani, S. T., Bambang, P., M. Nasikin. 2007. Sakarifikasi dan Fermentasi Bagas Menjadi Ethanol Menggunakan Enzim Selulosa dan Enzim Sellobiose. J., Teknologi. Tahun XXI. No 3. hal 209 – 215.
6.
Judoamidjojo, M., A. A. Darwis, dan E. G. Sa’id. 1992. Teknologi Fermentasi. Penerbit Rajawali. Jakarta.
52
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
7.
Retno, D. E., Enny, K. A. Dan Fadilah. 2009. Studi Awal Reaksi Simultan Sakarifikasi dan Fermentasi Tepung Sorghum (Sorghum Bicolor L. Moench) dengan Katalis Enzim Glucoamylase dan Yeast (Saccharomyces cerevisiae). Seminar Nasional Tehnik Kimia Indonesia. 19-20 oktober 2009. Bandung.
8.
Supitasari, N.S. 2008. Studi Hidrolisis Tepung Empulur Batang Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) Dengan Menggunakan Asam Sulfat Dan Enzim Serta Fermentasi Hidrolisatnya Menjadi Asam Laktat oleh Lactobacillus bulgaricus ssp delbrueckii FNCC 0035. Universitas Padjadjaran. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Jurusan Biologi. Skripsi.
Pertanyaan dan jawaban. Nama Penyaji : Rudiyono. Penanya : Suwoto. Berapa jumlah sagu yang dibutuhkan untuk melakukan pengujian dan berapa jumlah etanol yang didapat agar efisien untuk diproduksi ? Jawaban : Empulur batang sagu yang digunakan pada penelitian sebanyak 31,1 gr/250 gr dengan 4 kali pengulangan. Secara teori 1 mol glukosa menghasilkan 2 mol etanol dan 2 mol CO2 serta ATP atau 100 bagian glukosa akan menjadi 51,1% bagian etanol dan 48,9% menjadi CO2. Namun dalam penelitian ini tidak tercapai, hal ini dapat terjadi karena selain menghasilkan etanol dihasilkan senyawa sampingan yaitu asam asetat. Penanya : Teguh S. Dari grafik dan table menunjukkan PH berada pada nilai awal 5 daan turun menjadi 4. Apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Jawaban : Dua aspek yang menghubungkan mikroorganisme dan PH adalah perubahan PH dari medianya yang disebabkan aktivitas mikroba itu sendiri. Mikroorganisme dalam proses fermentasi menghasilkan etanol , selain itu dihasilkan asam asetat- asam organic. Pada penelitian ini dihasilkan asam asetat yang membuat keadaan PH semakin rendah. Penanya : Burhanudin. Apakah hanya sagu saja yang bisa digunakan bioetanol? Bahan baku apa saja yang bisa digunakan sebagai bioetanol selain sagu? Jawaban : Tidak . Bahan lain yang bisa digunakan sebagai bioetanol antara lain : singkong, bagasse, bahan-bahan yang mengandung lingo selulose seperti jerami padi, ampas tebu. Penanya : Irwan Mulyadi. Dalam instrument spektrofotometer menggunakan larutan standar apa, blangko dari larutan apa dan mengapa dalam kurva kalibrasi hanya menggunakan 4 konsentrasi? Jawaban : Larutan standar yang digunakan adalah glukosa dengan standar 200 ppm, 300 ppm, 400 ppm dan 500 ppm. Blangko dari larutan air. Kurva kalibrasi hanya menggunakan 4 konsentrasi karena hanya untuk melihat grafiknya saja dan juga untuk penghitungan gula pereduksi hanya digunakan satu standar.
53
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Analisis Struktur Kristal Paduan AlSi Hasil Proses Cor Perah Dengan Metode Rietveld
Sunardi1,2), Hery Adrial3) Jurusan Teknik Mesin Universitas Pamulang 2) Pusat Pengembangan Energi Nuklir - BATAN 3) Puat Teknonogi Reaktor dan Keselamatan Nuklir – BATAN 1)
Abstrak Analisis Struktur Kristal Paduan AlSi Hasil Proses Cor Perah Dengan Metode Rietveld. Bahan piston komersial kualitas terbaik hasil daur ulang dengan proses cor perah telah berhasil diproduksi pada p = 300 kgf/cm2. Data intensitas difraksi bahan piston tersebut diukur dengan Difraktometer Sinar-X (XRD) P3IBBATAN. Tinggi puncak intensitas difraksi sesudah cor perah menunjukkan kenaikan dalam jumlah ribuan cacahan dan berbeda dalam bentuk atau lebar puncak. Hal ini menunjukkan adanya structure rearrangemnet, atau penempatan posisi atom Al dan Si yang lebih teratur pada saat pendinginan. Analisis struktur fasa Al (kubik) dan Si (kubik diamond) sebelum dan sesudah cor perah, dengan metode Rietveld telah dilakukan. Hasil penghalusan pola difraksi kedua fasa tersebut, menunjukkan bahwa data parameter struktur hasil cor perah telah mengalami perubahan. Fasa Al (simetri grup ruang F m 3 m No.225) diperoleh nilai parameter kisi a, menaik dan kerapatan menurun dalam unit sel masing-masing dari a = 4,0496((8)Ǻ naik menjadi 4,0505((3) Ǻ, dan kerapatan dari 2, 6986 g/cm3 turun menjadi 2, 6968 g/cm3. Sedangkan untuk fasa Si (simetri grup ruang F d 3 m No. 227) sebaliknya masing-masing dari a = 5,435((2)Ǻ turun menjadi 5,4305((4) Ǻ, dan kerapatan dari 3, 3231 g/cm3 naik menjadi 3, 3293 g/cm3 dalam unit sel. Ukuran partikel masing-masing fasa naik dari 58 menjadi 87 nm (fasa Al) dan dari 63 menjadi 99 nm (fasa Si). Paduan AlSi termasuk hypo-eutektic karena mengandung fraksi massa Si = 7,14 % dan Al =92,86%. Daur ulang bahan piston komersial bekas dengan metode proses cor perah dapat meningkatkan kualitas produk piston komersial.
1.Pendahuluan Pengecoran adalah suatu proses penuangan material dalam fase cair ke dalam suatu cetakan dan membiarkan membeku untuk menghasilkan suatu produk yang diinginkan. Proses transisi dari fase cair ke fase padat dilakukan melalui pemanasan dan pendinginan, pelarutan dan pengendapan, atau melalui reaksi kimia, sesuai dengan karakteristik material tersebut. Pengecoran logam adalah suatu pengecoran dengan menggunakan logam sebagai materialnya [1]. Metode Pressure Die Casting [1] adalah salah satu metode pengcoran melalui wadah cetakan sambil diberikan tekanan atau disebut metode cor perah. Keuntungan utama metode ini adalah bahwa ia mampu menghasilkan hasil coran yang bentuknya sangat kompleks, dengan tingkat pencapaian kehalusan permukaan produk akhir menjadi prasarat yang utama. Peralatan yang digunakan relatif dederhana, biaya produksi murah dan waktu relatif singkat. Produk paduan AlSi bahan piston
pada otomotif diproduksi menggunakan teknik pengecoran graviti
[2].Teknik pengecoran graviti banyak mengakibatkan terbentuknya cacat tuang yang berupa pori (porous). Hal ini disebabkan oleh dinding cetakan yang dingin, sehingga bagian logam cair yang lebih dahulu mengenai dinding cetakan langsung membeku. Pembekuan yang cepat dan proses pendinginan yang tidak merata mengakibatkan sejumlah gas terperangkap membentuk pori. Teknik pengecoran cara perah disingkat cor perah merupakan alternatif untuk mengurangi porous yang mungkin terbentuk. Pengecoran cara perah merupakan penempaan logam cair (liquid metal forging) yang menempati wadah cetakan sambil dipanaskan dan ditekan dengan tekanan tinggi [3]. Pemanasan wadah cetakan
54
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
dimaksudkan agar logam cair tidak langsung membeku, sehingga atom atom mempunyai kesempatan untuk menyusun dan mengatur diri dan membentuk butiran yang teratur dan homogen. Penggunaan teknik tekanan tinggi pada proses solidifikasi dapat megurangi gas yang terjebak selama proses pembekuan. Keberadaan gas tersebut adalah sebagai akibat dari terlarutnya sejumlah gas hidrogen dalam logam cair ketika mengisi wadah cetakan. Pemanasan wadah cetakan disertai tekanan pada proses pengecoran dapat megurangi pori yang terbentuk [4], sehingga paduan AlSi bahan piston yang dihasilkan dapat dipakai dengan usia lebih lama dibandingkan dengan bahan piston produk teknik cor graviti yang masih mengandung sejumlah pori. Berdasarkan diagram fasa [4] paduan AlSi yang mengandung Si ≤ 8 % atom disebut sebagai hypo-eutectic terdiri dari dendrit aluminium primer yang diselingi oleh campuran eutektik aluminium dan silikon. Untuk 12 % Si seluruhnya termasuk tipe eutektik yang sederhana, sedangkan untuk paduan hyper-eutectic mengandung 20 % Si yang terdiri dari eutectic dan silikon primer yang berbentuk equexed berwarna kehitaman. Sifat paduan AlSi dapat diperbaiki oleh perlakuan panas dan diberikan sedikit unsur paduan. Umumnya dipakai unsur tambahan paduan 0,15-0,40 Mn dan 0,5 % Mg serta Cu & Ni untuk memberikan kekerasan pada saat panas, bahan ini biasa dipakai untuk torak motor. Dalam penelitian terdahulu telah berhasil dibuat bahan piston hasil cor perah dan karakterisasi sifat mekanik, struktur mikro, dan porositas telah dipelajari oleh Elman Panjaitan dan Wagiyo H [2]. Berdasarkan data kerapatan produk cor perah telah diperoleh informasi paduan AlSi mempunyai kerapatan dan porositas lebih baik dibanding bahan piston hasil produksi cara graviti. Disamping itu analisis struktur (XRD) bahan piston hasil cor perah dengan cara Hanawalt pada berbagai tekanan telah pula dipelajari oleh Dwimaya Antarini [4]. Berdasarkan data pola difraksi hasil pengukuran dengan Difraksi Sinar-x (XRD) di P3IB-BATAN dan struktur mikro diperoleh informasi bahwa struktur kristal paduan AlSi sebelum dan sesudan proses cor perah tidak berubah, yaitu bersistim kisi Bravais FCC, serta paduan AlSi produk cor perah memiliki struktur mikro lebih homogen dan tidak terlihat porositas terlokasi yang terdiri dari dendrit aluminium primer diselingi oleh campuran eutektik dan silikon. Pengamatan struktur mikro hasil proses squeeze castig dengan beban penekanan 130 Mpa telah dipelajari oleh Mohammad Dani, dkk [6], hasilnya mengindikasikan pola struktur hyper-eutectic. Namun hasil penelitian ini belum dapat menunjukkan adanya suatu perbedaan yang merupakan ciri khusus struktur kristal paduan AlSi tersebut. Oleh karena itu penelitian selanjutnya ditujukkan pada cara analisis struktur kristal dengan metode Rietveld, yaitu data intensitas difraksi produk cor perah dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Sampel yang dipilih untuk diteliti adalah beberapa sampel hasil produk cor perah dan tanpa perlakuan dari berbagai tekanan (P dalam kgf/cm2) yang merupakan produk cor perah harapan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan fasa struktur kristal dan kandungan fraksi massa tiap fasa pada bahan piston hasil cor perah dengan metode Rietveld. Dilakukan pula analisis ukuran butir berdasarkan pendekatan Scherer [5]. 2.Metodologi Penelitian Bahan yang digunakan adalah piston kendaraan roda dua bekas pakai
merek Honda yang
didistribusikan PT. Astra Internasional Tbk. Bahan piston dipotong-potong dalam keping-keping kecil (bulk) , selanjutnya dilelehkan dalam tungku Ashing Furnace Type-6000 (Thermolyne Sybron) pada suhu 750 oC. Proses pengecoran perah pada berbagai
55
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
tekanan ( p = 150, 200, 250, 300 dan 400 kgf/cm2 ) dilakukan pada kondisi suhu cetakan (dies) 400 oC dan waktu tekan selama 5 menit. Hasil pengecoran berupa pelet dengan diameter 20 mm tebal ± 7,5 mm, seperti terlihat pada Gambar 2. Produk cor perah diberi perlakuan panas pelarutan (solid solution treatment) pada temperatur 400 oC selama 2 jam yang diikuti pendinginan diudara sampai dengan suhu ruang 25 oC. Cuplikan bahan piston dalam bentuk serbuk pada berbagai tekanan yang digunakan dalam percobaan ini sebanyak 7 (tujuh) sampel terdiri dari cuplikan sebelum cor perah sebagai kontrol dan cuplikan hasil cor perah pada p = 150, 200, 250, 300 dan 400 kgf/cm2. Untuk mengetahui lebih jauh data sifat struktur dari cuplikan tersebut telah dilakukan pengambilan data intensitas difraksi menggunakan Difraktometer Sinar-x (XRay Diffractometer, XRD) buatan Shimadzu Type ZD-610 di P3IB-BATAN. Data difraksi diukur pada suhu ruang. Data intensitas difraksi selanjutnya dianalisis dengan metode Rietveld menggunakan program RIETAN. 3.Hasil Dan Pembahasan Untuk menentukan struktur kristal bahan piston diasumsikan bahwa Aluminium (Al) berjari-jari-atom 0,143 nm, pada suhu kamar memiliki sistim kristal kisi Bravais kubik, Face Centered Cubic (FCC), grup ruang F m 3 m, No. 225, posisi Wyckoff 4a dengan parameter kisi pada suhu ruang 25 o C a = 0,40496 nm. Jari-jari atom Silikon (Si) adalah 0,117 nm, berstruktur kubik diamond, grup ruang F d 3 m no. 227, posisi Wyckoff 8a dengan parameter kisi pada suhu ruang 25 o C a = 0,54282 nm [5]. Penghalusan dengan RIETAN diasumsikan bahwa bahan ini mempunyai campuran dua fasa yaitu fasa Al sebagai fasa major dan fasa Si diamond sebagai fasa minor. Penghalusan fasa campuran Al dan Si sebelum perlakuan. Berdasarkan asumsi tersebut hasil akhir penghalusan campuran fasa Al dan Si pada bahan piston tanpa cor perah (tanpa perlakuan) di sajikan pada Gambar 3a. Bentuk profil pola difraksi ini menggambarkan kecocokan (fitting) intensitas difraktogram berkas sinar-x antara pengamatan dengan perhitungan
hasil
penghalusan RIETAN. Tanda (+) adalah data hasil pengamatan, garis malar (⎯) adalah data perhitungan, garis vertikal ( | ) dibawahnya adalah posisi puncak dan indeks fasa (indeks Miller) Al dan Si dan garis mendatar (⎯) dibawah garis vertikal adalah gambaran selisih pengamatan dengan perhitungan hasil penghalusan RIETAN. Profil pola difraksi hasil penghalusan RIETAN menunjukkan bahwa pada sekala 2θ = 20
o
– 80
o
terdapat 7
(tujuh) puncak Bragg lemah dengan intensitas rendah milik fasa Al dan Si dengan Backgroun yang tinggi. 3 (tiga) puncak Bragg milik fasa Si terletak pada bidang (111), (220) dan (311) masing-masing pada sudut 2θ = 28,600 o , 47,450 o dan 56,199 o, dan 4 (empat) puncak Bragg milik fasa Al terletak pada bidang (111), (200), (220), dan (311) masing-masing pada sudut 2θ = 38,600o, 44,850 o , 65,299 o dan 78,400 o. Penghalusan fasa campuran Al dan Si hasil cor perah. Hasil akhir penghalusan fasa campuran Al dan Si
bahan piston hasil cor perah (dengan perlakuan)
pada berbagai tekanan (p = 150, 200, 250, 300 dan 400 kgf/cm2), di sajikan pada Gambar 3 dan 4. Profil pola difraksi hasil penghalusan RIETAN menunjukkan bahwa pada sekala yang sama 2θ = 20 o – 80 o masih terdapat 7 (tujuh) puncak Bragg kuat dengan intensitas tinggi (jumlah nilai cacahan ribuan count) hal ini berarti bahan hasil cor perah dan adanya struktur rearrangement dengan Backgroun yang lebih rendah milik fasa Al dan Si. Perlakuan pada berbagai tekanan (P) dimaksud adalah untuk mencari produk cor perah yang terbaik pada tekanan tertentu. Pada penelitian terdahulu berdasarkan asumsi ditemukan cor terbaik pada tekanan 100 Mpa pada suhu cetakan 210oC [2] tanpa melakukan percobaan pada berbagai tekanan. Pada penelitian ini ditemukan
56
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
produk cor perah terbaik adalah pada tekanan 300 kgf/cm2 pada suhu dies (cetakan) 400oC dengan waktu tekan selama 5 menit. Pada Gambar 3e terlihat puncak Bragg kuat dan tertinggi dibanding dengan tekanan p yang lain, terletak pada sudut 2θ = 38,465
o
bidang (111) milik fasa Al dengan intensitas jumlah nilai cacahan ± 6000
count Tabel 1 : Data para meter struktur paduan AlSi hasil penghalusan dengan RIETAN pada berbagai tekanan Fasa Al (Aluminium) , grup ruang :F m 3 m (FCC) Fasa Si (Silikon) , grup ruang : F d 3 m (FCC) Perlakuan Fasa parameter V unit sell Koordinat atom Kisi, a (Å)
(Å)3
Wyckoff
x
y
z
B iso.
Al
4,0496(8)
66,41(2)
4a
0,0
0,0
0,0
1,6(1)
Si
5,436(2)
160,61(8)
8a
0,0
0,0
0,0
0,039(fix)
Al
4,0483(2)
66,345(5)Å
4a
0,0
0,0
0,0
1,0(2)
(P) 0,00 kgf 150 kgf
Si
5,4280(3)
159,93(2)
8a
0,0
0,0
0,0
2,1(2)
Al
4,0489(4)
66,37(1)Å
4a
0,0
0,0
0,0
0,8(2)
159,96(3)
8a
0,0
0,0
0,0
0,039(fix)
200 kgf
Si
250 kgf
Al
4,0502(4)
66,44(1)
4a
0,0
0,0
0,0
1,2(3)
Si
5,4351(7)
160,55(3)
8a
0,0
0,0
0,0
0,039(fix)
Al
4,0505(3)
66,454(8)
4a
0,0
0,0
0,0
1,1(3)
Si
5,4305(5)
160,15(2)
8a
0,0
0,0
0,0
0,039(fix)
Al
4,0501(5)
66,43(1)
4a
0,0
0,0
0,0
1,1(2)
Si
5,4270(8)
159,84(4)
8a
0,0
0,0
0,0
0,039(fix)
300 kgf 400 kgf
5,4284(5)
d
Data parameter struktur, koordinat atom, parameter kisi, volume sel satuan dan B isotropik setiap fasa pada berbagai tekanan disajikan pada Tabel 1. Terlihat bahwa tanpa perlakuan (p = 0,00 kgf/cm2) dibandingkan dengan perlakuan (P),
parameter kisi a, menunjukkan terjadinya perubahan pada setiap tekanan dengan
kesalahan 4 digit dibelakang koma (statistik baik). Pada tekanan P = 300 kgf/cm2
parameter kisi a fasa Al naik
dari 4,0496(8) Å menjadi 4,0505(3) Å, sedangkan fasa Si menurun dari 5,436(2) Å, menjadi 5,4305(5) Å. Perubahan parameter kisi diikuti pula dengan perubahan volume dan kerapatan dalam unit sel pada setiap perubahan tekanan. Data fraksi massa pada campuran fasa Al dan Si dan density dalam unit sel disajikan pada Tabel 2. Terlihat bahwa masing-masing kandungan fraksi massa fasa Al rata-rata = 92,86 % dan fasa Si = 7,14 %, maka paduan AlSi termasuk paduan hypo-eutektic karena mengandung ≤ 8 % Si berdasarkan diagram fasa AlSi [4]. Tabel 2 : Data Fraksi massa dan density dalam unit sel pada berbagai tekanan paduan AlSi hasil refinement Rietan Perlakuan Fraksi massa (%) Density (V sel satuan), g/cm3 (P, kgf/cm2)
Fasa Al
Fasa Si
ρ (fasa Al)
ρ (fasa Si)
P = .150
91,43
8,57
2,7013
2,3329
P = 200
93,05
6,95
2,7001
2,3324
P = 250
92,33
7,67
2,6973
2,3240
P = .300
94,02
5,98
2,6968
2,3293
57
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
P = 400
93,65
6,35
2,6976
2,3342
P = 0,00
92,71
7,29
2,6986
2,3230
Rata-rata
92,86
7,14
Keterangan : ρ = density dalam sel satuan dan P = tekanan =kgf/cm2 Terlihat bahwa (Tabel 2) Kerapatan(density) dalam unit sel terjadi perubahan. Fasa Al pada p =300 2
kgf/cm menurun dibanding dengan pada p = 0,00 kgf/cm2 yakni dari 2,6986 menjadi 2,6968 g/cm3, sedangkan fasa Si sebaliknya menaik dari 2,3230 menjadi 2,3293 g/cm3. Data refleksi Bragg, dan FWHM fasa Al dan Si hasil penghalusan dengan RIETAN disajikan pada Tabel 3. Terlihat bahwa pada masing-masing tekanan menunjukkan bahwa sudut 2θ dan FWHM tiap bidang mengalami perubahan. Tabel 3 : Rangkuman data refleksi Bragg, fasa Al dan Si hasil penghalusan dengan RIETAN Perlakuan Fasa Al Fasa Si (P)
hkl 111
Tanpa Perlakuan
200 220 311
Cor perah p= 150 kgf/cm2
Cor perah p= 200 kgf/cm2
Cor perah p= 250 kgf/cm2
Cor perah p= 300 kgf/cm2
Cor perah p= 400 kgf/cm2
2θ
FWHM
hkl
2θ
38,471
o
44,720
o
65,095
o
0,3029
311
56,068
78,227
o
0,3718
-
-
0,2252 0,2379
111 220
FWHM
28,488
o
0,2096
47,258
o
0,2439
o
0,2688 -
111
38,475
0,1573
111
28,515
0,1489
200
44,735
0,1642
220
47,329
0,1675
220
65,119
0,1981
311
56,298
0,1811
311
78,252
0,2314
-
111
38,473
0,1630
111
28,455
0,1408
200
44,728
0,1767
220
47,325
0,1824
220
65,108
0,2230
311
56,149
0,2021
311
78,241
0,2564
-
-
-
111
38,466
0,1824
111
28,419
0,1812
200
44,713
0,1880
220
47,388
0,1920
220
65,085
0,2568
311
56,074
0,2150
311
78,214
0,3483
-
-
-
111
38, 465
0,1448
111
28,444
0,1128
200
44,710
0,1634
220
47,305
0,1710
220
65,079
0,2225
311
56,126
0,1965
311
78,208
0,2625
-
-
-
111
38,472
0,2105
111
28,455
0,1619
200
44,714
0,2416
220
47,338
0,2550
220
65,086
0,3530
311
56,160
0,3018
311
78,219
0,4382
-
-
-
-
-
58
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Pada tekanan P = 300 kgf/cm2, harga FWHM kedua fasa turun hampir setengahnya dibanding dengan pada p = 0,00 kgf/cm2. Fasa Al turun dari 0,2252 menjadi 0,1448 pada P = 300 kgf/cm2 dan fasa Si dari 0,2096 menjadi 0,1128 pada bidang (111) yang sama. Fasa Al pada sudut 2θ terjadi pergeseran ke arah sebelah kiri, yakni dari sudut 2θ = 38,471o menjadi 38,465o . Begitu pula fasa Si pada sudut 2θ terjadi juga pergeseran ke arah sebelah kiri, yakni dari sudut 2θ = 28,488o menjadi 28,444o pada bidang (111) yang sama dan seterusnya Ukuran partikel menurut pendekatan Sheerer [5] dengan formula :
τ =
0 .9 λ Β Cos θ
(1)
λ = panjang gelombang, B = FWHM dan τ = ukuran partikel Dari data FWHM Tabel 3 hasil penghalusan dengan RIETAN dapat dihitung ukuran partikel dengan formulasi (persamaan 1) tersebut berdasarkan pendekatan Sheerer. Rangkuman data ukuran partikel hasil penghalusan dengan RIETAN disajikan pada Tabel 4. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa ukuran partikel pada tekanan 300 kgf/cm2 memiliki nilai rata-rata terbesar yakni fasa Al = 87 nm dan Si = 99 nm, dibandingkan dengan ukuran partikel pada tekanan 0,00 kgf yakni fasa Al rata-rata 58 nm dan Si = 63 nm, nilai ini menunjukkan bahwa pada tekanan 300 kgf/cm2. Tabel 4 : Rangkuman ukuran partikel hasil penghalusan dengan RIETAN Tekanan, P Ukuran partikel, τ (nm), Fasa Al (Aluminium) Rata-rata kgf/cm2 (111) (200) (220) (311) 0,00 65 63 54 48 58 150 93 91 83 77 86 200 90 85 74 70 80 250 81 80 64 51 69 300 101 92 77 77 87 400 70 62 47 41 55 Tekanan, P Ukuran partikel, τ (nm), Fasa Si (Silikon) Rata-rata kgf/cm2 (111) (200) (220) (311) 0,00 68 62 58 63 150 96 90 87 91 200 102 83 78 88 250 79 79 73 77 300 127 89 80 99 400 88 59 52 66 Dari pengamatan Gambar 3 dan 4, profil pola difraksi dan data parameter struktur yang ditampilkan pada Tabel 1 s.d 4, hasil penghalusan dengan RIETAN telah terjadi perubahan. Ini berarti terjadi perombakan data parameter struktur dan intensitas
puncak Bragg menjadi paduan AlSi yang lebih baik yang
dapat
dirangkum dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama menunjukkan adanya profil pola difraksi yang berbeda dalam tinggi dan lebar puncak. Sampel piston tanpa perlakuan memperlihatkan bentuk puncak Bragg lebar dan lemah dengan jumlah cacahan ratusan count. Kelompok kedua, bahan piston produk
cor perah pada berbagai tekanan, profil pola difraksi
menunjukkan bahwa pada sekala yang sama masih terdapat 7 (tujuh) bentuk puncak Bragg tajam dan kuat dengan intensitas tinggi jumlah nilai cacahan mencapai ribuan count, hal ini berarti bahan produk cor perah tidak terjadi perubahan fasa. Disamping itu perlakuan cor perah memperlihatkan perubahan pergeseran sudut 2θ kearah sebelah kiri yang menempati garis puncak yang sebenarnya seperti terlihat pada Gambar 5.
59
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
b
a
Gambar 3. Curva Rocking (data observasi) pada berbagai tekanan pada bidang (111)
Gambar 3 adalah curva rocking dari data observasi pada berbagai tekanan pada bidang (111), Gambar 5a adalah fasa Si, puncak tertinggi terjadi pada P = 150 kgf/cm2 dan Gambar 5b adalah fasa Al puncak tertinggi terjadi pada tekanan P =300 kgf/cm2. Terlihat jelas adanya pergeseran garis puncak, fasa Si terbesar terjadi pada P = 150 dan 400 kgf/cm2, terkecil pada p = 300 kgf/cm2, dan fasa Al pada p = 150 dan 400 kgf/cm2 dan terkecil terjadi pada tekanan yang sama yakni pada P = 300 kgf/cm2. Kelompok ketiga terdiri dari data parameter struktur dan ukuran partikel. Terlihat bahwa produk cor perah
dibandingkan dengan tanpa perlakuan,
menunjukkan terjadinya perubahan pada setiap tekanan.
Parameter kisi a produk cor perah fasa Al menaik, sedangkan fasa Si menurun. Dari data tersebut memberikan konfirmasi bahwa terjadi perubahan bentuk lebar puncak Bragg setelah perlakuan cor perah yaitu menjadi semakin tajam. Data ukuran partikel hasil penghalusan dengan RIETAN (Tabel 4) menunjukkan bahwa pada tekanan 300 kgf/cm2 memiliki nilai terbesar, dibandingkan dengan pada tekanan 0,00 kgf/cm2, kenaikan
ini
2
menunjukkan gambaran bahwa pada tekanan 300 kgf/cm memiliki ketebalan kristal meningkat menjadi homogen dan halus dibandingkan dengan pada tekanan 0,00 kgf/cm2. Lebar puncak (FWHM) menaik, maka ketebalan kristal menurun, karena ∆B = 2θ1 - 2θ2 naik [5] Perubahan ini menunjukkan bahwa produk cor perah telah terjadi adanya penempatan posisi atom Al dan Si yang lebih teratur pada saat proses pendinginan. Hal ini berarti bahwa volume unit sel lebih besar pada fasa Al sebagai matrik dan lebih kecil pada fasa Si sebagai Solute dalam unit sel. Sebaliknya kerapatan (density) fasa Al lebih kecil dan fasa Si lebih besar dalam unit sel. Berarti pula bahwa telah terjdi pengurangan dislokasi penumpukan atom (fasa Al dan Si) pada produk cor perah.
60
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Berdasarkan pengamatan data profil pola difraksi, data parameter struktur, fraksi massa kedua fasa dan ukuran parikel fasa
Al dan Si dari data intensitas difraksi sinar-x dengan metode Rietveld.
Berhasil
dikonfirmasi bahwa produk hasil cor perah pada tekanan P = 300 kgf/cm2 memberikan kualitas produk terbaik. 4.Kesimpulan Dari pengamatan pola difraksi dan data parameter struktur serta ukuran butir paduan
AlSi, hasil
penghalusan struktur kristal keenam cuplikan dengan metode Rietveld dapat disimpulkan adalah sebagai berikut : 1.
Struktur kristal paduan AlSi tidak terjadi perubahan fasa paduan akibat perlakuan cor perah yang terdiri dari campuran 2 (dua) fasa Al dan Si yakni : •
Fasa Al bersistim kristal kisi Bravais kubik, Face Centered Cubic (FCC), grup ruang F m 3 m, No. 225, posisi Wyckoff 4a dengan parameter kisi a = 4,0505(3)Å, pada tekanan P = 300 kgf /cm2.
•
Fasa Si berstruktur kubik diamond, grup ruang F d 3 m no. 227, posisi Wyckoff 8a dengan parameter kisi a = 5,4305(5) Å, pada tekanan P = 300 kgf /cm2.
2.
Didasarkan pada pengamatan hasil penghalusan dengan RIETAN, paduan AlSi mengandung fraksi massa 7,14 % Si dan 92,86% Al, dan paduan AlSi ini termasuk pola struktur hypo-eutectic.
3.
Secara umum profil pola difraksi dan data parameter struktur hasil cor perah menunjukkan perbedaan yang nyata terutama dalam jumlah intensitas cacahan yang tinggi
4.
Berhasil dikonfirmasi bahwa hasil cor perah pada tekanan P = 300 kgf/cm2 menghasilkan ukuran partikel tertinggi (homogen) dan memberikan kualitas produk terbaik.
Daftar Pustaka 1.
Cullity B.D And Stock S.R., Elements Of X-Ray Diffraction, Third Edition, Upper Saddle River, Nj 07458, Prentice Hall 2001
2.
Dwimaya Antarini., Pengaruh Tekanan Proses Cor Perah Terhadap Kekerasan Dan Struktur Mikro Paduan Alsi Hasil Daur Ulang Bahan Piston, Skripsi Gelar Sarjana Pendidikan, Jurusan Fisika Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta, Thun 2004.
3.
Eddy Siradj., Squeeze Casting, Kekhususan Teknik Manufaktur Program Pascasarjana Bidang Ilmu Teknik Universitas Indonesia, April 2000
4.
Elman Panjaitan Dan Wagiyo H., Karakterisasi Paduan Alsi Hasil Daur Ulang Bahan Piston, Jurnal Sains Materi Indonesia, Vol.3 No.1 Oktober 2001, Hal. 34-37
5.
Izumi., A Rietveld Refinement Program Rietan-94 For Angle-Dispersive X-Ray And Neutron Powder Diffraction, National Institute For Research In Inorganic Materials, 1-I Namiki, Tsukuba, Ibaraki 305 (1996).
6.
Mohammad Dani, Dkk., Optimalisasi Parameter Proses Produk Coran-Alsi Dengan Teknik Squeeze Casting, Prosiding Pertemuan Ilmiah Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Bahan, Serpong 22 – 23 Oktober 2002, Hal. 94-99
61
ISSN 977.2086796.00.2
7.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Syahbudin., Pengaruh Si Serpihan Dan Pelat Dalam Struktur Eutektik Pada Kekerasan Paduan Alsi, Prosiding Pertemuan Ilmiah Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Bahan, Serpong 22 – 23 Oktober 2002, Hal. 120-123
8.
Tata Surdia Dan Shinroku., Pengetahuan Bahan Teknik, Pt. Pradnya Paramita Jakarta, Cetakan Kelima Tahun 2000.
62
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
DISTRIBUSI FLUKS NEUTRON TERMAL PADA POSISI D-9 DAN E-4 RSG G.A. SIWABESSY Jaka Iman, Damar Yanti Pusat Reaktor Serba Guna -BATAN
ABSTRAK DISTRIBUSI FLUKS NEUTRON TERMAL PADA POSISI D-9 DAN E-4 RSG G.A. SIWABESSY. Pengukuran distribusi fluks neutron termal telah dilakukan pada dua posisi iradiasi teras 63 RSG G.A. Siwabessy. Pengukuran dilakukan dengan metode aktivasi keping emas. Iradiasi keping dilakukan pada daya rendah tanpa menjalankan pompa pendingin primer. Aktivitas keping diukur dan dihitung aktivitas jenuhnya pada saat keluar dari reaktor. Distribusi fluks neutron termal dapat dihitung dari aktivitas keping yang terukur tersebut. Dari hasil analisis diperoleh fluks neutron termal di posisi D-9 pada daya 200 kW, posisi terbawah sebesar 1,99E12 n/cm2.s. dan posisi teratas sebesar 6,46E11 n/cm2.s., sedangkan fluks neutron termal di posisi iradiasi E-4, pada posisi terbawah sebesar 2,44E12 n/cm2.s. dan posisi teratas sebesar 4,32E11 n/cm2.s. Dengan penelitian ini telah diperoleh data fluks neutron termal yang akurat untuk mendukung penelitian analisa aktivasi neutron dan produksi radioisotop. Kata Kunci : Distribusi fluks neutron termal
1.Pendahuluan Salah satu manfaat Reaktor Serba Guna G.A. Siwabessy (RSG-GAS) adalah sebagai tempat iradiasi untuk berbagai tujuan seperti produksi radioisotop, analisis aktivasi neutron (AAN) dan sebagainya. Dewasa ini jasa pelayanan iradiasi semakin ditingkatkan untuk mencapai tingkat efisiensi pemanfaatan reaktor yang semakin tinggi dalam mendukung penelitian aktivasi analisis neutron (AAN) dan produksi radioisotop. Kuantitas dan kualitas pelayanan iradiasi ini sangat ditentukan oleh sejauh mana karakteristik dari fasilitas iradiasi tersebut. Salah satu karakteristik fasilitas iradiasi yang sangat penting adalah fluks termal neutron. Selama ini masih dirasa perlu peningkatan karakterisasi fluks neutron termal di fasilitas iradiasi dengan menitik beratkan pada sistem deteksi dan pengukuran radiasi yang lebih akurat untuk menghasilkan analisis yang lebih baik. Dalam makalah ini dibahas secara singkat pengukuran distribusi fluks neutron termal di fasilitas iradiasi pada posisi D-9 dan E-4 RSG G.A. Siwabessy. Sebelumnya telah dilakukan pengukuran distribusi fluks neutron termal, namun dengan bergantinya konfigurasi teras yang baru perlu dilakukan pengukuran kembali untuk mengevaluasi adanya perubahan fluks neutron termal. Dengan melakukan evaluasi ini diharapkan akan diperoleh data fluks neutron termal yang akurat untuk mendukung penelitian aktivasi analisis neutron dan produksi radioisotop.
2.Teori Fluks neutron dapat ditentukan berdasarkan hasil pengukuran aktivitas keping yang telah di iradiasi di dalam teras reaktor dengan rumusan :
63
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
φ=
BA . A . e m . N o .σ ( 1 − e
λ .t d
− λ .t i
.t m
).( 1 − e
− λ .t m
…………………………...................………..…. (1) )
dimana : BA
= berat atom keping
A
= aktivitas keping yang telah diiradiasi
3.
= tetapan peluruhan
td
= waktu peluruhan
tm
= waktu pengukuran
ti
= waktu iradiasi
m
= massa keping
No
= bilangan Avogadro = tampang lintang aktivitas keping
64
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
P
R
S
G
-
B
A
T
BIDANG OPERASI REAKTOR
A
N
TERAS 63 PENUH
KONFIGURASI TERAS NO. : 194 TANGGAL : 28-12-2007
Dengan demikian setelah aktivitas semua keping yang diiradiasi diukur dengan sistem spektrometri gamma maka besarnya fluks neutron pada posisi keping-keping tersebut dapat ditentukan berdasarkan persamaan (1) diatas. Dengan mengatur posisi keping-keping sedemikian rupa yang tersusun secara aksial di posisi iradiasi D-9 dan E-4 maka dapat ditentukan distribusi rapat fluks neutron secara aksial di beberapa posisi iradiasi tersebut. Penyisipan keping-keping ke dalam fasilitas iradiasi posisi D-9 dan E-4 teras reaktor dilakukan pada saat reaktor beroperasi dan stabil pada daya 200 kW. Setelah itu keping-keping diiradiasi,
daya reaktor
dipertahankan stabil pada daya 200 kW dan di iradiasi selama yang ditetapkan 25 menit dan selanjutnya kepingkeping dikeluarkan dari dummy elemen dan disimpan dikolam penyimpanan untuk pendinginan dan peluruhan.
65
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
3.Tata Kerja Pengukuran distribusi fluks neutron teras 63 dilakukan dengan metoda aktivitas keping emas. Lempengan aluminium setebal sekitar 1,5 mm dengan panjang 600 mm digunakan sebagai pemegang keping (stringer) untuk meletakkan 8 (delapan) buah keping emas berjarak 7,5 cm satu sama lain sepanjang pemegang keping (stringer) tersebut. Kemudian pemegang keping (stringer) tersebut disisipkan di dummy elemen pada posisi D-9 dan E-4 (lihat gambar 1. Konfigurasi teras 63 penuh) dan selanjutnya reaktor dioperasikan pada daya rendah tanpa menjalankan pompa pendingin primer. Pemegang keping (stringer) dapat dilihat pada gambar 2. Untuk memperhitungkan kontribusi fluks neutron epitermal, beberapa keping tersebut dibungkus dengan cadmium. Keping-keping yang telah diiradiasi tersebut diukur aktivitasnya dengan menggunakan detektor HPGe dan sistem spektrometer gamma. Besarnya fluks neutron dapat ditentukan dari aktivitas keping yang diukur. Sistem spektrometer gamma ditunjukkan pada gambar 3. S 63 PENUHKONFIGURASI TERAS NO. : 194PRSG-BATAN BIDANG OPERASI REAKTORTANGGAL :28-12-2007
Gambar 1. Konfigurasi teras 63 penuh
66
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 2. Pemegang keping (stringer)
67
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 3.Sistem spektrometri gamma
4.Hasil Dan Pembahasan Hasil lengkap pengukuran keping spesifik aktivitas dan harga fluks neutron di posisi iradiasi D-9 dan E4 teras 63 dapat dilihat pada tabel 1 dan 2 sedangkan grafik fluks neutron versus posisi aksial distribusi fluks neutron di posisi iradiasi D-9 dan E-4 dapat dilihat pada gambar 4 dan gambar 5. Koreksi-koreksi pengukuran yang disebutkan diatas telah dilakukan di dalam hasil perhitungan program Gamma Trac. Dari uraian tersebut diatas bahwa harga fluks neutron termal maksimum di posisi iradiasi D-9 terletak pada jarak 162,5 mm sedangkan harga fluks neutron termal maksimum di posisi iradiasi E-4 terletak pada jarak 12,5 mm.
68
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 1. Hasil pengukuran distribusi fluks neutron termal di posisi iradiasi D-9 teras 63. Posisi
Fluks neutron
Fluks neutron
Aktivitas
Error
(n/cm .det)
(n/cm .det)
(n/cm2.det) Daya
(mm)
(Bq/gr)
(%)
Daya 200 kW
Daya 15 MW
30 MW
12,5
2,05E+08
4,6
1,68E+12
1,26E+14
2,52E+14
87,5
2,47E+09
4,6
162,5
6,49E+08
4,6
1,99E+12
1,49E+14
2,98E+14
237,5
3,33E+09
4,6
312,5
6,74E+08
4,6
1,33E+12
9,99E+13
2,00E+14
387,5
2,47E+09
4,6
462,5
4,89E+08
4,6
6,46E+11
4,85E+13
9,69E+13
537,5
1,36E+09
4,6
D-9
2
Fluks neutron
Aksial Teras
2
Tabel 2. Hasil pengukuran distribusi fluks neutron termal di posisi iradiasi E-4 teras 63. Posisi
Teras
E-4
Fluks neutron 2
Fluks neutron 2
Fluks neutron
Aksial
Aktivitas
Error
(n/cm .det)
(n/cm .det)
(n/cm2.det) Daya
(mm)
(Bq/gr)
(%)
Daya 200 kW
Daya 15 MW
30 MW
12,5
5,27E+08
4,6
2,44E+12
1,83E+14
3,66E+14
87,5
3,82E+09
4,6
162,5
8,18E+08
4,6
2,35E+12
1,76E+14
3,52E+14
237,5
3,98E+09
4,6
312,5
6,58E+08
4,6
1,15E+12
8,63E+13
1,73E+14
387,5
2,21E+09
4,6
4,32E+11
3,24E+13
6,49E+13
462,5
3,63E+08
4,6
537,5
9,46E+08
4,6
69
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Grafik Fluks Neutron Termal Pada Posisi Iradiasi D-9 Teras 63 RSG G.A. Siwabessy Fluks Neutron (n/cm2.s.)
1.00E+15
1.00E+14 Daya 200 kW 1.00E+13
Daya 15 MW Daya 30 MW
1.00E+12
1.00E+11 0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Posisi Aksial (mm)
Gambar 4. Grafik Fluks Neutron termal di posisi iradiasi D-9
Grafik Fluks Neutron Termal pada Posisi Iradiasi E-4 Teras 63 RSG G.A. Siwabessy Fluks Neutron (n/cm 2.s.)
1.00E+15
1.00E+14
Daya 200 kW Daya 15 MW Daya 30 MW
1.00E+13
1.00E+12
1.00E+11 0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Jarak Aksial (mm)
Gambar 5. Grafik Fluks Neutron termal di posisi iradiasi E-4
70
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
5.Kesimpulan Dari hasil pengukuran distribusi fluks neutron termal pada posisi iradiasi D-9 dan E-4 diatas dapat disimpulkan bahwa posisi iradiasi D-9 pada jarak aksial terbawah (162,5 mm) yaitu sebesar 1,99E12 n/cm2.s. dan jarak aksial teratas (462,5 mm) sebesar 6,46E11 n/cm2.s., sedangkan pada posisi iradiasi E-4, jarak aksial terbawah (12,5 mm) yaitu sebesar 2,44E12 n/cm2.s. dan jarak aksial teratas (462,5 mm) sebesar 4,32E11 n/cm2.s. Hal ini dapat dilihat pada grafik diatas bahwa pada posisi terbawah mempunyai distribusi fluks neutron yang lebih besar dari pada posisi teratas karena pada posisi atas sebagian neutron diserap oleh batang kendali. Pada daya 15 MW dan 30 MW tidak dilakukan pengukuran distribusi fluks neutron secara langsung, akan tetapi dapat didekatkan dengan cara perhitungan matematis dengan menggunakan formulasi yang tertulis pada teori sehingga pada daya 15 MW distribusi fluks neutron di posisi D-9 diperoleh harga tertinggi 1,26E14 n/cm2.s., sedangkan di posisi E-4 sebesar 1,83E14 n/cm2.s., sedangkan pada daya 30 MW distribusi fluks neutron di posisi D-9 diperoleh harga tertinggi 1,26E14 n/cm2.s., sedangkan di posisi E-4 sebesar
1,83E14
2
n/cm .s. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat, pengukuran ulangan sangat dianjurkan.
Daftar Pustaka 1.
Pengukuran Fluks Neutron pada Posisi E-7 dan Elemen Bakar Teras Dua, Laporan Data, No. Ident. :RSG/EFT/89.010/PT01/010/LD.
2.
Litbang Pelat Elemen Bakar Silisida Skala Penuh Tahap I, Disain Eksperimen Pengukuran Perubahan Reaktivitas, Distribusi Fluks dan Spektrum Neutron serta Termohidrolika Teras, No. Ident.: 001.DE.98.E.FR, Rev. 0 – Agustus 1998.
3.
Pengukuran Distribusi Fluks Neutron di Elemen Bakar Teras XXXVI, Prosedur, No. Ident.: RSG/EFT/99/05/T36.01/P.
4.
Pedoman Jaminan Mutu untuk pengelolaan RSG-GAS Rev. 6, No. Ident : RSG.JM.01.01.70.06.
5.
Laporan Data Pengukuran Fluks Neutron Di Posisi Iradiasi (IP) D-9 dan E-4 pada Daya 200 kW Teras 63 RSG G.A. Siwabessy, No. Ident : RSG.OR.07.02.41.08.
71
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Karakterisasi dan penggunaan Film Medium AGFA D-7 Pada Radiografi
Sunardi !,2), Hey Adrial 3) Jurusan Teknik Mesin Universitas Pamulang 2) Pusat Pengembangan Energi Nuklir- BATAN 3) Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamtan Nuklir- BATAN 1)
ABSTRAK Karakterisasi dan penggunaan Film Medium AGFA D-7 pada Radiografi. Telah dilakukan pengujian film medium Agfa D-7 dikombinasikan dengan konverter Gadolinium, Fuji G8, Konica 125, dan Konica 750 dalam radiografi neutron RN1. Penelitian disini meliputi tingkat kehitaman atau densitas fungsi waktu penyinaran. Sumber neutron yang digunakan pada fasilitas Beam S2 RSG pada daya 15 MW, yang mana distribusi fluks neutron sekitar 1 x 106 n/cm2 – 1 x 108 n/Cm2. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan adanya sensitifitas film yang baik bila Film Agfa D-7 dikombinasi dengan konveter Konica 750 dan Gadolinium. Dimana tingkat kehitaman atau densitasnya antara 2 –3 dengan kehitaman dasar lebih dari 0,3, sesuai standard Rottger dan P. Von Der Hardt, bila dikombinasi dengan konverter Konica 750 perlu waktu penyianaran antara 30 - 60 detik dan >50 detik. Dari gambar 1 terlihat jelas kombinasi paling sensitif adalah pasangan antara film Agfa D7 dan konverter Konica 750, berturut-turut kombinasi dengan Gadolinium, Fuji G8 dan Konica 125, kehitaman yang memenuhi standard menurut Rottger dan P. Von Der Hardt yaitu tingkat kehitaman diantara 2 – 3, disiitulah waktu penyinaran yang tepat. 4.
Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : Kombinasi paling sensitif adalah kombinasi antara
Film Agfa D 7 dengan konverter Konica 750, kemudin kombinasi antara film dan Gadolinium seterusnya dengan konverter Fuji G 8 dan Konica 125. Untuk mendapatkan tingkat kehitaman standard diantara 2 - 3, kombinasi film dengan Konica 750 perlu waktu penyinaran antara 30 - 195
Indeks C 0 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15
Tabel 4. Situasi Bangunan Situasi Bangunan
Indeks D
Di tanah datar
Di kaki bukit sampai tiga perempat tinggi bukit atau pegunungan sampai 914 m
1
Di puncak gunung atau pegunungan lebih besar dari 914 m
2
100
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 5. Pengaruh Petir Indeks
Hari Guruh Pertahun
E
2
4
1
8
2
16
3
32
4
64
5
128
6
Tabel 6. Perkiraan Bahaya Perkiraan Bahaya
R=A+B+C+D+E
Pengamanan
(Indeks Resiko)
Di bawah
11
Diabaikan
Tidak perlu
Sama dengan
11
Kecil
Tidak perlu
12
Tidak begitu kecil
Agak dianjurkan
13
Agak besar
Dianjurkan
14
Besar
Sangat dianjurkan
14
Sangat besar
Sangat perlu
Lebih besar dari
Luas penampang penghantar Menurut standar IEEE dan persamaan Onderdonk, untuk menghitung luas penampang penghantar tembaga jenis pita yang digunakan pada sistem penangkal petir, yaitu:
A=Ix
33t ⎡ T − Ta ⎤ log ⎢ m + 1⎥ ⎣ 234 + Ta ⎦
.....................................................
(3)
.....................................................
(4)
.....................................................
(5)
atau
A = 1250 x 10 -3 x I x t 2 R.I 2p Δt p = R.I ek. Δt AC
I ek = I p
Δt p Δt AC
dengan: A
= luas penampang (mm2)
I
= arus listrik (amper)
t
= waktu lamanya konduktor dialiri arus petir (1 sampai dengan 2 detik)
101
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Ta
= temperatur sekeliling dipakai 40 oC
Tm
= temperatur maksimum yang diperoleh (0c), beberapa harga yang umum dipakai adalah temperatur yang diizinkan, yaitu:
untuk sambungan las = 450 oC
untuk sambungan dengan baut yang diizinkan = 250 oC
Ep
= energi petir
EAC
= energi arus bolak-balik
R
= resistansi (Ω)
Ip
= arus petir (A)
Δtp
= waktu petir (detik)
Δt
= waktu lamanya konduktor dialiri arus petir (detik). Untuk faktor keamanan, dianjurkan ≥ 3 detik
Iek.
= arus ekivalen
3.Metode Analisis Tahapan pertama pada penelitian ini yaitu melaksanakan pengukuran tahanan pentanahan pada bangunan reaktor, bantu, disel dan cooling tower. Pengukuran dilaksanakan melalui bagian sistem penangkal petir eksternal yaitu elektroda pentanahan. Untuk memperoleh hasil pengukuran tahanan pentanahan yang ideal maka pengukuran pada masing-masing bangunan dilaksanakan sebanyak 3 kali dan selanjutnya hasil pengukuran yang diperoleh tersebut dirata-ratakan. Tahapan kedua yaitu membandingkan hasil pengukuran tahanan pentanahan dengan nilai tahanan pentanahan yang disyaratkan untuk bangunan reaktor, bantu, disel dan cooling tower yaitu lebih kecil atau sama dengan 2 Ω. Tahapan ketiga yaitu menghitung IR masing-masing bangunan reaktor, bantu, disel, dan cooling tower dan tahapan keempat yaitu menghitung luas penampang penghantar untuk mengetahui kemampuam penghantar tersebut dialiri arus sambaran petir. 4.Hasil Analisis Hasil Pengukuran Tahanan Pentanahan Hasil pengukuran tahanan pentanahan pada bangunan reaktor, bantu, disel dan cooling tower ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil pengukuran tahanan pentanahan
102
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Hasil pengukuran (Ω) No
Kegiatan
Bangunan reaktor
Bangunan bantu
Bangunan Disel
Bangunan Cooling Tower
1
Pengukuran 1
0,65
0,63
0,63
0,66
2
Pengukuran 2
0,63
0,87
0,84
0,84
3
Pengukuran 3
0,56
0,58
0,55
0,58
0,613
0,693
0,673
0,693
Rata-rata
Dengan mensubtitusikan nilai rata-rata hasil pengukuran tahanan pentanahan ke persamaan (1) diperoleh hasil sebagai berikut: R rata-rata
=
Bangunan
reaktor
+ Bangunan
bantu
+ Bangunan 4
disel + Bangunan
cooling
tower
0 , 613 + 0 , 693 + 0 , 673 + 0 , 693 4 = 0,668 Ω =
Hasil pengukuran tahanan pentahanan rata-rata diperoleh sebesar 0,668 Ω. Dibandingkan dengan nilai tahanan pentanahan yang disyaratkan untuk bangunan reaktor, bantu, disel dan cooling tower yaitu ≤ 2 Ω maka nilai hasil pengukuran tahanan pentanahan masih berada di bawah nilai tahanan pentanahan yang disyaratkan. Dengan demikian tahanan pentanahan yang dimiliki oleh bangunan reaktor, bantu, disel dan cooling tower masih sangat baik dan aman. Pada Gambar 3, ditunjukkan letak titik-titik pengukuran tahanan pentanahan pada bangunan reaktor, bantu, disel dan cooling tower.
C BangunanTrafo
A
B
D
Bangunan OB BangunanBantu
BangunanReaktor
Cooling Tower
Gambar 3. Letak titik-titik pengukuran tahanan pentanahan Hasil Perhitungan Indeks Resiko (IR) Dengan mempertimbangkan parameter-parameter bangunan yaitu jenis struktur bangunan, konstruksi bangunan, tinggi bangunan, situasi bangunan dan pengaruh sambaran petir maka diperoleh hasil perhitungan IR untuk bangunan reaktor, bantu, disel, dan cooling tower seperti ditunjukkan Tabel 8.
103
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 8. Hasil perhitungan IR Parameter Jenis No
Bangunan
struktur
Konstruksi
Tinggi
Situasi
bangunan
bangunan
bangunan
bangunan
(Indeks
(Indeks B)
(Indeks C)
(Indeks D)
A)
Pengaruh sambaran
IR
petir (Indeks E)
1
Reaktor
15
1
5
6
27
2
Bantu
2
1
2
6
11
3
Disel
2
1
2
6
11
4
Cooling tower
2
1
2
6
11
Dengan mensubtitusikan nilai parameter indeks ke persamaan (2) maka diperoleh IR masing-masing bangunan yaitu: 1.
IR bangunan reaktor IR = Indeks A + Indeks B + Indeks C + Indeks D + Indeks E = 15 + 1 + 5 + 0 + 6 = 27
2.
IR bangunan bantu IR = Indeks A + Indeks B + Indeks C + Indeks D + Indeks E =2+1+2+0+6 = 11
3.
IR bangunan disel IR = Indeks A + Indeks B + Indeks C + Indeks D + Indeks E =2+1+2+0+6 = 11
4.
IR bangunan cooling tower IR = Indeks A + Indeks B + Indeks C + Indeks D + Indeks E =2+1+2+0+6 = 11 Dengan membandingkan nilai IR yang diperoleh masing-masing bangunan terhadap perkiraan bahaya
sambaran petir pada Tabel 6 maka diperoleh penjelasan kebutuhan sistem perlindungan pada masing-masing bangunan seperti ditunjukkan pada Tabel 9. Penjelasan yang diperoleh dari Tabel 9, yaitu bahwa bangunan reaktor sangat perlu adanya sistem perlindungan bangunan, sedangkan bangunan bantu, disel dan cooling tower diperoleh penjelasan bahwa tidak perlu adanya sistem perlindungan bangunan.
104
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 9. Kebutuhan sistem perlindungan No
Bangunan
Perkiraan bahaya
Nilai
(IR)
Keterangan
1
Reaktor
27
Sangat besar
Sangat perlu adanya sistem perlindungan bangunan
2
Bantu
11
Kecil
Tidak perlu adanya sistem perlindungan bangunan
3
Disel
11
Kecil
Tidak perlu adanya sistem perlindungan bangunan
4
Cooling tower
11
Kecil
Tidak perlu adanya sistem perlindungan bangunan
Hasil perhitungan luas penampang penghantar Parameter-parameter yang digunakan untuk menghitung luas penampang penghantar terdiri atas arus listrik, waktu lamanya konduktor dialiri arus petir misalnya 1 sampai dengan 2 detik (t), temperatur sekeliling dipakai 40 oC (Ta), temperatur maksimum yang diperoleh (Tm) misalnya untuk sambungan las = 450 oC dan untuk sambungan dengan baut yang diizinkan = 250 oC, energi petir (Ep), energi arus bolak-balik (EAC), resistansi (R), arus petir (Ip), waktu petir (Δtp), waktu lamanya konduktor dialiri arus petir (Δt) misalnya untuk faktor keamanan, dianjurkan ≥ 3 detik dan arus ekivalen (Iek). Berdasarkan keterangan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) tahun 2009 diperoleh informasi jumlah hari guruh di sekitar wilayah Curug Banten sebanyak 169 kali per tahun dan besarnya arus petir rata-rata pertahun atau disebut IKL sebesar 54,8 kA. Informasi dari BMG ini selanjutnya digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menghitung luas penampang penghantar arus sambaran petir yang digunakan pada bangunan RSG-GAS dengan menggunakan persamaan (4) dan (5) sehingga diperoleh hasil sebagai berikut: Diasumsikan: Ip
= arus petir (amper) = 50 kA
Δtp
= 50 μs (50 x 10-6)
Δt
= 3 detik
Diperoleh: Ep = EAC R xI
2 p
x Δ t p = R x I ek I ek = I
p
x
= 50 x 10 = 50 x 10
2
x Δ t AC
Δt p Δ t AC 3
3
−6
x
50 x 10 3
x
0 , 0000167
= 204 , 328 A
A = 125 x 10
−3
x I ek x
= 125 x 10
−3
x 204 , 328 x
= 44 ,186 m m
t 3
2
105
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Hasil perhitungan luas penampang penghantar diperoleh sebesar 44,186 mm2 dan arus sambaran petir sebesar 204,328 A. Sehingga penghantar yang dipilih dan tersedia di pasaran yaitu 70 mm2 karena memiliki kemampuan untuk dialiri arus sambaran petir sebesar 204,328 A dalam waktu sangat singkat. 5.Kesimpulan Berdasarkan dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa: 1.
Hasil pengukuran tahanan pentahanan rata-rata diperoleh sebesar 0,668 Ω. Nilai tahanan pentanahan hasil pengukuran ini masih berada di bawah nilai tahanan pentanahan yang disyaratkan yaitu ≤ 2 Ω. Dengan demikian tahanan pentanahan yang dimiliki oleh bangunan reaktor, bantu, disel dan cooling tower masih sangat baik dan aman,
2.
Hasil perhitungan perkiraan bahaya sambaran petir langsung terhadap bangunan reaktor beresiko sangat besar dengan nilai 27 sehingga bangunan reaktor sangat memerlukan sistem perlindungan, sedangkan perkiraan bahaya sambaran petir langsung terhadap bangunan bantu, disel dan cooling tower kecil dengan 11 sehingga dapat dikatakan bahwa bangunan-bangunan tersebut tidak memerlukan sistem perlindungan bangunan,
3.
Hasil perhitungan luas penampang penghantar diperoleh sebesar 44,186 mm2 dan arus sambaran petir sebesar 204,328 A. Sehingga penghantar yang dipilih dan tersedia di pasaran yaitu 70 mm2 karena memiliki kemampuan untuk dialiri arus sambaran petir sebesar 204,328 A dalam waktu sangat singkat.
Daftar Pustaka 1.
Analisa Biaya Sistematis Dan Proteksi Sambaran Petir, Www.Elektroindonesia.Com, Edisi Perdana, Maret 1996, Diakses Pada Mei 2005.
2.
Hutauruk, Gelombang Berjalan Dan Proteksi Surja. Institut Teknologi Bandung, Erlangga, Jakarta, 1991. a.
Lembaga Afiliasi Dan Industri Itb, Petir Dan Sistem Perlindungan Petir, Lapi – Itb, 1990.
3.
MPR 30, Turn Over Package No. 42, Earthing And Lightning System, BAW, 1987
4.
Pijpaert,
Karel,
Peraturan
Umum
Untuk
Elektrode
Bumi
Dan
Penghantar
Bumi,
Www.Elektroindonesia.Com, Anggota Dewan Redaksi Ei Bekerja Di Pt. Schneider Indonesia, Nomor 24, Tahun 2005, Januari 1999, Diakses Pada Mei 2005. 5.
Spark Arrester Dan Panel Listrik, Asia Internet Interconnection Initiatives, Institut Teknologi Bandung, Www.Elektroindonesia.Com, Diakses Pada 5 September 2006, Pukul 13.30 Wib.
6.
Teguh Sulistyo, Kiswanto, Yayan A, Yusuf S, Pengembangan Evaluasi Perawatan Komponen Sistem Penangkal Petir Eksternal Gedung Rsg-Gas, Makalah Buletin Reaktor, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Pusat Reaktor Serba Guna Ga. Siwabessy, 2006.
7.
Tiga Bander Antenna (80-40-15m) Dipole, BEON, Wadah Hasil Karya Amatir Radio Indonesia, Orari News, Edisi 8 Tahun V, Januari 2006, Www.Unhas.Ac.Id. Diakses Pada 21 Januari 2007 Pukul 21.00 WIB.
8.
Zoro, Sistem Proteksi Petir, Pt. Lapi-Elpatsindo, Jakarta, Juni 1995.
9.
Zoro Dan Sudaryatno Sudirham, Petir Dan Masyarakat Modern, Pt. Lapi-Elpatsindo, Jakarta, Juni 1995.
10. Zoro, Lightning Protection System (Lps) & Lightning Position And Tracking System (Lpats), Makalah Hari Pertama, Pt. Lapi-Elpatsindo, 1995.
106
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
PERTANYAAN : NUNUNG CHOIRINA UMJ Faktor-faktor apa saja yang layak untuk bangunan dipasang penangkal petir. JAWAB Faktor – factor penentu indek : konstruksi, fungsi, struktur, tinggi, situasi, pengaruh sambaran petir.
107
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
PENGARUH SUHU TERHADAP PENYISIHAN KARBOFURAN SECARA OZONASI Fitri Codariah JurusanTeknik Kimia UNPAM
ABSTRAK Karbofuran ( Cl2H15NO3 ) adalah insektisida yang masih digunakan oleh petani padi. Sedangkan karbofuran adalah senyawa yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh suhu terhadap kelarutan ozon dalam air demineral dan mempelajari pengaruh suhu terhadap penyisihan karbofuran dalam proses ozonasi. Konsentrasi karbofuran yang digunakan adalah 6 ppm dan percobaan ozonasi dilakukan selama 30 menit dan suhu 20, 25, dan 30 oC. Analisis konsentrasi karbofuran menggunakan metode kromatografi gas. Dari percobaan didapatkan hasil suhu penyisihan karbofuran terbaik pada suhu 30 oC dan suhu kelarutan ozon terbaik pada suhu 20 oC. Kata kunci : Karbofuran, Ozonasi, Suhu.
1.Pendahuluan Insektisida merupakan salah satu jenis pestisida yang digunakan untuk membasmi hama tanaman yang penggunaannya sudah diatur oleh pemerintah, karena insektisida dapat menjadi sumber pencemaran pada bahan pangan dan lingkungan hidup akibat residu yang ditimbulkan. Beberapa hasil penelitian Ir. Supriadi ( 2003 ), Subyaningsih ( 1993 ), Burke at.al., ( 2003 ) melaporkan bahwa sudah terjadi pencemaran terhadap lingkungan perairan dan tanaman oleh pestisida. Insektisida golongan karbamat seperti karbofuran banyak digunakan oleh petani padi di Indonesia. Insektisida ini bila digunakan dapat mencemari lingkungan, karena dapat bereaksi dengan khlor sehingga terbentuk organokhlorida yang mempunyai sifat persistensi yang tinggi. Karbofuran juga merupakan metabolit dari carbosulfan, benfuracarb, dan furathiocarb yang digunakan dalam pertanian ( Katsumata et.al.,2005 ) sehingga senyawa organokhlorida yang sudah dilarang penggunaannya akan tetap ditemukan di lingkungan perairan bahkan jika pemakaiannya masih ada maka jumlah organokhlorida akan semakin besar terutama pada air irigasi. Beberapa metode telah dicoba untuk pemulihan air tercemar oleh residu pestisida yaitu : secara fisika ( adsorpsi dengan karbon aktif ), kimia ( fotolisis, hidrolisis dan ozonasi ) dan secara biologis ( lumpur aktif, trikling filter dan aerated logoon ). Dari semua metode ternyata ozonasi dapat menguraikan pestisida lebih cepat, membentuk senyawa sederhana dan dapat diuraikan secara ilmiah. Ozonasi non katalitik terhadap insektisida karbofuran telah dilakukan oleh Benitez et.al.,( 2001 ) yang laju penyisihan cukup besar. Supaya hasil penelitian ini dapat diaplikasikan di masyarakat maka perlu dipelajari pengaruh suhu terhadap kelarutan ozon dan penyisihan insektisida karbofuran secara ozonasi non katalitik. Tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini adalah : 1.
Mempelajari pengaruh suhu terhadap kelarutan ozon dalam air demineral.
2.
Mempelajari pengaruh suhu terhadap penyisihan karbofuran dalam proses ozonasi.
108
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
2.Teori A. Insektisida Insektisida merupakan bagian dari pestisida. Sedangkan pestisida adalah biosida yang bersifat racun terhadap jasad pengganggu sasaran dan dapat bersifat racun juga bagi manusia serta hewan,. Insektisida yang digunakan adalah untuk membunuh serangga. Golongan insektisida itu adalah : •
Organokhlorida, biasa disebut chlorinated hydrocarbon, chlorinated organic, chlorinated insecticide atau chlorinated sintesis. Senyawa yang terkandung didalamnya terdiri dari senyawa hidrokarbon, khlorida, dan hydrogen, tapi semua senyawa ini sukar terurai dan berpengaruh terhadap system saraf pusat. Hasil – hasil metabolisme dari senyawa tersebut dapat larut dalam lemak dan bersifat tidak aktif, oleh sebab itu pengaruhnya tidak kelihatan begitu cepat.
•
Organoposfat, biasa disebut organic posforus, posfat, dan posforus ester, yang bersifat toksik untuk hewan bertulang belakang, tidak stabil, mudah diuraikan, cepat dimetabolismekan dan diekskresikan. Struktur kimia dan cara kerja senyawa ini berhubungan erat dengan gas saraf.
•
Karbamat, dibandingkan dengan organokhlorida dan organoposfat, karbamat merupakan insektisida yang relatif baru. Karbamat bersifat sistemik pada tanaman dan mudah terurai. Cara kerja racun dari senyawa ini menyerupai organoposfat.
Transformasi insektisida dapat menghasilkan lebih dari satu struktur kimia baru dari zat organic atau anorganik, dan anion atau ionic yaitu melalui beberapa jalur penguraian bahkan terkadang secara bersamaan. Beberapa reaksi transformasi insektisida yang terjadi di lingkungan : •
Reaksi reduksi dan oksidasi ( reaksi Redoks ), terjadi karena adanya dua spesies kimia yang mentransfer elektron misalnya bahan kimia, biological, atau fotokimia. Laju reaksinya tergantung pada pH dan potensial redoks.
•
Reaksi fotokimia terjadi dipicu oleh adanya radiasi cahaya matahari dan penyerapan radiasi. Yang mana terjadi pada panjang gelombang tertentu sehingga terbentuklah keadaan tereksitasi.
•
Biotransformasi, merupakan transformasi yang kontaminan oleh aktivitas mikroorganisme dan enzim ( biodegradasi ) sehingga mengalami perubahan strutur kimia. Reaksi yang terjadi meliputi : oksidasi, reduksi, hidrolisis bahkan penataan ulang.
•
Produk transformasi dapat membentuk produk antara dengan ukuran lebih besar, sukar terdegradasi dan lebih bersifat racun dari produk awal, kebanyakan golongan organokhlorida mengalami hal ini, jika terdegradasi produk lebih persisten dan terakumulasi dalam endapan.
B. Karbofuran 3
H 3C
4 5
2 H 3C
O 1
6 7 O
C
N H
O
CH3
Struktur molekul Karbofuran
109
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Karbofuran ( C12H15NO3 ) merupakan metabolit dari Karbosulfan, benfucarb, dan furathiocarb yang digunakan dalam pertanian ( Katsuma et.al.,2005 ). Menurut EPA – SARA karbofuran sangat toksik dan berbahaya, dapat bereaksi dengan khlor atau turunan khloro. Dalam air karbofuran membentuk senyawa organokhlorida yang lebih toksik ( Benitez et.al.,2001; Plese et.al.,2005 ), sehingga keberadaannya dalam perairan harus diwaspadai. Karbofuran memiliki nama dagang furadan, berbentuk butiran, serbuk basah, dan cairan. Yang berbentuk cairan sangat banyak dianjurkan penggunaannya pada tanaman padi dan jagung dengan Batas Maksimum Residu ( BMR ) masing – masing 0,2 dan 0,1 ppm ( Turner dan Carao, 1973 ). Persistensi Karbofuran diartikan sebagai waktu tinggal dalam lingkungan. Insektisida paling persisten adalah insektisida Organokhlorida. Karbofuran murni berbentuk kristal putih, bersifat tidak korosif, stabil dalam kondisi netral dan asam dengan suhu rendah. Sedangkan pada kondisi basa tidak stabil ( Gilliom et.al.,1969 dan Benitez et.al.,2004 ), pada suhu diatas 130 oC mengalami degradasi ( Cook et.al.,1969 ). C. Ozon Ozon ( O3 ) merupakan molekul sangat aktif, tidak stabil, dan efisien dalam penyisihan polutan. Ozon sangat selektif terhadap senyawa yang mengandung heteroatom seperti S, N, O dan Cl ( Ying et.al.,1999 ; Langlai et.al.,1991 ). Ozon digunakan untuk banyak tujuan yang berbeda seperti : disinfeksi, pengendali ganggang, rasa, bau, pengontrol warna, oksidasi anorganik polutan ( besi, mangan ), oksidasi organic mikro dan makro polutan seperti untuk peningkatan koagulasi. Ozon dapat merusak molekul yang besar dan kompleks serta memutus rantai panjang untuk membentuk molekul lebih kecil dan sederhana. Molekul yang lebih kecil bersifat biodegradable dan kurang berbahaya serta kurang berdampak terhadap lingkungan, sehingga dapat disisihkan dengan proses filtrasi atau proses biologi ( Eagleton,1999 ). Dalam beberapa hal, ozon tidak tetap berada pada bentuk molekulnya dan kadang terpisah dari molekulnya. Ozon pada suhu dan tekanan normal berupa gas, bersifat eksplosif, sangat korosif, bersifat racun, berwarna biru. Gas O3 lebih larut dalam air dibanding O2, kelarutan ozon dalam air bergantung pada suhu, tekanan parsial dalam fasa gas dan pH cairan. Waktu paruh dari molekul ozon dalam air bermacam – macam, mulai dari beberapa detik sampai beberapa menit ( jangka waktunya singkat ), dan itu juga tergantung pada pH, suhu, serta konsentrasi dari komposisi organic dan anorganik. Pada suhu kamar umur O3 dalam larutan air murni kira – kira 25 menit. Semakin besar suhu, kelarutan ozon dalam air semakin berkurang, itu terjadi karena menguapnya atau terdekomposisinya ozon tersebut, sehingga jumlah yang terlarut semakin kecil. Molekul ozon jika di dalam air bersifat tidak stabil dan terdekomposisi membentuk radikal atau spesies ionik seperti OH*, O3, O2, dan O-. Kestabilan ozon terutama dipengaruhi oleh pH, suhu, tipe kandungan organic alamiah ( NOM ) dan alkalinitas dalam air. ( Gunten, 2003 ). Reaksi dekomposisi ozon dengan adanya ion hidroksida ( Gunten, 2003 ) adalah sebagai berikut: O3 + OH
→ HO2 + O2
k = 70 M-1S-1
O3 +
HO2
→ OH* + O2*- + O2
k = 2,8.10-6M-1S-1
O3 +
O2
→ O3*- + O2
k = 1,6.109M-1S-1
110
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
pH < 8 : O3* + H +
k = 5.1010M-1S-1
↔ HO3*
k = 3,3.102S-1 HO3
→ OH* + O2
k = 1,4.105M-1S-1
↔ O*- + O2
k = 2,1.1010M-1S-1
pH > 8 : O3*
k = 3,3.109S-1 O* + H2O
→ OH* + OH-
k = 1.108S-1
OH *
→ HO2- + O2
k = 1.108-2.109M-1S-1
+ O3
Reaksi inisiasi dekomposisi ozon dapat dipercepat dengan meningkatkan pH atau penambahan hydrogen peroksida. ( Gunten, 2003 ). Dalam larutan, ozon reaktif beberapa senyawa organic ( M ) ( Langlai Bruno et al, 2002 ) melalui jalur yaitu: +M
Mox Reaksi Langsung
pH asam
O3 OH-
OH
M
M’ ox Reaksi dengan radikal
pH basa
• •
Reaksi secara langsung, terjadi oleh molekul ozon secara seri dan selektif, beberapa mekanisme reaksi yang dilalui ozon secara langsung dengan organic sebagai berikut ( Eagleton, 1999 ) :
O O C
+
O C
δ
C
OC
O C
δ
-O
O -
O OC
δ
δ
Gambar II.4. Mekanisme reaksi ozon secara langsung •
Reaksi secara tidak langsung, terjadi oleh radikal bebas yang terbentuk selama dekomposisi ozon, radikal bebas yang utama dari hasil dekomposisi ozon adalah hidroksida ( OH* ), radikal hidroksi peroksida ( HO2* ), radikal ion superoksida ( O2 ) dan ion radikal ozonida ( O3 ). ( Gunten, 2003 ; Eagleton, 1999 ). Radikal hidroksida ( OH* ) dapat mengoksidasi sebagian besar organic dengan cepat dan tidak selektif yang caranya memindahkan hydrogen atau merusak ikatan C=C. ( Chu dan Ching, 2003 ).
D. Ozonasi Proses ozonasi selalu meliputi dua spesies yaitu ozon ( O3 ) dan radikal hidroksida ( OH* ). (Langlai et al, 1991 ; Gunten, 2003 ). Faktor – faktor yang mempengaruhi ozonasi :
111
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
► Dosis ozon, penting diperlukan sebagai dasar dan input untuk menentukan pembangkit ozon dan system kontak. Konsumsi ozon dalam penerapannya tidak hanya untuk reaksi dengan senyawa target tetapi juga untuk non target dan dekomposisi ozon itu sendiri atau secara keseluruhan untuk merubah kualitas air dan suhu. ► Waktu kontak, sangat tergantung pada objek yang diolah. Pengaruh waktu kontak adalah pada kecepatan reaksi. Jika sebagai desinfeksi lamanya waktu kontak sangat berpengaruh pada perbandingan dosis dan terhadap respon yang diberikan, karena akan menentukan residu dan kerusakan yang ditimbulkan. Umumnya reaksi oksidasi senyawa dengan ozon memerlukan waktu kontak yang pendek. ► Derajat keasaman ( pH ). Kondisi larutan atau derajat keasaman sangat penting dalam ozonasi, karena dekomposisi ozon sangat tergantung pada pH. Pada pH asam dominan terjadi ozonasi secara langsung oleh O3 dan pada pH basa dominan ozonasi terjadi secara tidak langsung oleh radikal hidroksida. ► Suhu, dapat mempercepat reaksi tetapi dalam ozonasi kita harus mencari suhu yang tepat karena suhu sangat mempengaruhi keberadaan ozon dalam larutan. Semakin tinggi suhu maka kelarutan ozon semakin kecil, hal ini tidak diharapkan sebab akan mengganggu terjadinya reaksi. ► Penggunaan katalis, dalam ozonasi dapat dilakukan bila kontamina sukar diuraikan. Beberapa katalis yang dapat digunakan diantaranya adalah karbon aktif, besi oksida, zeolit dan mangan oksida. 3.Metodologi Penelitian Percobaan ini dilakukan dengan 2 tahap yaitu percobaan pendahuluan dan percobaan utama. Percobaan pendahuluan meliputi penentuan konsentrasi O3 yang dihasilkan ozonator, lalu kelarutan O3 dalam air demineral pada suhu 20, 25, dan 30 oC. Kemudian dilanjutkan pemilihan kecepatan pengadukan ( rpm ). Alat dan Bahan Dalam percobaan ini digunakan reactor ozonasi. Ozonator – RS 09805 – 0.25 (60/39 Hz, 110/220 volt dengan kapasitas 0.25 gr O3/jam) dan bahan reactor slury dilengkapi dengan diffuser keramik berpori. Alat analisa konsentrasi karbofuran yang digunakan adalah gas kromatografi (GC ) tipe 4C, detector ECD ( Electron Capture Detector ) buatan Shimazu dengan pelarut N-heksana dan gas pembawa N2, pH meter model 420A Thermo orion ( 50 Hz, 9 Volt, 1 Amper ) buatan China. Timbangan Elektrik EK G (max 200 gr, diameter 0,01 gr, 12 Volt, 100 mA ). Alat – alat gelas yang digunakan meliputi beker gelas, labu takar, pipet ukut, dan pipet tetes. Air demineral diperoleh dari aquatron auto still yamato tipe W-182. Insektisida Karbofuran Kristal putih 99.3 %, oleh Chem-Service. West Chester. Larutan KI, Na2S2O3.5H2O, Amilum, Na2CO3, NaOH, HCI oleh Merck K Gaa Darmstadt, Germani. Variabel yang dipelajari adalah waktu kontak ( 0, 3, 6, 10, 15, dan 30 menit ) dan suhu ( 20, 25, 30 ) oC. Cara Kerja 1. Penentuan konsentrasi ozon yang keluar dari ozonator Dialirkan gas ozon kedalam larutan 200 ml KI 20% selama 10 menit. Setelah 10 menit, ditambahkan Amilum. Dititrasi dengan Natrium Thiosulfat 0.097 M hingga warnanya hilang. 2. Penentuan Kelarutan O3 dalam Air Demineral Dimasukkan 300 ml demineral kedalam kolom reactor slurry dengan mengkondisikan pH 7, suhu dan jaga suhu ( 20, 25, atau 30 ) oC tetap dengan ±2 oC. Dijenuhkan ozon dalam air demineral selama 30 menit.
112
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Diozonasi selama 30 menit dengan mengambil sample sebanyak 5 ml setiap 0, 3, 6, 10, 15, dan 30 menit. Ditambah larutan KI 5% sebanyak 10 ml. Diteteskan HCI dan indicator kanji ( warna berubah menjadi ungu kebiru – biruan ). Dititrasi dengan larutan Natrium Thiosulfat 0.097 M hingga warnanya hilang. Dicatat volume Natrium Thiosulfat yang terpakai. Dihitung kelarutan O3 dalam air. 3. Ozonasi dengan Penambahan Karbofuran Air demineral sebanyak 240 ml dimasukkan ke dalam kolom reactor pipa. Dibuat kondisi pada pH 7, suhu dan jaga suhu ( 20, 25, dan 30 oC ) tetap dengan ±2 oC. Ozon dijenuhkan dalam air demineral selama 30 menit. Dimasukkan karbofuran 4,52.10-4M sebanyak 60 ml sehingga konsentrasi karbofuran 9,04.10-5M. Diozonasi selama 30 menit dengan pengambilan sample sebanyak 5 ml setiap 0, 3, 6, 10, 15, dan 30 menit. Analisa konsentrasi insektisida sisa dengan gas kromatografi dan konsentrasi O3 sisa secara iodometri. 4. Cara Penentuan RPM Pengadukan Air demineral sebanyak 240 ml dimasukkan ke dalam kolom reactor pipa dengan mengkondisikan pada pH 7 dan suhu ruangan ±27 oC. Ozon dijenuhkan dalam air demineral selama 30 menit, lalu dimasukkan karbofuran 4,52.10-4M ke dalam reactor sebanyak 60 mlsehingga didapatkan konsentrasi karbofuran sebanyak 9,04.10-5M. RPM pengadukan dalam reactor dilakukan pada angka 250, 350, 450, 550, dan 650. Kemudian konsentrasi karbofuran sisa dengan cara iodometri. Hasil percobaan ini dapat dilihat dari hubungan antara konversi ( Xc ) dengan rata – rata kecepatan pengadukan ( rpm ). 5. Cara Penentuan O3 sisa yang tidak bereaksi dengan Karbofuran Diambil sample sebanyak 5ml. Ditambahkan KI5% sebanyak 10 ml. larutan KI tersebut ditetesi indicator kanji ( ungu kebiru – biruan ). Dititrasi dengan larutan Natrium Thiosulfat 0.097 M hingga warna hilang. Dicatat volume Natrium Thiosulfat yang terpakai.
4. Hasil dan Pembahasan Penentuan konsentrasi rata – rata ozon yang keluar dari ozonator tujuannya untuk mendapatkan jumlah ozon yang keluar dari ozonator. Rata – rata jumlah ozon yang dihasilkan selama pengaliran 10 menit adalah 0.816 gr/L atau 1.7 x 10-2 M. Dengan demikian jumlah ozon yang dipergunakan jauh lebih besar daripada jumlah karbofuran ( ± 4,52 x 10-5 M ). Tujuan percobaan dari pengaruh suhu terhadap kelarutan ozon dalam air demineral ini adalah untuk melihat kelarutan ozon dalam air tanpa menggunakan katalis. Percobaan ini dilakukan dalam air demineral dengan dengan suhu 20, 25, dan 30 oC.
113
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 1. Hubungan kelarutan tehadap waktu
Semakin besar suhu kelarutan ozon semakin kecil ( Eagleton, 1999 ). Pada waktu 30 menit di suhu 20 o
C ( 10.303 gr/L O3 ), 25 oC ( 7.985 gr/L O3 ), dan 30 oC ( 6.55 gr/L O3 ). Hal ini disebabkan semakin besar suhu,
terjadinya dekomposisi ozon semakin cepat ( Langlai, 1991 ). Persen ( % ) penyisihan karbofuran dalam larutan karbofuran secara ozonasi pada pH 7 di berbagai suhu ( 20, 25, dan 30 oC ) selama 30 menit, persentasi penyisihan karbofuran semakin besar yaitu di suhu 20 oC ( 73% ), 25 oC ( 88% ) dan 30 oC ( 95% ).
Gambar 2. Hubungan % penyisihan terhadap waktu
Hal ini disebabkan semakin besar suhu dekomposisi O3 menjadi OH* dan radikal O2 semakin besar, sehingga reaksi penyisihan karbofuran dengan OH* dan radikal O2 semakin cepat, disamping itu dengan semakin besar suhu reaksi antara O3 dengan karbofuran semakin cepat. 5. Kesimpulan Percobaan pengaruh suhu terhadap kelarutan O3 dan penyisihan karbofuran dengan cara ozonasi pada pH 7 dan berbagai suhu ( 20, 25, 30 oC ) dapat disimpulkan : 1. Persen penyisihan karbofuran semakin tinggi seiring dengan kenaikan suhu. Pada percobaan ini suhu penyisihan karbofuran terbaik adalah pada suhu 30 oC.
114
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
2. Kelarutan ozon semakin rendah seiring dengan kenaikan suhu. Pada percobaan ini suhu kelarutan ozon yang terbaik terjadi pada suhu 20 oC.
Daftar Pustaka 1.
Benitez, F.J., Acero, J.I., and Real, F.J., 2001, “ Degradasi of Carbofuran by using Ozone, UV Radiation and Advanced Oxidation Processes “, Proceeding of The 15th World Congress, London, Vol. 2, pp.131-146
2.
Burke, E.R., Holden A.J., and Shaw I.C., 2003, “ A Methode to determine Residue Levels of Persistens Organochlorine Pesticides in Human Milk from Indonesian Woman “, Chemosphere, Vol.50, pp. 529535
3.
Chu, W., and Ching, M. H., 2003, " Modeling the ozonation of 2,4-dichlorophoxyacetic acid through an kinetic approach ", Water Research,Vol.37, pp 39-46.
4.
Cook, J. L., Baumann, P., Jackman, J. A., and Stevenson, D., 2004, " Pesticide characteristics that affect water quality. Texas Agricultural Extension Service ", The Texas A%M University System, pp. 24, (http:insects.tamu.edu/extension/bulleins/water/water0.1.html)
5.
Eagleton, J., 1999, " Ozone ( O3 ) In Drinking Water Treatment ", Draft-JGE.
6.
Evers, S., 2004, " Enviromental Fate of Carbofuran ", pp 14.
7.
(http://www.cdpr.a.gov/docs/empm/pubs/fatememo/carbofuran.pdf)
8.
Extoxenet, 2000, " Pesticide Information Profiles : Carbofuran ", Extension Toxicologi Network, Oregon State University. (http://ace.orst.edu/info/extoxnet/pips/carbofuran.html)
9.
Gilliom, R. J., 1997, Pesticides in Ground Water, Lewis Publisher, London New York Washington, D.C.
10. Gunter, U. V., 2003, " Ozonation of drinking water : Part I. Oxidation kinetics and product formation ", Water Research, Vol.37, pp.1443-1467. 11. Katsumata, H., Matsuda, k., Kaneco, S., Suzuki, T., Ohta, K., Yobiko, Y., 2005, " Degradation of carbofuran in aquaeous solution by Fe (III) aquacomplexes a effective photo catalysis ", Jurnal of Photochemistry and Photobiology A: Chemistry, 170, pp.239-245 12. Langlais, B., David, A. R., Brink, D. R., 1991, " Ozone in Water Treatment Application Engineering ", Cooperative Research Report. Florida. Lewis Publishing. 13. Mahler, R. I., Hugh, W., Homan and Carpenter, G. F., 2002, " Pesticide and Their Movemen in Soil and Water ", University of Idaho. Pp. 13 (http://www.UIdaho.edu/wqpubs/cis865.html) 14. Plese Luis Pedro de Melo., Lourival Costa Paraiba., Luiz Lonardoni Foloni., Luiz Roberto Pimentel Trevizan., Jurnal Chemosphere, Vol.60, (2005), pp. 149-156. 15. Sudibyaningsih, T., (1993), Pestisida Dalam Bahan Pangan Anak Balita dan Keluarga Petani Sayur di Daerah Lembang dan Pangalengan. Universitas Padjadjaran, Bandung. 16. Supriadi, (2003), Penggunaan insektsida sudah melampaui batas. Suara Merdeka, Jateng. 17. Turner, B. C., and Caro, J. H., 1973, " Uptake and Distribution of Carbofuran and Its Metabolites in Field-Grown Corn Plant ", J. Environ. Qual, Vol.2, pp. 245-246.
115
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
18. Underwood, A. L., and Day, R. A., 1980, " Quantitative Chemical Analysis ", Emory University, 294. 19. Wong, S. S., 1997, Guide to Pesticide Tolerance on Crops in Taiwan Agricultural Chemicals and Toxic Substance, Research Institute, 150.
TANYA JAWAB : Penanya : Teguh Sulityo. Mengapa pada suhu 30oC dan 20oC hasil penyisihan dan kelarutan karbofuran dan ozon sangat berbahaya bagi kesehatan manusia? Jawaban : Karbofuran jika bereaksi dengan Chlor akan membentuk senyawa Organokhlorida yang bersifat toksid ( berpengaruh pada system urat syaraf) jika ikut dalam rantai makanan yang masuk kedalam tubuh manusia. Suhu (20; 25; 30)oC tidak berpengaruh terhadap penyisihan karbofuran agar tidak berbahaya bagi manusia daan lingkungan.
.
116
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
PENGOLAHAN LIMBAH PESTISIDA SECARA OZONASI KATALITIK DAN NON KATALITIK Ika Puspita Jurusan Teknik Kimia - UNPAM Abstrak Pestisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk membasmi hama maupun penyakit pada tanaman. Jenis pestisida barmacam – macam dan diantaranya endosulfan dan karbofuran. Jenis pestisida ini sering digunakan petani dan menimbulkan pencemaran lingkungan perairan terutama irigasi.untuk menangani hal tersebut dilakukan berbagai macam cara salah satunya dengan ozonasi katalitik dan non katalitik dengan pH yang berbeda selama 60 menit maka akan didapat kondisi terbaik untuk penyisihan endosulfan dan karbofuran.
I. Pendahuluan Pestisida merupakan semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk membasmi serta memberantas hama dan penyakit yang mengagganggu bagi pertumbuhan suatu organisme (khususnya dalam pertanian). Pestisida merupakan bahan kimia yang dalam sejarah umat manusia telah memberikan banyak jasanya baik dalam bidang pertanian, kesehatan, pemukiman, dan kesejahteraan masyarakat lainnya. Berkat pestisida manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman berbagai penyakit yang membahayakan seperti malaria dan demam berdarah, kaki gajah, dll. Pada mulanya produksi pertanian juga berhasil ditingkatkan karena pemakaian dari pestisida yang dapat menekan populasi hama dan kerusakan tanaman akibat serangan hama. Penggunaan pestisida dari tahun ke tahun di Indonesia pada industri pertanian dan perkebunan semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya bahan aktif yang beredar di pasaran. Pada tahun 1990 terdapat sedikitnya 488 jenis nama dagang pestisida yang beredar di pasaran dan pada tahun 2002 terdapat 813 jenis, nama-nama pestisida tersebut belum termasuk pestisida untuk rumah tangga. Sekarang hampir 2000 jenis bahan aktif pestisida yang telah dibuat dengan 40.000 jenis nama dagang yang telah beredar secara luas di seluruh dunia. (Direktorat Pertanian dan Pestisida, 2002) Kurang lebih sekitar 60-99% pestisida yang diaplikasikan akan tertinggal pada target atau sasaran, sedangkan apabila digunakan bentuk serbuk, hanya 10-40% yang mencapai target, sisanya terbawa ke udara atau aliran air atau tertinggal pada tanah sehingga menjadi media yang sudah tercemar. Diperkirakan apabila pestisida tidak digunakan, maka produksi hasil pertanian akan berkurang sekitar 30-60% (Atmawidjaja, 1986). Efek negatif tersebut berupa residu pestisida dalam lingkungan terutama di tanah dan perairan yang dapat membahayakan bagi kesehatan. Efek lain yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida adalah membahayakan organisme bukan sasaran. Selain itu pestisida yang digunakanpun mempunyai tingkat keracunan yang berbeda-beda antara jenis pestisida yang satu dengan yang lainya. Dilaporkan bahwa 60-99% pestisida yang diaplikasikan akan tertinggal pada target atau sasaran, sedangkan apabila digunakan bentuk serbuk, hanya
117
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
10-40% yang mencapai target, sedangkan sisanya terbawa ke udara atau aliran air ataupun tertinggal pada tanah sehingga menjadi media yang sudah tercemar (Ware, 1978 dalam Noegrohati, 1987). Sebagian besar petani padi sawah di Indonesia menggunakan pestisida dari jenis endosulfan dan karbofuran. Melihat ancaman yang dapat ditimbulkan terhadap lingkungan oleh pestisida terutama golongan pestisida yang sukar diuraikan secara alamiah dan bersifat sangat toksik, oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan pestisida dan pengelolaan terhadap media yang dicemari oleh residu pestisida tersebut. Pengolahan dapat dilakukan secara alami melalui proses hidrolisa akan tetapi membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menguraikan pestisida. Hasil penguraian ini pun dapat membentuk senyawa intermediet yang lebih berbahaya dan beracun, serta memiliki persistensi yang panjang. Oleh karena itu, diperlukan penanganan pestisida lebih lanjut. Salah satu prinsip penanganan pestisida adalah dengan menguraikannya secara oksidasi. Beberapa senyawa oksidator yang dapat digunakan antara lain hidrogen peroksida (H2O2) dan ozon maupun kombinasinya. Pada percobaan ini digunakan senyawa ozon sebagai pengoksidasi yang kuat, dapat menguraikan molekul yang besar menjadi molekul yang kebih kecil atau sederhana, meningkatkan sifat degradasi senyawa yang diuraikan dan dapat meningkatkan oksidasinya dengan cara mengkombinasikan dengan UV, H2O2 dan katalis. 2. Teori Ditinjau dari bahasanya, pestisida berasal dari kata “pest” yang berarti pengganggu atau hama dan “sida” yang berarti pembunuh atau mematikan. Jadi secara umum pestisida berarti semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk membasmi serta memberantas hama dan penyakit yang mengagganggu bagi pertumbuhan suatu organisme (khususnya dalam pertanian). (Priyono, tanpa tahun). Berdasarkan sasaran yang hendak dimusnahkan, pestisida terbagi atas beberapa bagian di antaranya insektisida, herbisida, fungisida, dan lainnya. Namun dalam hal ini lebih difokuskan pada insektisida yang digunakan untuk membunuh serangga. Karbofuran merupakan salah satu jenis pestisida golongan karbamat, memiliki rumus molekul C12H15NO3, dengan nama kimia 2,3-dihidro 2,2-dimetil 7-benzonil metilkarbamat. Karbofuran berbentuk kristal putih, tidak berbau, meleleh pada suhu 150oC sampai 152oC (murni) dan mempunyai tekanan uap sebesar 2 x 105
mmHg pada temperatur 33oC serta larut dalam air pada temperatur 25oC. Senyawa ini memilki nama dagang furadan, oleh Departemen Pertanian sudah dilarang penggunaannya
sejak tahun 1996, tetapi kenyataannya masih ditemukan dipasaran berupa butiran, serbuk basah dan fluida. Karbofuran memiliki tekanan uap (8,3.10-6 mmHg (25oC) dan konstanta Hendry yang rendah (3,9.10-9 atm.m3/mol), data ini menunjukkan bahwa kemugkinan karbofuran untuk menguap ke udara dari air atau dari tanah kecil (Duel et.al,1979). Sehingga jumlah atau konsentrasi karbofuran di udara rendah. Karbofuran memiliki kalarutan yang besar dalam air dan terhidrolisa cepat dengan adanya katalis basa (0,54 hari pada pH 9,0 (25oC)), dimana sebagian besar karbofuran terdegradasi baik di air dan di sedimen. Karbofuran di lingkungan tanah. Kelarutan karbofuran di dalam air tinggi (351 ppm/liter pada 25oC) dan koefisien adsorpsi rendah (Koc 22) dan koefisien partisi oktanol-air (log Kow) = 1,52 maka dari tersebut mobilitas karbofuran relatif besar di dalam tanah dan air permukaan. Sehingga pada aplikasi karbofuran
118
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
berpotensi mencemari danau, sungai dan air tanah. Karbofuran di tanah dapat mengalami hidrolisa, oksidasi dan mineralisasi. Endosulfan ( C9Cl6H6O3S ) pada keadaan murni berbentuk kristal berwarna coklat. Insektisida jenis ini umumnya digunakan pad tanaman padi, jagung, kopi, kapsa, tomat, teh dan penggunaannya sudah dilarang sejak tahun 1996 tetapi sampai tahun 2004 masih beredar dipasaran dengan nama dagang diantaranya thiodan dan berupa larutan emulsi 500g/l, powder basah 25%, debu 2%, 3% da 4% granular 5% dan 10%. Menurut EPA, endosulfan merupakan substansi sangat berbahaya, B3 lethal oral untuk manusia 50 – 500 mg/kg atau 1 sendok teh – 1 ons untuk 150 lb berat badan (Marshall Sittig, 1993). Dilihat dari koefisien absorpsi dapat diduga endosulfan terserap baik di dalam tanah dan kemungkinan terlepas ke dalam air tanah dan airpermukaan sangat kecil sekali karena memiliki kelarutan yang sangat kecil. Endosulfan di lingkungan udara Tekanan uap endosulfan bila dibandingkan dengan karbofuran dan DDT, ternyata lebih besar yaitu 8,3.10.E-4 Pa pada 25oC untuk 2:1 campuran Alfa dan beta-isomer, bila endosulfan terdapat di udara maka akan mudah terserap secara inhalasi. Endosulfan di lingkungan air Endosulfan mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (0,32 – 0,33 mg/l) dan terhidrolisa pelan dalam larutan asam dan baru terhidrolisa dengan baik pada pH sekitar 9,0 Endosulfan di lingkungan tanah Endosulfan mempunyai koefisien sorpsi cukup besar (Koc 12.400 bahkan antara 3000-20.000 ml/g.OC pada 20-25oC), berat jenis lebih besar dari air (1.735 pada 20oC pada pH 7.2 alam air) dan sifat persisten yang tinggi.sifat tersebut, maka endosulfan akan terikat baik dengan tanah,terlepas ke air permukaan kecil kecuali akibat pemakaian yang disemprotkan dan ini berakibat terhadap pencemaran air dan lainnya. Proses Hidrolisis Reaksi Hidrolisis adalah reaksi pestisida dengan air pada media abiotik atau biological. Kebanyakan reaksi hidrolisis terjadi melalui mekanisme subtitusi nukleofil dan diserang oleh atom dalam molekul elektrofil menghasilkan molekul lebih kecil, mudah larut dalam air dan membentuk ikatan baru C-OH atau C-H Ozon (O3) Ozon (O3) pertama kali digunakan sebagai senyawa disinfeksi dalam distribusi air minum di negara Perancis pada awal tahun 1900-an. Penggunaan ozon pada instalasi pengolahan ini umumnya ditujukan untuk pengendalian rasa air, bau dan zat-zat yang dapat menimbulkan warna. Penggunaan ozon sebagai senyawa disinfeksi untuk air limbah secara ekonomis telah semakin kompetitif. Ozon juga dapat digunakan dalam pengolahan air limbah untuk pengendalian bau serta penghilangan zat-zat organik berbahaya yang terlarut di dalam air limbah. ¾
Sifat Fisik Ozon
119
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Ozon (O3) adalah bentuk alotropik dari oksigen (O2), senyawa ini merupakan gas tak berwarna (pada suhu kamar) yang mengembun membentuk suatu cairan biru pada temperatur -112oC, dan membeku pada suhu 251,4oC. Pada suhu di atas 100oC akan dengan cepat mengalami dekomposisi. Ozon merupakan gas yang mempunyai bau seperti pedas (pungent), tajam (acrid), tidak enak, seperti bahan pemutih klor, dan seperti sesuatu yang menusuk dalam lubang hidung. Ozon merupakan gas yang sangat beracun, lebih beracun dari pada sianida (KCN atau NaCN), striknina dan karbon monoksida. Spesifikasi ozon adalah sebagai berikut: •
Berat molekul
•
Kerapatan relatif terhadap udara : 1.667
•
Berat jenis pada 0oC dan 1 atm : 2,143 Kg/m3
•
Panas pembentukan pada volume tetap : 143 Kj/mol (34,2 kkal/mol)
: 48 g/mol
Ozon adalah oksidan yang sangat ampuh, memiliki potensial oksidan 2,07 volt. Dalam larutan cair, ozon relatif tidak stabil dimana memiliki waktu paruh (half-time) sekitar 20-30 menit di dalam air destilat pada suhu 20oC. Tetapi pada udara kering, ozon akan lebih stabil dengan waktu paruh sekitar 12 jam (Rise & Browning, 1981). Ozon merupakan zat yang keberadaanya kurang stabil dengan titik didih sebesar -112oC pada tekanan atmosfer. Ozon memiliki kelarutan di dalam air, bersih dan aman untuk proses oksidasi, juga memiliki karakterisasi menghilangkan bau. ¾
Sifat Kimia Ozon Ozon berbentuk gas pada temperatur dan tekanan normal. Kelarutan oksigen dalam air bergantung pada
temperatur dan tekanan parsial ozon dalam fasa gas, di samping adanya pengaruh pH cairan. Sebagai senyawa tak stabil, yang mudah terurai kembali menjadi oksigen, laju reaksi dekomposisinya bertambah besar sebanding dengan kenaikan suhu dan pH. ¾
Kelarutan dan Kestabilan Ozon O3 lebih larut dalam air dibandingkan O2 pada order yang besar, kelarutan ozon dalam air bergantung
pada suhu, tekanan parsial dalam fasa gas dan pH cairan. Umur O3 dalam larutan pendek, kira-kira dalam air murni hanya 25 menit pada suhu kamar, selanjutnya terdekomposisi membentuk reaksi samping. Molekul ozon tidak stabil dalam air dan terdekomposisi membentuk radikal atau species ionic seperti OH*. 03-, O2-, dan O- . Kestabilan ozon sebagian besar bergantung pada kandungan air terutama pH, tipe dan kandungan organic alamiah (NOM) dan alkalinitas. Dekomposisi ozon dengan dan tanpa katalis sangat dipengaruhi oleh pH air karena ion hidroksida (OH-) berfungsi sebagai inisiator dekomposisi ozon, diantaranya reaksi sebagai berikut (Langlai Bruno, 1991 dan gunten, 2003), diantaranya reaksi dekomposisi ozon adalah sebagai berikut : → HO2- +
O3 + OH-
O3 + HO2
→ OH
O2· -
O3· -
O3 +
1.
·
→
+
O2 O2· -
+ O2
+ O2
k = 70 M-1 S-1 -1
k = 2,8.10 M S 9
-1
(1) -1
(2)
-1
k = 1,6.10 M S (3)
Reaksi Secara Langsung oleh molekul ozon, sangat selektif, pelan dan melalui tiga mekanisme yaitu :
120
ISSN 977.2086796.00.2
-
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Penambahan siklo (+ dan -) terjadi pada ikatan jenuh sebagai dipole dan membentuk : Ozonida → Karbonil (aldehid dan keton) → Hidroksi- hidroperoksida → karbonil dan hidrogen peroksida.
-
Elektrofilik (+) terjadi ditempat molekul yang densitas elektroniknya kuat misalnya : aromatis (fenol dan anilin) elektronik kuat terjadi pada posisi orto dan para.
-
Nukleofilik (-) terjadi pada molekul ditempat yang densitas elektroniknya kurang dan lebih sering terjadi pada karbon yang mempunyai gugus yang lepas.
2.
Reaksi Secara Tidak Langsung melalui radikal yang terbentuk selama dekomposisi ozon. Radikal tersebut adalah yang utama radikal hidroksida (OH*), radikal hifrokso peroksida (HO2*), radikal ion superoksida (O2-). Dalam media yang kompleks reaktivitas mikropolutan dengan ozon harus lebih tinggi supaya dapat terurai. Reaksi awal molekul ozon terjadi pada ikatan multiple (C=C, C=C-OR, -C=C-X) atau pada atom yang membawa perubahan muatan negatif (N,P, O, S dan nukleofilik karbon). Untuk senyawa aromatis reaktifitas awal kuat terjadi pada posisi orto dan para serta disubtituen seperti : OH, CH3 atau OCH3.
Proses Ozonasi Non Katalitik Proses ozonasi selalu meliputi dua spesies yaitu ozon (O3) dan radikal hidroksida (OH.) (Langlai Bruno et al., 1991; Guten, 2003). Peran masing-masing spesies dalam proses ozonasi dapat diketahui dengan mengkondisikan pH reaksi. Pada pH asam dominant terjadi ozonasi secara langsung oleh O3 dan pada pH basa dominant ozonasi secara tidak langsung oleh radikal hidroksida. Ozon sangat selektif terhadap senyawa yang mengandung heteroatom seperti S, N, O dan Cl. Faktor-faktor yang mempengaruhi ozonasi •
Dosis ozon.
•
Waktu kontak dan objek yang diolah
•
Derajat keasaman (pH)
•
Temperatur
•
Penggunaan katalis
3. Metodologi Penelitian Proses Hidrolisa -
Ditimbang insektisida Karbofuran sebanyak 0.005 gram dan Endosulfan sebanyak 0.0052 gram
-
Dilarutkan ke dalam 500 ml aquades (untuk endosulfan dilarutkan terlebih dahulu dalam 1 ml etanol)
-
Dikondisikan pH dengan menambahkan HCl 1 M atau NaOH 1 M kemudian diaduk agar tercampur rata
-
Diambil 20 ml sample setiap 0, 5, 10, 15, 30 dan 60 menit kemudian dianalisa GC
121
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Penentuan kelarutan O3 dalam aquades -
Dimasukkan 500 ml aquades kedalam kolom ozonasi
-
Kondisikan pH kemudian dialirkan ozon
-
Diambil sample sebanyak 5 ml setiap 5, 10, 15 dan 20 menit
-
Ditambahkan larutan KI 5 % sebanyak 10 ml
-
Diteteskan indikator kanji (warna berubah menjadi ungu kebiru-biruan)
-
Dititrasi dengan larutan Natrium Thiosulfat 0.097 M hingga warna hilang
-
Dicatat volume Natrium Tiosulfat yang terpakai
Proses Ozonasi Non Katalitik -
Dimasukkan 500 ml aquades ke dalam kolom ozonasi
-
Kondisikan pH kemudian dialirkan ozon selama 10 menit
-
Dimasukkan insektisida Karbofuran dan Endosulfan
-
Diambil sample sebanyak 20 ml setiap 0, 5, 10, 15, 30 dan 60 menit
-
Dianalisa GC
Proses Ozonasi Katalitik -
Dimasukkan 500 ml aquades ke dalam kolom ozonasi
-
Kondisikan pH
-
Dimasukkan karbon aktif sebanyak 0.5 gram
-
Dialirkan ozon selama 10 menit
-
Dimasukkan insektisida Karbofuran dan Endosulfan
-
Diambil sample sebanyak 20 ml setiap 0, 5, 10, 15, 30 dan 60 menit
-
Dianalisa GC
Penentuan Ozon sisa (baik ozonasi non katalitik maupun non katalitik) •
O3 sisa yag tidak terlarut Pada proses ozonasi, ozon yang tidak terlarut dalam sampel dialirkan ke dalam erlenmeyer yang berisi
larutan KI 5 % sebanyak 20 ml. Ozon yang terdapat di dalam larutan KI tersebut merupakan ozon sisa yang dapat ditentukan dengan cara:
•
-
Larutan KI tersebut diteteskan indikator kanji (ungu kebiru-biruan)
-
Dititrasi dengan larutan Natrium Thiosulfat 0.097 M hingga warna hilang
-
Dicatat volume Natrium Tiosulfat yang terpakai
O3 sisa yang tidak bereaksi dengan pestisida -
Diambil sampel sebanyak 5ml
-
Kemudian ditambahkan KI 5 % sebanyak 10ml
-
Larutan KI tersebut diteteskan indikator kanji (ungu kebiru-biruan)
-
Dititrasi dengan larutan Natrium Thiosulfat 0.097 M hingga warna hilang
-
Dicatat volume Natrium Tiosulfat yang terpakai.
4. Hasil dan Pembahasan Pada penelitian ini dilakukan tiga macam proses penyisihan terhadap pestisida karbofuran dan endosulfan, yaitu proses hidrolisa, ozonasi non katalitik dan ozonasi katalitik. Pada prinsipnya karbofuran dan
122
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
endosulfan di lingkungan perairan dapat terurai menjadi senyawa lain yang lebih sederhana melalui proses hidrolisis, oksidasi dsb, akan tetapi proses alamiah tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, oleh karena itu dilakukan pengolahan lebih lanjut dengan proses ozonasi. Ozonasi merupakan proses oksidasi yang dapat menguraikan pestisida karbofuran dan endosulfan menggunakan O3. Proses ozonasi yang dilakukan adalah metoda ozonasi non katalitik dan katalitik. Pada ozonasi katalitik digunakan karbon aktif sebagai katalis. Penyisihan konsentrasi pestisida melalui proses hidrolisa, ozonasi katalitik, dan ozonasi non katalitik dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu jenis pestisida, waktu operasi, dan pH. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan proses hidrolisa,ozonasi non katalitik, dan katalitik Proses hidrolisa merupakan proses penyisihan pestisida secara alami di dalam air. Reaksi hidrolisis terjadi melalui mekanisme subtitusi nukleofil dimana atom pada molekul nukleofil diserang oleh atom dalam molekul elektrofil menghasilkan molekul lebih kecil, mudah larut dalam air dan membentuk ikatan baru C-OH atau C-H (Gilliom, et al.1999). Grafik Persentase Penyisihan Karbofuran Secara Hidrolisa
Grafik Persentase Penyisihan Endofuran Secara Hidrolisa 40
60
Persen Penyisihan
30
40
Persen 20 Penyisihan 10
20 0
5 10 15 30 60 t(menit)
t(menit)
pH 5
pH 5
pH 7
pH 9
5
10 15
pH 7
30
60
pH 9
Gambar 3 Penyisihan Konsentrasi Karbofuran Secara Hidrolisa (kiri) Gambar 4 Penyisihan Konsentrasi Endosulfan Secara Hidrolisa (kanan)
Berdasarkan gambar 3 dan 4 diatas, dapat dilihat bahwa semakin lama waktu proses hidrolisa, baik untuk karbofuran maupun endosulfan, maka semakin besar pula persen penyisihannya. Sebagai contoh, untuk karbofuran pH 5 pada t = 60 menit diperoleh persentase penyisihan sebesar 15.597 %, sedangkan pada t = 15 menit sebesar 6.195 % dan untuk endosulfan pH 5 dihidrolisa selama 60 menit persentase penyisihannya sebesar 20.043 %, sedangkan pada t = 15 menit sebesar 4.33 %. Gambar hasil percobaan tersebut juga menunjukkan bahwa persentase penyisihan konsentrasi pestisida secara hidrolisa cukup kecil, hal ini membuktikan bahwa pestisida karbofuran dan endosulfan memang terurai secara alami, akan tetapi membutuhkan jangka waktu yang panjang untuk menguraikan menjadi konsentrasi yang sangat kecil.Selain itu, dari gambar IV-3 dan IV-4 juga dapat dilihat bahwa karbofuran dan endosulfan terhidrolisa dengan baik pada kondisi basa (pH 9). Pada pH 9 sebesar 32.412%, sedangkan untuk endosulfan dengan waktu hidrolisa 15 menit, pada pH 5 diperoleh persen penyisihan sebesar 4.33 %, pada pH 7 persen penyisihannya sebesar 5.761%, dan pada pH 9 sebesar 10%. Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa degradasi karbofuran di dalam air dapat dilakukan melalui hidrolisis pada kondisi alkali dan degradasi oleh mikroba Kelarutan Endosulfan di dalam air sebesar 22 ppm sedangkan karbofuran sebesar 320 ppm (Gilliom.et al. 1999), penyisihan karbofuran secara hidrolisa lebih baik dibandingkan penyisihan endosulfan. Dari hasil penelitian yang diperoleh, persentase penyisihan endosulfan lebih kecil daripada karbofuran.
123
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Proses ozonasi merupakan proses penyisihan pestisida secara oksidasi dengan menggunakan senyawa ozon (O3). Pada proses ozonasi molekul-molekul ozon menyerang permukaan pestisida sehingga terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana dan tidak berbahaya, serta dapat meningkatkan sifat degradasi senyawa yang dioksidasi. Grafik Persentase Penyisihan Karbofuran pada Ozonasi Non Katalitik
Grafik Penyisihan Endosulfan pada Proses Ozonasi Non Katalitik 80
80
P e rs e n ta s i P e n y is ih a n
P e rs e n p e n y is ih a n
100 60 40 20 0 0 5 10 15 30 60 t (menit) pH 5
pH 7
pH 9
60 40 20 0 0
5 10 15 30 60 t (menit)
pH 5
pH 7
pH 9
Gambar 5 Penyisihan Konsentrasi Karbofuran Secara Ozonasi Non Katalitik (kiri) Gambar 6 Penyisihan Konsentrasi Endosulfan Secara Ozonasi Non Katalitik (kanan)
Berdasarkan gambar IV-5 dan IV- 6 , dapat dilihat bahwa semakin lama waktu kontak ozon dengan pestisida karbofuran dan endosulfan, maka semakin kecil pula konsentrasinya, hal ini terjadi karena semakin lama waktu ozonasi non katalitik maka semakin banyak molekul O3 yang bereaksi dengan pestisida, sehingga konsentrasi pestisida semakin menurun. Hal ini dapat dilihat dari salah satu data yaitu pada t = 60 menit dan pH 5 konsentrasi karbofuran berkurang sebesar 87.276 % dari konsentrasi awal, dibandingkan pada t = 15 menit sebesar 86.66 %, sedangkan untuk endosulfan pada t = 60 menit dan pH 5 konsentrasinya berkurang sebesar 75.746 % dari konsentrasi awal, dibandingkan pada t = 15 menit sebesar 70.669 %. Dari gambar diatas juga dapat dilihat bahwa penyisihan karbofuran secara ozonasi non katalitik, paling baik terjadi pada pH 9 dengan persentase penyisihan sebesar 92.888 %, dibandingkan pada pH 5 sebesar 87.276 % dan pH 7 sebesar 86.786 % sedangkan untuk Endosulfan proses ozonasi paling baik terjadi pada pH 5 dengan persentasi penyisihan sebesar 75.746 %, dibandingkan pada pH 7 sebesar 66.329 % dan pH 9 sebesar 66.927 %. Hal ini disebabkan karena karbofuran pada pH basa bereaksi dengan ozon dan radikal hidroksida (terbentuk dalam suasana basa), sehingga penyisihannya sangat baik terjadi jika pada suasana basa, sedangkan endosulfan merupakan pestisida jenis organoklorida yang hanya bereaksi dengan ozon, sehingga penyisihannya baik di pH asam karena pada pH asam dominan terjadi ozonasi secara langsung oleh O3. Pada pH basa dominan terjadi ozonasi secara tidak langsung oleh radikal hidroksida.
124
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Grafik Persentase Penyisihan Karbofuran pada Ozonasi katalitik
Grafik Penyisihan Endosulfan pada Proses Ozonasi Katalitik 80
80
Persen tasi Pen yisih an
Persen Pen yisih an
100
60 40 20
60 40 20 0
0 0
5
10 15 30 60 t (menit)
pH 5
pH 7
pH 9
5
10 15 30 60
t (menit) pH 5
pH 7
pH 9
Gambar 7 Penyisihan Konsentrasi Karbofuran secara Ozonasi Katalitik (kiri) Gambar 8 Persentase Penyisihan Endosulfan secara Ozonasi Katalitik (kanan) Berdasarkan gambar 7 diatas, dapat dilihat bahwa semakin lama waktu kontak ozon dengan pestisida karbofuran dan endosulfan, maka semakin kecil pula konsentrasinya, hal ini terjadi karena semakin lama waktu ozonasi katalitik maka semakin banyak molekul O3 yang bereaksi dengan pestisida, sehingga konsentrasi pestisida semakin menurun. Selain itu, pestisida karbofuran, endosulfan dan ozon teradsorpsi secara bersamaan pada permukaan katalis (karbon aktif). Hal ini dapat dilihat dari salah satu data yaitu pada t = 60 menit dan pH 5 konsentrasi karbofuran berkurang sebesar 93.775 % dari konsentrasi awal dibandingkan pada t = 15 menit, persen penyisihannya sebesar 91.024 %, sedangkan untuk endosulfan dengan waktu dan pH yang sama, berkurang sebesar 76.512 % dari konsentrasi awal dibandingkan pada t = 15 menit, persen penyisihannya sebesar 72.967 %. Dari gambar 7 dan 8 diatas juga dapat dilihat bahwa penyisihan konsentrasi karbofuran secara ozonasi katalitik, paling baik terjadi pada pH 9 dengan persentase penyisihan sebesar 95.633 %, dibandingkan pada pH 5 sebesar 93.775 % dan pada pH 7 sebesar 91.683%, sedangkan untuk endosulfan proses ozonasi paling baik terjadi pada pH 5 dengan persentase penyisihan sebesar 76.512 %, dibandingkan pada pH 7 dan 9 masing – masing sebesar 68.472 % dan 72.285 %. Hal ini disebabkan karena karbofuran pada pH basa bereaksi dengan ozon dan radikal hidroksida (terbentuk dalam suasana basa). Selain itu, ion hidroksil (OH-) dan katalis yang terdapat dalam cairan akan membantu dekomposisi ozon membentuk radikal hidroksida (OHo) sehingga semakin banyak radikal hidroksida yang bereaksi dengan karbofuran. Sedangkan endosulfan, seperti yang telah di jelaskan di sub bab sebelumnya memiliki reaktifitas yang tinggi terhadap ozon, sehingga penyisihannya baik di pH asam karena pada pH asam dominan terjadi ozonasi secara langsung oleh O3. Perbandingan proses hidrolisa, ozonasi non katalitik dan ozonasi katalitik dapat dilihat dari % penyisihan (% removal). Berdasarkan data yang kami peroleh yaitu:
125
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Grafik Penyisihan Karbofuran pada pH 5 secara Hidrolisa, Ozonasi Non Katalitik dan Ozonasi Katalitik
Grafik Penyisihan Endosulfan pada pH 5 secara Hidrolisa, Ozonasi Non Katalitik dan Ozonasi Katalitik
100 Persen Penyisihan
80
80 60
60 Persen 40 Penyisihan 20
40 20 0
0 5 10 15 30 60 t (menit) Hidrolisa
Ozonasi non Kalitik
Ozonasi katalitik
0 5 10 15 30 60 t (menit) Hidrolisa
Ozonasi non Kalitik
Ozonasi katalitik
Gambar 9 Penyisihan Karbofuran pada pH 5 secara Hidrolisa, Ozonasi Non Katalitik dan Ozonasi Katalitik (kiri) Gambar 10 Penyisihan Endosulfan pada pH 5 secara Hidrolisa, Ozonasi Non Katalitik dan Ozonasi Katalitik (kanan) Berdasarkan gambar – gambar diatas,dari data yang diperoleh terlihat bahwa kenaikan persen penyisihan pada proses ozonasi katalitik dibandingkan proses ozonasi non katalitik sangat kecil. Sebagai contoh, untuk karbofuran pada pH 5 ( t=60 menit) diperoleh kenaikan persen penyisihan sebesar 6.499 % dari persen penyisihan proses ozonasi non katalitik, sedangkan untuk endosulfan pada pH dan waktu yang sama kenaikannya sebesar 0.766 % dari persen penyisihan proses ozonasi non katalitik. Perbedaan kenaikan persentase penyisihan yang tidak terlalu besar antara proses ozonasi non katalitik dengan ozonasi katalitik menunjukkan bahwa peran katalis pada proses ozonasi tidak banyak mempengaruhi penyisihan pestisida. 5 Kesimpulan 1.
Pada proses hidrolisa, semakin besar pH maka semakin besar pula persentase penyisihan karbofuran dan endosulfan.
2.
Pada proses ozonasi (baik non katalitik maupun katalitik), penyisihan karbofuran paling baik terjadi pada pH 9 (pH basa), sedangkan untuk endosulfan paling baik terjadi pada pH 5 (pH asam).
3.
Semakin lama waktu reaksi hidrolisa, ozonasi non katalitik dan ozonasi katalitik maka semakin besar pula persentase penyisihan karbofuran dan endosulfan.
4.
Karbofuran dan endosulfan dapat terurai secara alami dengan proses hidrolisa, akan tetapi membutuhkan waktu yang sangat lama, karena persentase penyisihan kedua senyawa tersebut oleh proses hidrolisa sangat kecil.
5.
Penyisihan karbofuran dan endosulfan oleh proses ozonasi berlangsung efektif karena memiliki persentase penyisihan yang sangat baik.
6.
Perbedaan efektifitas penyisihan karbofuran dan endosulfan secara ozonasi non katalitik dan katalitik tidak terlalu besar.
126
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
DaftarPustaka 1.
Bruno langlais, David A.Reckhow, Deborah R.Bring, Ozone in Watertreatment Application Engineering, Cooperative Research report.
2.
Gilliom, R. J. .1997. “Pesticides in Ground Water”. Lewis Publishers, London New York Washington,D.C.
3.
Gunten, U. V. 2003.”Ozonation of drinking water: Part I. Oxidation kinetics and product formation”. Water Research. 37. 1443 – 1467.
4.
James S.bridge and clyde R.dempsey, 1990, Pesticide waste Disposal technology, U.S. Enviromental Protection agency Cincinnati, Ohio, Noyes Data Corporation.
5.
Katsumata, H., Matsuba, K., Kaneco, S., Suzuki, T., Ohta, K., Yobiko, Y. 2005. ”Degradasi of Carbofuran in aqueous solution by Fe(III) aquacomplexes a effective photocatalysts”. Journal of Photochemistry and Photobiology A : Chemistry. 170. 239-245.
6.
Sudibyaningsih, Theresia. 1993. “Pestisida Dalam Bahan Pangan anak Balita Keluarga Petani sayur di daerah lembang dan Pengalengan”. Universitas Pajajaran . Bandung
7.
Sutamihardja, Makalah Kualitas dan Pengelolaan Pencernaan Pencemaran Lingkungan, IPB.
8.
Untung Kasumbogo, 2001, Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu, edisi empat, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Tanya Jawab : Nama Penyaji : Ika Puspita. Penanya : Ari Mulyoto. Didaerah-daerah industri/pertanian limbah banyak sekali. Mengapa dalam penelitian anda harus membuat dulu limbahnya, mengapa tidak mengambil limbah dari industry atau pertanian yang ada?. Jawaban : Karena limbah yang ada disekitar kita ada karbofurannya, karena yang diteliti karbofurannya. Penanya : Wiwik Indrawati. 1. Apa perbedaan pengolahan limbah peptisida buatan secara ozonisasi katalitik dan non katalitik? 2. Alasan apa pemilihan PH dan waktu 60 menit? Jawaban : 1. Ozonisasi katalitik : pada percobaan/penelitian menggunakan katalis untuk meningkatkan dekomposisi ozon menjadi radikal hidrioksida sehingga penyisihan mikropolutan organic dan produk antara dari proses tersebut berlangsung cepat.Pada pH asam dominan terjadi ozonisasi secara langsung , sedangkan pH bas dominan terjadi ozonisasi secara tidak langsung. 2.
pH merupakan salah satu factor yang berpengaruh pada ozonisasi. Untuk waktu 60 menit hanya variasi untuk perbandingan penyisihan yang didapat agar terlihat waktu yang lama dan waaktu yang hanya
127
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
beberapa menit saja, sehingga dapaat disimpulkan semakin lama waktu ozonisasi maka semakin besar prosentase penyisihan pada proses tersebut.
Penanya : Muhammad Medi. Setelah menggunakan pestisida , adakah cara-cara untuk bercocok tanam itu sendiri, dengan kata lain Palam (Pengelolaan tanaman terpadu) untuk pertanian setelah ada anaalisis teknologi? Jawaban : Cara bercocok tanam yang baik sebenarnya tidak harus dengan menggunakan pestisida terutama pestisida yang bersifat toksik dan sukar diuraikan oleh mikroorganisme. Sebenarnya penggunaan pestisida hanya untuk memberantas hama dan penyakit pada tanaman. Untuk mendapatkan hasil produksi pertanian yang baik dapat digunakan pestisida yang memang dengan kadar pemberian dosis yang diperbolehkan dengan jenis pestisida yang memang terdapat pada Direktorat Pertanian dan Pestisida.
128
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
PERAWATAN SISTEM INSTRUMENTASI DAN KENDALI RSG-GAS PADA UMUR OPERASI LEBIH DARI 20 TAHUN Koes Indrakoesuma*) Djunaidi*)
ABSTRAK PERAWATAN SISTEM INSTRUMENTASI DAN KENDALI RSG-GAS PADA UMUR OPERASI LEBIH DARI 20 TAHUN. Telah dilakukan perawatan sistem instrumentasi dan kendali pada peralatan di RSG-GAS secara rutin dan berkesinambungan. Perawatan telah dilakukan sesuai petunjuk perawatan reaktor riset dari pemasok. Untuk perawatan rutin telah dilakukan perawatan secara periodik yaitu bulanan, 3 bulanan, 6 bulana tahunan dan perawatan korektif serta refungsionalisasi agar reaktor tetap dapat beroperasi dengan aman, handal dan terkendali. Pada perawatan bulanan Kegiatan yang utama adalah melakukan kalibrasi daya reaktor, untuk perawatan 3 bulanan melakukan uji fungsi kanal pengukuran yang terkait dengan sistem RPS, sedangkan untuk perawatan rutin 6 bulanan melakukan tes fungsi dari komponen dan sistem. Pada perawatan tahunan melakukan kegiatan cek alat-alat control utama operasi reaktor, melakukan refungsionalisasi sistem analog kabinet dan kebutuhan lain. Selama tahun 2008 tercatat telah dilakukan perbaikan sebanyak 43 kali, sedangkan tahun 2009 sebanyak 61 kali. Kata Kunci : Perawatan, instrumentasi dan kendali RSG-GAS
1. Pendahuluan Keselamatan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi dalam mengoperasikan reaktor penelitian seperti di Reaktor Serba Guna G.A.Siwabessy (RSG-GAS). Beberapa cara yang dilakukan untuk menunjang keselamatan operasi reaktor, diantaranya melakukan perawatan terhadap sistem instrumentasi dan kendali reaktor. Yang termasuk di dalam perawatan ini adalah : perawatan sistem mekanik, sistem proses, sistim ventilasi, sistem instrumentasi dan kendali, sistem listrik, dan sistem eksperimen termasuk juga refungsionalisai komponen khusus. Upaya perawatan pada sistem instrumentasi dan kendali untuk memelihara, memperbaiki dan kalibrasi semua peralatan yang berkaitan dengan operasi reaktor agar dapat bekerja normal kembali. Dengan bertambahnya umur maka program perawatan sistem instrumentasi dan kendali ini menjadi penting, karena semakin tua umur reaktor maka semakin banyak pula komponen, peralatan yang mengalami penurunan kemampuan. Sistem instrumentasi dan kendali RSG-GAS meliputi sistem instrumentasi dan kendali proses, sistem pengukuran fluks neutron, sistem instrumentasai dan kendali reaktor, teknik pengendalian reaktor, instrumentasi sistem penggerak batang kendali dan instrumentasi sistem seismik. Mengingat banyaknya peralatan yang memerlukan perawatan maka kegiatan perawatan ini dibagi menjadi beberapa kelompok. Pertama perawatan rutin ( bulanan, 3 bulanan, 6 bulanan dan tahunan) masing-masing memiliki tugas berbeda satu dengan yang lain. Selanjutnya perawatan yang sifatnya perbaikan, ini tidak tergantung waktu dan jumlahnya tidak menentu setiap bulannya dan selebihnya adalah kegiatan yang bersifat refungsionalisasi. Dalam pelaksanaan sehari-hari di lapangan masih banyak kendala, seperti semakin lama umur operasi reaktor maka permintaan perbaikan (PPIK) cenderung bertambah juga tuntutan refungsionalisasi terus bergulir, selain itu tidak tersedianya suku cadang, pengadaan suku cadang membutuhkan waktu lama, suku cadang tidak ada di pasaran atau pabrik pembuat suku cang sudah tutup dan lain sebagainya. Dengan perawatan rutin diharapkan pelaksanaannya semakin lebih baik lagi didalam menunjang kelancaran operasi reaktor
129
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
2.Sistem Instrumentasi Dan Kendali Reaktor Sistem instrumentasi dan kendali reaktor merupakan instrumen-instrumen elektronik yang berfungsi untuk pengukuran parameter proses, pemantauan,pengaturan dan pengendalian proses di reaktor, oleh karena itu instrumentasi dan kendali reaktor merupakan perangkat penting dalam mengoperasikan reaktor.Tugas yang diemban sehubungan dengan tersebut diatas adalah menyelenggarakan keselamatan manusia, instalasi dan lingkungan dalam bentuk peralatan proteksi radiasi. Melakukan pekerjaan spesifik dalam bentuk open loop dan close loop. Melakukan pekerjaan pengukuran besaran parameter-parameter yang ada di instalasi reaktor, kalibrasi dan pekerjaan pengawasan dalam bentuk penampil pada panel kontrol. Sedangkan lingkup bekerjanya antara lain meliputi sistem instrumentasi dan kendali proses, sistem pengukuran fluks neutron, sistem instrumentasai dan kendali reaktor, teknik pengendalian reaktor, instrumentasi sistem penggerak batang kendali dan instrumentasi sistem seismik. Sistem instrumentasi dan kendali proses bertugas melakukan pengukuran seluruh besaran atau parameter proses di instalasi reaktor, pengawasan proses juga pengaturan dan pengendalian proses. Seluruh kegiatan sistem instrumentasi dan kendali berjalan secara simultan dan terpadu. Selanjutnya hasil pengukuran parameter-parameter proses akan ditampilkan, didokumentasikan dan diolah dengan tujuan pengaturan dan pengendalian. Di dalam mekanisme pengaturan dan pengendalian proses operasi reaktor, sistem instrumentasi dan kendali harus mampu mengendalikan operasi reaktor baik dalam kondisi normal maupun dalam kondisi darurat dengan selamat.Sistem instrumentasi dan kendali proses ini merupakan sistem non safety related yang berfungsi untuk mengatur mekanisme proses otomatis pada instalasi sistem reaktor. Sistem pengukuran fluks neutron di RSG-GAS lebih diarahkan pada pengukuran daya oleh instrumentasi pemantau proses pada sistem pembangkitan daya. Sistem pembangkitan daya reaktor akan sebanding dengan jumlah pembangkitan fluks neutron termal dan tingkat daya yang dicapai dapat dipantau dari suhu pendingin yang diakibatkan oleh panas yang terserap oleh pendingin dari bahan babar nuklir. Sistem pengukuran pembangkitan daya yang lazim digunakan di reaktor nuklir adalah kanal pengukuran fluks neutron dan untuk RSG-GAS kanal pengukuran fluks neutron terbagi dalam tiga daerah pengukuran yakni daerah start up,daerah intermediete dan daerah power. Sistem instrumentasi dan kendali reaktor bertugas memantau dan mengukur radiasi daerah kerja serta mengendalikan operasi reaktor.Dalam melakukan pekerjaan sistem instrumentasi dan kendali reaktor menggunakan kanal pengukuran nuklir untuk pengukuran radiasi. Kanal pengukuran nuklir di RSG-GAS digunakan selain untuk tujuan pengukuran dan pemantauan juga sebagai masukan pada sistem proteksi reaktor dan sistem proses dan kanal-kanal yang tersedia antara lain kanal pengukuran fluks neutron, kanal pengukuran radiasi di daerah kerja serta kanal pengukuran dan monitoring menara penbuangan udara keluar melewati sistem ventilasi. Untuk mengendalikan dan mengatur operasi reaktor menggunakan teknik pengendalian berdasarkan teori kenetika dan dinamika reaktor. Di dalam kenetika reaktor disebutkan bahwa pencapaian stabilitas operasi terjadi pada saat reaktor mencapai kondisi kritis, artinya bahwa fluks neutron dalam kondisi tetap (jumlah penambahannya sama dengan jumlah pengurangannya).Di dalam reaktor kenetika dan dinamika reaktor dipengaruhi oleh pergerakan batang kendali, fraksi bakar dari elemen bakar, produksi isotop racun, perubahan suhu, perubahan lingkungan dan terjadinya kecelakaan. Parameter-parameter seperti perubahan suhu, produksi racun dan perubahan lingkungan merupakan parameter yang dapat memberikan umpan balik kepada kenetika
130
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
pengendalian reaktor, oleh karena itu dibutuhkan dinamuka keseimbangan reaktor agar level daya tetap dapat dipertahankan pada harganya. Sistem proteksi reaktor (RPS) berfungsi untuk memantau dan memproses berbagai variabel proses yang penting untuk tujuan keselamatan instalasi reaktor secara otomatis. Kegiatan RPS merupakan kegiatan awal keselamatan sebelum proses berlangsung melampaui batas-batas keselamatan yang diijinkan. Instrumentasi sistem proteksi radiasi berfungsi untuk memantau paparan radiasi dan kontaminasi di dalam gedung reaktor yang berasal dari operasi reaktor, aktivitas pengotor air pendingin, aktivitas hasil korosi, pelepasan hasil fisi dan aktivitas hasil eksperimen. Instrumentasi sistem proteksi radiasi di RSG-GAS dirancang untuk memantau daerah kerja. Pemantau keadaan tidak normal dan memantau udara yang melewati cerobong. Instrumentasi sistem proteksi radiasi memantau antara lain laju dosis gamma, udara di ruang kerja, cerobong udara dan sistem proses. Instrumentasi sistem penggerak batang kendali mengatur mekanisme gerakan batang kendali. Mekanisme gerakan batang kendali ini dibantu oleh pengaturan putaran motor penggerak batang kendali melalui instrumentasi pengatur yang dapat dilakukan secara manual oleh operator maupun secara otomatis menggunakan sistem kendali otomatis. Sistem kendali reaktor bertumpu pada pengaturan terhadap posisi batang kendali di dalam teras. Batang kendali terbuat dari bahan yang kuat penyerap neutron, sehingga batang kendali dapat mengendalikan kecepatan pertumbuhan fluks neutron di dalam teras. Sistem instrumentasi seismik berfungsi untuk menentukan parameter dan periode gelombang dari getaran gempa bumi yang terjadi serta untuk merekam terjadinya gempabumi tersebut. Semua komponen dari instrumentasi seismik didisain dengan kualitas E-1, yaitu peralatan atau komponen yang mampu beroperasi secara normal walaupun terjadi getaran gempa sampai dengan 0,2 skala Gray (g).
3.Tata Kerja Implementasi yang dijalankan pada upaya perawatan sistem instrumentasi dan kendali telah dilengkapi dengan prosedur atau juklak yang sudah baku dari pemasok reaktor. Aktivitas perawatan rutin dilakukan berdasarkan interval waktu yang telah ditentukan (bulanan, 3 bulanan, 6 bulanan dan tahunan) dalam petunjuk perawatan dan juga telah dibuat baku oleh pemasok reaktor. Kemungkinan ada sedikit penyimpangan jadwal karena tidak tersedianya suku cadang dipasaran dan kelambatan itu merupakan kendala yang terjadi di lapangan. Pelaksanaan perawatan pada sistem instrumentasi dan kendali RSG-GAS ddlakukan dengan cara melihat langsung output sistem instrumentasi pada meter yang terpasang di panel atau dengan menggunakan alat bantu AVO meter. Langkah selanjutnya perbaikan atau penggantian dan terakhir melakukan uji fungsi dengan cara memberikan feed in pada masukannya dan melihat respon outputnya. Kegiatan perawatan rutin semakin penting karena usia reaktor yang telah melebihi 20 tahun, sementara itu tuntutan unjuk kerja masih harus dipertahankan. Tugas lain yang lebih penting adalah menangani gangguan/kerusakan dan juga refungsionalisasi komponen utama yang sewaktu waktu bisa terjadi, ini jumlahnya tidak menentu setiap bulannya.
4.Hasil dan Pembahsan Untuk perawatan rutin bulanan, tugas utama adalah melakukan kalibrasi daya reaktor. Kalibrasi dilakukan dengan metode kalorimeter yaitu dengan mengambil data laju alir dan perbedaan suhu air antara yang
131
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
masuk dan keluar kolam reaktor. Laju alir diambil dari kanal pengukuran JE01 CF811, suhu air masuk kolam diambil dari kanal pengukuran JE01 CT001 sedangkan suhu air keluar diambil dari titik pengukuran JE01 CT006. Dari hasil pencatatan JE01 CT001,CT006 dan CF811 dalakukan perhitungan daya dengan metode kalorimeter untuk mengoreksi penunjukan daya pada kanal pengukuran JKT04 DX001. Perawatan rutin 3 bulanan memiliki tugas melakukan uji fungsi kanal pengukuran yang terkait dengan sistem RPS di RSG-GAS, akumulasi setiap tahunnya banyak dan setiap tahunnya tidak sama. Berikut ini kegiatan rutin 3 bulanan selama tahun 2008 :
TABEL 1. UJT FUNGSI KANAL PENGUKURAN PADA RPS TAHUN 2008 No.
SISTEM
UJI FUNGSI
1.
RPS
CNJ01 :Funcional Check of the SMA-3 (strong motion acceleration system)
2.
RPS
CNJ01: Check of battery voltage of the SMP-1 playback unit and funtion of the SP-1 (Seismic switch system)
3.
RPS
Limit signal tranducer & comparator :Test of Adjusment and funtional test of limit signal tranducer and comparator.
4.
RPS
Trip signal : Test of the trip signal for : 1.Reactor scram 2. isolation of the primery system.3.Isolation of the raactor pool aux.system.4.Isolation building.5.Emergency diesel start-up
5.
RPS
Trip signal: Test of the trip signal for verification of funtion of the residual heat remaval.
Untuk uji fungsi yang kaitannya dengan RPS selama satu tahun peralatan masih berfungsi dengan baik untuk melakukan respon ketika sistem tersebut diberikan perintah logik untuk ekskusi, seperti sistem pendingin darurat kolam reaktor JNA 10/20/30, sistem isolasi gedung JZR 20, sistem isolasi auxialiary JZR 45, sistem isolasi primer dan juga sisten scram JZR 11. Perawatan rutin 6 bulanan memiliki tugas uji fungsi kompomem dan sistem yang beroperasi di RSG-GAS. Pada perawatan 6 bulanan secara umum kondisi peralatan PRSG masih beroperasi normal, kanal-kanal pengukuran tranducer, power suply, tegangan kerja pada modul beroperasi dengan baik seperti JKT01/02/03, JAC01 CR811/821/831, KLA60 CR811/821/831. Perawatan rutin tahunan bertugas melakukan tes tentang alat-alat kontrol dari sisi instrumen yang digunakan di RSG-GAS.
132
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
TABEL 2. UJI FUNGSI KOMPONEN DAN SISTEM SELAMA TAHUN 2008 ITEM
No.
KKS
1.
KLA60 CR
Functional test of tranducer. Test with test adapter TKA14 (Gamma source)
2.
KLA60 CR
Test of instalation resistance.
3.
KLA60 CR
Funtional test of measiring channels Including analog segtion.
4.
Logic section : Functional test of lagic section Including Storage elemens
5.
Logic section : Funtional test of time elemens
6.
JKT01
Functional test measuring channel Including analog system
7.
JKT01
Test of instalation resistance
8.
JKT01
Test of power suply and detector hight voltage suply
9.
JKT02
Funtional test of measuring channel Including analog system
10.
JKT02
Test of instalation resistance
11.
JKT02
Test of power suply & Detector hight voltage suply
12.
JKT03
Functional test measuring channel Includinge analog section
13.
JKT03
Test of instalation resistance
14.
JKT03
Test of power suply & Detector hight voltage supply
15.
JAC01
Funtional test measuring channel including analog section
16.
JAC01
Test of isolation resistance.
17.
JAC01
Test of power supply & The detector hight voltage supply
133
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
TABEL 3. UJI FUNGSI ALAT-ALAT KONTROL DARI SISI INSTRUMEN PADA TAHUN 2008 No.
KKS
ITEM
1.
JAA01
Water level in the reactor pool :Functional test measuring channel including analog section CL811/CL821/CL831
2.
JAA01
Water level in the reactor pool :Funcional test tranducer
3.
Control
Control drive mechanism: check of control rod position indcaition for each in use
rod 4.
include elektrical check and check of drop time
Control rod
5.
Priority & Drive control :Funtion test of priority & Drive control cabinet CCA,CCB,CCC,CDK,CDL
JE01
Clusure ofnatural circulation flap: Funcional test of measuring channel include the analog section CP811/821/831
6.
JE01
Mass flow inthe primery collant System: Funcional test of measuring channel include the analog section CT811/821/831
7.
JE01
Mass flow inthe primery collant System: Funcional test of measuring channel include the analog section CF811/821/831
8.
JAA01
Water level in reactor pool: : Funcional test of measuring channel include the analog section CL811/821/831
9.
JE01
Position of primery isolation valves :Funcional test CG811/821/831, CG812/822/832,CG818/828/838,CG819/829/839.
Untuk perawatan tahunan menunjukkan bahwa sistem instrumentasi reaktor masih berfungsi dengan benar.Beberapa kegiatan seperti memberikan CT811/821/831,
CG811/821/831,
feed in arus 0-20 mA pada kanal pengukuran JE01
CG812/822/832,
CG818/828/938,
CG819/829/839,
CL811/821/831
memberikan output dengan perbedaan dibawah 2% artinya pengukuran tersebut masih berfungsi dengan benar. Pada perawatan rutin bulanan, 3 bulanan, 6 bulana dan tahunan berjalan dengan normal dan faktor penuaan, suhu kelembaban lingkungan dan juga paparan panas pada komponen akan berpengaruh terhadap cirilaku kinerja alat karena menurunnya kemampuan komponen oleh karena itulah perawatan rutin harus dilakukan secara tertip. Selanjutnya upaya untuk persiapan Sarana Operasi (PSO), dengan melakukak kalibrasi atau adjusment sistem proteksi reaktor, sistem monitor gempa dan sistem penggerak batang kendali dan lain sebagainya untuk lebih meyakinkan bahwa reaktor akan beroperasi dengan aman dan terkendali pada setiap kenaikan teras. Selain perawatan preventif seperti tersebut diatas masih ada kegiatan perawatan korektif. Kegiatan ini melakukan perbaikan gangguan peralatan yang mengalami kerusakan yang sifatnya insidentil sewaktu-waktu dapat terjadi. Tindakan yang dilakukan selama perawatan adalah penggantian komponen atsu adjusment untuk mengembalikan sistem pada kondisi kerja normalnya.Kegiatan ini dilakukan atas dasar laporan gangguan alat dari bidang operasi reaktor yang ditindak lanjuti dengan PPIK yang dibahas pada rapat harian pagi hari. Tercatat selama tahun 2008 perawatan korektif perbaikan sebanyak 43 kasus relah diselesaikan dan pada tahun 2009 sebanyak 61 kasus telah diselesaikan. Adanya satu atau dua kasus tidak dapat diselesaikan sampai akhir tahun
134
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
karena kurang tersedianya suku cadang pada saat dibutuhkan dan itu merupakan kendala dilapangan saat ini. Jumlah kerusakan pada sistem instrumentadi dan kendali setiap tahunnya tidak sama secara kebetulan saja pada dua tahun terakhir ini ada kenaikan jumlah kerusakan namun belum berarti bahwa dengan bertambahnya umur operasi kerusakan bertambah banyak karena kemungkinan tahun berikutnya jumlah kerusakan akan menurun. Apabila kerusakan bertambah banyak maka akan dilakukan refungsionalisasi dan untuk kondisi sekarang sudah mulai ada kegiatan refungsionalisasi untuk komponen penting suatu alat. Tercatat selama tahun 2008 untuk sistem instrumentasi dan kendali telah dilakukan refungsionalisasi kabinet CRA04, CRA06, CRB02, CRB03, CGK01 dan yang lain adalah sistem control dan pengolah data (PLC) dari diesel BRV-20. PLC yang digunakan pada diesel BRV 20 adalah sistem control dan pengolah data semua input komponen-komponen yang ada di ruang diesel dan hasil pengolahan datanya berupa eksekusi untuk menjalankan komponen-komponen diesel termasuk sistem keselamatannya.Pelaksanaan refungsionalisasi PLC diesel BRV20 dengan cara penggantian karena PLC lama yang sudah tidak berfungsi lagi. PLC lama tipe Eberle PLS511 yang terpasang pada sistem diesel di RSG-GAS dan (PLC) yang baru yaitu Simatic S7-300. PLC lama yang digunakan diruang diesel BRV10/20/30 adalah PLC Eberle PLS511, PLC ini sudah mulai tidak dapat beroperasi dengan normal dan cirilakunya sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena ada beberapa kannal dalam modul input dan outputnya yang sudah tidak dapat menerima input dan mengeluarkan output. CPU yang terdapat pada PLC tersebut sudah tidak bisa mengeksekusi program yang ada di dalamnya dengan sempurna, bahkan kadangkadang PLC mengalami hang dan error tiba-tiba. Dengan kata lain PLC lama tersebut sudah tidak dapat mengoperasikan diesel saat tombol start ditekan pada posisi manual, tes dan start dari RPS dan juga dari panel tegak RKU serta otomatis hidup saat listrik PLN mati, sehingga PLC lama harus diganti dengan yang baru agar disel BRV 20 tetap dapat dioperasikan kembali. Untuk memperbaiki PLC yang lama tidaklah mudah. Modul dan sparepart modul sudah tidak ada lagi dipasaran, dikarenakan PLC tersebut sudah tidak diproduksi lagi. Pemrograman ulangpun sudah tidak dapat dilakukan, karena tidak ada interface dan PC
khusus yang bisa
dipakai untuk memprogram PLC tersebut. Dari hal-hal tersebut diatas, maka dilakukan penggantian PLC lama dengan PLC baru dengan tipe simatic S7-300 buatan siemens yang mempunyai spesifikasi dan kemampuan yang dapat menggantikan PLC lama. Setelah dilakukan uji fungsi, hasilnya diesel BRV-20 dapat beroperasi kembali dengan baik. Gambar 1 adalah PLC baru yang dapat meregenerasi komponen yang sudah tua dan menjamin penyediaan suku cadang yang cukup untuk beberapa tahun mendatang. Gambar 2 adalah diagram alir pengolahan sinyal PLC di BRV 20.
5.Kesimpulan Upaya perawatan sistem instrumentasi dan kendali RSG-GAS dengan cara melakukan perawatan preventif rutin, perawatan korektif perbaikan insidentil dan juga melakukan refungsionalisasi komponen penting. Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa perawatan sistem instrumentasi dan kendali RSG-GAS sangat membantu untuk keselamatan operasi reaktor saat ini dan waktu mendatang.
135
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Daftar Pustaka 1.ANIMOUS, Safety Analysis Report RSG-GAS, vol 8, Badan Tenaga Atom Nasional. 2. ANIMOUS, Catatan hasil perawatan sistem instrumentasi dan kendali tahun 2008 3. ANIMOUS, Beberapa catatan dari ruang kendali utama RSG-GAS. 4. ARLINAH KUSNOWO, “In Service Inspection reaktor penelitian untuk meningkatkan umur reaktor” , Proseding BATAN-JEPIC, ISBN 979-8500-23-7 ,1998 5. AEP SAEPUDIN CATUR,”Manajemen peraweatan sistem reaktor sebagai pendukung keselamatan operasi reaktor:, ISBN 978-979-17109-3-0,Proseding seninar nasional pranata nuklir PRSG tahun 2008.
Gambar.1. PLC Simatic S7-300
136
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar.2. Diagram Alir Prinsip Pengolahan Sinyal PLC Diesel BRV20
TANYA JAWAB : Penanya :
Sutiono (LIPI)
1) Seberapa ketat dan akurat terhadap persyaratan peralatan keselamatan Nuklir tersebut? 2) Apakah yang dimaksud dengan persyaratan kualitas E1? 3) Tadi dinyatakan bahwa pada mulanya reactor tidak didisain tahan gempa, namun sekarang diakui bahwa Indonesia rentan gempa sehingga perlu diperhitungkan, Kapan diidentifikasi kebutuhan tahan gempa tersebut? Dan upaya apa yang telah dilakukan untuk menanganinya? 4) Pada Th 2008 terjadi 43 kasus, dan pada 2009, 61 kasus naik. Mengapa terjadi kenaikan? Apakah diprediksi atau tidak? Jawab : Koes Indra Kusuma 1.
Dalam perawatan I & C telah mengikuti standard yang telah ditetapkan oleh pemasok, baik perameter – parameter system maupun alat-alat yang digunakan telah dikalibrasi di KIM-LIPI.
2.
Persyaratan kualitas E1 adalah peralatan atau system yang tahan terhadap getaran gempa.
3.
Reactor didisain tahan terhadap getaran gempa tetapi belum dilengkapi dengan system
yang
langsung mematikan reactor secara otomatis saat getaran terjadi 4.
Kenaikan yang dimaksud adalah jumlah perawatan yang dilakukan dimana, ada perawatan yang tertunda pada tahun 2008 karena reactor beropersi, maka dilakukan pada tahun 2009
137
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
PENURUNAN KEMAMPUAN PADA ALAT PENUKAR KALOR Djunaidi *) ,Sarwani*) *) Staf PRSG-BATAN
Abstrak PENURUNAN KEMAMPUAN PADA ALAT PENUKAR KALOR. Alat penukar kalor bertugas memindahkan sejumlah panas dari sistem pendingin primer ke sistem pendingin sekunder. Dalam kinerjanya alat ini akan mengalami penurunan kemampuan memindahkan panas setelah beroperasi beberapa tahun secara terus-menerus, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi kinerja alat tersebut. Evaluasi kinerja dilakukan dengan mengamati parameter suhu sistem pendingin.Berdasarkan data yang dicatat setiap hari akan dihitung nilai koefisien perpindahan panas global (Ug) atau koefisien kemampuan penukar panas. Perhitungan Ug dilakukan terus menerus setiap tahun untuk menentukan sampai kapan alat ini masih efektif untuk dioperasikan dan selanjutnya dilakukan overhaul. Dengan demikian masalah pembuangan panas akan dapat berjalan secara teratur, berkesinambungan dan keselamatan instalasi tetap terjamin. Kata kunci : Alat penukar kalor
1.Pendahuluan Masalah Pembuangan panas didalam proses industri merupakan masalah besar yang harus dilakukan agar proses produksi berjalan secara teratur dan berkesinambungan. Alat penukar kalor atau Heat Exchanger merupakan salah satu alat pemindah panas/kalor dari satu fluida ke fluida lain yang bersekala besar dan terus menerus, oleh karena itu sampai saat ini alat penukar kalor masih dianggap alat yang handal. Alat penukar kalor yang digunakan dalam industri bermacam-macam tergantung kebutuhannya dan yang umum digunakan adalah jenis shell and tube karena jenis ini memiliki luas bidang transfer panas (A) paling besar diantara beberapa jenis lain sehingga perpindahan panasnya lebih lancar. Dari janis shell and tube sendiri ada beberapa tipe dan sering dan umum digunakan orang adalah shell and tube 2-2 karena turbulensi didalamnya kecil dan aliran primersekunder berlawanan arah sehingga lebih praktis dan tidak banyak masalah. Diantara pendingin primer dan sekunder terdapat alat penukar kalor yang bekerja untuk memindahkan kalor yang telah diambil dari pendingin primer untuk dipindahkan ke pendingin sekunder dengan media air. Sehubungan dengan telah lamanya alat tersebut digunakan, maka kinerjanyapun mulai dirasakan menurun yang ditunjukkan oleh koefisien transfer panas global (Ug). Apabila setelah beroperasi beberapa tahun ternyata nilai Ug lebih kecil dibandingkan dengan pada saat baru, maka perlu dilakukan overhaul dan dibersihkan agar kinerjanya kembali lebih baik lagi. Pengalaman kejadian seperti ini banyak dialami dalam pengoperasian alat penukar kalor di beberapa industri maupun tempat-tempat riset. Pengamatan untuk menghitung Ug mulai dilakukan setelah beroperasi 3 tahun, dihitungnya setiap tahun sampai dirasakan nilai Ug menurun. Nilai ini akan menurun karena lamanya pemakaian dan adanya unsur pengotor yang mengganggu perpindahan panas. Dari data-data pengoperasian suhu keluaran dapat dibuat grafik antara perpindahan panas global Ug dan waktu pengoperasian yang menunjukkan adanya penurunan kemampuan. Dengan demikian akan dapat direncanakan kapan alat penukar kalor akan dibersihkan untuk overhaul yang tentunya disesuaikan dengan keperluan proses produksi.
138
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Alat penukar kalor sangat umum digunalan di dalam proses produksi untuk membuang sejumlah panas secara kontinyu. Alat penukar kalor yang umum digunakan dalam industri adalah jenis shell and tube 2-2 karena turbulensi didalamnya kecil dan aliran primer-sekunder berlawanan arah sehingga lebih praktis dan tidak banyak masalah. Dalam pengamatan selanjutnya diambil sebuah sampel beroperasinya alat penukar kalor jenis diatas dengan kapasitas besar untuk memperjelas perubahan besaran yang diukur. Alat penukar panas pada sistem pendingin di fasilitas riset adalah jenis Shell and Tube berbentuk tabung tegak, aliran berlawanan 2 pass shell dan 2 pass tube. Beban nominal 15 MW, alat ini memiliki penyekat (baffle) longitudinal pada bagian garis tengah shell, sisi shell dilalui oleh fluida panas sedangkan tube dilalui oleh fluida dingin seperti pada Gambar 1. Alat pembersih tube berupa bola-bola elastis dilewatkan tube secara reguler bersama aliran yang digerakkan oleh pompa sirkulasi. Tabel 1 menyajikan data spesifikasinya.
longitudin l b ffl
windo Kanal Gambar 1. Skema Aliran Penukar k l 1
Tabel 1. Data Spesifikasi Alat. [1] Type
Shell and tube
Diameter shell
1300 mm
Diameter tube
22 mm ID, 23 mm OD
Jumlah tube per pass
816 buah
Panjang tube
7410 mm
Tube Lay out
Square
Luas bidang kontak
780 m2
Laju alir sisi shell
430 kg / det
Laju alir sisi tube
485 kg / det
139
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Penukar panas jenis ini (shell-tube) memiliki luas bidang transfer panas (A) paling besar diantara beberapa jenis lain. Penggunaan alat penukar panas jenis ini cukup banyak terutama dalam industri modern, dan diantara pemakaiannya adalah[2] : -
Sebagai Cooler dan Heater. Untuk pendinginan (tidak ada perubahan fase) dengan pendingin referigerant yang biasa disebut sebagai chiller.
-
Sebagai Kondenser dan Reboiler. Diantara beberapa pemakaian di atas yang paling awet penggunaannya adalah sebagai cooler dan heater
karena beban kerjanya yang umumnya tidak terlalu berat.
2.Dasar Perhitungan Di dalam alat penukar kalor terjadi transfer panas dari sisi shell menuju sisi-tube, hal ini menunjukkan adanya kesetimbangan panas antara panas masuk dan keluar diantara shell dan tube.
Energi panas yang
dipindahkan dari pendingin primer adalah sama dengan energi panas yang diterima pendingin sekunder[3], dengan demikian dapat ditulis sebagai berikut : Qp = Qs = mp. Cpp . ΔTp
. ………………….. . . . ... . . . . . . .. . . . .. . .(1)
Di mana mp dan ΔTp merupakan parameter yang terukur sedangkan Cpp adalah kapasitas panas sebagai fungsi suhu fluida. Kemudian hubungan antara luas bidang transfer panas, koefisien transfer panas global dan perubahan panas dengan beban panas yang ditransfer dapat dirumuskan oleh persamaan dasar penukar panas berikut[3] : Qp = Qs = Ug. A. ΔTlmtd
. . . . . . . . . . . ……………….. . … .. . . .. . .(2)
Di mana Ug adalah koefisien transfer panas global dan A merupakan luas bidang transfer panas. Koefisien transfer panas global (Ug) merupakan koefisien transfer panas kedua sisi antara tube dan shell di mana nilai Ug cenderung akan menurun harganya jika dioperasikan terus, dan ini menunjukkan pengurangan kinerja alat penukar panas setelah sekian lama dioperasikan. Selain itu penurunan kinerja alat penukar panas juga dapat dilihat dari grafik distribusi suhu fluida. Distribusi suhu alat penukar panas adalah perubahan suhu antara masuk dan keluar baik fluida panas dan fluida dingin sepanjang tube (antara inlet dan outlet). Hasilnya dibandingkan dengan grafik distribusi pada saat awal operasi pada operasi dengan daya yang sama. Beda Suhu Rerata Logaritmik (ΔTlmtd) : [4] Pada umumnya suhu fluida di dalam penukar panas tidak merupakan garis lurus apabila di plot terhadap panjang lintasan fluida (L) sebagai mana ditunjukkan pada Gambar 2. Pada setiap titik T-t antara dua aliran dapat diperoleh beda suhu rerata logaritmik dengan menurunkan hubungan antara T-t terhadap L dan dengan melakukan identifikasi beda suhu di sepanjang lintasan fluida. Untuk menurunkan persamaan beda suhu antar dua fluida perlu dibuat beberapa asumsi sebagai berikut : •
Koefisien transfer panas global (Ug) konstan sepanjang lintasan.
•
Laju massa aliran fluida konstan dan tunak
•
Panas spesifik konstan
•
Tidak ada perubahan fasa di dalam sistem
•
Kehilangan panas ke sekelilingnya diabaikan.
140
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Dengan menggunakan bentuk persamaan diferensial maka, dQ = Ug (T-t) A" dL .....................................................................................……. (3) persamaan diferensial neraca panas adalah, dQ = Mp Cp dT = ms cs dt ..........................................................................……..(4) Pada tiap titik sepanjang lintasan aliran dari kiri kekanan, dengan mengambil neraca panas dari L=0 ke L=X maka, Mp Cp (T-T2) = ms cs (t-t1) .................................................................…….............(5) Dari persamaan (3), (4) dan substitusi T dan penyelesaian persamaan (4) menghasilkan: Ug A" dL
dt =
…....…................ (6) T2 - (ms.cs)t1/(Mp.Cp) + {(ms.cs)(Mp.Cp)-1}t
ms cs
Integrasi suku kanan dalam bentuk rumus “persamaan integral” sbb, dt
1 = log [ a1+b1.t ] .......................................................……................. (7)
a1+b1.t
b1
Integrasi dL antara 0 dan L dan dt antara t1 dan t2, Ug A
T2-(ms.cs)t1/Mp.Cp+[ms.cs/Mp.Cp-1]t2
1 =
ms.cs
ln
.... (8) T2-(ms.cs)t1/Mp.Cp+[ms.cs/Mp.Cp-1]t1
(ms.cs)/(Mp.Cp)-1
penyederhanaan persamaan (8) dan substitusi ms.cs/Mp.Cp dari persamaan (4) diperoleh, Ug A
T1 -t2
1 =
ln (T1 -T2)/(t2 -t1) -1
ms.cs
t2 -t1 =
T2 -t1 T1 -t2
ln (T1 -t2)/(T2 -t1)
.......………..............................................(9) T2 -t1
141
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
oleh karena ms.cs = Q / (t2 -t1) maka persamaan di atas menjadi, [ (T1 -t2) - (T2 -t1) ] Q = Ug A ln (T1 -t2)/(T2 -t1) (Tpi-tso)-(Tpo-tsi) Q = Ug A LMTD
atau
LMTD =
.............………….........(10) ln (Tpi-tso)/(Tpo-tsi)
Tpi
primer Tpo
tso sekunder
tsi
Panjang Lintasan Gambar 2. Grafik LMTD Tahanan dari endapan atau pengotor pada dinding pipa biasanya disebut Rd dan untuk menghitung harga Rd dengan rumus berikut : Rd =
Uc - Ud .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (11)
Uc.Ud Dengan Uc merupakan koeffisien transfer panas global pada alat saat masih baru dan ini biasanya ada dalam dokumen alat tersebut atau dapat dihitung pada saat komisioning dan Ud adalalah Ug yang sebenarnya.
3.Metodologi Penelitian Secara umum berdasarkan deskripsi penukar panas di atas tahapan evaluasi meliputi pengamatan / pengukuran atau pengambilan data kemudian perhitungan untuk
menghitung besarnya nilai Ug dengan
persamaan (1), (2) dan (10). Besarnya Ug pada saat awal dioperasikan juga dihitung sebagai bahan komparasi. Adapun suhu-suhu yang digunakan dalam evaluasi adalah besaran suhu pada sisi shell dan sisi tube alat penukar panas saat beroperasi sebagai berikut : Tpi : Suhu pendingin primer menuju sisi shell penukar panas Tpo : Suhu pendingin primer keluar sisi shell penukar panas
142
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tsi : Suhu pendingin sekunder menuju sisi tube penukar panas Tso : Suhu pendingin sekunder keluar sisi tube penukar panas Suhu-suhu tersebut di atas diamati pada saat beroperasi pada daya yang sama dengan harga rata-rata setiap tahun sejak beberapa tahun beroperasinya alat penukar panas. 4. Hasil dan Pembahsan Dari data spesifikasi teknis alat penukar panas diperoleh harga Ug = 41,0916 kcal/menit.m2 oK= 2465,5 kcal/j m2 oC., ini yang merupakan harga Ug dari alat penukar panas awal. Evaluasi kinerja alat penukar panas, dilakukan dengan menggunakan data masukan dari kondisi operasi. Data operasi dicatat pada daya 15 MW selama kurun waktu 10 tahun sebelum dilakukan overhaul. Tabel 2 berikut ini adalah hasil pencatatan dari operasi alat dan perhitungan Ug dengan perhitungan rata-rata. Tabel 2. Data Operasi alat dan Perhitungan Ug Waktu thn
Pendingin Primer o
Pendingin Sekunder o
o
Fp 3
Ug
Tpi ( C)
Tpo( C)
Tsi( C)
Tso( C)
(m /jam)
kcal/men. m2 oK
0.
36
31
32
35
2750
41,84
1.
41
33
33
38
2850
41,27
2.
43
34
32
38
3200
90,92
3.
43
35
31
34
3200
42,92
4.
40
33
34
38
3150
120,53
5.
42
34
34
38
3200
91,71
6.
41
34
35
38
3200
63,59
7.
39
32
30
36
3150
93,88
8.
44-
37
38
41,5
3200
60,62
9.
41
35
35
38
3100
54,51
10.
30
27
27
28
3200
34,66
pengamatan
o
Sebelum dilakukan overhaul perlu dilakukan perhitungan tahanan dinding dengan pengotor/kerak yang menempel biasanya untuk semua jenis alat penukar panas memiliki standar minimum Rd min = 0,003 J.m2 o
C/kcal. Untuk alat penukar panas yang telah lama beroperasi harga Rd harus lebih besar dari 0,003 J.m2 oC/kcal
dan untuk menentukan kapan alat penukar panas harus dibongkar dan dibersihkan perlu dilakukan perhitungan Rd setiap tahunnya. Apabila nilai Rd telah jauh melebihi nilai tersebut maka sebaiknya dibersihkan dari kerak yang menempel di dalamnya (overhaul). Untuk menghitung nilai UD (Udirty) digunakan harga Ug yang paling jelek (kecil) pada tahun yang bersangkutan. Sedangkan harga Uc (Uclean) dapat digunakan Ug pada saat alat penukat panas masih baru atau Ug desain dan juga dapat dilakukan perhitungan dengan koefisien film individu. Sebagai catatan sebelum dilakukan overhaul kondisi di dalam alat penukar panas sudah tampak kotor, hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai Rd = 0,00449 (Tabel 3) yang mana lebil besar dari Rd minimum.
143
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 3. Data pada awal pengamatan : Parameter Hi
57,5 Kcal/m2.men.oK
Ho
47,8 Kcal/m2.men.oK
Uc
41,09 Kcal/m2.men.oK
UD
34,66 Kcal/m2.men.oK 0,00449 m2.men.oK/kcal
Rd calculated
0,003 m2.men.oK/kcal
Rd min
Dari data operasi alat selama beberapa tahun operasi menunjukkan bahwa beda suhu masuk dan keluar (Δt) untuk pendingin primer (sisi-shell) pada alat penukar panas harganya di bawah 10oC. Ini berarti kerja alat penukar panas tidak terlalu berat dan nilai ho menjadi kecil. Namun demikian nilai Ug pada daya 15 MW tersebut dari waktu ke waktu sangat bervariasi karena pengaruh additive pada fluida dingin dan kecenderungan dari tahun ke tahun semakin turun (Gambar 3). Hal ini mengindikasikan adanya proses pengambilan panas yang semakin tidak sempurna.
90 80 70 Uglobal
60 50 40 30 20 10 0 0
1
2
3
4
5 6 w aktu
7
8
9
10
G am bar 3.G rafik U g sebelum overhaul
5.Kesimpulan Penurunan kemampuan alat penukar kalor sangat dipengaruhi lamanya pemakaian yang dapat dihitung dari nilai perpindahan panas global (Ug) yang mengindikasikan penurunan, tahanan dari endapan di dalam tube yang cenderung naik harganya. Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa alat penukar kalor yang mengalami penurunan kemampuan seperti tersebut diatas harus dilakukan overhaul untuk pembersihan dari kerak dan kotoran di dalam tube dan dinding sell.
144
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Daftar Pustaka 1. Djunaidi dkk, Evaluasi kinerja sistem pendingin RSG-GAS pasca overhaul, Seminar Nasional penelitian Dasar Ilmu penetahuan dan Teknologi, Yogyakarta ,25 Juni 2002. 2 . ROBERT E.TREYBAL, Mass-Transfer Operation, Mc GRAW-HILL KOGAKUSHA. LTD, International Student Eddition,Chapter ….1968. 3. WARNIATI AGRA. Ringkasan Perpindahan Panas, Diktat kuliah Fakultas Teknik Universitas GADJAH MADA, 1981. 4. KERN D.Q. Process Heat Transfer, Chapter 4, Mc Grow Hill Co, International Student Edition, 1950.
145
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
KINCIR RODA AIR SUDU BERGERAK (RASB) SEBAGAI JAWABAN KEBUTUHAN ENERGI LISTRIK PEDESAAN DI PEDALAMAN KALIMANTAN BARAT Heru Suprapto1; Savitri2 ; Ismun UA3 1. Universitas Pamulang, Tangerang. 2. P2Kimia – LIPI, Kawasan Puspiptek Serpong 3. Universitas Proklamasi 1945 Yogyakarta.
Abstrak Suatu pemanfaatan energi alam bagi hajat hidup masyarakat pedalaman Kalimantan yang dianugrahi sungai-sungai besar dengan fluktuasi debit yang relatif tetap antara musim kemarau dan penghujan dapat ditangkap dengan kincir roda air sudu bergerak atau RSAB . Walaupun hasilnya dalam penangkapan energi ini tidak terlalu besar namun dapat dirasakan bagi daerah pedalaman Kalimantan Barat bagian tengah yang masih sulit dijangkau dari keramaian; dan energi listrik sebagai energi yang sangat optimal dalam pengiriman serta pendistribusiannya tentu akan segera mempercepat laju informasi dan pembangunan di daerah pedalaman. Kata kunci : debit besar; energi listrik; sungai
1.Pendahuluan Negeri yang kaya akan energi merupakan potensi untuk meraih kemakmuran. Bagaimana dengan negeri yang kita cintai ini? Masihkah ada kepedulian untuk mengais energi, walaupun hanya segenggam harapan? Energi alam merupakan energi yang penuh misteri, besar, berlimpah, dasyat dan luar biasa bila tak terkendali, namun bila kita tangkap hasilnya hanyalah kecil, itulah kemampuan manusia, dihadapan kekuasaan sang Pencipta yang Maha Luar biasa. Namun manusia tetap harus berusaha walaupun hanya menimbulkan secercah harapan
demi membantu
kesejahteraan umat manusia. Keadaan ini hanya terjadi di pedalaman Kalimantan yang mempunyai anugerah sungai yang berdebit cukup antara
dua musim. Mengais harapan
dengan seorang putra Kalimantan mulailah kincir roda air/ angin sudu bergerak ini dirancangbangun untuk keperluan pembangkit tenaga listrik, maupun pengairan lahan gambut.
146
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Ide penemuan ini berawal dari percobaan dengan menggunakan sudu tetap, ternyata hasilnya amat sangat ti dak memuaskan, yaitu banyak kerugian tenaga yang hilang, yang menjadikan hidraulika lossesnya menjadi besar, belum lagi rugi-rugi mekanik yang lain, sehingga energi losses besar dan rendemen sangat rendah; belum lagi dikaitkan dengan kekuatan kkonstruksi yang nantinya dipbutuhkan kekokohan (stiffness) yang sangat besar, bahan konstruksipun bertambah dan muara akhir, nilai (cost) menjadi besar sedangkan energi yang diperoleh rendah, sehingga harga per kwh menjadi tinggi. Sebagai standard adalah harga listrik PLN, namun dari segi cost yang dilakukan pengkajian terus menerus saat ini sampai Rp.200,- per KWH. Dengan menggunakan RASB – ISMUN; efisiensi total dapat mencapai hampir 80%; Kincir ini dalam operasionalnya sangat mudah demikian pula pengendalian beban dan maintenance-nya murah. Kincir tersebut beberapa dipasang didaerah ketapang hulu pada sungai pawan anak sungai kapuas dan ada yang dipasang di daerah sekadau. Dalam penjajakan selanjutnya saat ini sedang dilakukan survei untuk sungai-sungai besar didaerah irian (papua); dengan harapan RASB dapat bermanfaat untuk menunjang kemakmuran masyarakat luas (informasi, komunikasi) untuk daerah terpencil atau pedalaman. Energi air di daerah yang masih jauh dari jangkauan teknologi untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran. Perlu diketahui pula bahwa RASB ini dapat digunakan pula dengan menggunakan aliran angin, model ini sangat diminati untuk pertanian, yaitu dengan menggerakkan pompa air (dipakai pompa plunyer) untuk mengangkat air dari suatu tempat ke tujuan akhir, untuk daerah pantai selatan Yogyakarta, diharapkan dapat untuk penyuburan daerah pesisir, dengan memompa air tawar (sungai) ke lahan pantai. Untuk kincir angin ini dengan menggunakan poros vertikal; untuk anginpun harus dilakukan survei atas potensi angin sepanjang tahun, baru dilaku kan kegiatan engineering. Bahkan permintaan dari kalangan ilmuwan dan juga pasar (lapangan) , kincir RASB minta dilakukan standarisasi, ukuran dan daya, namun karena situasi lapangan yang berbeda-beda, maka hal tersebut hanya untuk memudahkan engineering pakage saja, sedangkan surve di lapangan tetap menjadi acuan yang utama. Maka secara konstruksi, posisi poros RASB ada 2 macam Vertikal dan atau horizontal sesuai dengan keperluan desain dan pula media fluidanya. Mudah-mudahan yang disampaikan pada pendahuluan ini dapat diikuti lanjut pada bab-bab berikutnya.
147
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
2.Teori. Setiap kegiatan perancangan, sampai dengan pelaksanaan lapangan, tentu akan mengalami beberapa tahapan, yaitu kegiatan rekayasa (Engineering), kegiatan operasi (operation) bahkan dapat berlanjut sampai pemeliharaan, perawatan dan perbaikan (maintenance). Adapun kegiatan rekayasa sendiri meliputi beberapa kegiatan utama yaitu kegiatan rancang bangun (design), pengadaan (proccurrement), dan konstruksi (construction); serta untuk kegiatan lapangan berlanjut dengan pemasangan (installation), dan atau perentangan (errection), untuk dilakukan pengujian (testing), secara individual maupun menyeluruh sistem (commissioning). Kemudian baru dilakukan operasi rutin dan diberlakukan sistem maintenance. Demikian pula kincir RASB yang dapat dipergunakan untuk fluida air ataupun angin melalui tahapan tersebut. Kincir RASB telah dipatenkan oleh penemunya Ismun UA, dengan no patent ID.0007984. Mengapa hal ini kita angkat dalam forum diskusi karena terkait dengan kondisi saat ini telah mengalami krisis energi yang cukup berat, terlebih dengan naiknya harga minyak dunia Pemerintah melalui pidato presiden tgl 30 April 2008 mencanangkan untuk hemat energi. Teori kerja diatas adalah teori kerja engineering yang mendukung terlaksananya dibuatnya kincir RASB, sedangkan teori kerja RASB sendiri sangat mudah yaitu kincir roda tetap yang pada bagian ujung sudu (untuk fluida air atau angin) diberi engsel (pivot); pada saat menerima tekanan gaya alir, sudu membuka penuh, dan saat sudu meninggalkan aliran air penuh sudah mulai melipat, bahkan saat sudu tak tercelup akan melipat penuh. Dengan demikian tekanan udara diatas konstruksi juga tidak menghasilkan drag (tek. Hambatan udara) yang besar sehingga kincir akan melaju berputar, memang putaran tak besar, paling hanya menghasikan putaran antara 3- 6 rpm, tergantung dari aliran sungainya; maka untuk memutar generator perlu suatu akselerator yang akan disesuaikan dengan putaran generator listrik; adapun pengendalian putaran lebih dapat diatasi dengan beberapa peralatan : governor, flap gate pada aliran sungai, dan pengereman mekanik; juga saat dilakukan maintenance misal intuk perbaikan-perbaikan. Adapun pengaturan kearah beban listrik dapat digunakan stabilisator tegangan dengan fluktuasi kisaran antara 10- 15 %. Bila untuk penggerakan pompa air plunyer maupun centrifugal beban utamanya adalah kapasitas (debit) dan head (ketinggian isap dan tekan), namun untuk keperluan tersebut lebih sederhana daripada beban generator listrik. Di dalam merancang konstruksi ini memang harus benar-benar diperhatikan, berat bahan; kekuatan bahan, losses yang timbul supaya
148
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
mendapatkan rendemen yang optimal (tinggi) cost rendah dan reliabilitas yang tinggi. Tentu saja semua ini harus dilakukan tahapan engineering yang optimal pula. 3.Metodologi Aliran sungai dengan debit yang cukup besar, dengan kedalaman yang memadai (lebih dari 3 meter), banyak terdapat di daerah pedalaman Kalimantan berpotensi untuk diubah menjadi tenaga listrik/ energi listrik. Kincir tersebut telah dicoba di sungai Pawan, dan anak sungai Kapuas hulu yang lain di daerah Sekadau (Kalimantan Barat bagian tengah). Debit air berfluktuasi antara musim kemarau dan penghujan antara 0,8 m/det - 1,5 m/det. Variasi kedalaman antara 3 meter sampai 6 meter. Dengan menggunakan aliran sungai alami tanpa bendungan dapat diperoleh tenaga yang cukup besar dengan rumus: ΔP
=(Q.γ.Δh)
.........................................................................................................................(1) sedangkan γ = ρ.g, dan jika tidak ada perubahan ketinggian tekanan air(head), maka perubahan daya (ΔP) hanya dipengaruhi kecepatan aliran air sungai, kemudian debit air (Q) adalah hasil kali luas sudu kincir dengan kecepatan, sehingga rumus di atas dapat ditulis sebagai berikut: P
=
(A.
ρ.g
.v
2
)/2
........................................................................................................................(2) Dimana : P = Daya Q = Debit air (m3/s) ρ
= berat jenis air (1000 kg/ m 3)
g
= gaya gravitasi (kg/m.s2)
h
= ketinggian tekanan air (m)
A = luas penampang aliran (m2) v
= kecepatan air per detik (m/s2) Permasalahannya adalah bagaimana mengambil energi air yang mengalir dengan
kecepatan rendah tersebut, untuk mampu memutar turbin air/ kincir air (water wheel). Dengan menggunakan kincir RASB kita akan dapat memfaatkannya. Dari percobaan lapangan diperoleh hasil yang diharapkan mendekati perhitungan teori sebesar 40.000 watt/ unit kincir (40KW)
149
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
4.Pembahasan Sebelum masuki berbagai tahapan sampai ke tahapan akhir (konstruksi lapangan) kita masuki teori dasar dan beberapa pengujian model di laboratorium. Adapun teori dasar kincir air ini adalah sebagai berikut : Sudu RASB mempunyai engsel/ sendi yang bergerak sehingga sudu membuka pada saat didalam air dan melipat saat keluar dari permukaan air. Tekanan air yang tidak begitu tinggi akan menghasilkan gaya optimal didalam air, dan hambatan/ tahanan sudu waktu memasuki permukaan air dan pada saat meninggalkan permukaan air sangat halus tanpa hentakan/sodokan, bahkan cenderung tanpa hambatan. Spesifikasi kincir : Jumlah deret sudu
3 susun seri tiap jari-jari drum (disk). Jumlah disk tersusuk sejajar
berjumlah 4 rangkaian yang terikat pada satu poros; dengan melalui pasak pengikat disk ke poros. Banyaknya jari-jari sudu dalam satu disk ada 6 buah; yang masing-masing bersudut beraturan 60o, namun posisi jari-jari sudu dalam setiap disk tidak sama terpaut 30o, sehingga pada setiap 30o gerakan poros akan tercelup/ terbenam rangkaian sudu ke dalam permukaan air, demikian seterusnya. Jari-jari kincir 600 cm.
Gambar 1 Skema Kincir Roda Air Sudu Bergerak
Daya yang dihasilkan dari Kincir RASB dapat dilihat dari perhitungan mekanik berikut ini: F
=pxA
dF
= dp x dA
dF
= γdh x dA 150
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
dh
= r cosφ dφ
dF
= r cosφ dφ x b.dr.dcosφ 20
r2 F = ∫ b.γ .r.dr × ∫ cos ϕ (− sin ϕ )dϕ .b.γ . 2 0 70
20
× 0
∫ − sin ϕ. cosϕ.dϕ
70
Jika diasumsikan kecepatan aliran sungai 0.8 m/detik, maka: 2 sinφ.cosφ 2 dφ
= sin 2φ
= d 2φ
dφ = ½d 2φ 20
r2 ⎤ 1 b.γ . ⎥ × ∫ sin 2ϕ .d 2ϕ 2 ⎦ 0 4 70 0
γ air = 1 Kg/dm3 b.
γ .r 2 2
20
0 ⎛ 1⎞ × ⎜ − ⎟.(− cos 2ϕ ) 70 ⎝ 4⎠
10 dm x 1000 Kg/dm3 x 202/2 dm2 x ¼ (0 + cos 140o) F = 10 x 1 x 400/2 x ¼ x 1.766 Kg = 883 Kg Daya = F x V = 883 Kg x 0.8 m/detik = 706.4 Kg.m/detik = 9.42 PK = 6.9 KW Bila saat 3 deret sudu terbenam dalam air dengan asumsi kekuatan: 1 3 1 5 + + = gaya total , 3 3 3 3
Maka daya yang timbul: 5 × 6.9 KW = 11.54 KW 3
Apabila penggerak tersusun dari 4 disk maka daya yang ditimbulkan secara total dalam 1 unit dengan efisiensi 0.8 (80 %) = 0.8 x 4 x 11.54 KW = 37 KW. Jika terdistribusi dengan daya 500 watt tiap rumah, maka akan bisa dikonsumsi oleh sekitar 60 rumah penduduk. Dimana untuk daerah pedalaman terdapat rata-rata 50 rumah penduduk. Dengan memasang kisncir RASB sepanjang tepi sungai, maka desa di sepanjang aliran sungai akan menerima penerangan listrik. 151
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Dengan menggunakan kecepatan kecepatan keliling v = π Dn dimana : D =diameter roda kincir, dan n : putaran roda tiap menit, sedangkan v : kecepatan keliling roda yang setara dengan kecepatan aliran air m/ menit. Dari hasil penelitian lapangan kecepatan air dapat berfluktuasi dari segi besarnya debit air sungai maupun posisi percobaan. Untuk posisi hilir ada pengaruh pasang surut sehingga terjadi arus balik sedangkan pada posisi hulu aliran dapat terjadi secara normal dan lebih aktual. Bila putaran berubah karena kondisi alam (perubahan debit); bisa terjadi pula adanya pengurangan beban karena servis pemeliharaan maka terjadi penurunan putaran. Untuk kecepatan 0.625 m/det atau 37.5 m/menit sampai ke 5.6 m/ menit dihasilkan : T = Fx r ; T = 883 kgf x 1,83 m = 1615,89 kgf-m. Daya yang timbul T = 716,2 N/n Aliran sungai
Kincir air
Generator
Gardu transmisi
distribusi
Gambar 2 Blok diagram distribusi aliran sungai menjadi tenaga listrik Demikian pula apabila kita pergunakan untuk kincir angin RASB guna mengangkat air (Untuk irigasi pertanian atau untuk sarana air bersih penduduk) tentunya mengalami proses engineering yang berstandard sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal. 5.Hasil dan Diskusi Apabila kenaikan arus sungai naik, daya output akan naik pula, untuk itu sistem kontrol kecepatan RASB water wheell harus dilakukan supaya frekwensi generator tidak melebihi 50 hertz; demikian pula untuk melakukan penyeimbangan/ keajegan putaran digunakan roda terbang (fly-wheel) sebagai penyimpan energi mekanik. Hasil riset awal pada tahun 1996 di daerah kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat) dirasa kurang berhasil, dan mendapat cemoohan, sehingga kalangan ilmuwan tetap menggunakan bendungan untuk menangkap energi air dari sungai. Namun dibalik kegagalan tersebut ada pula keberhasilan dari kincir ini yaitu : 1. Kerugian putar (torsi) dapat dikatakan nol, karena posisi sudu kincir dapat menyesuaikan pada gaya-gaya yang terjadi. 2. Putaran halus (rata) sehingga putaran generator listrik konstan. 3. Untuk memperbesar torsi dapat dilakukan dengan membuat kincir berukuran besar atau beberapa buah kincir kecil dikopel secara serie, ataupun paralel; atau beberapa buah PLTA RASB dipasang berjajar sepanjang sungai; karena pada jarak beberapa meter saja aliran sungai telah normal kembali. 152
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
4. Dibangun di desa terpencil di pedalaman Kalimantan; atau pulau lain yang memungkinkan seperti di Irian Jaya (Papua); dan tak perlu jaringan interkoneksi seperti di Jawa-Bali. 5. Dapat diterapkan pula dengan fluida angin untuk pengairan lahan gambut, guna pengolahan/penyuburan lahan pertanian 6.Kesimpulan Setelah melalui berbagai kajian, percobaan dan pengujian lapangan ”Kincir Roda Air Sudu Berubah” oleh beberapa instansi dan institusi yang berwenang dan terkait, maka telah dinyatakan bahwa kemanfaatan serta konstruksi teknis dapat dilaksanakan di Indonesia; dan juga telah dipatenkan sebagai kajian hasil riset. Perlu kajian lebih lanjut tentang masalah pengontrolan, konstruksi (kekuatan dan ergonomis mesin) serta hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan, tentu saja tidak lepas dari keterkaitan berbagai pihak tentang perijinan lokasi dan pendanaan.
The image part with relationship ID rId143 was not found in the file.
The image part with relationship ID rId142 was not found in the file.
153
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Daftar Pustaka 1. Suprapto, Heru, U.A., Ismun, ”Presentasi proposal di Perusahaan Air Minum Samarinda”, Samarinda, 2005. 2. Suprapto, Heru, ”Engineering Procedure“, PPNR (Pusat Perangkat Nuklir dan Rekayasa) – BATAN, 1998 3. U.A., Ismun,” Kincir Roda Air Sudu Bergerak sebagai Modal Dasar Pembangunan Indonesia dari Desa”, Yogyakarta, 2001.
154
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
SINTESIS SILIKA GEL DARI ABU BAGASSE DAN UJI ADSORPSINYA TERHADAP ION LOGAM TIMBAL(II)* Nunung Choirina [emailprotected] Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UNY ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis silika gel dari abu bagasse melalui pengabuan pada temperatur 7000C. Pembentukan natrium silikat dilakukan dengan menambahkan natrium hidroksida dan pengasaman menggunakan asam klorida, asam nitrat dan asam asetat. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis asam terhadap karakter silika gel, banyaknya silika gel yang dihasilkan dan daya adsorpsi serta efisiensi adsorpsi ion logam timbal(II). Subjek dalam penelitian ini adalah silika gel yang disintesis dari abu bagasse dengan variasi jenis asam. Jenis asam yang digunakan adalah asam klorida, asam nitrat dan asam asetat 3M. Sintesis silika gel dari abu bagasse dilakukan dengan melarutkan 6 gram abu bagasse ke dalam 200 mL natrium hidroksida 1M disertai pengadukan dan pemanasan selama 1 jam. Campuran didiamkan selama 18 jam pada suhu kamar dan disaring. Filtrat natrium silikat yang terbentuk ditambahkan asam bertetes-tetes disertai pengadukan hingga pH 7. Gel yang terbentuk didiamkan semalam, disaring dan dicuci dengan akuademineralisata hingga netral lalu dikeringkan dalam oven pada temperatur 1200C selama 2 jam dan digerus hingga lolos ayakan 200 mesh, kemudian digunakan dalam adsorpsi ion logam timbal(II). Hasil penelitian ini adalah padatan putih silika gel. Silika gel hasil sintesis mempunyai efisiensi produktivitas 64,18; 70,89 dan 73,80%, kadar air 17,80; 8,11 dan 13,08%, rumus kimia SiO2. 0,7222 H2O, SiO2. 0,2943 H2O dan SiO2. 0,5019 H2O masing-masing untuk silika gel yang disintesis dengan menggunakan asam nitrat, asam klorida dan asam asetat. Karakterisasi silika gel hasil sintesis menggunakan spektrofotometer inframerah menunjukkan pola yang sama dengan kiesel gel 60G (E-Merck). Daya adsorpsi dan efisiensi adsorpsi optimal ion logam timbal(II) tercapai pada silika gel hasil sintesis dengan asam nitrat.
1. Pendahuluan Pendirian instalasi pabrik-pabrik industri, menyebabkan mengalirnya air limbah ke aliran-aliran sungai disekitarnya sehingga akan membuat sungai menjadi tercemar. Zat berbahaya yang terdapat dalam air limbah yang saat ini banyak dikaji oleh kalangan ahli adalah logam berat. Logam berat tersebut antara lain Pb, Zn, Hg, Mn, Cd, Cr, Co dan Cu. Logam berat dinyatakan sebagai polutan yang sangat toksik dan berbahaya karena sifatnya yang sukar terurai. Sifat inilah yang menyebabkan logam berat dapat terakumulasi ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup sehingga dapat menyebabkan keracunan secara akut dan kronis bahkan dapat menyebabkan kematian. Dampak dari keracunan timbal sendiri sangat membahayakan bagi manusia, utamanya bagi anak-anak adalah mempengaruhi fungsi kognitif, kemampuan belajar, memendekkan tinggi badan, penurunan fungsi pendengaran, mempengaruhi perilaku dan intelegensia, merusak fungsi organ tubuh, seperti ginjal, sistem syaraf, sistem reproduksi, meningkatkan tekanan darah dan mempengaruhi perkembangan otak. Adsorpsi merupakan salah satu cara untuk menghilangkan unsur runut mikropolutan dalam air limbah dan buangan industri. Adsorpsi melibatkan pengikatan molekul ke dalam permukaan bahan secara fisika. Molekul-molekul pada permukaan zat padat atau cair, mempunyai gaya tarik ke arah dalam karena tidak adanya gaya–gaya lain yang mengimbangi. Adanya gaya-gaya ini yang menyebabkan zat padat dan zat cair mempunyai gaya adsorpsi.
155
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Silika gel merupakan salah satu padatan anorganik yang dapat digunakan untuk keperluan adsorpsi karena memiliki gugus silanol (Si–OH) dan siloksan (Si-O-Si) yang merupakan sisi aktif pada permukaannya. Disamping itu silika gel mempunyai pori-pori yang luas, berbagai ukuran partikel dan area permukaan yang khas. Silika gel dapat dibuat dengan pengasaman larutan natrium silikat teknis, yang dapat diperoleh dengan mudah di toko-toko kimia dengan harga yang relatif murah. Selain itu, silika gel juga dapat dibuat dari natrium silikat yang diperoleh dari abu ampas tebu atau sering disebut dengan abu bagasse. Limbah penggilingan tebu adalah limbah dari pabrik gula yang menggunakan tebu sebagai bahan baku dan jumlahnya cukup besar. Sampai saat ini limbah tersebut hanya dimanfaatkan sebagai bahan untuk timbunan. Berdasarkan data dari pabrik gula Madukismo di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), hasil produksi rata-rata per tahun bahan baku tebu ±350.000 – 400.000 ton per tahun dan gula 25.000 – 35.000 ton per tahun. Ampas tebu yang diperoleh sekitar 30 % dari tebu. Masa produksi sekitar 5 – 6 bulan per tahun (24 jam sehari), secara terus menerus antara bulan Mei sampai dengan bulan Oktober (Ilhamnuryasin, 2009). Bagasse yang dihasilkan pada proses setelah penggilingan tebu menjadi gula mengandung 45% selulosa, 32% pentose, 18% lignin, 5 % komponen penyusun lainnya (Hardi, 2003:3-6). Unsur – unsur kimia penyusun yang terdapat dalam bagasse terdiri dari 48% karbon, 6,5% hydrogen, 44% oksigen dan 2,5 % abu. Menurut Paturau (1982), dalam pembakaran bagasse biasanya menghasilkan 0,3% abu dengan silika (SiO2) sebagai komponen utamanya yaitu sekitar 73,5% dan unsur-unsur minor lainnya dalam bentuk oksida logam. Sehingga penelitian tentang sintesis silika gel dari abu bagasse menjadi menarik untuk dilakukan. 2. Tinjauan Pustaka Abu bagasse merupakan abu hasil dari sisa pembakaran bagasse. Bagasse adalah cellulose fiber, campuran dari serat yang kuat dengan jaringan parenchyma yang lembut, mempunyai tingkat higroskopis tinggi yang merupakan residu dari penggilingan tebu. Menurut Paturau (1982), dalam pembakaran bagasse dihasilkan abu sebanyak 0,3% dari berat tebu, dimana komponen utama penyusunnya adalah silika (SiO2) yaitu 73,5%. Besarnya jumlah silika yang terkandung dalam abu bagasse menjadikannya berpotensi sebagai salah satu bahan baku untuk sintesis silika gel, komposisi kimia abu bagasse ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia abu bagasse Komponen
% Berat
SiO2
73,5
Al2O3
7,6
Fe2O3
2,7
CaO
3,0
MgO
2,6
K2O
7,1
P205
1,7
Proses sol-gel Proses sol-gel menurut (Schubert dan Husing, 2000: 200) meliputi beberapa langkah sebagai berikut:
156
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
a. Hidrolisis dan kondensasi dari prekursor material dan pembentukan gel b. Gelasi (transisi sol-gel) c. Aging (masa pertumbuhan gel) d. Drying (pengeringan) Reaksi hidrolisis dan kondensasi pada proses sol-gel (Schubert dan Husing, 2000: 201) dapat ditunjukkan sebagai berikut : a. Hidrolisis alkoksida menghasilkan silanol ≡ Si ─ OR + H2O → ≡ Si ─ OH + ROH b. Kondensasi antara alkoksida dengan silanol menghasilkan siloksan ≡ Si ─ OR + ≡ Si ─ OH → ≡ Si ─ O ─ Si ≡ + ROH c. Kondensasi antar silanol menghasilkan siloksan ≡ Si ─ OH + ≡ Si ─ OH → ≡ Si ─ O ─ Si ≡ + H2O Melalui
polimerisasi
kondensasi
akan
terbentuk
dimer, trimer
dan
seterusnya
sehingga
membentuk bola-bola polimer sampai pada ukuran tertentu. Gugus silanol pada permukaan partikel bola polimer yang berdekatan akan mengalami kondensasi disertai pelepasan air sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk dikenal dengan sebutan alkogel yang merupakan gel yang bersifat sangat lunak dan tidak kaku. Alkogel yang terbentuk kemudian didiamkan (proses aging) semalam. Pada tahap ini, kondensasi antara bola-bola polimer terus berlangsung dan akan mengalami penyusutan volume alkogel. Penyusutan akibat kondensasi lanjut diikuti dengan berlangsungnya eliminasi larutan garam. Tahapan ini dikenal dengan sebutan sinersis. Tahap sinersis pada umumnya menghasilkan hidrogel, yaitu gel dengan sifat hampir kaku dan kokoh. Tahap akhir pembentukan silika gel adalah pembentukan serogel yang merupakan fasa silika gel setelah dilakukan pencucian dan pemanasan pada temperatur sekitar 100 ºC menghasilkan bahan amorf yang keras yang disebut silika gel. (Agus Prastiyanto dkk, 2008: 7) Silika Gel Silika gel pertama kali dikenal dalam bentuk hidrogel dan dianggap telah ditemukan oleh Thomas Graham pada tahun 1861. Silika gel tersebut dibuat melalui pencampuran larutan natrium silikat dan asam hidroklorida. Silika gel merupakan adsorben anorganik yang banyak digunakan di laboratorium kimia terutama untuk fasa diam kromatografi. Luasnya pemakaian silika gel disebabkan oleh sifat-sifat yang dimilikinya, diantaranya adalah inert, netral, dan kereaktifan permukaannya yang memiliki daya adsorpsi yang cukup besar (Scott, 1993 : 2-4). Silika gel merupakan senyawa SiO2 hidrat yang bersifat amorf, mempunyai struktur berpori yang stabil dengan gugus silanol (Si-OH) dan siloksan (Si-O-Si) pada permukaannya. Gugus silanol (Si-OH) pada silika gel, dapat terdeprotonasi pada kisaran pH 2 sampai 3 menjadi Si-O- (Harris, 2007 : 560). Struktur silika gel menurut Harris (2007 : 560) dapat dilihat pada gambar 2.
157
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 2. Struktur silika gel (Harris, 2007 : 560) Adsorpsi (Penjerapan) Adsorpsi adalah gejala pembentukan lapisan gas atau cairan pada permukaan padatan, sehingga banyak sedikitnya zat yang diadsorpsi tergantung pada luas permukaan zat pengadsorpsi. Padatan dimana terjadi proses adsorpsi pada permukaannya disebut adsorben, sedangkan bahan teradsorp disebut adsorbat (Levine, 2003 : 397). Secara eksperimen, proses adsorpsi dari larutan relatif lebih sederhana dibandingkan adsorpsi dari fase gas, tetapi secara teoritis adsorpsi dari larutan lebih kompleks dibandingkan adsorpsi gas. Hal ini dikarenakan pada adsorpsi dari larutan selalu meliputi kompetisi antara zat terlarut dan pelarut atau antara komponenkomponen dalam larutan untuk berinteraksi dengan situs-situs aktif adsorpsi (Shaw, D.J., 1999:169-170). Logam Timbal (Pb) Logam timbal adalah logam yang berwarna abu-abu kebiruan, dengan rapatan yang tinggi (11,48 g ml-1 pada suhu kamar). Timbal mudah larut dalam asam nitrat dengan konsentrasi 8M, dan terbentuk nitrogen oksida.Timbal sebagai logam berat merupakan unsur yang terbanyak di dunia. Istilah logam berat digunakan karena timbal mempunyai densitas (rapatan) yang sangat tinggi (11,34 g cm-3). Timbal bersifat lembek dengan titik leleh ~327 oC, nampak mengkilat/berkilauan ketika baru dipotong, tetapi segera menjadi buram ketika terjadi kontak dengan udara terbuka. Hal ini karena terjadi pembentukan lapisan timbal oksida atau timbal karbonat yang melapisi secara kuat, sehingga mencegah terjadinya reaksi lanjut (KH Sugiyarto, 2001 : 7.2-7.3). 4.Metodologi Penelitian Sampel bagasse yang berasal dari Pabrik Gula Madukismo Yogyakarta dibakar dan dihasilkan arang bagasse. Kemudian arang bagasse ditimbang dan diabukan dalam muffle furnace pada temperatur 7000C selama 4 jam menggunakan krus porselin. Setelah itu dimasukkan ke dalam deksikator dan ditimbang. Abu bagasse tersebut kemudian digerus menggunakan mortar dan diayak menggunakan ayakan 200 mesh. Sebanyak 25 gram abu halus tersebut dicuci dengan 150 mL larutan HCl 0,1 M melalui pengadukan selama 1 jam dan didiamkan selama semalam, kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman No. 42 dan dibilas dengan akuademineralisata hingga netral, dicek menggunakan kertas pH 14 Universal Merck. Abu bagasse yang telah dicuci tersebut kemudian dikeringkan dalam oven pada temperatur 1100C selama 2 jam. Sebanyak 6 gram abu bagasse kering yang telah dicuci, dilebur dengan menggunakan 200 mL larutan NaOH 1M sambil diaduk sampai mendidih selama 1 jam kemudian didiamkan selama 18 jam. Larutan Natrium Silikat yang terbentuk disaring menggunakan kertas saring Whatman No.42.
158
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Pembuatan silika gel Sebanyak 20 mL larutan Natrium Silikat ditempatkan dalam wadah plastik kemudian ditambahkan larutan HCl 3M secara perlahan sambil diaduk sampai gel mulai terbentuk atau terjadi kondensasi larutan natrium silikat dengan larutan asam sampai pH=7, kemudian didiamkan selama 1 malam untuk terbentuknya gel. Kemudian gel yang terbentuk disaring dengan kertas saring Whatman No.42 dan dilakukan pencucian dengan akuademineralisata sampai bersifat netral. Lalu dikeringkan dalam oven pada temperatur 1200 C selama 2 jam. Silika gel kemudian digerus menggunakan mortar dan diayak menggunakan ayakan 200 mesh. Prosedur diulang untuk HNO3 3M dan CH3COOH 3M. Kemudian silika gel dikarakterisasi gugus fungsionalnya menggunakan alat FTIR dan dibandingkan dengan spektra IR pada Kiesel Gel 60G Merck. Penentuan Kadar Air Silika Gel Sebanyak 0,1 gram silika gel dipanaskan dalam oven pada temperatur 100 oC selama 4 jam, kemudian didinginkan dan ditimbang. Setelah itu, dipijarkan dalam muffle furnace pada temperatur 6000C selama 2 jam. Sampel kemudian didinginkan dan ditimbang kembali. Kadar air dihitung dengan mengurangkan berat silika gel sebelum pemijaran (sesudah pemanasan pada suhu 100 OC selama 4 jam) dengan berat silika gel setelah pemijaran dibagi berat silika gel awal dikalikan 100%. Adsorpsi Ion Logam Pb(II) Sebanyak 10 mL larutan ion logam Pb(II) 10 ppm ditambahkan ke dalam 0,25 gram silika gel dalam botol plastik. Kemudian diaduk dalam alat Shaker selama 90 menit. Selanjutnya disentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm selama 30 menit. Silika gel dan filtrat didekantir, filtrat yang diperoleh dianalisis konsentrasi ion Pb(II) dengan menggunakan AAS. Penjerapan ini dilakukan pada silika gel hasil sintesis dengan berbagai konsentrasi asam serta silika Kiesel gel 60G buatan Merck secara triplo. 5.Hasil dan Pembahasan Data hasil pembuatan silika gel dapat dilihat pada tabel 2 berikut: Tabel 2. Data hasil sintesis silika gel dari abu bagasse dengan variasi jenis asam Jenis asam
Volume asam
Berat Silika Gel yang
Efisiensi
(mL)
diperoleh (gram)
Produktivitas (%)
HNO3 3M
8,1
0,5348
64,18
HCl 3M
10,5
0,5907
70,89
CH3COOH 3M
9,0
0,6150
73,80
Keasaman dan kadar air dari silika gel hasil sintesis dan kiesel gel 60G dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Data Keasaman, Kadar Air Total dan Rumus Kimia Silika Gel Hasil Sintesis dan Pembanding NO
Jenis Silika Gel
Kadar Air Total (%)
Rumus Kimia SiO2.xH2O
1
Kiesel Gel 60G
5,52
SiO2 .0,1957 H2O
2
SGAB-HNO3
17,80
SiO2. 0,7222 H2O
3
SGAB-HCl
8,11
SiO2. 0,2943 H2O
4
SGAB-CH3COOH
13,08
SiO2. 0,5019 H2O
159
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Berdasarkan tabel 3, kadar air silika gel hasil sintesis dengan larutan asam klorida 3M memiliki kadar air yang paling mendekati dengan kiesel gel 60G. Sehingga dapat dikatakan silika gel hasil sintesis dengan larutan asam klorida memiliki karakter yang mirip dengan karakter kiesel gel 60G.. Spektra inframerah dari silika gel hasil sintesis (SGAB-HCl, SGAB-HNO3 dan SGAB-CH3COOH) dan kiesel gel 60G dapat dilihat pada gambar 3. Spektra inframerah untuk silika gel hasil sintesis dengan larutan asam nitrat 3M sebelum dan setelah digunakan sebagai adsorben ion logam Pb(II) dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 3. Spektra Inframerah Kiesel Gel 60G dan silika gel hasil sintesis
Gambar 4. Spektra Inframerah SGAB-HNO3 sebelum dan setelah adsorpsi Uji kemampuan penjerapan silika gel terhadap ion logam Pb(II) dinyatakan dengan daya jerap serta efisiensi penjerapan. Efisiensi penjerapan merupakan jumlah ion logam berat Pb(II) yang terjerap oleh silika gel yang diaduk dan disertai perendaman dalam larutan ion logam berat Pb(II) 10 ppm dengan volume 10 ml. Penentuan konsentrasi larutan Pb(II) diawali dengan pembuatan larutan standar Pb(II) dengan variasi konsentrasi kemudian diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer serapan atom. Data absorbansi dan konsentrasi larutan standar Pb(II). Data absorbansi larutan standar Pb(II) kemudian digunakan untuk pembuatan kurva kalibrasi larutan standar. Dari hasil pengukuran absorbansi larutan standar tersebut, diperoleh persamaan garis regresi linear Y = 0,001056X – 0,000583. Dari hasil uji signifikasi, persamaan tersebut memiliki nilai R sebesar 0,986227. Harga R tersebut dikonsultasikan dengan tabel nilai produk momen dengan jumlah data 8 pada taraf signifikasi 1% yaitu sebesar 0,834. Harga R hitung ternyata lebih besar dari R tabel sehingga ada korelasi signifikan antara konsentrasi (X) dan absorbansi(Y). Daya jerap dan efisiensi penjerapan dapat dilihat pada tabel 4.
160
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 4. Daya Jerap dan Efisiensi Penjerapan Silika Gel Terhadap Ion Logam Pb(II) Jenis Silika Gel
Daya Jerap (mg/g)
Efisiensi Penjerapan (%)
KG-60G
0,2598
57,30
SGAB-HCl
0,4111
90,68
SGAB- HNO3
0,4211
92,91
SGAB-CH3COOH
0,3982
87,90
Sintesis Silika Gel Sintesis silika gel dari abu bagasse secara garis besar melalui 5 tahap yaitu preparasi natrium silikat, pengasaman natrium silikat, pembentukan hidrogel, pencucian dan pengeringan hidrogel menjadi serogel. Pada tahap pertama yaitu preparasi natrium silikat. Abu bagasse yang telah dicuci dan dikeringkan ditimbang sebanyak 6 gram, kemudian abu bagasse tersebut dilebur dengan larutan NaOH 1M sebanyak 200 mL di dalam teflon disertai pengadukan dan pemanasan hingga mendidih selama 1 jam. Reaksi yang terjadi pada peleburan abu bagasse yaitu: SiO2 (s) + 2 NaOH (aq)
Na2SiO3 (aq) + H2O (l)
Pada tahap kedua yaitu pengasaman natrium silikat. Sebanyak 20 mL larutan Natrium Silikat yang dihasilkan, ditempatkan dalam wadah plastik kemudian ditambahkan larutan HCl 3M secara perlahan sambil diaduk sampai gel mulai terbentuk atau terjadi kondensasi larutan natrium silikat dengan larutan asam sampai pH=7. Reaksi yang terjadi pada proses pengasaman adalah: Na2SiO3(aq) + H2O(l) + 2H+(aq)
Si(OH)4(aq) + 2Na+(aq)
Proses pengasaman bertujuan untuk membentuk asam silikat yang merupakan monomer dari silika gel. Pembentukan gel terjadi karena atom oksigen dari asam silikat akan menyerang atom silikon dari asam silikat yang lain. Asam silikat bebas dengan cepat akan mengalami polimerisasi dengan asam silikat bebas yang lain membentuk dimer, trimer dan ahirnya membentuk polimer asam silikat. Reaksi polimerisasi asam silikat menurut Scott, R. P. W (1933:3) dapat dilihat pada gambar 5 berikut.
Gambar 5. Reaksi Polimerisasi Asam Silikat Efisiensi produktivitas dapat dilihat pada tabel 2. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa sintesis silika gel menggunakan larutan asam asetat 3M mempunyai efisiensi produktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan larutan asam klorida 3M dan asam nitrat 3M. Produktivitas silika gel sangat tergantung pada kuantitas natrium silikat yang digunakan dan pH pengasaman. Meningkatnya efisiensi produktivitas mungkin disebabkan naiknya konsentrasi proton dari asam sehingga jumlah asam silikat yang terbentuk juga semakin banyak yang mengakibatkan naiknya efisiensi produksinya.
161
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Kadar Air Silika Gel Penentuan kadar air silika gel dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang dilepaskan oleh silika gel selama pemanasan pada temperatur tertentu. Kadar air dalam penelitian ini didefinisikan sebagai banyaknya air yang dilepaskan oleh silika gel akibat pemanasan pada temperatur 600OC selama 2 jam. Pemanasan silika gel pada temperatur dibawah 120OC terjadi pelepasan air yang terikat secara lemah pada permukaan silika gel yang disebut sebagai air yang terikat secara fisik. Air yang terikat secara fisik dapat diuapkan pada temperatur relatif lebih rendah dibandingkan untuk menguapkan air yang berasal dari kondensasi gugus-gugus silanol menjadi gugus siloksan. Pemanasan silika gel pada tempuratur 580-7000C akan mengakibatkan terjadinya kondensasi gugus-gugus silanol menjadi gugus siloksan dengan melepaskan molekul air. Berdasarkan tabel 2 dan 3 dapat diketahui bahwa silika gel asam nitrat, asam klorida dan asam asetat semakin tinggi efisiensi produktivitasnya namun kadar air silika gel dari kiesel gel 60G ke SGAB-HCl ke SGAB-CH3COOH dan ke SGAB-HNO3 semakin meningkat. Data tersebut dapat dijelaskan dengan melihat spektra IR kiesel gel dan silika gel hasil sintesis pada gambar 3. Pada gambar tersebut menunjukkan intensitas pita-pita serapan dari kiesel gel 60G ke SGAB-HCl ke SGAB-CH3COOH dan ke SGAB-HNO3 semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kadar air. Semakin tinggi atau tajamnya intensitas serapan pada bilangan gelombang sekitar 3400 cm-1 dan 1600 cm-1 yang merupakan vibrasi rentangan dan bengkokan OH pada SiOH, yang menandakan adanya air yang terjerap, sehingga kadar air juga semakin tinggi. Data kadar air dapat digunakan untuk penentuan rumus kimia silika gel yang dihasilkan dengan asumsi bahwa silika hanya terdiri dari SiO2 dan H2O. Rumus kimia Kiesel Gel 60G E-Merck adalah SiO2. 0,1957 H2O sedangkan untuk silika gel yang dihasilkan dengan menggunakan asam klorida, asam asetat dan sasam nitrat 3M masing-masing adalah SiO2. 0,2943 H2O; SiO2. 0,5019 H2O dan SiO2. 0,7222 H2O. Sehingga silika gel hasil sintesis yang memiliki kadar air yang mirip dengan kiesel gel 60G adalah silika gel hasil sintesis dengan asam klorida 3M. Spekta Inframerah Silika Gel Sebelum dan Setelah Adsorpsi Pada penelitian ini, silika gel hasil sintesis dengan menggunakan variasi jenis asam dikarakterisasi gugus-gugus fungsionalnya dengan menggunakan spektrofotometer inframerah. Silika gel yang digunakan sebagai pembanding adalah kiesel gel 60G buatan E-Merck. Berdasarkan spektra inframerah kiesel gel 60G pada gambar 3 terdapat beberapa serapan karakteristik pada bilangan gelombang 1111,55 cm-1 yang menunjukkan vibrasi regangan asimetri Si-O dari Si-O-Si. Pita serupa yang karakteristik Si-O juga muncul pada bilangan gelombang 797,77 cm-1. Pita lebar pada 3414,79 cm-1 menunjukkan vibrasi gugus –OH dari Si-OH (Hardjono Sastrohamidjojo, 1990:102). Pita tersebut dipertegas oleh pita pada daerah 1627,94 cm-1 yang menunjukkan vibrasi bengkokan –OH dari Si-OH. Pita pada daerah 471,38 cm-1 menunjukkan vibrasi bengkokan dari Si-O-Si. (Brinker, C.J. dan Sherer, W.J.,1990:583). Berdasarkan spektra inframerah, secara umum silika gel hasil sintesis memberikan pola spektra inframerah yang mirip dengan pola spektra inframerah kiesel gel 60G Merck. Kemiripan tersebut menunjukkan bahwa silika gel hasil sintesis memiliki kemiripan gugus-gugus fungsional dengan kiesel gel 60G Merck. Berdasarkan gambar 3, spektra inframerah pada silika gel dengan asam klorida 3M (SGAB-HCl) memiliki pola spektra yang paling mirip dengan pola spektra kiesel gel 60G E-Merck.
162
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Berdasarkan spektra infra merah sebelum dan setelah mengalami penjerapan ion logam Pb(II) baik kiesel gel 60G, SGAB-HCl, SGAB-HNO3 maupun SGAB-CH3COOH terjadi pergeseran pita-pita serapan pada spektra inframerah dan penurunan intensitas pita-pita serapan. Misalnya pada spektra IR SGAB-HNO3 sebelum dan setelah adsorpsi pada gambar 4 menunjukkan telah terjadinya pergeseran pita serapan yang semula berada pada bilangan gelombang 3461,49 cm-1 yang menunjukkan vibrasi rentangan -OH dari Si-OH menjadi 3463,12 cm-1. Pita serapan pada bilangan gelombang 1635,18 cm-1 bergeser menjadi 1644,69 cm-1. Pergeseran ini dimungkinkan terjadi akibat terikatnya ion logam Pb(II) pada gugus silanol. Terikatnya ion logam Pb (II) pada gugus silanol menyebabkan berubahnya lingkungan elektronik dari gugus silanol sehingga terjadi pergeseran pita. Selain itu pergeseran pita-pita yang muncul juga terjadi pada daerah karakteristik siloksan. Pita serapan pada bilangan gelombang 1087,90 cm-1 yang menunjukkan vibrasi rentangan asimetri Si-O dari Si-O-Si mengalami pergeseran menjadi 1087,62 cm-1. Pita serapan pada frekuensi 791,15 cm-1 juga bergeser menjadi 794,48 cm-1. Pita serapan pada frekuensi 469,86 cm-1 juga bergeser menjadi 465,83 cm-1. Hal ini menunjukkan bahwa ion logam berat Pb(II) juga dimungkinkan terikat pada gugus siloksan. Penjerapan Ion Logam Berat Pb(II) Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4 menunjukkan daya jerap 0,2598; 0,3982; 0,4111 dan 0,4211 mg/g, efisiensi penjerapan 57,30; 87,90; 90,68 dan 92,91% masing-masing untuk kiesel gel 60G, SGABCH3COOH, SGAB-HCl dan
SGAB-HNO3. Dari data tersebut menunjukkan bahwa silika gel hasil sintesis
menunjukkan daya jerap dan efisiensi penjerapan yang lebih besar dari kiesel gel 60G. Hal ini menunjukkan bahwa silika gel hasil sintesis berpotensial untuk dijadikan sebagai adsorben ion logam berat seperti ion logam Pb(II). Silika gel hasil sintesis dengan asam nitrat 3M memiliki daya jerap dan efisiensi penjerapan yang paling besar, dapat dipertegas dengan adanya spektra IR pada gambar 4, dimana terjadi pergeseran pita-pita antara sebelum adsorpsi dan setelah adsorpsi. Pada gambar 3, untuk spektra IR SGAB-HNO3 memiliki intensitas serapan yang paling tinggi diikuti intensitas SGAB-CH3COOH, SGAB-HCl, dan kiesel gel 60G yang intensitasnya semakin turun. Maka semakin tinggi intensitas serapan pada spektra IR silika gel, maka daya jerap serta efisiensi penjerapan silika gel yang dihasilkan akan semakin besar. 6.Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Silika gel dapat disintesis dari abu bagasse dengan pengasaman menggunakan larutan asam klorida, asam nitrat dan asam asetat, masing-masing dengan konsentrasi 3M. Hasil karakterisasi kadar air dan gugus fungsi dengan spektroskopi inframerah menunjukkan bahwa silika gel hasil sintesis mempunyai kemiripan dengan Kiesel Gel 60G, dimana yang paling mendekati dengan spektra IR kiesel Gel 60G adalah silika gel hasil sintesis dengan larutan asam klorida 3M.
2.
Adanya variasi jenis asam yang digunakan dalam sintesis silika gel memberikan pengaruh terhadap banyaknya silika gel yang dihasilkan. Efisiensi produktivitas hasil sintesis silika gel 64,18; 70,89 dan 73,80% masing-masing untuk silika gel hasil sintesis dengan asam nitrat, asam klorida dan asam asetat 3M.
3.
Adanya variasi jenis asam yang digunakan dalam sintesis silika gel memberikan pengaruh terhadap daya jerap serta efisiensi penjerapan. Daya jerap 0,4211 dan efisiensi penjerapan 92,91 adalah hasil optimal dari silika gel dengan larutan asam nitrat 3M.
163
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Daftar Pustaka 1.
Agus Prastiyanto, Choiril Azmiyawati dan Adi Darmawan. (2008). Pengaruh Penambahan merkaptobenzotiazol (MBT) terhadap kemampuan adsorpsi gel silika dari kaca pada ion logam cadmium. Jurusan Kimia Universitas Diponegoro Semarang. 1-13.
2.
Brinker, C.J. dan Sherer, W.J. (1990). Sol-Gel Science: The physics and Chemistry of Sol-Gel Processing. San Diego : Academic Press.
3.
Hardi Santosa. (2003). Perbaikan Tanah Ekspansif dengan Menggunakan Quicklime dan Abu Ampas Tebu. Skripsi. Surabaya : FT Universitas Kristen Petra.
4. Hardjono S. (1991). Spektroskopi. Yogyakarta : Liberty. 5. Harris, Daniel C. (2007). Quantitative Chemical Analysis. New York : W. H. Freeman and Company. 6.
Ilhamnuryasin. (2009). Pemanfaatan biopozzolan eks limbah penggilingan tebu untuk meningkatkan mutu beton.
7. K, H. Sugiyarto. (2001). Kimia Anorganik II. Yogyakarta : FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. 8. Khopkar. (1990). Konsep Dasar Analisis. Jakarta : UI Press. 9. Levine, I. N. (2003). Physical Chemistry. New York : Mc Graw Hill. 10. Paturau, J.M. (1982). By product of the cane sugar industry. Amsterdam:Elseiver. 11. Schubert, U., dan Husing, N. (2000). Synthesis of Inorganic Material. Weinheim: Wiley-VCH Verlag Gmbh, D-69469. 201, 200, 213. 12. Scott, R. P. W. (1993). Silica Gel and Bounded Hases: Their Production, Properties and use in LC. Chincester: John Wiley & Sons Ltd. 2-4. 13. Shaw, D.J. (1999). Colloid and Surface Chemistry . Inggris: Butterwort-Heinemenn. 14. Siti Sulastri dan Susila Kristianingrum. (2003). Kimia Analisis Instrumental. Yogyakarta : FMIPA UNY.
164
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
PENGGUNAAN METODE GEOLISTRIK DALAM MENENTUKAN RESISTIVITAS AIR BAWAH PERMUKAAN DI TPA BABAKAN CIPARAY DAN SEKITARNYA DI KABUPATEN BANDUNG Mimin Iryanti * dan Nanang Dwi Ardi * *Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika, UPI ABSTRAK Pengkajian nilai resistivitas atau tahanan jenis air bias memberikan penjelasan tentang kualitas air, terutama air bersih. Nilai resistivitas air tanah fresh adalah antara 10 – 100 Ωm (Loke, 1997). Nilai resistivitas di peroleh dengan menggunakan metode geolistrik, yaitu dengan menginjeksikan arus pada bawah permukaan. Konfigurasi elektroda yang digunakan dalam penelitian ini adalah konfigurasi Wenner yaitu dengan spasi elektroda yang sama 5m tiap eletroda. Ada 6 lintasan yang diukur di TPA Babakan Ciparay dan sekitarnya untuk memperoleh penampang bawah permukaan. Dari pengambilan data dan pengolahan data Geolistrik terlihat pada lintasan 1,2,3 dan 6 diduga keberadaan air tercemar ada di kedalaman 3.75 m dengan nilai resistivitas 0.019 – 6.51Ωm. Hal ini menunjukan bahwa kandungan air didaerah tersebut dibawah ambang batas air fress. Sedangkan pada lintasan 4 dan 5 dengan geolistrik nilai resistivitas yang terukur berada dalam range nilai air fress yaitu sekitar 7.16-13.3Ωm. Gambaran yang menujukan nilai resistivitas di buat dalam penampang 2D. sehingga diperoleh variasi resistivitas dan kedalaman yang terukur. Kata Kunci : TPA, Geolistrik, Konfigurasi Wenner, Resistivitas.
1.Pendahuluan Permasalahan air merupakan permasalahan yang sangat mendasar bagi kehidupan bermasyarakat, terutama dikota-kota besar. Penyediaan air sangat diperlukan bagi masyarakat terutama air bersih. Di sekitar tempat pembuangan akhir sampah, terdapat pemukiman penduduk yang sangat memerlukan ketersediaan air bersih. Dalam mengidentifikasi ketersediaan air bersih bisa dilihat dari parameter fisika dan kimia. Dalam penelitian ini dilakukan parameter fisika yaitu berupa pengukuran nilai resistivitas. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran nilai resistivitas air bawah permukaan di TPA Babakan Ciparay dan Sekitarnya. Hasil dari gambaran ini bias dijadikan rujukan dalam memperoleh air yang bersih. 2.Tinjauan Pustaka Metode geolistrik merupakan metode yang menerapkan konsep kelistrikan pada permasalahan kebumian. Metode geolistrik yang digunakan yaitu metode geolitrik tahanan jenis. Metode tahanan jenis merupakan metode yang cukup efektif dalam menggambarkan keadaan bawah tanah berdasarkan nilai resistivitas. Pada metode ini injeksi arus I yang diberikan pada bumi dilakukan melalui dua perantara elektroda (terbuat dari bahan konduktor) selanjutnya hasil pengukuran medan pada medium akan dideteksi oleh dua buah elektrode yang lain (dibuat dari bahan yang sama) seperti ditunjukkan pada Gambar 1 Secara normal tegangan
165
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
antara dua elektroda bermuatan dapat terukur dengan detektor melalui impedansi internal yang sangat besar dibanding impedansi antara kontak elektroda dengan media tanah.
Gambar 1. Penempatan elektroda (Geologicresource) Pada metode tahanan jenis, besar tahanan jenis semu yang terukur dapat dirumuskan sebagai berikut (Gerkens, 1988) :
ρa = K
ΔV I
Keterangan: ρa = tahanan jenis semu (ohm-meter) ΔV = beda potensial antara dua elektroda P1 dan P2 (volt) I
= arus antara dua elektroda C1 dan C2 (ampere)
K = faktor geometri (meter) 3.Metode Penelitian Metoda geolistrik tahanan jenis secara sounding dapat digunakan untuk menggambarkan variasi kedalaman bawah permukaan. Metoda ini mendeteksi sifat kelistrikan bumi dan sangat peka terhadap material yang mengandung air. Konfigurasi elektroda yang digunakan adalah konfigurasi Wenner. Ciri khas konfigurasi Wenner yaitu penempatan jarak yang sama pada setiap elektroda, hal ini terlihat pada Gambar 2 konfigurasi ini digunaknan untuk mendapatkan profil dari permukaan lapangan, cara ini dikenal dengan teknik mapping.
Gambar 2. Konfigurasi Wenner
166
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Faktor geometri untuk konfigurasi wenner diturunkan menjadi :
K w = 2πa Dan nilai resistivitasnya adalah : ρ = 2πa
ΔV I
Gambaran dari penampang dibuat dalam 2D sehingga mempertajam gambaran bawah permukaan bumi. Pengolahan data 2D akan dilakukan menggunakan perangkat lunak Res2Dinv.
4.Hasil dan Pembahasan Dalam penelitian ini diperoleh 6 lintasan yang terukur, setiap lintasan memiliki nilai resistivitas yang berbeda.
Gambar 3. Lintasan 1
167
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 4. Lintasan 2
Gambar 5. Lintasan 3
168
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 6. Lintasan 4
Gambar 7. Lintasan 5
169
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 8. Lintasan 6 Pada lintasan 1 di ketinggian sekitar 866-879 m diperoleh penampang yang memiliki nilai resistivitas terkecil degan rentang 0.0283-0.429 Ωm. Lintasan berada tepat ditumpukan sampah dan dari hasil gambaran penampang 2D maka terlihat penyebaran nilai resistivitasnya. Pada Lintasan 2 pada ketinggian 874 – 879 m, yang memiliki resistivitas rendah yakin sekitar 0.209-0.673 Ωm. Terlihat pada penampang 2D, lapisan ini hanya berada ditengah lintasan yang diukur. Lintasan ini merupakan tempat pembuangan sampah yang telah ditimbun. Pada lintasan 3 pada ketinggian 874 – 884 m terlihat adanya nilai resistivitas yang kecil di sepanjang lintasan dengan nilai resistivitas berkisar 0.0244-0.812 Ωm. Lintasan ini merupakan wilayah pembuangan sampah yang aktif. Pada Lintasan 4 pada ketinggian 838 – 843 m, nilai resistiviatas terkecilnya pada rentang 5.27-9.87 Ωm. Lintasan ini berada mendekati pemukiman penduduk, wilayah yang diukur berupa lahan kebun. Pada lintasan 5 terletak pada ketinggian 874 – 880 m nilai resitivitas terkecil pada rentang 6.94-14.8 Ωm, merupakan daerah atas di sekitar TPA dan Pada lintasan 6 pada ketinggian 853-860 m nilai resistivitas terkecil terdapat pada rentang 2.19-4.83 Ωm, berupa wilayah lalu lintas pengangkutan sampah.
5.Kesimpulan Dengan mengacu pada referensi bahwa air fress memiliki rentang nilai resistivitas antara 10 - 100Ωm (loke, 1997) maka kita dapat melihat lintasan mana saja yang teridentifikasi memiliki air fress. Bila dilihat dari nilai resistivitas yang diperoleh maka harus diidentifikasi keberadaan lintasan tersebut. Pada lintasan 1, 2, 3 dan 6 yang memiliki nilai resistivitas kurang dari 6 Ωm ternyata pengukuran geolitriknya dilakukan tepat di tumpukan sampah dan daerah penumpukan sampah yang tidak aktif. Sedangkan lintasan 4 dan 5 yang memiliki nilai resistivitas yang lebih besar sekitar 7 – 13 Ωm, berada dipemukiman penduduk dan cukup jauh dari tempat pembuangan sampah. Walaupun memiliki nilai resistivitas yang cukup dalam kategori air fress. Daerah ini merupakan daerah yang berpotensi untuk tercemar, bila penanganan air lindi di TPA tidak ditanggani dengan serius.
170
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Daftar Pustaka 1. Gerkens, J.C., foundation Of Exploration Geophysics, Elsevier, Hal 527 – 649, 1988 2. Loke, M.H., Electrical Imaging Surveys For Environmental And Engineering Studies. Hal 4, 1997 3. Telford W.M., Gerdart L.P., Sheriff R, Applied Geophysics, Cambridge University Press, Second Edition, New York, Hal 522 – 590, 1990. 4. http://www.geologicresources.com/resistivity 5. Reynold. John M.1995. An introduction to Applied and Environmental Geophycis.North wales,UK:willey
171
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
PENERAPAN DISTRBUTED CONTROL SYSTEM (DCS) PADA LAPANGAN MINYAK DAN GAS BUMI Radita.Arindya,ST,MT * Dosen Universitas Satyagama dan Sr.Supervisor Instrument Total E&P Indonesie
Abstrak Konsep dasar dari Distributed Control System (DCS) adalah merupakan suatu jaringan sistem kontrol yang terdistribusi di mana dimungkinkan terjadinya pemakainan data –data yang sama oleh lebih dari satu peralatan. Kontrole di letakkan di dekat unit – unit proses yang tersebar di area yang luas (terdistribusi) dan operator dapat memantau dan mengawasi operasional pabrik dari suatu Operator Console di Control Room. Mimic Panel dan Panel – panel besar yang ada sebelumnya sudah tidak diperlukan lagi.
172
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
1.Pendahuluan Kurang lebih di era sebelum tahun 1920-an, operator melaksanakan tugas–tugasnya dengan cara “Direct Acting”, langsung di lapangan.
Dengan system direct acting tersebut, operator harus mengeluarkan
tenaga yang cukup banyak untuk membuka menutup valve dalam upaya menjalankan fungsi operatornya, apalagi kalau jumlah valve-nya banyak.
Untuk membantu permasalahan operator tersebut, pada akhir tahun
1920-an (awal era 1930-an). Mulailah diperkenalkan controller untuk membuka menutup valve menggunakan media udara betekanan yang dipasang di dekat unit proses yang dikendalikan (Direct Connected Pneumatic Controller). Menggunakan controller ini, operator mendapatkan banyak kemudahan dalam pengoperasian pabrik karena besaran-besaran proses dan besaran keluaran controller hanya bisa dilihat pada controller tersebut. Belum ada komunikasi antara controller yang satu dengan controller yang lain, kecuali komunikasi secara visual dan lewat suara antara operator yang satu dengan operator yang lain.
Kondisi ini berubah pada akhir era tahun
1930-an dengan semakin berkembangnya skala industri proses serta semakin kompleksnya proses yang harus dikendalikan.Hampir tidak dimungkinkan lagi untuk mengoperasikan pabrik dengan metode seperti diatas. Disini, operator memerlukan suatu “Centralized Control Room”, sehingga semua besaran – besaran proses diharapkan dapat dipantau dan dikendalikan dari suatu lokasi serta antara controller yang satu dengan yang lain dapat di interaksi satu sama lain. Hal ini dimungkinkan dengan dikembangkannya suatu teknologi transmisi signal pneumatic (Pneumatic Transmitter) pada tahun 1938. Arsitektur dari transmitter pneumatic ini adalah pengukuran besaran proses dilakukan langsung dilapangan dan dikonversikan menjadi signal pneumatic standart 3 - 15 Psig atau 0.2 – 1.0 Kg/cm²(g). Selanjutnya signal tersebut dikirim. Ke Controller di control room untuk dibandingkan dengan set pointnya, dan output controller dikirim kesuatu Final Device seperti Control Valve, Governer dll. Sedangkan untuk system intelocknya, seperti untuk start / stop pompa, membuka / menutup on-off valve dsb, dikerjakan oleh electromechanical relay.
Ada satu kelemahan yang dimiliki dari system transmisi signal pneumatic
tersebut, yakni pada masalah jarak. Jarak maksimum yang direkomondasikan untuk signal pneumatic adalah +/300 feet (100 meter).
Untuk industri – industri skala besar dimana peralatan – peralatan instrumentasinya
tersebar pada area yang sangat luas, maka sistem sentralisasi berbasis system pneumatic bukanlah jawaban yang tepat. Pada era akhir tahun 1950-an, teknologi transmisi signal tersebut mulai bergeser dari pneumatic ke electronic menggunakan signal standar 4 – 20 mA DC.
Tujuan
perubahan
system
transmisi
signal
tersebut adalah menggantikan tubing-tubing pneumatic dengan satu pasang kabel yang diperlukan untuk system electronic. Perubahan tersebut memiliki beberapa keuntungan – keuntungan, antara lain: a.
Mengurangi Installation cost
b.
Menghilangkan Time Lag yang ada pada system pneumatic Pada masa ini juga, sistem interlock juga mulai bergeser dari electromechanical relay ke Electronic
Logic Controller, yang mana controller hanya menerima masukan 2 ( dua ) keadaan yakni ON/OFF dan / atau 0 / 24 volt .Hal lain yang tidak boleh diabaikan dalam evolusi sistem pengendalian adalah evolusi “Computer-based Process Control System”. Penerapan Computer untuk industri proses pertama kali hanya bersifat untuk “Supervisory” saja, belum bisa melakukan data Acquisition. Operator sudah bisa melakukan “Logging” secara otomatis berdasarkan waktu yang sudah ditetapka, apakah 8 jam sekali, 1 jam sekali ataupun 1 shift sekali. Technologi computer yang baru ini diterapkan pertama kali oleh suatu Power Generation Plant.Selanjutnya teknologi baru tersebut mulai dipakai pada industri proses dan kimia pada tahun 1959 – 1960. Di sini, Controller
173
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
utamanya tetap Analog Controller, sedangkan computer hanya mengerjakan perhitungan– perhitungan untuk set point analog – analog controller tersebut.Evolusi berikutnya tentang Computer based Process Control adalah dipakai computer sebagai Primary Loop Controller.
Computer langsung berinteraksi dengan field–field
instrument. Fenomena inilah yang diberi nama “Direct Digital Control (DDC)”. Dalam sistem ini, muncul kendala baru yakni tentang reability Operation dari pabrik, karena apabila ada satu kerusakan pada salah satu loop, maka untuk memeperbaikinya, computer tersebut harus dimatikan terlebih dahulu. Untuk mengatasinya, ditambahkanlah satu Back-up Analog controller untuk masing – masing loop control.Teknologi–teknologi di atas di kembangkan terus dan semakin pesat perkembangannya dengan telah di temukannya teknologi microprocessor. Pada awal era 1970-an, pertama kali di perkenalkan suatu teknologi baru berbasis microprocessor yang diberi nama “Distributed Control System (DCS)”. Pelopor petama kali teknologi DCS pada industri proses adalah Honeywell dengan produk DCS-nya yang diberi nama TDC-2000 (Total Distributed Control 2000).Adapun konsep dasar dari Distributed Control System (DCS) adalah merupakan suatu jaringan sistem control yang terdistribusi di mana dimungkinkan terjadinya pemakainan data –data yang sama oleh lebih dari satu peralatan. Controller–controller di letakkan di dekat unit – unit proses yang tersebar di area yang luas (terdistribusi) dan operator dapat memantau dan mengawasi operasional pabrik dari suatu Operator Console di Control Room. Mimic Panel dan Panel – panel besar yang ada sebelumnya sudah tidak diperlukan lagi.Apabila dibandingkan antara sistem electronic sebelumnya (non-DCS) dengan sistem yang berbasis DCS, maka dapat dilihat beberapa hal :
174
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Kebutuhan
Sistem sebelumnya
Sistem DCS
Reliability
Cukup
Bagus
Safety
Cukup
Bagus
Maintainability
Cukup
Bagus
Plant Integrity
Sulit
Mudah
Information System
Sulit
Mudah
Installation Cost
Mahal
Murah
Control Room Area
Besar
Kecil
Mimic Panel
Pelu sekali
Tidak
Operator
Banyak
Sedikit
Dll
175
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
2.
Distributed Control System ( DCS ). Distributed Control System ( DCS ) buatan Honeywell yang diberi nama TDC 3000 LCN System ( Total Distributed Control 3000 Local Control Network System ), untuk Terminal Process Area (TPA) dan Condensate Stabilization Unit (CSU) 2.1
Arsitektural TDC-3000 LCN System TDC-3000 LCN System merupakan pengembangan dari TDC-3000 Basic atau yang sebelumnya dikenal dengan nama TDC-2000. Bentuk pengembangan yang bisa dilihat adalah telah ditambahkannya suatu “Local Control Network”, serta ditingkatkan-nya sistem Redundancy / back-up pada Controller – controllernya. Sebagaimana sistem – sistem computer yang ada, TDC-3000 LCN System tersusun atas 2 (dua) konfigurasi dasar, yakni: (1)
Perangkat Keras (Hardware)
(2)
Perangakat Lunak (Sofware)
2.1.1 Perangkat keras TDC-3000 LCN Sistem Arsitektur hardware TDC-3000 LCN System tersusun atas 2 (dua) bagian besar, yakni : (1) (2)
Local Control Network Universal Control Network (UCN)
Local Control Network (LCN) merupakan sarana komunikasi antara modul yang satu dengan modul yang lainnya yang ada didalam ruang pengendali ( Control Room ). Sedangkan UCN merupakan sarana komunikasi antara LCN dengan “field instrument” ataupun dengan final control element lainnya, seperti Control Valve, Solenoid valve, dll. Universal Station ( US ) Salah satu aspek yang harus diperhatikan agar bisa memanfaatkan daya guna teknologi tinggi seoptimal mungkin adalah aspek hubungan antara manusia (operator) dengan proses maupun peralatan – peralatan lainnya (Human Engineering), yang meliputi aspek – aspek fisis, psikologis maupun social. Universal Station (US) merupakan suatu “Man Machine Interface”, media penghubung antara pengguna ( dalam hal ini bisa operator, process engineering maupun teknisi pemeliharaan ) dengan equipment – equipment lain di dalam sistem TDC-3000 secara keseluruhan, baik yang ada di field ( lapangan ) maupun yang ada di dalam Control Room.Secara Hardware, Universal Station dirancang sedemikian rupa dalam bentuk layar monitor beserta keyboardnya dengan penampilan yang tidak melupakan aspek – aspek Human Engineering. Mimik Diagram beserta panel – panel control maupun panel–panel alarm yang berderet – deret di Control Room digantikan fungsinya dalam suatu bentuk yang lebih compact dan arsitektural dilayar monitor.Universal Station dirancang sedemikian rupa sehingga mudah didalam pengoperasiannya serta mampu memberikan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap fungsinya yang berupa jaminan keamanan operasional sistem secara keseluruhan. Secara fisik, Universal Station terdiri dari beberapa peralatan utama dan peripheral lainnya, antara lain : (1)
CRT Colour monitor 19” dengan Touch Screen
(2)
Keyboard yang terbagi menjadi 2 ( dau ) bentuk yakni : •
Operator Keyboard
•
Engineering Keyboard
176
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
(3)
Microcomputer
(4)
Printer
(5)
Floppy Disk Drive
(6)
Video Copier
(7)
Console equipment
CRT berfungsi sebagai video monitor / layar monitor yang dapat menampilkan data-data proses yang dipantau ataupun dikendalikan. Data-data tersebut dapat berupa angka, huruf ataupun grafik. CRT tersebut dilengkapi dengan fasilitas “Touch Screen”, sehingga ditampilkan dengan cara menyentuh tanda layar monitor.Operator keyboard berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan / meneruskan perintah dari operator ke sistem pengendali, seperti misalnya untuk merubah set point, mengganti mode control dari “MAN” ke “AUTO” atau sebaliknya, mereset alarm, dll. Sedangkan Engineering Keyboard berfungsi untuk menyusun konfigurasi sistem, membuat program control, menyusun sistem data base, dll. Microcomputer berfungsi sebagai perangkat pembaca, penterjemah, penghitung, pengingat ataupun pengolah data sesuai dengan program yang tersedia padanya. Disketter Drive. Pada umumnya tiap Operator Console dilengkapi dengan dua diskette drive. Diskette Drive tersebut berfungsi : *
Menyimpan data dari sistem CRT atau microcomputer atau sistem pengendali dalam diskette.
*
Mengambil data dari diskette untuk ditampilkan pada layar CRT
*
Mengambil data dari diskette dan mengirimkannya ke sistem microcomputer, untuk diolah sesuai dengan program yang tersedia.
Printer, berfungsi sebagai “alat pencetak / alat tulis”, yang dapat diperhatikan oleh operator untuk menuliskan data-data dari layar CRT keatas kertas printer. Printer ini juga dapat diprogram untuk menuliskan data – data alarm yang terjadi. Apabila terjadi suatu alarm, maka printer akan secara otomatis (tergantung proritas alarmnya) menuliskan data – data tempat dan waktu terjadinya alarm, yang meliputi : *
Tag Name / Tag. No
*
Keterangan / uraian Tag No tersebut, apakah untuk alarm temperature, level, dll.
*
waktu terjadinya alarm ( Jam / Menit / Detik / Tanggal )
*
Waktu yang menunjukkan bahwa alarm sudah direset oleh operator
*
Pesan atau peringatan
Video Copier, dapat digunakan untuk mencetak gambar, trend display maupun tampilan–tampilan lainnya sesuai dengan yang tampak pada layar CRT lengkap dengan warna– warnanya. History Module ( HM ) History Module merupakan salah satu modul yang ada pada Local Control Network. Modul ini berfungsi sebagai media penyimpan semua informasi yang ada pada sistem TDC-3000 LCN System, Baik berupa historical plant, software operasi maupun informasi – informasi lain yang ada. Semua kejadian, seperti kondisi alarm, perubahan mode control, perubahan sistem status, error messages maupun kejadian – kejadian lainnya akan secara otomatis disimpan didalam History Module. Application Module ( AM )
177
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Application Module ( AM ) merupakan salah Satu modul yang ada pada Local Control network. Modul ini merupakan Supervisory Control Processor yang memiliki algoritma control tertentu. Modul ini difungsikan unrtuk mengerjakan hal – hal yang tidak bisa dikerjakan oleh modul lain dalam sistem TDC-3000 LCN.
Computer Gateway ( CG ) Computer Gateway ( CG ) merupakan salah satu node pada Local Control network yang difungsikan sebagai gerbang komunkasi antara Management Information System dengan sistem TDC-3000 LCN. Hiway Gateway ( HG ) Hiway Gateway (HG) merupakan media penghubung (Interface) antara Local Control Network dengan Programmable Logic Controller dari vendor lain. Advance Multifunction Controller (A-MC) Advance Multifunction Controller (A-MC) pada dasarnya merupakan pengembangan dari Multifunction Controller (MC-TDC 3000 Basic), dimana sistem redundancynya ditingkatkan dari semula empat banding satu menjadi satu banding satu. A-MC memiliki kemampuan untuk mengolah berbagai operasional proses, baik yang bersifat batch process maupun proses kontinyu. Fungsi dasar yang dimiliki A-MC dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat), antara lain: ( 1 ) Modulating Control A-MC menerima signal analog ataupun digital dari Smart field instrument, membentuk logaritma control dan menghasilkan signal keluaran ke Final Control Element (Control Valve, dll). ( 2 ) I/0 Monitoring A-MC memantau semua signal masukan dan keluaran, baik berupa analog, digital maupun pulsa. ( 3 ) Logic Control A-MC merupakan logika operasional sistem sesuai dengan yang dikehendaki oleh keperluan proses, yang disusun berdasarkan Logic Block data point yang bersangkutan. ( 4 ) Sequence Control A-MC memungkinkan untuk mengerjakan urutan proses control, dimana programnya dibuat melalui suatu bahasa pemprograman tertentu yang lebih dikenal dengan nama CL/MC ataupun SOPL (Sequence Oriented Procedural Language). Low Level Process Interface Unit (LL-PIU) LL-PIU merupakan salah satu perangkat keras pada sistem TDC-3000 LCN yang khusus digunakan untuk memantau besaran – besaran proses yang ditransmisikan dalam bentuk signal berorde rendah, seperti dari RTD, Thermocouple, dll. 2.1.2. Perangkat Lunak TDC-3000 LCN System Salah satu komponen yang tidak boleh dilupakan demi operasional sistem TDC-3000 LCN adalah perangkat lunaknya (Sofware). Dengan adanya 3 (tiga) kelompok pengguna (Operator, Teknisi Pemeliharaan dan Engineer), maka perangkat lunak dalam TDC-3000 LCN ini dikelompokkan menjadi 3 ( tiga ) tingkat “personality, yakni : (1)
Process Operator Personality
178
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Process Operator Personality berisis semua fungsi yang diperlukan oleh seorang operator untuk mengendalikan proses secara keseluruhan. (2)
Maintenance Technician Personality Personality ini berisi semua fungsi yang diperlukan oleh seorang teknisi pemeliharaan didlam mengecek hardware TDC-3000 apabila “TDC-3000 Self Diagnostic” kurang cukup mampu memeberikan diagnosa tentang adanya suatu kerusakan pada sistem.
(3)
Engineering Personality Personality ini berisi fungsi–fungsi yang diperlukan untuk menyusun konfigurasi sistem, process data base, dll. Personality software dibaca dan dimasukkan kedalam memory Universal Station ari History Module (HM), atau langsung dari diskette. Masing – masing personality dirancang sedemikian rupa sehingga dapat dioperasikan lewat layar monitor melalui fasilitas “Touch Screen”. Langkah terpenting di dalam perancangan sistem control berbaris DCS TDC-3000 LCN adalah “Konfigurasi” Konfigurasi sistem hanya dapat dikerjakan melalui “Engineering personality” dengan cara menyentuh (Touch) ataupun memilih target ( menggunakan Engineering Keyboard ) pada “Engineer’s Main Menu” dan memasukkan data kedalam “fill in the blank type screen form”. Secara garis besar, screen form yang digunakan untuk configurasi sistem dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar : *
Network Configuration Form (NCF) Form – form ini dipergunakan untuk mendifinisikan network’s area, Unit, Console, Module, Gateway dan Hiway Boxes.
*
Point Building Form Form – form ini dipergunakan untuk menyususn konfigurasi data point pada Hiway Gateway ( A-MC, LL-PIU, dsb ), menyusun Logic Block, untuk melakukan configurasi data point pada Application Module serta Compacting Module.
*
File Building Form Form – form ini dipergunakan untuk konfigurasi custom grapic, log-sheet, history group, dsb.
*
Area configuration Form Form – form ini dipergunakan untuk mendifinisikan area Process Operator’s responsibility, operating display, dsb.
2.1.3. Video Display Media penghubung (Interface) utama didalam TDC-3000 LCN System adalah suatu Video Display Monitor yang memiliki tingkat resolusi tinggi. Ada tiga jenis standard display yang bisa disajikan oleh TDC-3000 yang tergantung pada type penggunanya. Sabagai contoh, operator mempunyai display yang membantunya untuk memantau suatu area proses yang menjadi tanggung jawabnya. Engineer mempunyai Display yang membantunya untuk membentuk graphic display. Teknisi pemeliharaan, memiliki display yang menuntutnya didalam
179
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
diagnosa suatu problem. Semua tampilan / diplay diatas dapat dipanggil melalui 2 ( dua ) cara : Melalui tombol tekan / Keyboard, Melalui “Touch Screen.” Bila dihubungkan dengan keperluan seorang operator proses, ada 4 (empat) jenis standard display yang bisa ditampilkan, antara lain: ( 1 ) Area Display Area display merupakan sekelompok tampilan kondisi operasi suatu proses pada area tertentu. Satu area display terdiri atas beberapa jenis display, antara lain : Alarm Annunciator Display, Alarm Summary Display, Trend Overview Display, Schematic Overview Display, Message Summary display.Dari berbagai jenis tampilan tersebut, seorang operator tinggal memilih jenis tampilan apa yang diperlukan. Agar diperoleh informasi yang lebih banyak, operator bisa melihat ke unit display melalui keyboard ataupun “Touch Screen” ( 2 ) Unit Display Unit Display merupakan serangkaian kondisi operasi suatu proses pada unit tertentu. Unit ini bisa furnace, boiler, reactor dsb. Satu unit bisa terdiri dari atas beberapa group, dimana satu group maksimal mempunyai 8 ( delapan ) data point. Unit display juga bisa dikatakan sebagai suatu schematic display. Dari display ini, operator bisa mendapatkan lebih banyak informasi melalui group display. ( 3 ) Group Display Group Display (terdiri atas max. 8 data point) menyajikan tampilan berupa o
Indikasi variable proses masing – masing loop, setpoint maupun output variablenya, baik dalam bentuk angka, bar chart maupun trend graphic.
o
Keterangan status dari suatu kontak ( kontak dalam keadaan ON/OFF, OPEN CLOSE )
o
Keterangan Group Number, Tag Number, Tag Name dsb.
o
Mode operasi suatu peralatan ( AUTO atau MANUAL )
o
Point atau Tag Name sedang mengalami alarm.
Melalui group display. Operator bisa merubah set point, output, mode operasi dari MAN ke AUTO atau sebaliknya. Melalui display ini, operator dapat mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang masing–masing data point dengan pergi ke detail display. ( 4 ) Detail Display Melalui display ini, operator akan bisa melihat keseluruhan data pada masing – masing data point. Operator bisa mengetahui konfigurasi data point yang bersangkutan, tetapi tidak bisa merubahnya. Operator hanya bisa merubah setpoint, output, mode operasi sebagaimana wewenang seorang operator. 2.2. TDC-3000 LCN System Konfigurasi hardware TDC-3000 LCN System untuk TPA & CSU dibedakan dalam 3 (tiga) Data Hiway. Komponen Hardware antara lain sebagai berikut : *
1 (satu) unit Application Module
*
1 (satu) unit History Module
*
1 (satu) unit Computer Gateway
*
3 (tiga) unit Hiway Gateway
180
ISSN 977.2086796.00.2
*
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
3 (tiga) unit Universal Station, masing-masing untuk CSU & TPA. Masing-masing Universal Station terdiri atas : 9
1 ( empat ) buah CRT 19” dilengkapi “Touch Screen”
9
Keyboard terdiri dari : 1 ( empat ) buah Operator Keyboard 1 ( satu ) buah Engineering keyboard
9
1 ( satu ) unit printer
9
1 ( satu ) unit Video Copier / Hard Copier
9
Floopy Disk Drive
9
Trend Recorder
9
Annunciator Panel
9
Push Button Panel
9
Process Connected Boxes Masing-masing Process Connected Boxes adalah untuk TPA & CSU. Komponen Hardwarenya terdiri dari : ( 1 ) Untuk TPA Plant, 2 APM (Advanced Process Control) dan 1 HPM (HighProcess Module) ( 2 ) Untuk CSU Plant, 1 APM (Advanced Process Control)
3.
Perancang Sistem Kontrol Didalam perancang sistem control bagi suatu industri proses, apakah akan memilih sistem pneumatic atau sistem electronic, maka perlu dipertimbangkan beberapa Faftor antara lain : Cost, Dependability, Safety, Mintainability, Adaptability to the process.
3.1 Cost Harga peralatan-peralatan control electronic memang lebih mahal dibandingkan peralatan-peralatan pneumatic, tetapi untuk membandingkan “Installation Cost” diantara keduanya tidaklah mudah. Pada umunya, installation cost untuk sistem pneumatic adalah murah untuk pabrik-pabrik yang kecil ( jarak relative dekat ), sedangkan untuk pabrik-pabrik yang besar, maka dengan sistem electronic cost akan mampu menurunkan installation cost yang cukup banyak. 3.2 Despendality Apabila ditinjau dari faktor ini, maka sistem pneumatic pada umumnya memiliki dependality yang lebih baik dibanding dengan electronic. Sebagai contoh, untuk suatu industri yang berada ditengah hutan ataupun daerah yang jauh dari jangkauan tenaga listrik, maka hanya dengan mengandalkan suatu diesel compressor udara, industri tersebut sudah bisa menjalankan fungsinya. Sebaliknya dengan sistem elekctronic. 3.3 Safety Untuk industri – industri seperti refinery, petrochemical process ataupun industri kimia lainnya, hampir semua pabrik / plant mempunyai area yang hazardous atmosphere. Untuk daerah-daerah hazardous tersebut, sistem pneumatic tidak memiliki masalah yang berarti. Untuk sistem electronic, maka instrumentasinya, sistem installasinya bail eleCRTical maupun Instrument harus dipilih yang sekurang – kurangnya Intrisically Safe, sehingga tidak akan menimbulkan potensi bahaya pada daerah Hazardous.
181
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
3.4 Maintenance Memang pada awal diperkenalkannya sistem electronic, faktor maintenancenya cukup sulit dikarenakan skill teknisi pemeliharaan yang waktu itu masih rendah. Tetapi bukan menjadi masalah, baik untuk sistem electronic maupun sistem pneumatic. 3.5 Adaptibility to the process Kadang – kadang beberapa process memerlukan respon yang rendah, cukup cepat ataupun sangat cepat. Untuk proses yang hanya memerlukan respon cepat, sistem pneumatic sudah mampu menjawab permasalahan yang ada, tetapi untuk suatu proses yang memerlukan respon waktu yang sangat cepat, masalah ini hanya bisa diatasi dengan penggunaa sistem electronic. Apabila diringkas, kedua sistem kontrol tersebut dapat diperbandingkan sebagai berikut : (1) Sistem Elektronik *
Respon waktu sangat cepat dan dapat dipercepat apabila diperlukan
*
Installation cost cukup rendah untuk pabrik-pabrik yang berskala besar dimana transmisi signalnya cukup jauh ( lebih dari 300 feet )
*
Integrasi pabrik mudah karena dimungkinkan untuk dijadikan suatu jaringan sistem kontrol
*
Reliability bagus dan semakin bagus
*
Dari tahun ke tahun, harga peralatan – peralatan electronic semakin murah sedangkan teknologi yang ditawarkan semakin baik
*
Faktor safety memiliki sedikit masalah, dimana adanya keharusan menggunakan instrument yang intricisally safe untuk daerah – daerah hazard
*
Accucary pengukuran lebih baik ( 0. 25 – 1 % )
*
Dapat mengerjakan suatu process control yang sangat kompleks dengan peralatan yang sedikit.
(2) Sistem Pneumatik *
Installation Cost cukup murah untuk pabrik – pabrik yang berskala kecil, dimana transmisi signalnnya cukup dekat ( kurang dari 300 feet ).
*
Respon
waktu
cukup
cepat,
tetapi
tidak
mampu
mengatasi
suatu
proses
182
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
yang memerlukan respon waktu lebih cepat lagi. *
Tidak memerlukan tambahan peralatan yang diperlukan untuk berhubungan dengan final control element ( Control Valve ), karena sebagian besar control valve untuk throtle service adalah digerakkan dengan udara bertekanan
*
Reliability cukup bagus
*
Safety adalah sangat bagus
*
Accuracy pengukuran lebih rendah ( 0.5 – 1 % )
183
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
4. Kesimpulan
1.
Distributed Control System (DCS) adalah merupakan suatu jaringan sistem control yang terdistribusi di mana dimungkinkan terjadinya pemakainan data –data yang sama oleh lebih dari satu peralatan. Controller–controller di letakkan di dekat unit – unit proses yang tersebar di area yang luas (terdistribusi) dan operator dapat memantau dan mengawasi operasional pabrik dari suatu Operator Console di Control Room. Mimic Panel dan Panel – panel besar yang ada sebelumnya sudah tidak diperlukan lagi.
2.
Salah satu komponen penting operasional DCS adalah perangkat lunaknya (Sofware). Dengan adanya 3 (tiga) kelompok pengguna (Operator, Teknisi Pemeliharaan dan Engineer)
3.
Didalam perancang sistem control bagi suatu industri proses maka perlu dipertimbangkan beberapa Faktor antara lain Cost / Biaya, Dependability, Safety, Maintainability / Perawatan, Adaptability to the process
Daftar Pustaka
1. Arnold. Ken, Stewart Maurice, Surface Production Operations : Design of Gas Handling Systems and Facilities, Gulf Publishing, Company, Houston, Tx, 1999.
2. Bahan JAF, training TOTAL E&P Indonesie, 2000 3. Maurice Stewart, PE, CSP, Production Safety Systems, LDI Training 4. Rosemount Measurement, Comprehensive Product Catalogue, English : 1995-1996. Rosemount Inc. 5. TOTAL Indonesia TATUN Operations, Operating Manual
184
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ADSORPSI GAS CO MENGGUNAKAN ZEOLITE ALAM TERAKTIVASI Yuliusman 1), Widodo WP 2), Yulianto S.N. 3), Apriawan P4), 1,2,4)
3)
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia Kampus UI, Depok 16424, Indonesia
Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Indonesia Kampus UI, Depok 16424, Indonesia [emailprotected], [emailprotected]
Abstrak Pada kasus kebakaran banyak korban yang sulit menyelamatkan diri dan sulit dievakusi bahkan mengalami kematian karena gas-gas berbahaya dan beracun seperti gas CO. Pada penelitian ini bermaksud meningkatkan kinerja zeolit alam dalam mengadsorpsi gas CO yang terproduksi hasil kebakaran. Aktivasi zeolit alam meliputi pelarutan oksida pengotor dengan larutan HF 2 %, proses dealuminasi dengan larutan HCl 6 M yang dibantu pertukaran ion menggunakan NH4Cl 0,1 M serta proses kalsinasi pada 500oC agar dapat menguapkan kandungan air dan pengotor organik. Penentuan kondisi optimum dengan cara pengujian daya adsorp yaitu melewatkan campuran gas CO dan N2 dalam reaktor unggun yang sudah diisikan zeolit teraktivasi. Kondisi optimum didapatkan pada ukuran partikel 50 μ dan laju alir volum total 119,05 ml/menit yaitu persentase total gas CO dan volum teradsorp sebesar 34,85 % dan 1,383 ml/menit yang meliputi pengambilan data 6 kali selama 30 menit. Selain itu juga, setelah dibandingkan dengan zeolit tanpa proses aktivasi sangat berbeda jauh dalam penyerapan total gas CO yaitu hanya sebesar 6,82 % atau 0,271 ml/menit. Hasil karakterisasi zeolit meliputi peningkatan komposisi kimiawi rasio Si/Al dan penurunan pengotor per tahapan aktivasi serta peningkatan luas permukaan setelah akhir aktivasi proses. Tahapan aktivasi pertukaran ion pelarutan NH4Cl 0,1 M menghasilkan rasio Si/Al maksimal sehingga akan lebih baik dengan adanya tahapan proses ini.
185
ISSN 977.2086796.00.2 1.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Pendahuluan Pada saat ini, terjadinya kebakaran pada suatu gedung tertentu yang dialami masyarakat Indonesia baik
dalam ruang tertutup maupun dalam ruang terbuka, dengan ventilasi yang cukup maupun tidak merupakan hal yang sering terjadi. Pada kasus kebakaran tersebut menghasilkan asap yang mengandung gas-gas berbahaya dan beracun yang dapat membahayakan keselamatan orang yang terpapar dalam waktu yang lama ataupun waktu singkat seperti CO, CO2, dan gas-gas senyawa organik dan anorganik yang berbahaya dan beracun lainnya. Demikian juga, banyak kematian pada saat akibat kebakaran terjadi karena menghirup gas berbahaya dan beracun seperti gas CO dari asap yang terproduksi hasil pembakaran. Gas buang hasil pembakaran juga akan bervariasi tergantung kepada kondisi pembakaran, bahan dan material yang ikut terbakar yang dimana memiliki jumlah yang bergantung kepada laju pertumbuhan api. Adapun faktor lainnya untuk menyebabkan gas buang pembakaran yang lebih bervariasi dalam komposisi dan jumlah senyawa yaitu temperatur dan konsentrasi oksigen yang bervariasi pula. Gas CO merupakan komponen gas yang sangat beracun karena akan menyebabkan penghambatan aliran O2 untuk mengikat haemoglobin dan lebih cepat untuk mengikat haemoglobin menjadi carboxyhaemoglobin.Demikian juga gas CO2 yang berlebihan akan berakibat buruk sebab dalam darah akan mengstimulasi hyperventilation dan menyebabkan sesak nafas, (Babrauskas, 1996). Kekurangannya suplai O2 pada batas tertentu yaitu pada konsentrasi O2 kurang dari 14 % akan menyebabkan meningkatnya resiko kematian. Adapun kriteria-kriteria produksi CO dari pembakaran tidak sempurna akan meningkat seperti berikut: a.
Peningkatan suhu pada fase gas sehingga menyebabkan smouldering
b.
Adanya pendinginan secara tiba-tiba pada reaksi yang sedang terjadi seperti terdapatnya halogen dalam reaksi, dan juga ventilasi berlebihan sehingga menyebabkan pendinginan reaksi.
c.
Keberadaan molekul yang stabil, seperti aromatik, yang tahan lebih lama dalam zona nyala.
d.
O2 yang kurang, seperti pembakaran underventilated maka flux panas radiant yang besar membakar bahan bakar bukan saja karena O2 tidak cukup untuk reaksi tidak sempurna. Pada kasus kebakaran gas CO hasil pembakaran akan terus meningkat sehingga ruangan akan penuh
dengan gas CO secara langsung sehingga sulit bagi orang yang tersekap pada area kebakaran untuk meloloskan diri. Kemudian pada kondisi seperti ini terjadi pada waktu yang lama maka orang tersebut akan terpapar gas CO yang beracun bagi tubuh korban khususnya saluran pernafasan. Pada awalnya orang tersebut akan pingsan dan jika lebih lama lagi terpapar dalam kondisi masih banyaknya kandungan CO pada ruangan tersebut maka akan menyebabkan kematian. Oleh karena hal tersebut, maka diperlukan suatu metode yang dapat berfungsi mengurangi gas buang hasil pembakaran tersebut khususnya gas CO. Sehingga mempermudah proses evakuasi untuk menyelamatkan orang-orang yang tersekap di dalam kebakaran tersebut. Dengan metode tertentu gas CO yang berbahaya dan beracun akan berkurang dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah seperti dengan proses adsorpsi yaitu proses penyerapan gas CO hasil pembakaran. Belum banyak penelitian tentang menjernihkan dan menurunkan tingkat racun asap kebakaran. Yadav,dkk (2007) melakukan penelitian penyerapan asap dari gasifikasi senyawa glycol menggunakan oksida logam ukuran nano sebagai adsorben. Hasilnya menunjukkan, bahwa untuk mencapai kejernihan 10% dan 20% dicapai dalam rentang waktu 2.5 menit dan 4 menit, jika tanpa menggunakan adsorben diperlukan waktu 26 dan 39 menit. Xu, Y. Dkk (2003), menemukan bahwa zeolit mempunyai kemampuan mengadsorpsi asap rokok lebih
186
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
baik dibandingkan material lain. Kamarudin (2006), menggunakan zeolit untuk menadsorpsi gas mentana dan karbondioksida, dengan capaian kapasitas adsorpsi 19.8% dan 7.48% untuk masing-masing gas. Zeolit alam dengan struktur berpori mempunyai potensi digunakan sebagai penjernihan asap pada kasus kebakaran. Indonesia sangat kaya akan sumber zeolit alam. Akan tetapi sebelum digunakan zeolit alam harus dibersihkan terlebih dahulu, karena terdapat pengotor seperti mineral dan senyawa organik. Pengotor tersebut menutupi pori-pori zeolit mengurangi luas permukaan aktifnya sehingga mengurangi kinerja zeolit alam dalam proses adsorpsi. Oleh sebab itu perlu dilakukan perlakukan awal sebagai proses aktivasi. Bahan alam zeolit merupakan bahan yang mudah dan murah untuk didapatkan terutama di Negara Indonesia ini. Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan daya serap zeolit alam yang ada di Indonesia dengan tahapan proses preparasi. Karakterisasi tahapan preparasi pada rasio Si/Al dan luas struktur permukaan. Dan juga, Penentuan kondisi optmum fisik pada zeolit alam yang mempengaruhi proses adsorpsi. 2.
Metode Penelitian
Tahap penelitian ini dilakukan seperti terlihat pada Gambar 1. 2.1. Preparasi Proses penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada diagram alir penelitian di bawah ini. Penelitian dimulai dengan proses preparasi awal yang berfungsi untuk meningkatkan daya adsorpsi lalu yang meliputi Dealuminasi (HF 2 % & HCl 6 M), pertukaran ion (NH4Cl 0,1 M) dan kalsinasi T = 500oC. Kemudian setelah preparasi selesai dilakukan proses uji adsorpsi, uji rasio Si/Al dan uji luas permukaan. 2.2. Karakterisasi zeolit alam 2.2.1 Komposisi kimia Pada uji analisa X-Ray Floressence (XRF) untuk mengetahui komposisi bahan utama, perbandingan Si/Al dan senyawa pengotor yang terdapat pada bahan alam zeolit. Pada tiap variasi tahapan proses preparasi bahan alam zeolit dilakukan uji analisa menggunakan alat analisa XRF. Sehingga pada akhirnya dapat diketahui peningkatan rasio Si/Al.
Gambar 1. Bagan alir penelitian
187
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2 2.2.2 Luas permukaan
Pada uji analisa BET untuk mengetahui luas permukaan struktur dalam pada bahan alam zeolit dan bahan alam zeolit yang telah dilakukan proses tahapan preparasi. Perbandingan pada zeolit alam tanpa proses preparasi terhadap zeolit alam dengan proses preparasi dilakukan uji analisa BET Sehingga pada akhirnya dapat diketahui perbandingan luas permukaan struktur dalam pada zeolit alam sebelum dan sesudah proses preparasi. 2.2.3. Analisa kandungan pengotor organik dan air Penentuan kandungan pengotor organik dan air pada zeolit alam dengan cara perhitungan berat zeolit yang teruapkan pada saat proses preparasi kalsinasi awal pada temperatur 120oC yang dapat menguapkan air dan kalsinasi pada temperatur 500oC yang dapat menguapkan pengotor-pengotor organik seperti lemak jenuh dan protein. 2.3 Uji Adsorpsi 2.3.1 Tahap pengujian zeolit alam Pada tahap uji adsorpsi zeolit alam yang pada awalnya telah dilakukan proses perlakuan awal atau preparasi proses dengan beberapa tahap. Tahap pengujian zeolit alam ini terhadap besarnya daya serap meliputi beberapa pengujian yaitu dengan variasi ukuran partikel, laju alir volum dan konsentrasi awal gas CO sebagai adsrobat. Pengujian zeolit alam ini akan dilakukan dengan melewatkan gas CO sebagai adsorbat dan gas N2 sebagai gas pembawa pada unggun reaktor yang terdapat zeolit alam yang telah di lakukan preparasi seperti pada Gambar 2 berikut:
Gambar 2. Skema alat uji adsorpsi 2.3.2 Uji adsorpsi dengan variasi ukuran partikel Pengujian daya serap pada zeolit alam dengan variasi ukuran partikel yang meliputi ukuran partikel sebesar 50 mikron, 100 mikron dan 150 mikron 2.3.3 Uji adsorpsi dengan variasi lajualir volum total Pengujian daya serap pada zeolit alam dengan variasi lajualir volum total gas CO dan gas pembawa N2 yang meliputi laju alir volum total sebesar 105,5409 ml/menit; 119,0476 ml/menit dan 132,8409 ml/menit. 3. Hasil penelitian 3.1 Karakterisasi zeolit alam 3.1.1 Komposisi senyawa kimia Berdasarkan Gambar 3 rasio Si/Al pada tiap tahapan proses preparasi zeolit alam menunjukkan bahwa pada langkah pertama terjadi penurunan rasio Si/Al pada tahapan proses pelarutan oksida pengotor dengan
188
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
perendaman larutan HF 2% yaitu 7,55 menjadi 7,52 dan komposisi element aluminium terjadi peningkatan dari 9,245 % (wt) menjadi 9,715 % (wt). Hal ini dapat terjadi karena larutan HF 2 % yang berfungsi melarutkan
Perbandingan Si terhadap Al
oksida pengotor tetapi bukan sebagai pelarutan oksida aluminium.
14
12.81
12 9.43
10
8.51 7.55
8
7.52
6 4 2 0 Zeolite alam asli Zeolite HF 2%
Zeolite HCl 6 M
Zeolite NH4Cl Zeolite kalsinasi
Tahapan preparasi
Gambar 3. Perbandingan Si/Al Pada tahapan proses dealuminasi menggunakan larutan HCl 6 M terjadi peningkatan rasio Si/Al dari 7,52 menjadi 8,51 dan terjadi penurunan element aluminium dari 9,715 %(wt) menjadi 8,707 % (wt). Pada saat proses pelarutan menggunakan larutan HCl 6 M berfungsi melarutkan oksida Aluminium (AlO4)5- dengan membuka pori-pori zeolit menjadi berukuran pori lebih besar sehingga oksida aluminium dari kerangka dalam kristal akan keluar kerangka kristal dan mendorong oksida aluminium keluar dari struktur zeolit dan terlarut dalam larutan HCl 6 M. Tahapan proses perlakuan garam menggunakan larutan NH4Cl 0,1 M terjadi peningkatan rasio Si/Al dari 8,51 menjadi 12,81 dan penurunan element aluminium dari 8,707 %(wt) menjadi 6,578 %(wt). Pada proses pertukaran ion ini menghasilkan penurunan element aluminium yang paling besar dikarenakan pada saat proses dealuminasi masih banyak oksida aluminium yang tertinggal diluar rangka kristal yang sulit terdorong keluar dari struktur zeolit. Sehingga proses perlakuan garam ini sangat berperan penting setelah dilakukannya proses dealuminasi. Tahapan proses kalsinasi pada temperatur 500oC terjadi kembali penurunan rasio Si/Al dari 12,81 menjadi 9,43. Hal ini dapat terjadi karena pada saat proses kalsinasi pada temperatur 500oC oksida-oksida silika (SiO2) mengendap pada bagian bawah dan melekat pada cawan penguapan sebagai wadah sehingga pada saat analisa komposisi oksida silika menurun. 3.1.2 Luas permukaan 80 70.95
S urface area (m 2/gram )
70 60 50
46.13
40 30 20 10 0 Zeolite alam asli
Zeolite preparasi
Gambar 4. Luas permukaan Pada Gambar 4. di atas menunjukkan peningkatan luas permukaan internal zeolit yang telah dilakukan preparasi yang pada zeolit tanpa preparasi besarnya luas permukaan 46,13 m2/gram menjadi 70,95 m2/gram.
189
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Terjadinya peningkatan ini dipengaruhi oleh tahapan proses preparasi yaitu pada tahapan proses pertukaran ion dan proses kalsinasi karena pada proses pertukaran ion dengan larutan NH4Cl 0,1 M melarutkan pengotorpengotor yang masih tertinggal pada proses dealuminasi sehingga dapat menjadikan ruang kosong dalam kristalkristal. Proses kalsinasi pada temperatur 500oC yang menguapkan molekul-molekul air dari dalam kristal sehingga terbentuk suatu rongga dengan permukaan yang lebih besar. 3.1.3 Analisa kandungan air dan pengotor organik Pada proses kalsinasi terjadi penurunan berat yang pada awalnya berat zeolit basah sebesar 65,11 gram menjadi 62,59 gram pada kalsinasi awal T1 = 120oC dan menjadi 56,20 gram pada kalsinasi T2 = 500oC. Kemudian, didapatkan komposisi kandungan air sebesar 3,87 % dan komposisi pengotor organik sebesar 13,68 %. 3.2. Pengujian daya serap zeolit alam Adapun proses pengujian zeolit alam dengan variasi-variasi yang digunakan dalam pengambilan data yaitu variasi konsentrasi awal gas CO, variasi ukuran partikel zeolit alam dan variasi lajualir total gas CO dan gas pembawa N2. Dalam pengambilan data zeolit alam yang digunakan adalah zeolit yang terlebih dahulu telah dilakukan perlakuan awal/preparasi dengan berbagai tahapan proses. 3.2.1
Pengaruh ukuran partikel zeolit 1.6 1.383
Volum teradsorp (ml/menit)
1.4 1.2
1.082
1 0.8
0.894 0.741
0.662
0.702
0.529
0.6
0.352
0.4
0.366
0.2 0 50 mikron
100 mikron Ini con 8%
Ini con 10 %
150 mikron Ini con 15 %
Gambar 5. Pengaruh ukuran partikel terhadap daya serap zeolit Pada Gambar 5 di atas menunjukkan bahwa pada berbagai variasi konsentrasi awal gas CO yang masuk sebagai umpan yaitu 8 %, 10 % dan 15 % dapat menghasilkan persentase total gas CO teradsorp yang terbesar yaitu pada ukuran partikel zeolit alam yang paling kecil (50 mikron) dan persentase total gas CO yang teradsorp paling kecil yaitu pada ukuran partikel zeolit alam paling besar (150 mikron). Dengan ukuran partikel zeolit alam yang semakin kecil akan mempengaruhi semakin besarnya jumlah gas CO yang terserap sebagai adsorbat. Hal ini dapat terjadi karena ukuran partikel zeolit alam yang semakin kecil akan semakin besarnya luas kontak antar tiap partikel zeolit dengan komponen-komponen molekul gas CO yang dilewatkan pada tumbukan zeolit alam tersebut. Selain itu juga, tiap partikel zeolit memiliki 3 type pori yaitu macropore, micropore dan mesopore. Macropore merupakan pori paling luar partikel dan sebagai jalan masuk molekul-molekul adsorbate ke dalam partikel menuju mikropore. Mikropore tidak berkontribusi terhadap besarnya luas permukaan zeolit sedangkan mikropore sangat berpengaruh terhadap besarnya luas permukaan zeolit dan berpengaruh pada besarnya daya adsorp zeolit. Dengan ukuran partikel tiap zeolit yang semakin kecil maka jarak antara macropore dan micropore akan semakin dekat sehingga dengan proses adsorpsi yang berlangsung secara kontinu terhadap waktu akan menghasilkan jumlah adsorbate yang semakin banyak pula. 3.2.2 Pengaruh laju alir volum total gas adsorbat
190
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2 40
34.852
35 30
27.263
25
Total CO 20 teradsorp (%)
18.808 15.048
15
20.183 16.739
17.696
10.014
8.264
10 5 0 105.54
119.05
132.89
Lajualir volum (ml/menit)
50 mikron
100 mikron
150 mikron
Gambar 6. Pengaruh laju alir terhadap daya serap zeolit alam Pada Gambar 6 di atas menunjukkan bahwa zeolit alam pada ukuran partikel 50 mikron, 100 mikron dan 150 mikron dengan laju alir sebesar 119,0476 ml/menit dapat menyerap total gas CO yang paling besar dari pada lajualir volum 105,5409 ml/menit dan 132,8904 ml/menit. Hal ini dapat terjadi karena semakin lambat laju alir akan mengakibatkan semakin lama waktu tinggal fluida gas CO terhadap zeolit alam sehingga zeolit alam dapat menyerap gas CO lebih banyak pada laju alir volum yang rendah akan tetapi pada laju alir 105,5409 ml/menit menghasilkan total gas CO yang teradsorp lebih rendah dari pada laju alir volum 119,0476 ml/menit karena semakin tidak efektifnya proses adsorpsi pada laju alir volum yang semakin rendah. 3.3 Perbandingan zeolit alam aktivasi dan tanpa proses aktivasi 40 34.852 35 30
27.263
25 % total CO 20 teradsorp 15 10 5
17.696
6.823
4.664
2.909
0 Zeolite tanpa preparasi 50 mikron
Zeolite dengan preparasi 100 mikron
150 mikron
Gambar 7. Perbandingan daya serap zeolit diaktivasi dan tidak diaktivasi Pada Gambar 7 di atas menunjukkan bahwa pada proses preparasi sangat mempengaruhi proses adsropsi sehingga dapat diiartikan bahwa zeolit yang aktif dapat menyerap gas CO lebih besar daripada zeolit tanpa diperlakukan proses preparasi. Dengan hasil penelitian zeolit dengan proses preparasi memiliki daya serap lebih besar yaitu 34,85 % atau 1,383 ml/menit; 27,26 % atau 1,082 ml/menit dan 17,69% atau 0,702 ml/menit atau dibandingkan dengan zeolit tanpa proses preparasi sebesar 6,82 % atau 0,208 ml/menit; 4,56 % atau 0,185 ml/menit dan 2,91 % atau 0,115 ml/menit. Pada perbandingan zeolit alam preparasi dan tanpa preparasi ini dapat diartikan bahwa proses preparasi sangat berpengaruh pada luas permukaan internal partikel zeolit yang semakin besar dan perbandingan Si/Al yang semakin besar pula. 4. Kesimpulan 1.
Hasil Uji analisa X-Ray Flouressence. Tahapan proses preparasi dengan perendaman NH4Cl 0,1 M sangat mempengaruhi besarnya adsorpsi gas CO tertanda perbandingan Si/Al yang meningkat paling besar.
2.
Hasil Uji analisa metode BET, Terjadi peningkatan luas permukaan zeolit alam pada sebelum preparasi dengan luas permukaan sebesar 46,13 m2/gram dan zeolit dengan preparasi dengan luas permukaan sebesar 70,95 m2/gram.
191
ISSN 977.2086796.00.2 3.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Analisa komposisi pengotor organik dan air. Komposisi pengotor organic yang terkandung pada zeolit alam yaitu 13,78 % dan komposisi air sebesar 3,78 %.
4.
Hasil uji zeolit alam preparasi Zeolit alam setelah preparasi menghasilkan daya serap optimum pada ukuran partikel 50 mikron
(dengan range 70 mesh – 140 mesh) dan laju alir 119,05 ml/menit yaitu total adsorpsi selama 30 menit dengan 6 kali pengambilan data sebesar 34,85 % dan dengan volume teradsorp 1,383 ml/menit. Perbandingan adsorpsi gas CO menggunakan zeolit alam tanpa preparasi terhadap zeolit preparasi dengan kondisi optimum yang didapatkan sebelumnya berturut-turut menghasilkan total dan volume gas CO yang teradsorp yaitu sebesar 6,82 % atau 0,271 ml/menit dan 34,85 % atau 1,383 ml/menit. Zeolit dengan rasio Si/Al yang tinggi dan luas permukaan yang besar dapat mempunyai kemampuan menyerap molekul organik terutama gas CO yang merupakan komposisi gas berbahaya dan beracun hasil pembakaran pada kasus kebakaran.
Daftar Pustaka 1.
Annemarie, J.B, Fabienne Reisen, Agus Cook, Brian Devine, Philip Weinstein, 2008. ”Respiratory Irritants in Australian Bushfire Smoke: Air Toxics Sampling in a Smoke Chamber and During Prescribed Burns, Spinger Science.
2.
Babrauskas, Vytenis, 1996. “Toxicity for the primary gases found in fires”, Fire Science and Technology Inc.
3.
Blomqvist, Per, Lars Rosell, and Margaret Simonson, 2004. “Emissions from Fires Part I: Fire Retarded and Non-Fire Retarded TV-Sets,” Fire Technology, 40, 39–58, Kluwer Academic Publishers.
4.
Blomqvist P, Lars Rosell and Margaret Simonson, 2004. “Emission from Fires Part II: Simulation Room Fires”, Kluwer Academic Publishers.
5.
Deroche, Irena, Lucia Gaberova, Guillaume Maurin, Philip Llewellyn, Maria Castro, Paul Wright, 2008. “Adsorption of carbon dioxide in SAPO STA-7 and AlPO-18: Grand Canonical Monte Carlo simulations and microcalorimetry Measurements,” Springer.
6.
Hall,R.John,2004.”How Many People Can be Saved from Home Fires if GivenMore Time to Escape”, Fire Technology, Kluwer Academica.
7.
Kamarudin and Khairul Sozana Nor, 2006. “Structural and gas adsorption characteristics of zeolite adsorbents,” PhD thesis, Universiti Teknologi Malaysia.
8.
Karamah, FT dan Sutrasno K, (2009) “Pemanfaatan Zeolit Alam Sebagai Pengikat pada Proses Flotasi untuk Mengolah Limbah Cair yang Mengandung Amonia”, Proposal penelitian Hiber.
9.
J Trauma. 2008. “QuikClot use in trauma for hemorrhage control: case series of 103 documented uses. Peter Rhee, et al.
10.
Neviaser, Julie L, Richard G. Gann 2004, “ Evaluation of Toxic Potency Values for Smoke from Products and Materials,” Fire Technology, 40, 177–199, Kluwer Academic Publishers.
192
ISSN 977.2086796.00.2 11.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Othman, M.R., O.E Lee and W.J.N. Fernando,2006. “Gas Adsorption and Surface Diffusion on 5Å Microporous Adsorbent in Transition and Tubulent Flow Region, IIUM Engineering Journal, Vol. 7, No. 1
12.
Pu, Shi and Sisi Zlatanova, “Evacuation Route Calculation of Inner Buildings”, Delft University of Technology, OTB Research Institute for Housing,” Urban and Mobility Studies, Jaffalaan, the Netherlands.
13.
Shih Wei-Heng, Raj Mutharasan, Qiang Zhao and Nanlin Wang 2001. “Development of Mesoporous Membrane Materials for CO2 Separation”, Drexel University, Philadelphia.
14.
Wei Wang, Zhang He Ping dan Wan Yu Tian, 2007. ”Experiimental study on CO2/CO of Typical lining Materials in full-sclae fire test”, Chinese Science Bulletin,Springer-Verlag.
15.
Xu Yang, Jian Hua Zhu, Li Li Ma, An Ji, Yi Lun Wei, Xi Yong Shang, 2003. “Removing Nitrosamines from Mainstream Smoke of Cigarettes by Zeolites, Elsevier.
16.
Yadav R, R.G. Maghirang, L.E., Erickson, B. Kakumanu, S.G., Castro, 2007. “Laboratory Evaluation of the Effectiveness of Nanostructured and Conventional particles in Clearing smoke in enclosed space, Elsevier.
193
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Analisis Kebutuhan Proses Bisnis Menggunakan Metode Kano : Sri Nurhayati Jurusan Teknik Komputer Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer, Unikom Email : [emailprotected] 1
Abstrak Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa pemanfaatan perkembangan teknologi informasi menjadi salah satu sumber daya utama pada suatu perusahaan untuk meningkatkan kinerja dari perusahaan ke arah model bisnis yang menekankan pertukaran informasi dan transaksi bisnis yang bersifat paperles. Oleh karena itu setiap perusahaan mencoba untuk menerapkan teknologi informasi agar dapat meningkatkan efesiensi dan efektifitas dalam proses bisnisnya. Makalah ini akan membahas bagaimana menganalisis kebutuhan proses bisnis dilihat dari pengguna menggunakan metode kano. Kata kunci : Teknologi informasi, kebutuhan proses bisnis, metode kano. 1.
Pendahuluan Perkembangan teknologi informasi membawa dampak transformasi di berbagai aspek kehidupan salah
satunya dalam dunia bisnis. Beberapa perusahaan menerapkan model bisnisnya yang menekankan pada pertukaran informasi dan transaksi bisnis dengan memanfaatkan teknologi informasi yang bersifat paperless. Oleh karena itu dibutuhkan analisis kebutuhan yang terkait dengan proses bisnisnya yang didukung dengan TI yang dipenuhi oleh sebuah sistem di perusahaan sehingga dapat memberikan informasi yang tepat, akurat dan sesuai dengan kebutuhan pengguna. 2.
Metode Kano Dalam merencanakan suatu produk atau layanan, kita dapat membuat suatu daftar kebutuhan yang dapat
membuat produk atau layanan tersebut sebisanya memuaskan calon pelanggan (customer). Menemui secara langsung pelanggan yang sudah ada atau mereka yang berpotensi untuk menjadi pelanggan, adalah cara yang baik untuk memperoleh masukan tentang hal apa saja yang harus ada di dalam daftar keperluan dari pelanggan yang potensial tadi. Untuk mengetahuinya, kita harus melakukan penyelidikan terhadap setiap daftar kebutuhan yang dibuat sedetail mungkin untuk lebih memahami persyaratan apa yang benar-benar perlu ada dalam produk atau layanan akhir. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis tersebut adalah metode kano yang ditemukan oleh Propesor Noriaki kano dari Tokyo Rika University. Metode Kano membedakan antara tiga tipe dari persyaratan produk yang mempengaruhi kepuasan pelanggan terlihat pada gambar 1, yaitu:
1. Persyaratan yang Bersifat Must-Be (Harus Ada) Persyaratan yang bersifat must-be adalah kriteria dasar dari suatu produk. Pemenuhannya hanya akan mencapai pernyataan “tidak mengecewakan”. Persyaratan ini dalam beberapa kasus justru menentukan faktor kompetitif, dimana pelanggan menjadi tidak tertarik akan produk tersebut jika persyaratan ini tidak dipenuhi. Jika persyaratan ini tidak dipenuhi, pelanggan akan sangat kecewa. Tapi di sisi lain, saat pelanggan memerlukan kebutuhan ini untuk kesenangannya, ternyata pemenuhan persyaratan ini tidak menaikkan kepuasan mereka.
194
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
2. Persyaratan yang Bersifat One-Dimensional (Satu Dimensi) Karena menghargai persyaratan ini, kepuasan pelanggan pada tingkatan pemenuhannya bersifat proporsional. Artinya, semakin tinggi tingkat pemenuhannya, maka kepuasan pelanggan pun akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya, semakin rendah pemenuhannya maka kepuasan pun akan semakin menurun. Persyaratan one-dimensional ini biasanya secara eksplisit diminta oleh pelanggan.
3. Persyaratan yang Bersifat Attractive (Menarik) Persyaratan ini adalah kriteria produk yang memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana produk tersebut dapat memuaskan pelanggan. Persyaratan attractive tidak diungkapkan secara eksplisit dan tidak pula diharapkan oleh pelanggan. Pemenuhan persyaratan ini mengantarkan pada lebih dari kepuasan yang proporsional. Tetapi jika tidak ada, ternyata, tidak membuat pelanggan merasa kecewa.
Kepuasan Pelanggan
Persyaratan Attractive
Persyaratan One-dimensional
-
- Diucapkan
Tidak dinyatakan Dikhususkan olehpelanggan
- Terdefinisi - Terukur - Bersifat Teknis
Kebutuhan tidak
Kebutuhan
Persyaratan M ust-be - Tersirat - Menjelaskan diri - Tidak dinyatakan - Jelas
Kekecewaan Pelanggan
Gambar 1. Penggolongan Tipe Metode Kano
Keuntungan dari pengklasifkasian kebutuhan pelanggan dengan menggunakan metode Kano ini diantaranya adalah:
1. Prioritas pada pengembangan produk. Sebagai contoh, tidak banyak keuntungannya jika kita menginvestasikan pada perbaikan persyaratan must-be yang memang sudah ada pada tingkat kepuasan, tetapi lebih baik meningkatkan persyaratan one-dimensional atau attractive yang memang jelas berpengaruh pada kualitas produk dan juga mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan.
2. Syarat produk lebih dimengerti. Kriteria produk yang memiliki pengaruh terbesar pada kepuasan pelanggan dapat diidentifikasi. Penggolongan persyaratan produk ke dalam dimensi must-be, one-dimensional, dan attractive dapat digunakan untuk lebih fokus pada sesuatu.
195
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
3. Kepuasan pelanggan menggunakan model Kano dapat secara optimal dikombinasikan dengan penyebaran fungsi kualitas. Suatu prasyarat mengidentifikasi kebutuhan, hirarki dan prioritas pelanggan (Griffin/Hauser, 1993). Model Kano digunakan untuk menetapkan pentingnya fitur produk untuk kepuasan pelanggan dan itu dapat menciptakan prasarat yang optimal pada kegiatan pengembangan produk berorientasi proses. 3.
Analisis Kebutuhan Proses Bisnis
a.
Identifikasi Pengguna Tahapan ini akan menganalisis siapa saja pengguna dari proses bisnis dari sistem di sebuah perusahaan.
Perlu juga di analisis apakah produk dan layanan memang dibutuhkan atau tidak oleh pengguna sistem. b.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan untuk metode kano adalah menggunakan survey dengan cara
mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisoner. Keseluruhan pengamatan yang ingin kita teliti, berhingga atau tidak, membentuk apa yang disebut populasi. Agar inferensi dari sampel pada populasi tersebut meyakinkan, maka sampel haruslah diambil sehingga mewakili populasi. Kuesioner yang akan disebarkan memiliki bentuk yang khusus. Bentuk ini disesuaikan dengan metode yang diperkenalkan oleh Kano, dimana setiap pertanyaan mengandung komponen pilihan jawaban yang sama terlihat pada tabel 1 yaitu: a.
Suka
b.
Harus
c.
Netral
d.
Boleh
e.
Tidak suka
Setiap pertanyaan ditanyakan dua kali kepada responden, dimana pertanyaan pertama bersifat positif dan yang kedua bersifat negatif (kebalikannya). Contohnya: -
Positif: Bagaimana seandainya jika terdapat fasilitas A?
-
Negatif: Bagaimana seandainya jika tidak terdapat fasilitas A?
Dua jawaban dari pertanyaan positif dan negatif ini kemudian dikombinasikan dalam tabel evaluasi sehingga fitur produk dapat digolongkan. Tabel 1. Tebel Evaluasi Metode Kano Kebutuhan Pelanggan
Pertanyaan Disfungsional (Negatif) 1. Suka
2. Harus
1. Suka
Q
A
Pertanyaan
2. Harus
R
Fungsional
3. Netral
(Positif)
3. Netral
4. Boleh
5. Tdk suka
A
A
O
I
I
I
M
R
I
I
I
M
4. Boleh
R
I
I
I
M
5. Tdk suka
R
R
R
R
Q
196
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Dari tabel ini dapat disimpulkan apakah kebutuhan pelanggan ini termasuk: a.
A = Attractive (Menarik)
b.
M = Must-be (Harus Ada)
c.
O = One-Dimensional (Satu Dimensi)
d.
R = Reverse (Kebalikan)
e.
Q = Questionable (Diragukan)
f.
I = Indifferent (Biasa Saja)
Dari semua responden yang ada dihitung hasil pengisian kuesioner tersebut untuk setiap pertanyaan. Kesimpulan diambil dari mayoritas jawaban yang dipilih.
c.
Daftar Pertanyaan Daftar pertanyaan yang dimasukkan ke dalam kuesioner didasarkan pada komponen-komponen fitur
yang sudah ada sebelumnya pada system di sebuah perusahaan ditambah komponen lain yang kira-kira diperlukan oleh pengguna model bisnisnya. Komponen e-bisnis yang telah ada pun perlu dievaluasi apakah memang diperlukan atau tidak. Jika tidak diperlukan sebaiknya dihilangkan dan diganti dengan fitur lain yang lebih memuaskan pengguna.
4.
Hasil Pengolahan Data Perhitungan kuesioner dilakukan berdasarkan tabel evaluasi Kano. Masing-masing pertanyaan yang
diajukan kepada setiap responden ditentukan apakah termasuk kategori A, M, O, R, Q, atau I. Setelah masingmasing jawaban pertanyaan dikonversi ke dalam bentuk AMORQI, maka langkah selanjutnya adalah melakukan penghitungan jumlah masing-masing komponen A, M, O, R, Q, dan I untuk setiap pertanyaan. Dari hasil yang telah kita peroleh ini, dapat pula kita hitung koefisien kepuasan konsumen dengan rumusan: Tingkat kepuasan Koefisian tingkat kepuasan berkisar antara 0 sampai dengan 1, semakin dekat dengan nilai 1 maka semakin mempengaruhi kepuasan konsumen, sebaliknya jika nilai mendekati ke 0 maka dikatakan tidak begitu mempengaruhi kepuasan konsumen.
A+O A+O + M + I
(1)
Tingkat Kekecewaan. Jika nilai semakin mendekati angka -1 maka pengaruh terhadap kekecewaan konsumen semakin kkuat, sebaliknya jika nilainya 0 maka tidak mempengaruhi kekecewaan konsumen.
O+M ( A + O + M + I ) × (−1)
(2)
Tanda minus yang disimpan di depan koefisien tingkat kekecewaan konsumen adalah untuk menegaskan pengaruh negatif dari kepuasan konsumen pada kualitas produk yang tidak dipenuhi.
197
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
5.
Kesimpulan Untuk menerapkan model bisnis yang didukung dengan memanfaatkan TI, maka diperlukan suatu analisis
kebutuhannya salah satunya menganalisis kebutuhan dari pengguna system agar system yang dibuat bisa memberikan nilai tambah bagi perusahaan tersebut. Metode Kano dapat bekerja dengan baik untuk memilahmilah kebutuhan konsumen khususnya dari segi kepuasan konsumen atas terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tersebut. 6.
Daftar Pustaka
1.
Berger, C., Blauth, R., Boger, D., etc., 2003, Kano’s Methods for Understanding Customer-defined Quality, Center for Quality of Management Journal, Volume 2 Nomor 4 hal. 3-36, www.diva-portal.org/diva/getDocument?urn_nbn_se_kaun_diva506-1_fulltext.pdf.
2.
Sauerwein, E., Bailom, F., Matzler, K., dan Heinterhuber, H.H., 1996, The KANO Model : How to Delight Your Customer, International Working Seminar on Production Economic, Volume 1, hal 313-327, www.competence-site.de/dienstleistung.nsf/3397D512929D8241C1256AD8004B0027/$File/kanomodel.pdf.
3.
Customer Satisfaction Model (KANO),http://www.12manage.com/Methods_kano_customer_satisfaction_model.html.
198
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
SISTEM PEMETAAN LINGKUNGAN DENGAN METODE MODIFIED HISTOGRAMIC IN-MOTION MAPPING (M-HIMM) PADA KURSI RODA MANDIRI E-CHAIR
Lukas, Felix Febrian Iskandar, Ferry Rippun G.M. Jurusan Teknik Elektro – Fakultas Teknik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya – Jakarta e-mail: [emailprotected]
ABSTRAK Kursi roda merupakan alat bantu gerak yang banyak digunakan terutama oleh orang yang memiliki keterbatasan mobilitas. Untuk mempermudah penggunaan dari kursi roda maka dibangun suatu kursi roda mandiri, yang dapat bergerak secara mandiri untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh pengguna. Untuk membangun kursi roda mandiri ini, membutuhkan beberapa modul salah satunya adalah modul pemetaan yang berfungsi untuk memetakan lingkungan operasi kursi roda. Metode yang digunakan pada modul ini adalah Metode Modified Histogramic in-Motion Mapping (M-HIMM). Sistem pemetaan dengan menggunakan Metode M-HIMM dapat diimplementasikan untuk membuat peta dari lingkungan operasi kursi roda mandiri. Kata kunci: kursi roda, pemetaan lingkungan, Modified Histogramic in-Motion Mapping.
1.Pendahuluan Kursi roda merupakan alat bantu bagi orang yang memiliki kesulitan untuk bergerak secara mandiri, yang disebabkan oleh keterbatasan fisik terutama pada kaki. Secara umum terdapat 2 (dua) macam kursi roda, yaitu kursi roda konvensional dan kursi roda otomatis. Kursi roda konvensional membutuhkan tenaga manusia. Hal ini menyebabkan penggunaan kursi roda konvensional menjadi kurang nyaman. Solusi yang ada yaitu kursi roda otomatis dengan penggerak berupa motor. Untuk mengendalikan kursi roda ini, pengguna menggunakan sebuah joystick. Motor akan meng-gerakan kursi roda sesuai dengan masukan arah gerak dari pengguna. Kursi roda ini relatif lebih nyaman dari kursi roda konvensional. Namun pengguna harus secara terus-menerus mengendalikan pergerakan kursi roda. Untuk mengatasi masalah penggunaan kursi roda maka di-rancang penggunaan teknologi wahana gerak mandiri. Kursi roda ini menggunakan penggerak motor dan dapat bergerak ke tujuan yang di-inginkan pengguna secara mandiri. Wahana gerak mandiri me-merlukan sistem pemetaan lingkungan yang berfungsi untuk memetakan rintangan-rintangan yang berada pada lingkungan operasi wahana. Pemetaan harus dilakukan dengan cepat dan akurat. Pemetaan yang cepat agar peta dapat segera diperbarui jika terjadi perubahan lingkungan sesuai dengan data yang diperoleh dari sensor. Pemetaan akurat dimaksudkan agar wahana dapat bergerak tanpa terjadi benturan dengan rintangan yang terdapat pada lingkungan.
199
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 1 Daerah objek yang dapat dideteksi sensor 2.Landasan Teori Ukuran standar untuk kursi roda sesuai dengan ukuran tubuh orang Indonesia dan ISO 7176-5 ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Ukuran standar kursi roda [1] Uraian/Deskripsi
Dimensi (mm)
Panjang maksimum
1300
Lebar
700
Tinggi total
1000
Lebar tempat duduk
500
Tinggi tempat duduk dari tanah
500
Tinggi sandaran tangan dari tempat duduk
200
Panjang tempat duduk
450
Tinggi sandaran
300
Wahana gerak mandiri (autonomous vehicle) adalah suatu wahana yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari sensor-sensornya sebagai dasar pengambilan keputusan sendiri dan dapat bergerak secara mandiri sehingga memiliki ketergantungan yang minim pada manusia [7]. Bahasa C# merupakan pe-ngembangan dari Bahasa C dan C++ dengan tujuan untuk memudahkan pengguna dalam membangun sebuah aplikasi. Bahasa C# merupakan bahasa yang berorientasi objek. Bahasa C# memiliki banyak persamaan dengan Bahasa C dan C++ namun memiliki perbedaan pada penggunaan namespaces, classes, methods, dan exception handling [8]. Keunggulan Bahasa C# antara lain fleksibel, mudah digunakan, dan mendukung multithreading [3]. Metode ini merupakan modifikasi dari Metode Histogramic in-Motion Mapping (HIMM). Peta terbagi atas kisi-kisi yang disebut dengan certainty grid [2]. Perbedaan utama metode ini dengan Metode HIMM adalah pada nilai konstanta penambahan-pengurangan dan rentang nilai certainty value (CV) setiap kisi. CV tidak memiliki satuan. Metode M-HIMM membagi model sensor sonar menjadi 3 (tiga) bagian yang sama besar radiusnya [5]. Jika sebuah sensor sonar memiliki jangkauan R, maka akan dibagi menjadi 3 (tiga) bagian dengan radius tiap bagian adalah R/3.
200
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 2 Pembagian daerah jangkauan sensor ultrasonik [5] Dengan memperhatikan Gambar 2, radius pembagian tiap daerah adalah: 1.
Daerah I (Z1) Æ 0 < kisi ≤ R/3
2.
Daerah II (Z2) Æ R/3 < kisi ≤ 2R/3
3.
Daerah III (Z3) Æ 2R/3 < kisi ≤ R
Rentang nilai CV setiap kisi antara 0-16. Pembaruan nilai CV dilakukan untuk tiap kisi yang terletak tegak lurus sensor ultrasonik. Kons-tanta penambahan yang digunakan untuk kisi rintangan adalah +4. Untuk konstanta pengurangannya sebagai berikut (r = jarak sensor ke rintangan; R = jarak jangkauan sensor) [5]: 1.
Jika r ≤ R/3 maka: kisi < r (daerah I) Æ CV = CV – 1.
2.
Jika R/3 < r ≤ 2R/3 maka:
a.
Untuk kisi ≤ R/3 (daerah I) Æ CV = CV – 2.
b.
Untuk R/3 < kisi < r (daerah II) Æ CV = CV – 1.
3.
Jika 2R/3 < r < R maka:
a.
Untuk kisi ≤ R/3 (daerah I) Æ CV = CV – 3.
b.
Untuk R/3 < kisi ≤ 2R/3 (daerah II) Æ CV = CV – 2.
Tabel 2 Perbandingan cara kerja Metode HIMM dengan Metode M-HIMM [5] Tinjauan
Metode HIMM
Metode M-HIMM
Model peta
Certainty grid
Certainty grid
Pembagian jangkauan sensor Representasi rintangan Rentang CV Konstanta I
3 (tiga) bagian
3 (tiga) bagian dengan radius tiap bagian sama besar
Certainty Value (CV)
Certainty Value (CV)
0 – 15
0 – 16
+
+3
+4
-
-1
(bervariasi; -1 sampai -3)
Konstanta I
201
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Tabel 3 Perbandingan kelebihan-kekurangan Metode HIMM dengan M-HIMM [5] Metode HIMM +
Metode M-HIMM
Menggunakan GRO untuk memperbaiki
-
Tidak menggunakan GRO.
+
Perbedaan antara kisi rintangan dengan
efek penyebaran. -
Perbedaan antara kisi rintangan dengan
kisi kosong kurang jelas.
kisi kosong lebih jelas.
-
+
Perbaikan nilai CV terhadap kesalahan
Perbaikan nilai CV terhadap kesalahan
pembacaan lambat.
pembacaan lebih cepat.
-
Lebih lambat (dengan GRO).
+
c.
Untuk 2R/3 < kisi < r (daerah III) Æ CV = CV – 1.
4.
Jika sensor mendeteksi tidak ada rintangan maka pembaruan mengikuti aturan nomor 3.
Relatif lebih cepat (tanpa GRO).
Persamaan (1) menunjukkan rumus perhitungan CV pada Metode M-HIMM [5]: kisi[x][y] = kisi[x][y] + I
(1)
Keterangan: I+ = +4 jika ada rintangan
I=
I- = (relatif sesuai daerah kisi) jika ruang kosong
kisi[x][y] = nilai CV [x][y] = koordinat sel; 0 ≤ kisi[x][y] ≤ 16 Perbandingan cara kerja Metode HIMM dan Metode M-HIMM ditunjukkan pada Tabel 2; Sedangkan perbandingan kelebihan dan kekurangan kedua metode tersebut ditunjukkan pada Tabel 3. 3. Perancangan Sistem Pada penelitian ini, dirancang dan direalisasikan suatu kursi roda mandiri yang dinamakan E-CHAIR. A
Arsitektur E-CHAIR Arsitektur dari E-CHAIR di-tunjukkan pada Gambar 3. E-CHAIR memiliki 2 (dua) mode, yaitu mode
mandiri dan mode semimandiri. Pada mode mandiri, E-CHAIR dapat mengantarkan pengguna ke titik tujuan yang diinginkan secara mandiri. Pada mode semimandiri, pengguna mem-berikan arah gerak yang diinginkan namun tetap dijaga agar E-CHAIR tidak terbentur dengan rintangan yang terdapat pada lingkungan. Modul sensor ultrasonik berfungsi untuk menghitung jarak dari rintangan-rintangan yang berada di sekitar ECHAIR.
202
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 3 Arsitektur kursi roda mandiri E-CHAIR Modul estimasi posisi berfungsi untuk memperkirakan posisi dan orientasi dari E-CHAIR. Modul pemetaan bertugas untuk memetakan posisi, orientasi dan rintangan yang berada pada lingkungan operasi ke dalam peta. Modul perencana jalur bekerja pada mode mandiri dan bertugas untuk merencanakan jalur yang akan dilalui ECHAIR untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh pengguna. Modul penghindar rintangan bekerja pada mode semimandiri dan bertugas untuk mengawasi arah gerak yang diberikan pengguna agar tidak terjadi benturan dengan rintangan. Modul pengendali motor bertugas mengatur arah dan kecepatan putaran motor yang sesuai dengan perintah pergerakan yang telah diberikan oleh modul perencana jalur atau modul penghindar rintangan. B
Spesifikasi E-CHAIR
Rancangan kursi roda mandiri E-CHAIR ditunjukkan pada Gambar 4. Spesifikasi E-CHAIR ditunjukkan pada Tabel 4. Spesifikasi sedikit berbeda dari ukuran standar kursi roda karena kesalahan pada faktor pengelasan. Tabel 4 Spesifikasi E-CHAIR Spesifikasi
Keterangan
Panjang kursi roda
1150 mm
Lebar kursi roda
700 mm
Tinggi total kursi roda
900 mm
Lebar tempat duduk
430 mm
Tinggi tempat duduk dari tanah Tinggi sandaran tangan dari tempat duduk
500 mm 250 mm
Panjang tempat duduk
400 mm
Tinggi sandaran
400 mm
Diameter roda belakang
400 mm
Diameter roda depan
120 mm
Berat kursi roda
65 kg
Kecepatan berjalan
25 rpm
Kecepatan berputar
10 rpm
203
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Berat maksimum pengguna Sensor ultrasonik Kamera Rotary encoder Motor DC Sumber energi
100 kg 13 pasang 1 buah 1 buah (1000 pulsa / putaran) 2 buah (120W / 12V) Aki 12V / 45Ah Aki 12V / 5Ah Prosesor 600MHZ RAM 256 MB
Laptop (minimum)
Hard-disk 4 GB Sistem operasi Windows XP service pack 2
Metode pergerakan
dual differential drive
Mode operasi
Mandiri, semimandiri Franklin Software
Perangkat lunak
Proview32, Microsoft Visual Studio 2005 (C#)
Gambar 4 Rancangan kursi roda mandiri E-CHAIR C
Perancangan Modul Pemetaan
Gambar 5 menunjukkan diagram blok modul pemetaan. Modul pemetaan merupakan modul yang termasuk ke bagian perangkat lunak. Bahasa pemrograman yang digunakan adalah Bahasa C#. Modul pemetaan menerima masukan berupa jarak rintangan dari modul sensor ultrasonik dan posisi serta orientsi E-CHAIR dari modul estimasi posisi. Lalu dibentuk 2 (dua) buah peta:
204
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
1.
Peta lokal, yaitu peta yang dibentuk berdasarkan pembacaan sensor pada suatu waktu sehingga peta ini
bersifat real-time dan jangkauannya terbatas pada jangkauan sensor ultrasonik. Peta lokal digunakan untuk memperbarui peta global. 2.
Peta global, yaitu peta yang menyimpan kondisi lingkungan operasi wahana secara keseluruhan. Peta
ini diperbarui dengan menggunakan peta lokal sehingga peta akan selalu up-to-date walaupun terjadi perubahan lingkungan. Kedua peta ini dan posisi serta orientasi E-CHAIR selanjutnya digunakan oleh modul perencana jalur dan modul penghindar rintangan untuk mengatur pergerakan E-CHAIR. Modul perencana jalur menggunakan peta global untuk merencanakan jalur ke titik tujuan yang diinginkan oleh pengguna, sedangkan modul penghindar rintangan menggunakan peta lokal untuk mengawasi arah gerak
E-CHAIR yang diberikan oleh pengguna agar tidak
terjadi benturan dengan rintangan pada lingkungan operasi.
Gambar 5 Diagram blok modul pemetaan
205
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
D
Perancangan Program Pemetaan Lingkungan dengan Metode Modified Histogramic in-Motion
Mapping (M-HIMM) Dalam melakukan pemetaan lingkungan, perlu dibuat suatu rasio perbandingan antara luas lingkungan operasi wahana dengan luas piksel yang digunakan untuk mewakili lingkungan tersebut. Pada pemetaan lingkungan ini, luas piksel yang digunakan adalah 500 x 500 piksel dengan setiap pikselnya mewakili 5 x 5 cm pada lingkungan yang sebenarnya. Dengan kata lain luas maksimum lingkungan operasi ECHAIR adalah 2500 x 2500 cm. Kisi pada Metode M-HIMM diwakiliki oleh piksel. Untuk menentukan kisi rintangan, digunakan Persamaan (2) dan Persamaan (3). x = xps + {[sin (θbot + θssr – 180°) * (robs + rssr)] / ratio}
(2) y = yps + {[cos (θbot + θssr – 180°) *
(robs + rssr)] / ratio}
(3)
Keterangan: x, y
= koordinat piksel rintangan
xps, yps
= koordinat pusat sensor
θbot
= sudut orientasi E-CHAIR terhadap lingkungan (°)
θssr
= sudut sensor terhadap arah 0° E-CHAIR (°)
robs
= jarak dari sensor ke rintangan (cm)
rssr
= jarak dari titik pusat sensor ke sensor (cm)
ratio
= rasio perbandingan (cm) Gambar 6 menunjukkan contoh tampilan E-CHAIR pada peta. Lingkaran padat menunjukkan wahana
sedangkan lingkaran di luar E-CHAIR menunjukkan jarak aman terhadap rintangan. Garis hitam menunjukkan orientasi E-CHAIR terhadap lingkungan.
Gambar 6 Tampilan wahana pada peta Gambar 7 menunjukkan diagram alir untuk modul pemetaan dengan Metode M-HIMM.
206
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 7 Diagram alir pemetaan lingkungan dengan Metode M-HIMM Sistem bekerja dimulai dengan inisialisasi variabel kemudian modul pemetaan menerima data jarak rintangan dari modul sensor ultrasonik dan posisi kursi roda dari modul estimasi posisi. Lalu dilakukan pembentukan peta lokal dan pembaruan peta global, termasuk di dalamnya dilakukan perhitungan nilai CV untuk kisi-kisi yang berada tegak lurus dengan sensor ultrasonik. Selanjutnya peta lokal dikirimkan ke modul penghindar rintangan dan peta global dikirimkan ke modul perencana jalur.
Gambar 8 Diagram alir pembentukan peta lokal dan pembaruan peta global (r = jarak rintangan dari sensor; R = jarak jangkauan sensor)
207
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Untuk diagram alir pembentukan peta lokal dan pembaruan peta global ditunjukkan pada Gambar 8. Diawali dengan melakukan inisialisasi variabel yang akan digunakan dalam perhitungan, kemudian diperiksa apakah jarak (r) kurang dari jangkauan sensor (R) untuk menentukan apakah terdapat rintangan atau tidak. Jika terdapat rintangan maka nilai CV kisi rintangan ditambah 4 (+4). Lalu dilakukan pemeriksaan terhadap kisi-kisi yang berada tegak lurus dari sensor sampai rintangan. Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan kisi tersebut terletak pada daerah I (0 < kisi ≤ R/3), II (R/3 < kisi ≤ 2R/3), atau III (2R/3 < kisi ≤ R). Daerah menentukan konstanta pengurangan yang akan diterapkan pada kisi tersebut. Pemeriksaan terus berlangsung hingga mencapai 1 (satu) kisi sebelum kisi rintangan atau 1 (satu) kisi sebelum kisi terluar dari jangkauan sensor ultrasonik.
Untuk menentukan keberadaan rintangan pada
suatu kisi, diperlukan nilai batas CV (CVthreshold). Jika CVkisi < CVthreshold maka diasumsikan tidak ada rintangan, sebaliknya CVkisi ≥ CVthreshold maka diasumsikan terdapat rintangan. Proses penandaan rintangan menggunakan 2 (dua) warna, yaitu piksel rintangan berwarna hitam dan piksel bukan rintangan berwarna putih. Penentuan ketebalan warna piksel rintangan dilakukan berdasarkan nilai CV. Penandaan akan dilakukan secara bertahap, yaitu piksel yang merupakan rintangan warnanya akan semakin tebal jika nilai CV-nya bertambah dan menjadi hitam mutlak jika nilai CV maksimum (CV = 16). Sebaliknya penghapusan rintangan juga menggunakan konsep yang sama, yaitu warna rintangan akan semakin tipis jika nilai CV-nya berkurang dan menjadi putih mutlak jika nilai CV minimum (CV = 0). 4.Pengujian Sistem A
Pengujian Modul Pemetaan terhadap Peta Lingkungan Simulasi
Pemetaan terhadap peta buatan dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) metode yaitu Metode HIMM dan Metode M-HIMM. Pengujian ini dilakukan untuk mengamati kelebihan dan kekurangan antara kedua metode tersebut, yang telah ditunjukkan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Notebook yang digunakan untuk pengujian ini memiliki spesifikasi prosesor Intel Pentium Core 2 Duo T7500 2.20 GHz dan memori DDR2 2048 MB.
A.1
Perbandingan Peta Hasil Pemetaan
Peta awal lingkungan buatan ini ditunjukkan pada Gambar L1a. Garis putus-putus menunjukkan jalur yang akan dilalui E-CHAIR. Jalur tersebut akan dilalui E-CHAIR sebanyak beberapa putaran. Hasil pemetaan dari E-CHAIR setelah mengelilingi lingkungan untuk 2 (dua) putaran ditunjukkan pada Gambar L2. Peta yang dihasilkan kedua metode hampir serupa. Masing-masing metode memiliki keunggulan tersendiri dalam kemampuannya mendeteksi rintangan. Kemampuan kedua metode dalam mendeteksi rintangan dapat dikatakan sama baik. Proses pemetaan dilanjutkan dengan peta yang ditunjukkan pada Gambar L1b. Rintangan berupa lingkaran pada titik A dan garis pada titik B disingkirkan untuk mem-bandingkan kedua metode terkait kemampuannya untuk melakukan pembaruan terhadap rintangan yang disingkirkan. Hasil pemetaan untuk putaran ketiga dan kedelapan berturut-turut ditunjukkan pada Gambar L3 dan Gambar L4. Hasil pemetaan putaran ketiga sampai kedelapan menunjukkan bahwa Metode M-HIMM lebih cepat dalam melakukan pembaruan untuk rintangan yang disingkirkan. Terlihat bahwa rintangan berbentuk lingkaran pada titik A dan rintangan berupa garis lurus pada titik B lebih cepat terhapus dengan Metode M-HIMM. Hal ini
208
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
disebabkan karena pada Metode
M-HIMM konstanta pengurangannya bervariasi tergantung daerah letak kisi
berada. Data frekuensi nilai CV untuk untuk pengujian ini terdapat pada Tabel L1. A.2
Perbandingan Waktu Pemetaan
Dalam melakukan pemetaan, Metode M-HIMM berlangsung lebih cepat dari Metode HIMM. Hal ini karena pada Metode HIMM terdapat fungsi GRO sehingga proses per-hitungan nilai CV menjadi lebih rumit. Dari data pada Tabel L1, putaran ke-1 waktu pemetaan untuk Metode M-HIMM = 40900 ms dan Metode HIMM = 41300 ms. Semakin banyak putaran, selisih waktu keduanya semakin besar. Semakin cepat proses pemetaan, data dari sensor dapat segera terpetakan sehingga dihasilkan peta yang lebih akurat. B
Pengujian Modul Pemetaan dalam Sistem Kursi Roda Mandiri E-CHAIR
Pengujian modul pemetaan dilakukan seiring pergerakan
E-CHAIR menjelajahi lingkungan. Tujuan dari
pengujian ini adalah untuk melihat berlangsungnya proses pemetaan dalam sistem E-CHAIR.
(a)
(b)
Gambar 9 Pengujian modul pemetaan Gambar 9a menunjukkan peta awal yang tidak terdapat rintangan. Posisi rintangan pada lingkungan operasi kursi roda ditunjukkan pada Gambar 9b. Garis putus-putus menunjukkan jalur yang akan dilewati E-CHAIR untuk menjelajahi lingkungan. Gambar 10 menunjukkan peta yang terbentuk berdasarkan lingkungan pada Gambar 9b.
Gambar 10 Peta hasil pengujian Peta yang dihasilkan cukup sesuai dengan lingkungan operasi. Pada sisi kiri E-CHAIR, terdapat rintangan sepanjang jalur yang dilewati E-CHAIR. Pada sisi kanan E-CHAIR, terdapat rintangan namun ada celah di antara rintangan tersebut. Data nilai CV untuk pengujian modul pemetaan ditunjukkan Tabel 5.
209
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Tabel 5 Data pengujian modul pemetaan Nilai CV
Pengujian I
249.901
1
2
3
3
4
72
5
6
1
7
1
8
14
9
10
11
12
13
14
1
15
16
7
TOTAL
250.000
C
Pengujian Sistem Kursi Roda Mandiri E-CHAIR
C.1
Pengujian Mode Mandiri
Pengujian mode mandiri terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu: 1.
Berjalan tanpa perubahan jalur.
2.
Berjalan dengan perubahan jalur.
Pada pengujian berjalan tanpa perubahan jalur, E-CHAIR berjalan dari koordinat (258, 251) menuju titik pusat landmark kedua (200, 250). Gambar 11 menunjukkan hasil pengujian berjalan tanpa perubahan jalur. Keadaan awal
Keadaan akhir
Gambar 11 Pengujian berjalan tanpa perubahan jalur Pada keadaan akhir, E-CHAIR dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Jalur yang dilalui sedikit berliku-liku karena hasil perhitungan dari landmark terkadang berbeda satu sampai dua piksel, namun perencana jalur tetap mengatur pergerakan E-CHAIR agar sesuai dengan rencana jalur yang telah dibentuk. Posisi akhir E-CHAIR me-nyimpang 5 cm dari tujuan yang diinginkan. Ini terjadi karena faktor kesalahan dari pembacaan landmark.
210
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Pada pengujian berjalan dengan perubahan jalur, E-CHAIR berjalan dari koodinat (263, 260) menuju koordinat (201, 240) yang berada pada daerah landmark kedua. Seiring E-CHAIR bergerak, terdeteksi rintangan baru sehingga E-CHAIR membentuk jalur baru untuk tetap dapat mencapai tujuan. Gambar 12 memperlihatkan hasil pengujian berjalan dengan perubahan jalur.
Keadaan awal
Keadaan akhir
Rintangan baru Gambar 12 Pengujian berjalan dengan perubahan jalur Posisi akhir E-CHAIR me-nyimpang 15 cm di belakang dan 5 cm di kanan tujuan. Penyimpangan terjadi karena kesalahan pembacaan landmark dan karakteristik motor yang tidak dapat langsung berhenti saat diperintahkan untuk berhenti. C.2
Pengujian Mode Semimandiri
Pada pengujian ini, E-CHAIR digerakkan maju seperti ditunjukkan Gambar 13. Saat bergerak maju, terdeteksi adanya rintangan sehingga dilakukan penghindaran rintangan.
Gambar 13 Kondisi lingkungan pengujian mode semimandiri Gambar 14a menunjukkan penghindaran yang dilakukan.
(a)
(b) Gambar 14 Hasil pengujian mode semimandiri
211
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
E-CHAIR lalu diarahkan ke kanan untuk menjauhi rintangan lalu kembali diarahkan menuju tujuan. Rintangan masih terdeteksi sehingga E-CHAIR melakukan penghindaran ke arah atas seperti ditunjukkan pada Gambar 14b. Lalu E-CHAIR dapat diarahkan oleh pengguna untuk mencapai tujuan. Dari hasil pengujian, E-CHAIR berhasil mencapai tujuan dan menghindari rintangan apabila arah masukan pengguna terlalu mendekati rintangan. Gambar 15 menunjukkan peta jalur hasil pengujian mode semimandiri.
Gambar 15 Peta jalur hasil pengujian mode semimandiri 5.Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1.
Metode Modified Histogramic in-Motion Mapping (M-HIMM) dapat diimplementasikan untuk proses
pembuatan peta lingkungan dalam kursi roda mandiri E-CHAIR. 2.
Pada mode mandiri, kursi roda mandiri E-CHAIR dapat mengantarkan pengguna mencapai tujuan yang
diinginkan. Mode ini dapat berjalan pada kondisi lingkungan yang statis maupun dinamis, namun masih terjadi sedikit penyimpangan. 3.
Pada mode semimandiri, kursi roda mandiri E-CHAIR dapat melakukan penghindaran rintangan apabila
arah pergerakan yang diberikan pengguna terlalu mendekati rintangan yang terdapat pada lingkungan. Daftar Pustaka 1.
Batan, I M. L. 2006. Pengembangan Kursi Roda Sebagai Upaya Peningkatan Ruang Gerak Penderita Cacat
Kaki,
Jurnal
Teknik
Industri
(online),
Vol.
8,
No
2,
(http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ind/article/ viewPDFInterstitial/16549/16541, diakses 26 Mei 2009). 2.
Borenstein, J. dan Koren, Y. 1991. Histogramic In-Motion Mapping for Mobile Robot Obstacle Avoidance, IEEE Journal of Robotics and Automation (online), Vol. 7, No. 4 (http://wwwpersonal.umich. edu/~johannb/Papers/paper18.pdf, diakses 2 Mei 2009).
3.
Davis, S.R. dan Sphar, C. 2006. C# 2005 For Dummies. Indianapolis: Wiley Publishing, Inc.
4.
Ge, S.S. dan Lewis, F.L. 2006. Autonomous Mobile Robots. Boca Raton: CRC Press.
5.
Habib, M.K. 2007. Real Time Mapping and Dynamic Navigation for Mobile Robots. International Journal
of
Advanced
Robotic
Systems,
Vol.
4,
No.
3
(http://www.intechweb.
org/downloadpdf.php?id=4239&PHPSESSID=n5inj0kosgka7b36hkuk5bp6k2, diakses 20 Mei 2009). 6.
Murphy, R.R. 2000. Introduction to AI Robotics. Massachusetts: MIT Press.
7.
Rippun, F. 2004. POEMAV SISKOG SUNDR 05 Pengembangan Model Enjiniring Wahana Gerak Mandiri. Tesis Magister Teknik. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
8.
Wille, C. 2000. Presenting C#. Indianapolis: Sams Publishing.
212
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
LAMPIRAN
A
A B
B
a. b. Gambar L1 Peta Lingkungan Buatan: a.) Awal dan b.) Akhir
213
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
A
A B
B
a. b. Gambar L2 Pemetaan putaran ke-2: a.) Metode M-HIMM dan b.) Metode HIMM
A
A B
B
a. b. Gambar L3 Pemetaan putaran ke-3: a.) Metode M-HIMM dan b.) Metode HIMM
A
A B
B
a. b. Gambar L4 Pemetaan putaran ke-8: a.) Metode M-HIMM dan b.) Metode HIMM
214
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar L5 Tampilan akhir program pengujian mode mandiri tanpa perubahan jalur
Gambar L6 Tampilan akhir program pengujian mode mandiri dengan perubahan jalur
215
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel L1 Data frekuensi nilai CV dan waktu pemetaan untuk pengujian terhadap peta simulasi Putara n ke-
1
2
3
4
5
6
7
8
Metode MHIMM HIMM MHIMM HIMM MHIMM HIMM MHIMM HIMM MHIMM HIMM MHIMM HIMM MHIMM HIMM MHIMM HIMM
0 8924 3 8924 3 8924 3 8924 3 8922 9 8921 5 8942 9 8925 0 8944 7 8942 4 8944 9 8944 9 8944 9 8944 9 8944 9 8944 9
Frekuensi Nilai CV 1 5 6 7 8 9 0
1 1
12
1 3
1 4
15
16
1
2
3
4
13 2
92
13 8
39 5
20
13
1 4
4 6
1 0
12
5
1 4
9
7
8
2
59 7
-
13 2
62 5
8
7
2
7
8
3
72 2
-
1 2
1 5
12 3
19
9
1 1
8
22
11
7
2
11 4
41 8
4
2
8
4
3
9
1 7
11
14 1
2 6
2 5
1
53 4
-
1 1
7
2
10
54 1
1 0
13 7
1
2 7
1
2 4
1
5
1
54 3
-
2
10
54 1
1
24
1
55 0
-
55 1
1
55 0
-
55 1
55 1
-
55 1
55
-
Wakt u (ms) 4090 0 4130 0 8140 0 8210 0 1253 00 1261 00 1688 00 1699 00 2121 00 2136 00 2555 00 2573 00 2984 00 3008 00 3416 00 3445 00
216
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
SISTEM PENGHINDAR RINTANGAN DENGAN METODE MINIMUM VECTOR FIELD HISTOGRAM PADA KURSI RODA MANDIRI E-CHAIR Lukas, Edwin, Ferry Rippun G.M. Jurusan Teknik Elektro – Fakultas Teknik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya – Jakarta e-mail: [emailprotected]
ABSTRAK Manusia yang memiliki keterbatasan mobilitas memerlukan alat bantu gerak. Salah satu alat bantu gerak itu adalah kursi roda konvensional. Namun kursi roda konvensional kurang memberikan kenyamanan bagi penggunanya karena membutuhkan tenaga manusia untuk menggerakkannya. Karena itu, muncul ide untuk membuat kursi roda mandiri yang dapat mengantarkan penggunanya ke tempat tujuan yang dipilih. Dan dalam implementasi kursi roda mandiri, faktor keselamatan merupakan salah satu faktor penting yang harus diutamakan. Faktor keselamatan ini dapat ditingkatkan dengan adanya kemampuan penghindar rintangan yang baik. Karena itu, diharapkan metode MVFH mampu memberikan respons penghindaran ke arah yang aman, sehingga wahana mampu menghindari rintangan dengan tetap memberikan kenyamanan bagi penggunanya. Kata kunci: kursi roda mandiri, penghindar rintangan, Minimum Vector Field Histogram
1.Pendahuluan Kursi roda adalah salah satu alat bantu gerak untuk manusia yang memiliki keterbatasan mobilitas. Namun, kursi roda konvensional kurang memberi kenyamanan bagi pengguna, karena membutuhkan tenaga manusia untuk meng-gerakkannya. Karena itu, dibuat kursi roda otomatis, yaitu kursi roda yang dilengkapi penggerak dari luar berupa motor listrik dan dapat dikendalikan arah pergerakannya dengan joystick. Akan tetapi, kursi roda otomatis ini membutuhkan pengendalian terus menerus, sehingga bagi orang-orang yang mengalami beberapa keter-batasan tambahan seperti gangguan pada lengannya, akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan kursi roda otomatis tersebut. Berdasarkan pemikiran ini, muncul ide mengenai wahana berupa kursi roda mandiri. Agar wahana dapat berjalan mandiri, diperlukan adanya ke-mampuan seperti: persepsi, navigasi, aktuasi, dan interaksi dengan manusia. Salah satu sistem yang diperlukan untuk mewujudkan wahana yang mandiri adalah sistem penghindar rintangan. Pada penelitian sebelumnya, telah dibuat sistem penghindar rintangan dengan menggunakan metode Vector Field Histogram (VFH), namun metode ini kurang sesuai dengan karakteristik kursi roda mandiri yang dapat dikendalikan arah pergerakannya oleh pengguna. Kekurangan metode VFH ini coba dihilangkan dengan menggunakan metode Minimum Vector Field Histogram (MVFH).
217
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Gambar 1 Daerah objek yang dapat dideteksi sensor
2. Landasan Teori A
Kursi Roda Standar Ukuran standar untuk kursi roda sesuai dengan ukuran tubuh orang Indonesia dan ISO 7176-5
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Ukuran standar kursi roda [1] Uraian/Deskripsi Panjang maksimum Lebar Tinggi total Lebar tempat duduk Tinggi tempat duduk dari tanah Tinggi sandaran tangan Panjang tempat duduk Tinggi sandaran B
Dimensi (cm)
130 70 100 50 50 20 45 30
Wahana Gerak Mandiri Wahana gerak mandiri adalah wahana mandiri yang mampu mengatasi masalah yang dihadapi dalam
pelaksanaan tugasnya berdasarkan informasi yang diperoleh dari sensor-sensornya tanpa ada campur tangan manusia dan mampu bergerak secara mandiri karena dalam pergerakannya dilengkapi dengan penggerak (aktuator) yang dikendalikan oleh komputer yang terpasang di dalamnya [5]. C
Bahasa Pemrograman C# Bahasa C# merupakan pengembangan dari Bahasa C dan C++ dengan tujuan untuk me-mudahkan
pengguna dalam mem-bangun sebuah aplikasi. C# merupakan bahasa yang modern, sederhana, dan berorientasi objek. Bahasa C# memiliki banyak persamaan dengan Bahasa C dan C++ namun memiliki perbedaan pada penggunaan namespaces, classes, methods, dan exception handling [4]. Bahasa C# juga mendukung untuk melakukan eksekusi beberapa thread dalam sebuah program secara pararel (multithreading). Bahasa C# menggabungkan kekuatan dan efisiensi dari C++, kesederhanaan dari orientasi objek yang dimiliki Java, dan kemudahan penggunaan dari Visual Basic [7]. D
Metode Minimum Vector Field Histogram (MVFH) Metode penghindar rintangan adalah metode untuk mencegah terjadinya tabrakan dengan rintangan pada
suatu sistem [2]. Salah satu metode penghindar rintangan adalah MVFH. Pada MVFH terdapat 4 tahap pemrosesan data [8], yaitu:
218
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
1.
Mendeskripsikan lingkungan sekitar menjadi Cartesian Histogram Grid dua dimensi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Cartesian Histogram Grid dua dimensi Cartesian Histogram Grid dua dimensi ini diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
⎛ y − ybot ⎞ ⎟ ⎝ x − xbot ⎠
βxy = arctan⎜
m xy = (CV xy ) 2 (a − bd xy )
(1)
(2)
Keterangan: a,b : konstanta positif CVxy: nilai kemungkinan terdapat rintangan pada kisi (x,y) dxy : jarak antara kisi aktif (x,y) dan VCP (Vehicle Center Point) mxy : besarnya rintangan vektor pada kisi (x,y) xbot, ybot : koordinat awal VCP x, y : koordinat kisi aktif (x,y)
β xy : arah dari kisi aktif (x,y) terhadap VCP 2.
Mentransformasikan Cartesian Histogram Grid dua dimensi ke dalam polar histogram satu dimensi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Polar histogram ini meliputi n sektor sudut dengan lebar masing-masing sektor sebesar α.
Gambar 3 Polar histogram satu dimensi
219
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Transformasi yang dilakukan menggunakan persamaan 3, yaitu dengan memetakan setiap nilai CV pada Cartesian Histogram Grid ke polar histogram, dan menghasilkan representasi ke-padatan rintangan untuk setiap sektor pada polar histogram.
hk = ∑ xy mxy
(3)
Keterangan: hk : kepadatan rintangan polar (polar obstacle density) Dikarenakan sifat diskrit dari histogram grid yang dihasilkan, hasil pemetaan dapat terlihat kasar dan menyebabkan kesalahan dalam penentuan arah kemudi. Oleh karena itu, harus dilakukan suatu proses smoothing terhadap hk, yang ditentukan oleh :
(4) Keterangan: adalah smoothed Polar Obstacle Density.
3.
Penambahan kurva parabola w pada polar histogram, dimana kurva w merupakan representasi dari arah masukan yang diinginkan pengguna, seperti yang dapat dilihat pada Gambar L1.
4.
Didapat keluaran berupa arah gerak wahana berdasarkan algoritma MVFH, dan polar histogram.
3.Perancangan Sistem A
Ilustrasi Sistem Wahana gerak mandiri ini terdiri dari enam buah modul, yaitu modul sensor ultrasonik, modul pemetaan,
modul estimasi posisi, modul penghindar rintangan, modul perencana jalur, dan modul pengendali motor. Masing-masing modul memiliki fungsi masing-masing, dan saling berkaitan satu dengan yang lain sehingga membentuk sistem pengendalian untuk kursi roda mandiri. B
Arsitektur E-CHAIR Secara keseluruhan, arsitektur
E-CHAIR ini memiliki dua macam mode, yaitu mode mandiri dan
semimandiri. Kedua mode ini memiliki perbedaan pada seberapa besar pengaruh pengguna dalam penggunaannya. Arsitektur E-CHAIR dapat dilihat pada Gambar 4. Pada mode mandiri, pengguna hanya memberikan masukan berupa titik tujuan yang ingin dicapai, dan dalam pelaksanaannya wahana sendiri yang akan bekerja untuk membawa wahana ke titik tujuannya. Sedang pada mode semimandiri pengguna menentukan sendiri arah pergerakan yang diinginkan, dan wahana hanya akan melakukan gerak menghindari rintangan apabila ternyata pada arah yang dituju oleh pengguna terdapat rintangan.
220
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 4 Arsitektur kursi roda mandiri E-CHAIR
221
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
C
Spesifikasi E-CHAIR Kursi roda mandiri E-CHAIR memiliki sketsa seperti terlihat pada Gambar 5. Spesifikasi E-CHAIR
ditunjukkan pada Tabel 2.
Gambar 5 Kursi roda mandiri E-CHAIR
Tabel 2 Spesifikasi E-CHAIR Spesifikasi
Keterangan
Panjang maksimum
115 cm
Lebar kursi roda
70 cm
Tinggi total kursi roda
90 cm
Lebar tempat duduk
43 cm
Tinggi tempat duduk dari tanah
50 cm
Tinggi sandaran tangan dari tempat duduk
25 cm
Panjang tempat duduk
40 cm
Tinggi sandaran
40 cm
Diameter roda belakang
40 cm
Diameter roda depan
12 cm
Berat kursi roda
65 kg
Kecepatan maju
25 rpm
Kecepatan berputar
10 rpm
Berat pengguna
0 - 100 kg
Sensor ultrasonik
13 pasang
Kamera Rotary encoder Motor DC Sumber energi
1 buah 1 buah (1000 pulsa / putaran) 2 buah (120W / 12V) Aki 12V / 45Ah Aki 12V / 5Ah
222
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Prosesor 600MHZ RAM 256 MB Laptop (minimum)
Hard-disk 4 GB Sistem operasi Windows XP service pack 2
Metode pergerakan
dual differential drive
Mode operasi
Mandiri, semimandiri Franklin Software
Perangkat lunak
Proview32, Microsoft Visual Studio 2005 (C#)
D
Perancangan Modul Perancangan modul penghindar rintangan dibagi menjadi 3 yaitu perancangan perangkat lunak untuk
pengambilan data, pengolahan data, dan penghasil keputusan. Langkah kerja modul penghindar rintangan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Diagram alir proses umum penghindar rintangan
223
ISSN 977.2086796.00.2
E
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Perangkat Lunak Pengambilan Data Modul penghindar rintangan melakukan pengambilan data berupa peta lokal dari modul pemetaan. Data
yang diambil tersebut ditempatkan pada array dua dimensi sebagai bentuk cartesian histogram grid, sedang nilai indeks dari elemen-elemen pada array ini berfungsi sebagai koordinat x dan y pada histogram grid. Array ini merupakan berukuran 101 x 101 kisi, sehingga pengambilan data lingkungan sekitar wahana dilakukan sebesar 50 kisi dari titik koordinat wahana. F
Perangkat Lunak Pengolahan Data Pada bagian ini, data peta lokal yang semula disimpan pada array dua dimensi diolah menjadi data
histogram polar. Kemudian dilanjukan dengan proses smoothing. Setelah proses di atas, selanjutnya akan dilakukan pengolahan data masukan pengguna, dimana terdapat empat macam masukan yaitu : masukan arah maju, masukan arah mundur, masukan arah berputar ke kiri, dan masukan arah berputar ke kanan. Setiap masukan akan menghasilkan kurva parabola w yang berbeda, dan selanjutkan dilakukan penambahan kurva total beban dengan kurva parabola w sehingga akan diperoleh kurva keluaran s. Dari kurva keluaran s, dicari arah (sektor) yang memiliki nilai kepadatan rintangan minimum, sektor tersebut merupakan arah terbaik yang akan dipilih sebagai keluaran dari sistem. G
Perangkat Lunak Pengambil Keputusan Setelah dilakukan pengolahan data dengan metode MVFH, selanjutnya akan dihasilkan keluaran
berdasarkan hasil pengolahan data tersebut. Keluaran yang dihasilkan berupa perintah yang selanjutnya akan dikirim ke modul pengendali motor. Terdapat lima macam perintah yaitu maju, mundur, kiri, kanan, dan berhenti. Perintah berhenti merupakan perintah standar, setiap perulangan proses pada sistem perintah akan kembali diatur menjadi perintah berhenti. Keluaran yang dihasilkan sangat tergantung dari masukan yang diberikan. Diagram alir secara rinci dari metode MVFH dapat dilihat pada Gambar L2, Gambar L3, dan Gambar L4.
4.Pengujian Sistem A
Pengujian Modul Penghindar Rintangan Pengujian modul penghindar rintangan bertujuan untuk mengetahui apakah perangkat lunak modul
penghindar rintangan yang akan digabungkan ke dalam wahana sudah dapat bekerja dengan baik. Pada pengujian ini juga akan dibandingkan antara metode MVFH yang digunakan pada E-CHAIR dengan metode VFH yang pernah digunakan pada penelitian sebelumnya. Pengujian dilakukan pada komputer dengan prosesor Intel Pentium Core 2 Duo T7500 2,20 GHz dan memori DDR2 2048 MB dengan melakukan simulasi. Compiler yang digunakan adalah Microsoft Visual Studio 2005 (C#). B
Pengujian dengan Bantuan Modul Pemetaan Simulasi modul penghindar rintangan dilakukan dengan peta simulasi yang diterima dari modul
pemetaan. Pada simulasi ini tetap diperlukan masukan dari pengguna berupa arah tujuan pergerakan, dan modul penghindar rintangan akan menentukan apabila arah tersebut aman atau tidak untuk dilalui. Diagram blok pengujian dapat dilihat pada Gambar 7.
224
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Gambar 7 Diagram blok pengujian Modul simulasi pada Gambar 7 dibuat untuk menggantikan modul-modul yang belum tergabung, modulmodul tersebut adalah modul sensor ultrasonik, modul estimasi posisi, dan modul motor. Akibatnya modul simulasi harus mampu menghasilkan data yang dibutuhkan oleh modul pemetaan, dan mengolah hasil keluaran dari modul penghindar rintangan. B.1
Pengujian secara umum Pengujian dilakukan dengan melakukan simulasi pada personal computer (PC). Pengujian modul
penghindar rintangan akan menerima data rintangan dari modul pemetaan. Pada pengujian ini, wahana akan digerakkan dari titik tengah peta simulasi, dan bergerak mengelilingi peta.
Gambar 8 Pengujian secara umum Pada Gambar 8 diperlihatkan pergerakan wahana yang dimulai dari tengah peta kemudian bergerak ke bawah dan mengelilingi peta. Dari pengujian ini, terlihat bahwa kedua metode mampu menggerakkan wahana pada jarak yang cukup aman dari rintangan-rintangan dan pergerakan yang dihasilkan juga hampir selalu mengikuti masukan dari pengguna, kecuali pada beberapa titik dimana arah masukan tidak memungkinkan untuk dilewati. B.2
Pengujian berjalan mundur secara simulai Pada pengujian ini, E-CHAIR akan diberikan masukan arah mundur oleh pengguna. Melalui pengujian ini
diharapkan E-CHAIR dapat terus berjalan mundur selama diberi masukan mundur dan tidak terdapat rintangan di belakang. Akan tetapi bila terdapat rintangan di belakang, E-CHAIR tidak dapat bergerak mundur walaupun diberi masukan mundur.
225
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Rintangan di belakang E-CHAIR Gambar 9 Pengujian berjalan mundur Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa E-CHAIR dapat digerakkan mundur selama tidak terdapat rintangan di belakang E-CHAIR. Tetapi apabila terdeteksi adanya rintangan di belakang E-CHAIR, maka E-CHAIR tidak dapat bergerak mundur. B.3
Pengujian celah sempit secara simulasi Pengujian akan dilakukan terhadap dua macam celah sempit, yaitu celah sempit yang cukup lebar untuk
dilewati wahana, dan celah sempit yang terlalu kecil untuk dilewati wahana.
B.3.1 Celah sempit yang dapat dilewati Pada pengujian ini, wahana akan dihadapkan pada celah sempit yang dapat dilewati. Melalui pengujian ini diharapkan wahana dapat melalui celah sempit dengan baik (tanpa berbelok-belok ketika melewati celah sempit).
Gambar 10 Pengujian celah sempit yang dapat dilewati
Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa baik dengan metode MVFH maupun dengan metode VFH wahana dapat melewati celah sempit. Akan tetapi, pada metode VFH wahana akan bergerak berbelok-belok ketika melewati celah sempit, sedang pada metode MVFH wahana dapat bergerak lurus ketika melewati celah sempit.
226
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
B.3.2 Celah sempit yang tidak dapat dilewati Pada pengujian ini wahana akan dihadapkan pada celah sempit yang terlalu kecil untuk dilewati wahana, seperti yang ditunjukkan Gambar 11. Melalui pengujian ini diharapkan wahana dapat menghindar ketika dihadapkan pada celah sempit tersebut.
Lingkaran merah menandakan celah sempit yang tidak dapat dil i h Gambar 11 Celah sempit yang tidak dapat dilalui wahana
Gambar 12 Pengujian celah sempit yang tidak dapat dilewati Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa kedua metode sama-sama akan membuat wahana bergerak menghindari celah sempit tersebut ketika jarak antara wahana dan celah tersebut sudah kurang dari jarak aman. Namun kedua metode tersebut akan menghasilkan arah penghindaran yang berbeda. Dari beberapa macam pengujian pada komputer, dapat diperoleh data-data hasil pengujian seperti yang ditunjukkan pada Tabel L1. B.4
Pengujian Melewati Koridor pada Sistem Kursi Roda Mandiri E-CHAIR Tujuan dari pengujian ini adalah untuk melihat kemampuan metode MVFH dalam melewati koridor.
Gambar 13 menunjukkan kondisi lingkungan pengujian melewati koridor.
Titik Awal 1,35 m
Rintangan 1,8 m Titik Akhir
227
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Gambar 13 Kondisi lingkungan pengujian melewati koridor
Pada pengujian ini, E-CHAIR diarahkan oleh pengguna untuk masuk dan melewati suatu koridor. Diharapkan, E-CHAIR dapat melewati koridor dengan gerakan yang lurus. Dari hasil pengujian, E-CHAIR dapat memasuki koridor, dan melewati koridor tanpa berbelok-belok hingga mencapai titik akhir. Hasil pengujian ditampilkan pada Gambar 14.
Gambar 14 Hasil pengujian melewati koridor
C
Pengujian E-CHAIR
C.1
Pengujian mode mandiri Pada bagian ini, dilakukan pengujian terhadap mode mandiri pada E-CHAIR. Tujuan dari
pengujian ini adalah untuk melihat kemampuan mode mandiri dalam mengantarkan pengguna E-CHAIR ke titik tujuan secara aman. Pengujian mode mandiri terdiri dari 4 bagian yaitu berjalan tanpa perubahan jalur d an berjalan dengan perubahan jalur yang dilakukan tanpa dan dengan menggunakan landmark. Pada pengujian berjalan tanpa perubahan jalur dan tanpa landmark, titik tujuan kursi roda terletak pada jarak 2,5 meter di depan kursi roda. Hasilnya, kursi roda mampu mengantarkan pengguna ke titik yang berjarak 4 pixel dari titik tujuan. Gambar 15 memperlihatkan keadaan awal E-CHAIR sebelum melakukan perjalanan dan keadaan akhir sesudah mencapai tujuan.
Gambar 15 Hasil pengujian jalan lurus tanpa perubahan jalur dan tanpa landmark
Pada pengujian berjalan dengan perubahan jalur dan tanpa landmark, titik tujuan diberikan 4,25 m lurus di depan kursi roda mandiri. Kemudian modul perencana jalur melakukan pembuatan rencana jalur menuju titik tujuan. Akan tetapi dalam per-jalanannya, terdeteksi sebuah halangan yang terletak pada jarak 2,25m dari titik awal. Hal ini membuat modul perencana jalur harus melakukan perubahan rencana jalur dengan cara memutari rintangan tersebut. Gambar 16 memperlihatkan keadaan awal sebelum E-CHAIR melakukan per-jalanan menuju titik tujuan dan keadaan akhir sesudah mencapai tujuan. Posisi akhir E-CHAIR berada 48 cm di depan titik tujuan seharusnya dan 50 cm di sebelah kanan titik tujuan seharusnya dengan pe-nyimpangan orientasi arah 12ο. Ini terjadi karena landmark tidak digunakan sehingga penyimpangan odometry terakumulasi sepanjang perjalanan E-CHAIR.
228
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 16 Hasil pengujian berjalan dengan perubahan jalur dan tanpa landmark Pada pengujian berjalan tanpa perubahan jalur dan dengan landmark, posisi awal E-CHAIR berada pada daerah landmark pertama (258,251) dan posisi tujuan merupakan titik pusat daerah landmark kedua (200,250). Gambar 17 mem-perlihatkan keadaan awal E-CHAIR sebelum melakukan perjalanan dan keadaan akhir sesudah mencapai tujuan. Sepanjang perjalanan, modul estimasi posisi memperbaiki posisi dan orientasi hasil perhitungan odometry dengan menggunakan metode landmark. Pada keadaan akhir, posisi E-CHAIR mengalami penyimpangan 5 cm dari titik tujuan seharusnya.
Gambar 17 Hasil pengujian berjalan tanpa perubahan jalur dan dengan landmark Pada pengujian berjalan dengan perubahan lingkungan dan dengan landmark, posisi awal E-CHAIR berada pada daerah landmark pertama (263,260) dan posisi tujuan yang akan dicapai berada pada daerah landmark kedua (201,240). Pada awalnya, E-CHAIR membuat rencana jalur seperti yang terlihat pada Gambar 18. Kemudian dalam perjalannya terdeteksi sebuah rintangan di depan E-CHAIR, sehingga modul perencana jalur harus mengubah rencana jalur awal agar tetap dapat mengantarkan pengguna menuju titik tujuan. Modul perencana jalur mempertimbangkan semua kemungkinan jalur yang dapat dilewati, yang akhirnya diperoleh jalur dengan cara memutari halangan tersebut, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 18. Pada keadaan akhir, secara perangkat lunak posisi E-CHAIR berada pada koordinat (201,239). Pada keadaan sebenarnya, posisi E-CHAIR berada pada 5 cm di sebelah kanan titik tujuan dan 15 cm di bawah titik tujuan seharusnya. Orientasi robot baik pada perangkat lunak maupun pada keadaan sebenarnya sesuai, yaitu pada 68ο. Penyimpangan masih terjadi karena faktor kesalahan dari pembacaan landmark dan karakteristik dari motor yang tidak dapat langsung berhenti saat diberikan perintah untuk berhenti.
Gambar 18 Hasil pengujian berjalan dengan perubahan jalur dan dengan landmark
229
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
C.2
Pengujian mode semimandiri Pada pengujian ini, kursi roda akan menggunakan mode semimandiri dan dijalankan oleh penggunanya
untuk mencapai suatu titik tujuan. Melalui pengujian ini diharapkan baik modul penghindar rintangan dapat mengikuti arah pergerakan yang diinginkan pengguna dengan tetap menghindari rintangan yang ada. Selain itu diharapkan pada pengujian ini masing-masing modul dapat bekerja dengan baik dan akan menciptakan sistem kursi roda mandiri yang baik. Jarak titik mulai dan titik tujuan kurang lebih sejauh lima meter. Dan pada jarak kurang lebih 3.5 meter dari titik mulai pengujian diletakkan sebuah rintangan, sehingga untuk mencapai titik tujuan kursi roda harus mampu melakukan manuver peng-hindar rintangan. Peta pengujian dapat dilihat pada Gambar 19a. Ketika kursi roda berada pada jarak kurang lebih 2 meter dari titik mulai, kursi roda mendeteksi halangan di depannya. Karena pada sebelah kiri kursi roda juga dideteksi adanya rintangan, maka arah penghindaran yang dipilih adalah ke arah kanan. Gambar 19b menunjukkan arah peng-hindaran wahana. Kemudian pengguna berjalan lurus ke arah kanan peta untuk memutari halangan. Lalu pengguna mengubah arah E-CHAIR menuju ke titik tujuan, akan tetapi karena pada arah tersebut terdeteksi halangan di depannya, kursi roda kembali melakukan manuver penghindaran rintangan ke arah atas seperti yang ditunjukkan Gambar 4.19c. Baru dari titik tersebut, E-CHAIR dapat diarahkan oleh pengguna secara manual hingga mencapai titik tujuan yang diinginkan. Dari hasil pengujian kursi roda berhasil mencapai titik tujuan, dan mengarahkan pengguna apabila pada arah masukan yang diinginkan pengguna terdeteksi adanya rintangan. Gambar 20 menunjukkan peta dan jalur hasil pengujian.
230
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
rintangan
titik tujuan
titik 5m
3.5 m
(a)
wahana
wahana titik tujuan 2m
titik awal
(b)
titik awal
(c)
titik awal
Gambar 19 Peta pengujian mode semimandiri
Gambar 20 Peta dan jalur hasil pengujian
5.Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan: 1.
Metode MVFH lebih sesuai dibanding metode VFH untuk diimplementasikan dalam mode semimandiri pada kursi roda mandiri E-CHAIR.
2.
Tingkat kelengkungan kurva parabola w (masukan pengguna) akan mempengaruhi karak-teristik dari keluaran sistem penghindar rintangan.
3.
Pada mode mandiri, E-CHAIR mampu mengantarkan pengguna ke titik tujuan pada kondisi lingkungan yang statis maupun lingkungan yang dinamis, namun masih terdapat penyimpangan posisi E-CHAIR yang sebenarnya dengan posisi titik tujuan yang diinginkan.
4.
Pada mode semimandiri, E-CHAIR dapat melakukan penghindaran rintangan apabila arah tujuan pengguna merupakan daerah yang tidak aman. Arah penghindaran rintangan yang dipilih adalah arah yang dianggap merupakan daerah teraman.
231
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Daftar Pustaka 1
Batan, I M. L. 2006. Pengembangan Kursi Roda Sebagai Upaya Peningkatan Ruang Gerak Penderita Cacat
Kaki,
Jurnal
Teknik
Industri
(online),
Vol.
8,
No
2,
(http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ind/article/viewPDFInterstitial/ 16549/16541, diakses 26 Mei 2009). 2
Borenstein, J., Koren, Y. 1991. The Vector Field Histogram – Fast Obstacle Avoidance for Mobile Robots, (online), (www-personal.umich.edu/~johannb/Papers/paper16.pdf, diakses tanggal 7 Mei 2009).
3
Nugroho, E. P. 2005. Penggunaan Algoritma Vector Field Histogram pada Perangkat Bantu Tunanetra. Tugas Akhir. Jakarta: Fakultas Teknik Unika Atma Jaya.
4
Rasheed, F. 2006. Programmers Heaven: C# School, 1st ed. Fuengirola: Synchron Data.
5
Rippun, F. 2004. POEMAV SISKOG SUNDR 05 Pengembangan Model Enjiniring Wahana Gerak Mandiri. Tesis Magister Teknik. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
6
Simpson, R., et al. 1995. The NavChair Assistive Navigation System, (online), (www.cs.unc. edu/~welch/class/mobility/papers/NavChair.pdf, diakses tanggal 29 April 2009).
7
Wille, C. 2000. Presenting C#. Indianapolis: Sams Publishing.
8
Vibhu O. Mittal, et al. 1998. Assistive Technology and Artificial Intellegence, (online), (http://books.google.com/books?id=u_LpTAW7SAcC&printsec= frontcover#v=onepage&q=&f= false, diakses tenggal 14 November 2009).
232
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
PENGEMBANGAN ROKET KORINDO 2010 SEBAGAI PELUNCUR MINI UAVSURVEILANCE Oleh : Gunawan S Prabowo *) *) Peneliti Madya Bidang Missile dan Kendaraan Ruang Angkasa, Pusat Teknologi Terapan Dirgantara, LAPAN, Rumpin Abstrak Dalam situasi perang, informasi detil tentang kondisi musuh sangat diperlukan, salah satu cara terkini mengetahui kondisi musuh dengan cara yang cukup murah adalah dengan menerbangkan pesawat tanpa awak atau UnManned Aerial Vehicle (UAV). Berbagai UAV telah dikembangkan oleh banyak negara, dari yang berukuran besar hingga bobot dalam orde kilogram (mini UAV), dari UAV yang bergerak dengan altitude yang tinggi hingga UAV dengan ketinggian rendah dan sedang. LAPAN mempunyai beberapa produk roket, produk roket yang cukup sederhana adalah roket RUM ( Roket Uji Muatan ) dengan diameter 70 mm ,mempunyai ketinggian terbang hingga 800 m, mampu membawa muatan dengan berat 1-2 kg, mempunyai sistem separasi muatan. Roket ini digunakan untuk lomba antar universitas yang terkenal dengan Kontes Roket Indonesia ( KORINDO ). Roket ini telah mengalami perubahan desain sesuai dengan kebutuhan lomba muatan yang ada. Saat ini dengan perlombaan yang mengarah pada muatan kendali yang dikombinasikan dengan telemetri dan telekommand. Muatan yang dapat dibawa berukuran panjang 30 cm, lebar 10 cm, berat 1-2 kg, roket ini akan separasi pada ketinggian 400 m Dalam paper ini akan disajikan sebuah ide alternative untuk memanfaatkan Roket KORINDO 2010 yang telah dimodifikasi, untuk dijadikan alat peluncur Mini UAV dengan muatan Kamera dan system penggerak propeller dengan misi surveillance tingkat awal. Mini UAV ini diharapkan akan terbang dengan ketinggian 400 m, dengan radius 1-2 km, dengan masa terbang lebih kurang 30 menit. Aplikasi ini sangat membantu untuk mengetahui kondisi musuh dalam waktu yang singkat, system surveillance ini dapat dioperasikan dengan mudah. Dapat dibawa dengan mudah (portable) , Mini UAV ini bisa digunakan untuk melakukan pengamatan sesaat, guna penyusunan strategi dan dalam sekelompok kecil prajurit. Kata Kunci :mini UAV, surveilance mission, propeler, portable
1. Pendahuluan Dalam rangka memasyarakatkan teknologi kepada masyarakat, khususnya para generasi muda dan mahasiswa, LAPAN dalam beberapa tahun ini telah mengadakan lomba muatan roket dengan nama KORINDO atau Kontes Roket Indonesia. Dalam Kontes ini Mahasiswa akan membuat muatan dan LAPAN menyediakan wahana terbang roket, diharapkan dengan muatan tersebut mahasiswa dapat mengetahui perilaku dan dinamika terbang serta system operasi roket. Untuk melayani hal tersebut LAPAN menyediakan wahana roket yang berukuran cukup kecil yaitu RX-70 Roket Uji Muatan (RUM), Roket ini berdiamter 70 cm dan panjang sekitar 1 meter dengan berat total kurang lebih 5 kg.[4]
233
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Gambar 1.1 Muatan Roket dan Roket RX-70 [4] Pada perkembangan selanjutnya lomba ini terus berlangsung bahkan didukung oleh Kementrian Pendidikan Nasional ( Diknas ) dan dari tahun ke tahun peserta lomba muatan roket ini terus bertambah. 2. Roket Korindo 2010 Pada tahun 2010 ini, pelaksanaan Korindo telah menginjak tahun ke 4, tema yang diusung dalam laomba kali ini adalah Homing Payload Roket. Payload Roket (RUM: Roket Uji Muatan) untuk pengukuran parameter meteorologi yang mampu kembali ke HOME setelah roket diluncurkan dan payload terpisah dari roket peluncur[1]. Untuk mengakomodasi hal tersebut maka Roket RUM-70 yang biasanya digunakan untuk lomba telemetry, diubah bentuk dan spesifikasinya menjadi Roket Korindo 2010, roket ini telah berubah bentuk menjadi sbb :
Gambar 2.1 Roket Korindo 2010 [2] Data teknis roket ini adalah sbb : - Panjang Roket: 1230 mm
234
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
- Diameter Roket: 76 mm - Berat Roket: 4.6 kg - Propelan: Komposit - Daya Dorong: 30kgf - Ketinggian: 600 m - Berat Muatan: 1kg - Dimensi Muatan: diameter 100 mm, tinggi 200 mm - Recovery: 2 parasut - Bahan Tabung: PVC Dengan data tersebut roket mempunyai trayektori terbang sbb[1] :
Gambar 2.2 Trayektori Terbang Roket Korindo 2010 [1] Dengan trayektori demikian, maka payload mahasiswa akan dilepas pada ketinggian sekitar 500 m s/d 600 m Secara 3 dimensi roket korindo 2010 dapat digambarkan sbb :
Gambar 2.3 Komponen Roket Korindo 2010 [2] Roket tersebut kini mempunyai kompartemen payload yang lebih besar dengan ukuran diameter 10 cm dan panjang 30 cm, diharapkan dengan ukuran tersebut payload yang dapat dimuat bias lebih besar.
235
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
3. UAV Dalam perkembangan yang lain, teknologi pesawat tanpa awak ( UnManned Aerial Vehicle) atau lebih dikenal dengan UAV telah berkembang pesat. Aplikasinya sangat luas, baik untuk keperluan sipil maupun militer, dalam keperluan sipil misalnya dapat dipergunakan untuk monitoring, pemetaan, geografik, dan lain sebagainya, Sementara dalam bidang militer, penggunaan UAV lebih ditekankan pada kemampaun pengintaian, surveillance dan deteksi kondisi musuh dalam situasi perang. Dalam perkembangannya, ada beberapa terminology UAV, yaitu yang bersifat High Speed dan Low Speed, maupun dalam terminology tinggi dan rendahnya terbang yaitu High Altitude, Medium Altitude maupun yang Low Altitude. Disamping itu ada juga dikembangkan Tactical Un Manned Aerial Vehicle, pesawat ini banyak digunakan dalam perang Afganistan, Irak maupun didalam jajaran pasukan Amerika Serikat, berikut adalah gambaran Tactical UAV (TUAV) yang ada[3] :
Gambar 3.1 Contoh beberapa TUAV TUAV ini mempunyai persyaratan teknis berkiar sebagai berikut : -
Mission : Surveillance
-
Lama Terbang : +/- 30 menit
-
Ketinggian 300 m s/d 400 m
-
Berat 1-2 kg
-
Power : Baterrey
-
Payload : Micro video/Camera
-
Panjang +/- 30 s/d 40 cm
-
Lebar sayap +/- 30 cm s/d 40 cm Operasinya akan meliputi pengamatan singkat ( short time surveillance ), pengamatan perimeter,
pengamatan “convoy” dalam system kecil yang dipersyaratkan sangat mudah dibawa (portable)[3]. Dalam operasinya dapat dilakukan oleh 2 anggota pasukan, dengan peralatan berupa laptop untuk mengimplementasi dan mengolah data visual. Saat ini, operasi peluncuran TUAV dilakukan dengan manual, seperti halnya aeromodelling, yaitu dengan dilempar oleh seorang prajurit agar pesawat ini terbang menjalankan misi. Berikut adalah peralatan 1 paket TUAV :
236
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Gambar 3.2 System TUAV 4. Roket Korindo Sebagai Peluncur Tuav Dengan mengamati performance roket Korindo 2010 dan sistem operasi TUAV, ada beberapa titik temu secara engineering operation requirement ,yaitu : 1.
Kemampuan Roket Korindo 2010 meluncurkan sistem payload
2.
Kebutuhan operasi TUAV yang membutuhkan peluncur yang mampu meningkatkan dan memperlama terbang untuk menjalankan misinya.
Dari 2 aspek tersebut, dua system ini dapat digabung untuk mendapatkan system sutveillance dengan TUAV yang lebih optimal dengan peluncur Korindo 2010. Dengan demikian roket korindo 2010 ini dapat dimuati dengan TUAV, hipotesanya adalah : System gabungan ini dapat meningkatkan performance TUAV dalam menjalankan misi pengintaian dengan memperpanjang waktu pengintaian, disebabkan peluncur yang lebih tinggi. Sehingga data yang didapat lebih banyak dan lengkap. 4.1 Muatan TUAV Untuk mendukung pengembangan system tersebut, maka perlu dipertimbangkan untuk melengkapi TUAV dengan system camera yang bagus, berikut adalah system camera yang dapat digabung ke TUAV :
Gambar 4.1 System Camera TUAV Spesifikasinya adalah sbb : -
NTSC 1/3” - 2:1 Inter lace CCD Image sensor
237
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
-
40° Horizontal FOV
-
Operating Voltage of 12V DC (+-10%)
-
Current consumption of 100mA
-
High resolution of 600 TV lines 795(H) x 596(V)
-
0.0003 Lux max.
-
S/N ratio: better than 45 dB
-
Auto Shutter: 1/50sec – 1/100,000 sec
-
Operating temp of -10C - +50C
Spesifikasi ini dilengkapi dengan kemampuan kontrol pada kamera yang mampu berputar secara horisontal sebesar 360˚ sehingga akan mengoptimalkan proses pengamatan yang dilakukan. Disamping kamera payload ini tentu dilengkapi dengan sistem batery dan antena untuk komunikasi dan mengirimkan gambar ke ground support yang system nya juga merupakan sistem ringan dan bersifat mudah dibawa ( portable ). 4.2 Sistem Spacecraft ( TUAV) Hal lain yang dikembangkan adalah TUAV, persyaratan desain nya adalah mememnuhi kondisi kompartemen dari Korindo 2010, yaitu diameter 10 cm dan panjang 30 cm. Disamping itu, untuk meningkatkan waktu terbang, maka untuk mendapatkan wingspan (lebar sayap) yang cukup untuk melakukan glider, persyaratan desainnya mensyaratkan sayap yang dilipat. Berikut adalah gambaran spesifikasi awal TUAV :
Dengan spesifikasi awal : -
Flight Time
: 30”
-
Payload
: max 0.5 kg
-
Whole spacecraft
: max 1.5 kg
-
Payload Mission
: Surveillance
-
Comm.
: TBD
-
Radius
: min 1 km
-
Sensor
: micro video
-
color Engine
: Battery
Dengan spesifikasi tersebut misi pengintaian dapat dilakukan cukup leluasa yaitu selama 30” dalam radius yang cukup luas yaitu 1 km hingga 2 km. Akan menarik jika TUAV ini juga mempunyai kemampuan Homing Base.
238
ISSN 977.2086796.00.2
5.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Kesimpulan Telah disampaikan ide tentang menggabungkan kemampuan roket korindo dengan payload berupa Mini
UAV. Payload ini mempunyai misi short surveillance dalam bentuk color video visual. Dengan resolusi 2 m. Pengembangan roket Korindo 2010 sebagai peluncur Mini UAV mempunyai peluang diaplikasikan untuk operasi militer, khususnya untuk para komando dalam hal misi pengintaian. Ide ini masih dalam taraf awal desain dan pengembangan. Hal-hal yang perlu dikerjakan lebih lanjut ( future work ) adalah : -
Persyaratan payload mini UAV harus ditambahkan dengan faktor system separasi yang lebih halus ( smooth separation ),
-
System kompartemen yang lebih menjamin pelepasan muatan,
-
Pembahasan algoritma operasi system payload, mulai dari pelepasan hingga kemampuan “homing system “,
-
System peluncur yang portable dan dapat dioperasikan dengan sedikit prajurit.
Daftar Pustaka 1.
Anonimus, Endra Pitowarno and The Team “ Rule Book Korindo 2010 ” , DP2M, Dikti, 2010
2.
Tengku Icwan, Yudha Agung, dkk. “ Dokumen Teknis Roket Korindo 2010” Pusat Teknologi Terapan Dirgantara, 2010
3.
James R Claper, Jr, etc “ Un Manned System Roadmap 2007-2032 “ Office of Secretary of Defense Roadmap System, 2007
4.
Anonymus, “ Laporan Bidang Teknologi Instrumentasi Wahana Dirgantara 2007 “ Pusat Teknologi Terapan Dirgantara, 2007
5.
Burt Camera System, “ Technical Note of Camera/Micro Camera “. 2010
Tanya Jawab Pertanyaan (Sarwani) Apakah UAV dapat digunakan untuk mennggantikan peran helicopter dalam memantau arus mudik Jawaban UAV sangat mungkin digunakan sebagai pemantau arus mudik, karena biaya pembuatan sangat murah dengan tingkat resiko minimal, juga awal penggunaan UAV adalah untuk system pelacakan. Pertanyaan (Sudiro) Apakah roket KORINDO termasuk roket balistik atau kendali. Jawaban Roket KORINDO termasuk roket balistik karena hanya sebagai wahana peluncur saja..
239
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Pertanyaan (Suwoto) Pemanfaatan mini UAV untuk penanganan gempa dan mitigasi bencana alam Jawaban : UAV telah berkembang tidak hanya dalam bentuk pesawat, namun juga dapat sebagai kendaraan pencari jejak, sehingga sangat mungkin digunakan untuk membantu penanganan gempa atau bencana alam. Namun untuk penanganan gempa maka diperlukan tambahan IR thermal sensor.
240
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
ANALISA KEKUATAN STRUKTUR SATELIT INASAT-1 TERHADAP GANGGUAN LINGKUNGAN ANTARIKSA Oleh : Gunawan S Prabowo Abstrak Satelit INASAT-1 ( Indonesian Amateur Satelit-1) adalah sebuah proyek pertama dalam pengembangan satelit micro/nano di LAPAN dan mungkin di Indonesia serta berorientasi pada eksperimen sub system, Paper ini akan menganalisa sejauh mana kualitas struktur INASAT-1 dari sisi desain dan tingkat ketahanan terhadap gangguan lingkungan antariksa . Kesimpulan dari analisa ini akan menjadi justifikasi dalam menilai kualitas struktur INASAT-1 khususnya dalam melindungi komponen elektronik di dalamnya dan ketahanan struktur tersebut dalam menghadapi kondisi lingkungan antariksa.
Kata Kunci :Inasat, Struktur,lingkungan antariksa
241
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
1.
Pendahuluan Pada akhir tahun 2008, LAPAN telah menandatangani kesepakatan dengan ORARI ( Organisasi Radio
Amatir Indonesia ) untuk membangun sebuah satelit yang merupakan cikal bakal satelit eksperimen komunikasi, satelit ini merupakan satelit komunikasi suara (voice) yang sederhana, berbasis pada frekuensi UHF/VHF. Sejak pertemuan awal pada Agustus 2008 hingga penandatangan MOU, satelit yang akan dikembangkan untuk keperluan tersebut adalah satelit INASAT-1. Alasan pemilihan tersebut, secara teknis didasarkan pada tingkat kesederhanaan system Inasat-1 sebagai satelit eksperimen, dimana persyaratan terbang sebuah satelit komunikasi eksperimen tidak terlalu membutuhkan pengendalian sikap yang kritis dan akurat, kontak dengan stasiun bumi yang tidak dipersyaratkan dalam jangka yang cukup lama, dan secara non teknis ada kesamaan semangat kemandirian yang tinggi antara ORARI dan Tim Inasat-1. INASAT-1 merupakan awal sejarah persatelitan di LAPAN, jauh sebelum satelit LAPAN-TUBSAT diterbangkan, Sejarah INASAT-1 dimulai dari program Pusat Teknologi Elektronika Dirgantara tahun 2002, kemudian berlanjut hingga tahun 2005, yang secara program berada dalam kelompok kegiatan Riset Unggulan Kemandirian Kedirgantara LAPAN ( RUKK ) Sejak awal INASAT-1 mempunyai misi untuk melakukan eksperimen uji coba manufaktur subsistem satelit, sehingga satelit ini dapat dikatakan sebagai “demonstration satellite technology “ . Misi ini diyakini sebagai salah satu pintu gerbang menuju kemandirian teknologi satelit, sebagaimana telah terbukti dan berani dilakukan oleh Korea Selatan, sehingga ketergantungan terhadap dunia luar dapat dikurangi secara signifikan. Misi ini jelas akan menjadi indikator tingkat penguasaan teknologi yang semakin baik, bukan hanya sebatas kemampuan integrasi namun juga lebih pada verifikasi teknologi, khususnya pada level desain, integrasi, pengembangan sub system, manufacturing dan tentu untuk mengetahui kemampuan nasional dalam system produksi dan dukungan terhadap riset satelit. 2.
Sistem Inasat-1 Sesuai dengan konfigurasi yang terakhir INASAT-1 mempunyai spesifikasi sbb : Tabel 2.1 : Spesifikasi Inasat-1 PARAMETER
MISSION
SPECIFICATIONS Data
Communication:
APRS, Voice; Test Satellite; Flight dynamic study ORBIT
LEO-NEO,
• Altitude
876 km
• Inclination
10o
242
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
AODCS • Sensor • Actuator • Strategy
1 Magnetometer; 3 gyro; 1 GPS 3 Magnetictorquer Automatic
3-axes
stabilization and control Communication • Function
TTC, APRS, Voice repeater
• Frequency
VHF 144 MHz U/L UHF 435.200/435.400 MHz
• Hardware
D/L 4 antenna UHF, 1 antenna VHF turnstile ; VHF as receiver
• Data Speed
and
UHF
as
transmitter
;
Communication module for TTC, APRS Voice 1200 kbps POWER • Solar Panel
6 panel, body mounted; GaAs eff 25%; Power maks. / panel 25 W
• Baterry
2 pack (@ 4 buah tiap pak) Capacity 30 - 40 watt @ pack
• OBDH Function
Data
acquisition
and
Telemetry
STRUCTURE • Shape / Size • Material
Hexagonal, 340 x 340 x 370 mm
243
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
• Box
Al 6061 T6
Treatment
Coating, anodizing
• Massa
~ 30 kg
THERMAL • Strategy
3.
Passive thermal control
Struktur Inasat
3. 1. Trade Studies 3. 1. 1. Pemilihan Model Salah satu persyaratan dari definisi misi adalah tidak adanya kendali terhadap attitude satelit, alias kendali pasif. Untuk itu struktur harus mampu mengatasi ganguan yang akan mengubah attitude tersebut. Salah satu cara adalah memodelkan struktur dalam bentuk dumble di mana konsentarsi massa berada pada ujung-ujung satelit seperti halnya dumble. Struktur luar bisa berupa balok, silinder, atau heksagonal.
Gambar 3-1. Sistem dumble mass Sementara dalam pemilihan bentuk, dilakukan atas dasar berbagai pertimbangan sbb : Tabel 3-1. Perbandingan beberapa bangun untuk INASAT-1 Bentu
Kestabilan
(model)
Luas
Kemudahan
permukaan
manufaktur
Kubus
Tida stabil
Kurang
Mudah
Balok
Stabil
Kurang
Mudah
Silinder
Stabil
Cukup
Sulit
Heksagonal
Stabil
Cukup
Mudah
3. 1. 2. Pemilihan Material
244
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Material yang digunakan untuk sebuah satelit harus memenuhi berbagai persyaratan, diantaranya adalah kuat tetapi ringan, mudah dibentuk, dan mudah diperoleh dipasaran. Material yang memenuhi persyaratan itu, hingga saat ini, adalah aluminium. Sebelum menentukan aluminium jenis apa perlu dilakukan perbandingan terlebih dahulu. Perbandingan sifat-sifat fisika berbagai jenis aluminium ditunjukkan oleh tabel 4. Sedangkan kriteria yang umum digunakan sebagai pertimbangan untuk memilih material terbaik adalah: 1.
Stiffness to Mass Ratio
2.
Manufacturing Time
3.
Kerataan (Uniformity) Permukaan
4.
Durability
Uji terhadap kriteria tersebut di atas dilakukan terhadap aluminium Al 7075-T6 dan Al 6061-T6 dengan ketebalan 2,54 cm. Hasil uji, dengan memberikan pembobotan, ditunjukkan oleh tabel 5. Dari tabel 5 tersebut, aluminium 7075-T6 memiliki sedikit kelebihan dari pada 6061-T6.
3. 2. Rancangan Awal Rancangan awal adalah bentuk struktur secara umum yang belum memiliki ukuran dan layout penempatan muatan. Bentuk tersebut berupa model heksagonal dengan panel tengah sebagai tempat untuk meletakkan muatan. Selengkapnya, rancangan awal ini dapat dilihat pada gambar 4.
3. 3. Rancangan Detail 3. 3. 1. Jenis dan Fungsi Komponen Struktur Struktur utama INASAT-1 terdiri dari komponen-komponen di mana setiap komponen mempunyai bentuk, fungsi dan jumlah tertentu. Komponen-komponen tersebut dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 3-2. Perbandingan sifat-sifat fisika Aluminium 7075 dan 6061 Sifat fisika terukur
2014-T6 (sheet)
6061-T62 (plate)
7075-T6 (sheet)
ρ (g/cm3)
2,80
2,71
2,80
E (103 MPa)
73.1
69,0
71,4
υ
0,33
0,33
0,33
E (%)
7
6
10
Ftu (MPa)
460
290
460
Fcy (MPa)
410
240
380
Fsu (MPa)
280
190
260
Kic, pada temperatur kamar, (MPavcm
300
290
400
k, pada temperatur kamar, (W/m . K)
160
150
160
α, pada temperatur kamar, (10-6 m/m/0C)
22,5
22,9
22,1
Ketahanan korosi
Cukup - kurang
Bagus
Bagus
245
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Mampu las
Cukup
Bagus
Kurang
Mampu olah mesin
Sangat bagus
Sangat bagus
Bagus
Keterangan: ρ
- kerapatan mass,
Ftu - batas tensile ultimate stress k-konduktivitas termal, E - modulus Young Fcy - batas compressive yield stress υ
- poisson’s ratio,
Fsu - batas shear stress e - elongation, Kic - fracture toughness α - koefisien ekspansi termal
Gambar 3-2. Rancangan awal Struktur INASAT-1 4.
Analisis Analisis dimulai dari membahas struktur dan bentuk Inasat-1, dalam gambar di bawah ini ditampilkan
penampang dalam dari struktur Inasat-1. Sebelah kiri adalah penampang dalam dan sebelah kanan adalah penampang struktur tanpa sisi Z+ dan Z-.
Gambar 4-1 Struktur penampang sisi dalam INASAT-1
246
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Sedangkan tabel 4-1 berikut adalah komponen struktur lebih rinci yang menyangkut struktur primer, sekunder dan tersier. Tabel 4-1. Jenis dan fungsi komponen INASAT-1 Jenis Panel luar
Fungsi Meletakkan solar sel
Material
Jumlah
Al 7075 T6
6
Melindungi boks muatan Rangka (frame)
Penguat struktur
Al 7075 T6
6
Kolom 2
Penyangga struktur
Al 7075 T6
4
Al 7075 T6
2
Penyambung antar frame Kolom 1
Penyangga struktur Penyambung antar frame Tempat melekatkan panel dalam
Panel dalam
Tempat menempelnya boks muatan
Al 7075 T6
2
Tutup bawah
Pelindung boks muatan
Al 7075 T6
1
Al 7075 T6
1
Al 7075 T6
4
Penyambung dengan interface roket Tutup atas
Pelindung boks muatan Tempat meletakkan antena
Tatakan antena
Memegang antena
Dari tabel terlihat bahwa masing-masing sub system telah dilindungi dengan struktur dalam bentuk modular desain. Ketebalan rata-rata dari modul struktur yang membungkus sub system adalah 5 mm, sedangkan struktur luar adalah 10 mm. Dalam pengertian tentang integrasi, struktur satelit lebih diperkenalkan sebagai bagian dari usaha ”shielding” terhadap gangguan lingkungan. Akan kita lihat grafik ketebalan versus pengaruh radiasi sbb : Rad/days
103 102 101 100 10-1
101
102
103
247
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Shielding Thickness Gambar 4-2. Grafik Ketebalan Vs Radiasi Terlihat pada garfik di atas adalah sumbu Y melambangkan kuantitas radiasi yang didimensikan dalam bentuk radian dose/day dan dari grafik di atas, terlihat pada orbit satelit GEO, dengan ketebalan alumunium sekitar 0.6 cm, masih terlihat ada kemungkinan radiasi sebesar 0.7 rad/day atau dalam satu tahun akan terdapat radiasi sebesar 255 rad/day. Gambar di bawah ini adalah grafik serupa, namun dengan kondisi orbit LEO yaitu sekitar 400 km. Rad/days
103 101 100 10-1 10-2
10-4
10-3
10-2
10-2
100
Aluminium Shielding Gambar 4-3. Tingkat radiasi pada Orbit LEO Ini adalah orbit Satelit LEO, dengan asumsi ketinggian antara 400 km-800 km, dapat dilihatt dengan shielding alumunium sebesar 1 cm, radiasi dapat ditekan hingga 1/100 rads/day atau 10-2 rads/day, nilai ini adalah radiasi total gabungan antara proton dan electron. Kalau dibandingkan dengan ketebalan yang sama yaitu 0,6 cm, maka radiasi yang akan diterima hanya sekitar 0,1 rads/day atau 36,5 rads/years. Nilai ini jauh dari ambang batas kerusakan yang dipersyaratkan, seperti tabel berikut : Tabel 4-2 Material vs Damage Treshold ___ ___________________________________ MATERIAL
Biological
101 - 102
Electronic
102 - 106
Lubricant
105 - 107
Ceramics
106 - 108
DAMAGE TRESHOLD
248
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Polymeric
107 - 109
Structural
109 - 1011 Sumber [ 3 ]
5.
Kesimpulan Analisa struktur Inasat-1 telah dilakukan, dengan dasar pada dokumen referensi yang ada. Dari data
referensi yang ada, struktur Inasat-1 menunjukkan kemampuan menahan gangguan kondisi lingkungan khususnya yang menyangkut gangguan serangan proton dan netron/electron. Dengan tebal 10 mm pada struktur terluar ditambah dengan 5 mm pada struktur sekunder pada sub system, perlindungan yang dilakukan struktur Inasat-1 terhadap gangguan proton, netro dan gama X-ray sudah lebih dari cukup, shielding ini mampu menyaring radiasi sehingga menjadi hanya sekitar 0,1 rads/day jauh dari nilai nilai ambang batas untuk komponen elektronik yaitu 102 - 106
rads/day yang dipersyaratkan, sehingga
komponen-komponen di dalam box yang rentan terhadap gangguan tersebut dapat terlindungi. Dengan melihat ambang batas yang ada, rekomendasi yang dapat disampaikan adalah jika desain menginginkan berat yang lebih ringan dari struktur satelit, maka hal tersebut dapat dilakukan dengan cukup signifikan, misalnya dengan mengurangi ketebalan struktur primer di balik solar panel..
Daftar Pustaka 1.
James Wertz. „ Space Mission Analysis Design:Third edition“ Microscom Publisher,2005.
2.
Alan C Tribble “The Space Environment : Implications for Spacecraft Design” Princeton University Press, 2003
3.
Joseph Bennedeto “ An Approach Quality of COTS Component for Spaceborne Electronics based on based available commercial device”, Radiation Assured Device Press Release
4.
Sammy Kayali ”Utilization of COTS Electronics in Space Applications,relliability chalenges and reality ” Jet Propulsion Technology, California Intitutes Technology, 2007
5.
Tim RUKK Inasat-1 “Preliminary Design review Inasat-1” ,2004-2005
6.
Tim RUKK Inasat-1 [Gunawan, Widodo, Ery, dkk] “ Laporan Pelaksanaan Penelitian dan Pengembangan Indonesian Nano Satellite -1 “, Biro Renor LAPAN, 2004
249
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
PENGUJIAN KELAYAKAN DESAIN PEMBUATAN BUTADIENA DARI n-BUTANA
Heri Budi Wibowo Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Ds Sukamulya, Rumpin, Bogor 16340 Telp 021-75790031, Fax 021-75790383, email : [emailprotected]
Abstrak Tulisan ini memaparkan disain pabrikasi 1,3-butadiena dari n-butana untuk mengatasi keterbatasan dalam rangka mendapatkan butadiena skala kecil untuk penelitian dan pengembangan HTPB (Hydroxy Terminated Polybutadiene). Pabrikasi 1,3-butadiena konvensional dengan proses thermal cracking dari naftalen memunculkan biaya pabrikasi yang tinggi karnea dibutuhkan pemisahan komponen campuran yang sangat kompleks. Disain tersebut memungkinkan untuk mengatasi masalah pengadaan bahan butadiena dalam jumlah kecil yang diperlukan dalam rangka penelitian dan pengembangan HTPB untuk menjamin kemandirian bahan baku pendukung propelan roket padat di Indonesia. Selain itu, disain teknologi yang dikembangkan dapat mengatasi kelemahan-kelemahan dari proses pembuatan butadiena dengan thermal cracking senyawa hidrokarbon berat molekul tinggi. Peralatan produksi dirancang menggunakan bahan baku n-butana dan memiliki keluaran 1,3butadiena dengan kemurnian 99%, seperti yang dipersyaratkan untuk pembuatan HTPB. Proses dasar meliputi dehidrogenasi n-butana menjadi 1-butena dan 2-butena, dehidrogenasi 1-butena dan 2-butena menjadi 1,3butadiena, dan akhirnya pemurnian 1,3-butadiena dari senyawa yang bercampur. Kata kunci : butadiena, HTPB, n-butana
1.Pendahuluan Bahan HTPB (Hydroxy Terminated Polybutadiene) merupakan salah satu bahan baku pemndukung propelan roket padat yang memiliki nilai sangat strategis. Untuk kepentingan penguasaan teknologi roket di Indonesia, baik untuk kepentingan sipil maupun pertahanan, maka kemampuan penguasaan teknologi proses pabrikasi HTPB diperlukan. Salah satu kendala dalam penelitian pembuatan HTPB adalah pengadaan bahan gas butadiena. Gas butadiena telah diimpor oleh beberapa industri di Indonesia dalam jumlah besar, terutama industri kimia dasar untk polimer dan karet. Namun demikian, pemerolehan bahan butadiena dalam jumlah kecil sangat sulit untuk impor, pembelian jumlah kecil ke sejumlah importer terkendala oleh aturan pihak perusahaan terbuka dan tidak dibolehkannya pengguna akhir untuk memperjualbelikan. Oleh karena itu, upaya penelitian proses produksi dalam jumlah kecil diperlukan. Secara umum, butadiena secara konvensional dibuat dengan thermal cracking dari senyawa hidrokarbon jenuh seperti naftalen.
Hasil dari cracking adalah campuran metana, etana, propana, butena,
butadiena, dan senyawa hidrokarbon lain yang memiliki
berat molekul lebih rendah. Senyawa-senyawa
asetilenat dari hidrokarbon jenuh yang dihasilkan seperti asetilen, propyne, 1-butyne, 2-butyne, butenyne, dan diasetilena akan mengganggu hasil reaksi karena membentuk dimerisasi dari butadiena menjadi vynil
250
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
sikloheksan. Beberapa hidrokarbon tidak jenuh lain yang mengandung 4 (empat) atom C juga memerlukan penanganan yang relatif sulit. Butyne yang terbentuk dalam campuran hanya dapat dihilangkan dengan distilasi atau ekstraksi dari butadiena dengan tingkat kemurnian tinggi yang sulit diperoleh. Kelemahan lain adalah campuran hidrokarbon yang kompleks dan berdekatan akan menyulitkan pemisahan, biasanya jumlah etena dan propena yang dihasilkan lebih banyak dari pada butadiena itu sendiri. Alternatif lain yang paling mungkin adalah pembuatan butadiena dari n-butana dengan dehidrogenasi katalitik. Senyawa n-butana cukup melimpah di Indonesia. Tetapi kelemahan yang muncul adalah konversi butadiena yang dihasilkan relatif kecil karena dehidrogenasi n-butana akan menghasilkan 1-butena dan 2butena. Kelemahan tersebut akan dapat diatasi jika 1-butene dan 2-butena dapat dikonversi menjadi butadiena atau senyawa yang lain yang lebih berguna. Tulisan ini mencoba mengatasi proses pembuatan butadiena dari nbutana dengan mengolah butena-1 dan butane-2 menjadi butadiena dengan proses isomerisasi sehingga hasil gas butadiena yang terjadi dapat diperbesar sehingga menguntungkan untuk pabrikasi. 2.Proses pembuatan butadiena Proses pembuatan butadiena dari n-butana mengikuti tiga proses besar, sebagai berikut : A.
Dehidrogenasi pertama untuk mengubah n-butana menjadi 1-butena dan 2-butena dan sebagian kecil butadiena, sehingga hasil reaksi adalah campuran n-butana, 1-butena, 2-butena, dan butadiena.
B.
Dehidrogenasi kedua untuk mengubah 1-butena dan 2-butena menjadi butadiena, sehingga dalam hasil reaksi terdapat campuran n-butana, butadiena, dan komponen lain.
C.
Pemurnian butadiena yang dihasilkan untuk mendapatkan butadiena dengan kemurnian seperti yang diinginkan.
3.Dehidrogenasi n-butana menjadi butadiena Mula-mula n-butana didehidrogenasi secara katalitik nonoksidan untuk mengubah n-butana menjadi 1butena dan 2-butana, sehingga output reaktor dehidrogenasi pertama adalah campuran 1-butena, 2-butena, sisa nbutana, sejumlah kecil butadiena, senyawa-senyawa ikutan seperti seperti gas hidrogen, metana, etana, etena, propana, propena dan pentana. Beberapa gas lain seperti karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), nitrogen (N2), dan air (H2O) sangat mungkin juga akan dihasilkan. Proses dehidrogenasi n-butana dapat dijalankan dalam semua tipe reaktor seperti fixed bed tubular atau tube bundle reaktor. Reaksi biasanya dilakukan pada suhu operasional 300-1200 oC, tekanan 1-8 bar, dengan kecepatan alir gas (gas hourly space velocity, GSHV) 500-2000. Sebagai bahan pemanas adalah pembakaran gas metan-propan yang dihasilkan dibakar.
Reaksi dehidrogenasi dilakukan secara autothermal, dimana
campuran gas tersisa dibakar untuk menghasilkan panas yang diperlukan untuk reaksi dehidrogenasi. Jumlah oksigen yang diperlukan disesuikan pembakaran hydrogen dan hidrokarbon yang diperlukan agar diperoleh panas sesuai kebutuhan untuk reaksi. Sebagai acuan jumlah total oksigen yang diperlukan adalah 0.002-0.5 mol oksigen/mol n-butana. Jumlah gas hidrogen H2/O2 adalah 1-10 mol /mol n-butana. Hidrogen akan terbakar secara katalitik dan dihasilkan gas CO2,CO, air. Katalis yang dapat digunakan untuk dehidrogenasi dapat berupa oksida atau pospat dari germanium, tin, lead, arsenic, antimony, dan bismuth. Beberapa oksida dari zirconium,
251
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
zinc, alumunium, silicon, titanium, magnesium, lantanium, cerium, dan campuran dari masing-masing komponen juga dapat digunakan sebagai katalis. Dehidrogenisasi tahap kedua memerlukan ratio oksigen/1-butene 0,5 mol/mol. digunakan adalah Mo-Bi-O, terikat dengan
Katalis yang dapat
potassium, magnesium, zirconium, chromium, nickel, cobalt,
cadmium, tin, lead, germanium, lanthanium, mangan, tungsten, phosphorous, cerium, aluminum atau silicon. Beberpa contoh katalis adalah adalah Mo12BiNi8Pb0.5Cr3K0.2Ox, Mo12BiNi6Cd2Cr3P0.5Ox, atau secara umum ditulis Mo12BiaFebCocNidCreXfKgOx. X
-W,Sn,Mn,La,Ce,Ge,Ti,Zr,Hf,Nb,P,Si,Sb,Al,Cd,Mg.
a
0,5-5
b
0-5
c
0-10
d
0-10
e
0-10
f
0-5
g
0-2
Pemurnian butadiena hasil reaksi Butadiena hasil reaksi dehidrogenasi biasanya berada dalam bentuk campuran dengan senyawa hidrokarbon lain, sehingga perlu pemurnian lebih lanjut. Pemurnianbutadiena dapat dilakukan dengan langkahlangkah mendinginkan gas keluar dari reaktor untuk mencairkan air dan hidrokarbon bertitik didih lebih tinggi , sedangkan gas-gas denga titik didih rendah akan dikeluarkan melalui uap keluar dari pemisahan tersebut seperti hidrogen, CO, CO2, N2, metana, etana, etena, propana, propena, butadiena dan n-butana tersisa, sebagian kecil 1butene dan 2-butena dan oxygenate. Bahan oksigenat kemudiandipisahkan dengan kolom distilasi. Selanjutnya n-butana, 1-butena, dan 2-butena dipisahkan dari butadiena denga distilasi. Sisa n-butana dapat dikembalikan ke umpan segar untuk menambah n-butana umpan segar. 4.Gambaran proses Mula-mula umpan segar n-butana dialirkan menuju reaktor dehidrogenasi BDH dan dialirkan pula oksigen atau udara dan uap (steam) masing-masing melalui saluran 2 dan 3. Di dalam reaktor BDH terjadi dehidrogenasi n-butana menjadi 1-butena, 2-butena, dan sedikit 1,3-butadiena. Reaksi terjadi pada suhu 200300oC dan tekanan 1-2 bar. Selanjutnya produk yang keluar dari reaktor BDH dialirkan menuju reaktor dehidrogenasi tahap kedua ODH melalui saluran 5. Ke dalam reaktor dehidrogenasi ODH juga dialirkan gas oksigen atau udara. Kondisi reaksi pada reaktor ODH adalah 55oC dan tekanan 2,2 bar. Senyawa 1-butena dan 2butena akan didehidrogenasi lebih lanjut menjadi 1,3-butadiena dalam reaktor ODH, sehingga keluaran dari reaktor ODH melalui saluran 7 adalah campuran butadiena, sisa 1-butena, 2-butena, n-butana, dan komponen skunder (gas H2, N2, O2, CO2, steam, metana, propane, pentane).
252
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
O2 steam
2 n‐C4 1
3 BDH
5
4 O2
n‐C4,1‐C4,2‐C4, butadiene H2,CO2,steam
6 ODH
7 butadiene n‐C4,1‐C4,2‐C4, H2,CO2,steam
CR
7a
C‐1
9
8 Wastewater
E‐1 10
11 n‐C4, H2,CO2 steam
C‐2
13 n‐C4, H2,CO2
12
butadien
C‐3
H2, CO2
14
14a HE
17 17 n‐C4 E‐2
H2,CO2 Wastewate
15
Gambar 1. Desain proses pembuatan 1,3-butadiena dari n-butana
16
n‐C4
Selanjutnya campuran tersebut dilewatkan menuju reaktor pembakaran katalitik untuk membakar H2 sehingga semua oksigen dan senyawa sekunder akan tereduksi. Dengan demikian setelah melewati reaktor CR maka campuran menjadi butadiena, sisa n-butana, dan komponen skunder (gas H2, N2, , CO2, steam, metana, propana, pentana). Reaksi pembakaran katalitik terjadi pada suhu 155oC dan tekanan 5,2 bar. Kemudian melalui saluran 7a, campuran ditekan dan didinginkan untuk mengkondensasi steam menjadi air dan komponenkomponen yang larut dalam air. Setelah itu, campuran didistilasi dengan rectifier column untuk mengambil butadiena yang keluar lewat saluran 10. Dengan demikian saluran keluaran dari distilasi adalah n-butana, H2, CO2, sisa steam. Reaksi dilakukan pada tekanan 12 bar dan suhu 5oC. selanjutnya gas CO2 dan H2 dipisahkan dari sisa n-butana melalui saluran 13 dengan kompresor C2 dan n-butana dialirkan ke pemisahan fasa. Sisa nbutana dialirkan kembali ke rektifier untuk memisahkan gas CO2 dan H2. Dengan demikia maka n-butana sisa dialirkan ke pemisahan fasa untuk selanjutnya diumpankan balik menuju reaktor dehidrogenasi melalui saluran 15.
253
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
5.Simulasi dan pembahasan Sebagai ilustrasi maka dilakukan simulasi untuk mengetahui seberapa jauh distribusi komponen di setiap saluran sehingga dapat dinilai apakah disain yang telah dilakukan cukup masuk akal untuk dijalankan. Sebagai dasar perhitungan adalah kapasitas umpan masuk 25.000 kg/jam. Dengan mempertimbangkan parameter kinetika reaksi yang ada dan suhu serta tekanan operasi adalah standar minimal, maka komposisi komponen campuran di setiap saluran dapat dilihat sebagai berikut. Setelah melewati reaktor dehidrogenasi tahap kedua, konversi 1-butena yang menjadi butadiena adalah 99%. Selektifitas butadiena yang terjadi meningkat menjadi 88%. Ternyata butadiena yang diperoleh cukup besar dan dapat diperoleh murni 99%. Dengan demikian, secara umum desain proses pabrikasi tersebut cukup baik untuk menghasilkan butadiena dengan hasil yang cukup tinggi kinerjanya. Apabila mula-mula komposisi n-btana 100%, maka 1,3-butadien mulai muncul pada saluran 5 sebanyak 0,0208 bagian. Setelah melewati beberapa proses, maka proses distilasi pada saluran 10 menujukkan bawa hanya butadiene yang terapat pada saluran 10 tersebu, sehingga butadiene dianggap murni (99%). 1-butena dan 2butena terbentuk pada reactor dehidrogenasi tahap pertama sehingga terlihat pada saluran 4 mulai terbentuk dengan sisa n-butana masih cukup besar. Gas oksigen sudah dapat terbakar pada reactor pembakaran sehingga saluran 7a tidak lagi terdapat oksigen karna semua oksigen dipakai untuk membakar. Hydrogen dan karbon dioksida dapat hilang seelah melewati pemisahan terakhir seperti terlihat pada saluran 14 dan 17. 1-butena dan 2butena setelah melewati pembakaran denga oksigen akan menjadi hilang seperti ditunjukkan pada saluran 8, 9, dan seterusnya. Semua n-butana yang akan diumpankan kembali ke reactor memiliki kemurnian tinggi dan sama dengan kemurnian umpan masuk segar ke reactor pada saluran 1, ditunjukkan dengan fraksi mol n-butana pada saluran 15 sama dengan pada saluran 1, yaitu 1 atau 100% (n-butana murni atau kemurnian 99%). Tabel 1. Komposisi gas masuk dan keluar tiap saluran ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Saluran ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Komponen
1
2
3
4
5
6
7
7a
8
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------[kg/h]
24834 4779
1231
59068
59067
PROPANE
0.0000 0.0000 0.0000 0.0243 0.0309 0.0000 0.0265 0.0265 0.0187
BUTANE
1.0000
1-BUTENE
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.1155 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
CIS-2-BUTENE
0.0000 0.0000 0.0000 0.0032 0.1174 0.0000 0.0050 0.0050 0.009- 4
TRANS-2-BUTENE
0.0000 0.0000 0.0000 0.0074 0.1471 0.0000 0.0113 0.0113 0.0- 201
1,3-BUTADIENA
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.0000 0.0000 0.8408 0.4272
9799
68866
68865
14685
0.0000 0.3665 0.3665 0.0001
0.0208 0.0000 0.3014 0.3014 0.00- 03
254
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
WATER
0.0000
CARBON DIOXIDE
0.0000 0.0000 0.0000 0.0218 0.0284 0.0000 0.0729 0.0729 0.0- 095
HYDROGEN
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0057 0.0000 0.0049 0.0043 0.0000
OXYGEN
0.0000 0.9901
0.0000 0.0801
0.0000 0.0099
0.0000 0.0008 0.0008 0.0088 0.0019 0.0019 0.0000
Temperature [ C] 25
10
143.61
420
520
17.5
380
55
55
Pressure [bar]
3.2
3.2
3.2
2.7
2.7
2.2
2.1
5.1
N2 o
3.2
0.0000 1.0000 0.0216 0.1059 0.0000 0.2052 0.2102 0.9419
0.0004 0.9912 0.0046 0.0000 0.0000
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Saluran ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Komponen
9
10
11
12
13
14a
14
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------[kg/h]
54180
20750
33430
15971
17459
10227
7232
PROPANE
0.0286 0.0000 0.0463 0.0555 0.0379 0.0504 0.0203
BUTANE
0.4658 0.0000
1-BUTENE
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
CIS-2-BUTENE
0.0038 0.0000 0.0062 0.0077 0.0049 0.0066 0.0024
TRANS-2-BUTENE
0.0088 0.0000 0.0143 0.0173 0.0117 0.0155 0.0062
1,3-BUTADIENA
0.3830 1.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
WATER
0.0119 0.0000 0.0193 0.0338 0.0060 0.0079 0.0034
CARBON DIOXIDE
0.0901 0.0000 0.1460 0.0182 0.2629 0.0637 0.5445
HYDROGEN
0.0055 0.0000 0.0089 0.0000 0.0170 0.0000 0.0410
OXYGEN
0.0001 0.0000 0.0001 0.0000 0.0002 0.0000 0.0004
N2
0.0025 0.0000 0.0040 0.0000 0.0076 0.0000 0.0184
Temperature [oC.]
55
111.66 111.66 55
55
55
55
Pressure [bar]
5.1
5
12
30.1
30.1
0.7549 0.8675 0.6519 0.8559 0.3634
5
12
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Saluran -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Komponen
15
16
17
17a1
17a2
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
255
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Amount [kg/h]
28229
813
4387
1834
1011
PROPANE
0.05080 0.07185 0.01273 0.03283 0.03015
BUTANE
0.87976 0.00501 0.09033 0.81808 0.72345
1-BUTENE
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000
CIS-2-BUTENE
0.00678 0.01858 0.00046 0.00595 0.00469
TRANS-2-BUTENE
0.01556 0.04243 0.00132 0.01464 0.01212
1,3-BUTADIENA
0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000
WATER
0.00151 0.74052 0.00013 0.01031 0.00476
CARBON DIOXIDE
0.04559 0.12157 0.79644 0.11815 0.22475
HYDROGEN
0.00000 0.00001 0.06754 0.00001 0.00001
OXYGEN
0.00000 0.00000 0.00070 0.00000 0.00001
N2
0.00001 0.00003 0.03035 0.00003 0.00008
[oC.]
30
30
5
30
5
Pressure [bar]
30.1
30.1
30.1
30.1
30.1
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------6.Kesimpulan Teknologi pabrikasi butadiena dengan bahan baku gas n-butana. Disain tersebut memungkinkan untuk mengatasi masalah pengadaan bahan butadiena dalam jumlah kecil yang diperlukan dalam rangka penelitian dan pengembangan HTPB untuk menjamin kemandirian bahan baku pendukung propelan roket padat di Indonesia. Selain itu, disain teknologi yang dikembangkan dapat mengatasi kelemahan-kelemahan dari proses pembuatan butadiena dari thermal cracking senyawa hidrokarbon berat molekul tinggi. Peralatan produksi dirancang menggunakan bahan baku dari gas n-butana dan memiliki keluaran 1,3butadiena dengan kemurnian 99%, seperti yang dipersyaratkan untuk pembuatan HTPB. Proses dasar meliputi dehidrogenasi n-butana menjadi 1-butena dan 2-butena, dehidrogenasi 1-butena dan 2-butena menjadi 1,3butadiena, dan akhirnya pemurnian 1,3-butadiena dari senyawa yang bercampur. DAFTAR PUSTAKA US PATENT NO 3161670 US PATENT NO 4408085 US PATENT NO 4558168 US PATENT NO 4718986 US PATENT NO 4788371 US PATENT NO 4902849 US PATENT NO 4996387 US PATENT NO 4996849 US PATENT NO 5087780 US PATENT NO 5220091
256
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
US PATENT NO 5389342 US PATENT NO 5430220 US PATENT NO 5877369 US PATENT NO 5955640 US PATENT NO 6414209 US PATENT NO 6437206 US PATENT NO 6670303 US PATENT NO 7034195 US PATENT NO 2003/0220530 US PATENT NO 2005/0119515 US PATENT NO 2005/0171311
Tanya Jawab Pertanyaan (Nunung) : Mengapa butadiene menjadi penting untuk diproduksi Jawaban : Butadien merupkan bahan dasar pembuatan HTPB. HTPB aalah senyawa yang biasa digunakan untuk fuel binder propelan dengan kinerja terbaik. Senyawa HTPBmerupakan senyawa yang memiliki nilai strategis. Pertanyaan (Fitri) : Apakah konversi hassil butadiene dapat ditingkatkan menjadi90% dan bagaimana caranya Jawaban : Konversi hasil dapat ditingkatkan dengan menaikkan konsentrasi pereaksi atau suhu reaksi karena semakin tinggi suhu reaksi maka kecepatan reaksi menjadi semakin besar. Namn demikian, konsekuensi kenaikan konsentrasi adalah kenaikan volume reactor sehingga perlu dipikirkan biaya peralatan yang menjadi mahal dan kurang efektif. Peningkatan suhu reaksi tidak optimal karena diperlukan reactor dan perlengkapan pemanas (heat exchanger) yang tidak murah harganya. Beberapa hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan suhu menjadi tidak efektif.
257
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
UJI KELAYAKAN PEMBUATAN BUTADIENA DARI GAS LPG (Liquid Petroleum Gas)
Heri Budi Wibowo Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Ds Sukamulya, Rumpin, Bogor 16340 Telp 021-75790031, Fax 021-75790383, email : [emailprotected]
Abstrak Tulisan ini memaparkan disain pabrikasi 1,3-butadiena dari gas LPG untuk mengatasi keterbatasan dalam rangka mendapatkan butadiena skala kecil untuk penelitian dan pengembangan HTPB (Hydroxy Terminated Polybutadiena). LPG merupakan sumber n-btana yang cukup melimpah di Indonesia dengan kandungan yang tinggi. Pabrikasi 1,3-butadiena konvensional dengan proses thermal cracking dari naftalen memunculkan biaya pabrikasi yang tinggi karnea dibutuhkan pemisahan komponen campuran yang sangat kompleks. Dengan menggunakan gas LPG, maka biaya lebih murah dan tidak memerlukan umpan awal n-btana kemurnian tinggi yang sulit dan mahal. Berdasarkan ketersediaan bahan baku LPG yang melimpah di Indonesia, maka dapat didisain teknologi pabrikasi butadiena dengan bahan baku gas LPG. Disain tersebut memungkinkan untuk mengatasi masalah pengadaan bahan butadiena dalam jumlah kecil yang diperlukan dalam rangka penelitian dan pengembangan HTPB untuk menjamin kemandirian bahan baku pendukung propelan roket padat di Indonesia. Selain itu, disain teknologi yang dikembangkan dapat mengatasi kelemahan-kelemahan dari proses pembuatan butaien dari thermal cracking senyawa hidrokarbon berat molekul tinggi. Peralatan produksi dirancang menggunakan bahan baku dari gas LPG pertamina dan memiliki keluaran 1,3-butadiena dengan kemurnian 99%, seperti yang dipersyaratkan untuk pembuatan HTPB. Proses dasar meliputi pemurnian LPG untuk mendapatkan bahan n-butana, kemudian dehidrogenasi n-butana menjadi 1butena dan 2-butena, dehidrogenasi 1-butena dan 2-butena menjadi 1,3-butadiena, dan akhirnya pemurnian 1,3butadiena dari senyawa yang bercampur. Dengan demikian, rancang bangun pabrikasi butadiena dari n-butana dapat disempurnakan menjadi lebih murah dan mudah didapat bahan bakunya. Kata kunci : butadiena, HTPB, LPG, n-butana
1.Pendahuluan Bahan HTPB (Hydroxy Terminated Polybutadiena) merupakan salah satu bahan baku pemndukug propelan roket padat yang memiliki nilai sangat strategis. Untuk kepentingan penguasaan teknologi roket di Indonesia, baik untuk kepentingan sipil maupun pertahanan, maka kemampuan penguasaan teknologi proses pabrikasi HTPB diperlukan. Salah satu kendala dalam penelitian pembuatan HTPB adalah pengadaan bahan gas butadiena. Gas butadien telah diimpor oleh beberapa industry di Indonesia dalam jumlah besar, terutama industri kimia dasar untk polimer dan karet. Namun demikian, pemerolehan bahan butadiena dalam jumlah kecil sangat sulit untuk impor, pembelian jumlah kecil ke sejumlah importer terkendala oleh aturan pihak perusahaan terbuka dan tidak dibolehkannya pengguna akhir untuk memperjualbelikan. Oleh karena itu, upaya penelitian proses produksi dalam jumlah kecil diperlukan. Secara umum, butadien secara konvensional dibuat dengan thermal cracking dari senyawa hidrokarbon jenuh seperti naftalen. Hasil dari cracking adalah campuran metana, etana, propana, butena, butadiena, dan
258
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
senyawa hidrokarbon lain yang memiliki
berat molekul lebih rendah. Senyawa-senyawa
asetilenat dari
hidrokarbon jenuh yang dihasilkan seperti asetilen, propyne, 1-butyne, 2-butyne, butenyne, dan diasetilena akan mengganggu hasil reaksi karena membentuk dimerisasi dari butadien menjadi vynil sikloheksan. Beberapa hidrokarbon tidak jenuh lain yang mengandung 4 (empat) atom C juga memerlukan penanganan yang relative sulit. Butyne yang terbentuk dalam campuran hanya dapat dihilangkan dengan distilasi atau ekstraksi dari butadiena dengan tingkat murnian tinggi yang sulit diperoleh. Kelemahan lain adalah campuran hidrokarbon yang kompleks dan berdekatan akan menyulitkan pemisahan,
biasanya jumlah etena dan propena yang
dihasilkan lebih banyak dari pada butadiena itu sendiri. Alternatif lain yang paling mungkin adalah pembuatan butadiena dari n-butana dengan dehidrogenasi katalitik. Rancang bangun pabrikasi 1,3-butadiena dari n-butana telah beberapa peneliti bahas (Wibowo, 2010), namun masih menggunakan bahan n-butana yang realtif murni. Senyawa n-butana murni cukup mahal (10 kali lipat harga gas LPG), sehingga perlu dilakukan pengembangan rancang bangun dengan memulai umpan segarnya adalah gas LPG yang mengandung banyak gas butane maupun etana. Senyawa n-butana cukup melimpah dari gas LPG, dengan komponen terbesar LPG adalah n-butana (90%). Untuk proses tersebut, maka LPG perlu dilakukan perlakuan awal (pretreatment) terlebih dahulu. Tetapi kelemahan yang muncul adalah konversi butadiena yang dihasilkan relatif kecil karena dehidrogenasi n-butana akan menghasilkan 1-butena dan 2-butena. Kelemahan tersebut akan dapat diatasi jika 1-butene dan 2-butena dapat dikonversi menjadi butadiena atau senyawa yang lain yang lebih berguna. Tulisan ini mencoba mengatasi proses pembuatan butadiena dari nbutane dengan mengolah butena-1 dan butane-2 menjadi butadiena dengan proses isomerisasi sehingga hasil gas butadiena yang terjadi dapat diperbesar sehingga menguntungkan untuk pabrikasi. Tulisan ini memaparkan rancangan proses pembuatan butadiena dari n-butana dari gas LPG komersial dari PERTAMINA. LPG
PemurnianLPG A n‐butana
DehidrogenasiI B 1‐butena 2‐butena n‐butana,others
DehidrogenasiII C butadiena 1‐butena,2‐butena others
Pemurnianbutadien D
259
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Gambar 1. Diagram alir proses produksi gas butadiena dari LPG
2.Proses pembuatan butadiena Proses pembuatan butadiena dari n-butana mengikuti empat proses besar, sebagai berikut : a)
Proses pemurnian gas n-butana dari LPG sampai diperoleh n-butana dengan kemurnian tinggi (99%) sebagai umpan segar.
b) Dehidrogenasi pertama untuk mengubah n-butana menjadi 1-butena dan 2-butena dan sebagian kecil butadiena, sehingga hasil reaksi adalah campuran n-butana, 1-butena, 2-butena, dan butadiena. c)
Dehidrogenasi kedua untuk mengubah 1-butena dan 2-butena menjadi butadiena, sehingga dalam hasil reaksi terdapat campuran n-butana, butadiena, dan komponen lain.
d) Pemurnian butadiena yang dihasilkan untuk mendapatkan butadiena dengan kemurnian seperti yang diinginkan. 3.Pemurnian gas n-butana dari LPG Sebagai bahan dasar sumber n-butana adalah LPG yang mengandung banyak n-butana. LPG mengandung senyawa-senyawa hidrokarbon C2-C5. Sesuai Keputusan Dirjen Migas No. 25 K/36/DDJM/1990 tanggal 14 Mei 1990 tentang Spesifikasi Bahan Bakar Gas Elpiji untuk Keperluan Dalam Negeri, berikut adalah Spesifikasi LPG Butane (C4): Tabel 1. Komposisi LPG Pertamina Test
Min
Spesilic Gravity at 60/60 °F
Max To be reported
Methode ASTM D-1657
Vapour Pressure 100 °F, psig
-
210
ASTM D-1267
Weathering Test 36 °F,%vol
95
-
ASTM D-1837
Copper Corrosion 1 hr, 100 °F
-
No. 1
ASTM D 1838
Total Sulfur. grains/100 cuft
-
15 *)
ASTM D-2784
2.5
ASTM D-2163
Composition 97.5
•
C4 % volume
•
C5 % volume
•
C6 & heavier % volume
NIL
Ethyl or Buthyl mercaptan added, ml/100
50
260
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
AG
Untuk mendapatkan n-butana yang relatif tinggi kadarnya, maka perlu dilakukan pretreatment untuk memisahkan bahan lain yang mengganggu seperti metana, propana, etana, pentane, isobutana dan mungkin gas lain yang mengganggu. Mula-mula propana, metana, etana, dan pentana dari LPG diambil dengan mengalirkan campuran ke kolom distilasi/rektifier, sehingga senyawa yang mengalir lewat dasar kolom adalah n-butana dan isobutana. Isobutana
diubah menjadi n-butana dengan proses isomerisasi sehingga diperoleh n-butana yang
lebih banyak dan kemurnian tinggi untuk menjadi umpan segar proses lebih lanjut (dehidrogenasi). 4.Dehidrogenasi n-butana menjadi butadiena Mula-mula n-butana didehidrogenasi secara katalitik nonoksidan untuk mengubah n-butana menjadi 1butena dan 2-butana, sehingga output reaktor dehidrogenasi pertama adalah campuran 1-butena, 2-butena, sisa nbutana, sejumlah kecil butadiena, senyawa-senyawa ikutan seperti seperti gas hidrogen, metana, etana, etena, propana, propena dan pentana. Beberapa gas lain seperti karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), nitrogen (N2), dan air (H2O) sangat mungkin juga dihasilkan. Proses dehidrogenasi n-butana dapat dijalankan dalam semua tipe reaktor seperti fixed bed tubular atau tube bundle reactor. Reaksi biasanya dilakukan pada suhu operasional 300-1200oC, tekanan 1-8 bar, dengan kecepatan alir gas (gas hourly space velocity, GSHV) 500-2000. Sebagai bahan pemanas adalah pembakaran gas metan-propan yang dihasilkan dibakar.
Reaksi dehidrogenasi dilakukan secara autothermal, dimana
campuran gas tersisa dibakar untuk menghasilkan panas yang diperlukan untuk reaksi dehidrogenasi. Jumlah oksigen yang diperlukan disesuikan pembakaran hydrogen dan hidrokarbon yang diperlukan agar diperoleh panas sesuai kebutuhan untuk reaksi. Sebagai acuan jumlah total oksigen yang diperlukan adalah 0.002-0.5 mol oksigen/mol n-butana. Jumlah gas hidrogen H2/O2 adalah 1-10 mol /mol n-butana. Hidrogen akan terbakar secara katalitik dan dihasilkan gas CO2,CO, air. Katalis yang dapat digunakan untuk dehidrogenasi dapat berupa oksida atau pospat dari germanium, tin, lead, arsenic, antimony, dan bismuth. Beberapa oksida dari zirconium, zinc, alumunium, silicon, titanium, magnesium, lantanium, cerium, dan campuran dari masing-masing komponen juga dapat digunakan sebagai katalis. Dehidrogenisasi tahap kedua memerlukan ratio oksigen/1-butene 0,5 mol/mol. digunakan adalah Mo-Bi-O, terikat dengan
Katalis yang dapat
potassium, magnesium, zirconium, chromium, nickel, cobalt,
cadmium, tin, lead, germanium, lanthanium, mangan, tungsten, phosphorous, cerium, aluminum atau silicon. Beberpa contoh katalis adalah adalah Mo12BiNi8Pb0.5Cr3K0.2Ox, Mo12BiNi6Cd2Cr3P0.5Ox, atau secara umum ditulis Mo12BiaFebCocNidCreXfKgOx. X
-W,Sn,Mn,La,Ce,Ge,Ti,Zr,Hf,Nb,P,Si,Sb,Al,Cd,Mg.
a
0,5-5
b
0-5
c
0-10
d
0-10
e
0-10
f
0-5
261
ISSN 977.2086796.00.2
g
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
0-2
5.Pemurnian butadiena hasil reaksi Butadien hasil reaksi dehidrogenasi biasanya berada dalam bentuk campuran dengan senyawa hidrokarbon lain, sehingga perlu pemurnian lebih lanjut. Pemurnianbutadien dapat dilakukan dengan langkahlangkah mendinginkan gas keluar dari reactor untuk mencairkan air dan hidrokarbon bertitik didih lebih tinggi , sedangkan gas-gas dengan titik didih rendah akan dikeluarkan melalui uap keluar dari pemisahan tersebut seperti hidrogen, CO, CO2, N2, metana, etana, etena, propana, propena, butadiena dan n-butana tersisa, sebagian kecil 1-butene dan 2-butena dan oxygenate. Bahan oksigenat kemudiandipisahkan dengan kolom distilasi. Selanjutnya n-butana, 1-butena, dan 2-butena dipisahkan dari butadiena dengan distilasi. Sisa n-butana dapat dikembalikan ke umpan segar untuk menambah n-butana umpan segar.
6.Gambaran proses Saluran masuk 1 berisi LPG yang mengandung propana, n-butana, isobutena, dan sedikit gas metana, etana, dan pentana disalurkan menuju kolom distilasi T1 yang akan memisahkan propana, metana, dan etana melalui saluran 3, saluran keluaran 4 terdiri dari campuran n-butana, isobutana, dan pentana. Campurn dari saluran 4 dialirkan menuju kolom pemisah T2 dimana pentana dipisahkan melalui saluran 6. Campuran butana dan isobutana melalui saluran 7 kemudian dialirkan menuju kolom kolom pemisah T3 dan isobutana dipisahkan melalui saluran 9. Isobutana kemudian dimasukkan ke dalam reaktor isomerisasi R1 untuk mengubah isobutana menjadi n-butana. Isobutana yang tersisa diumpankan kembali ke kolom pemisah T3 melalui saluran 11. Gas butadiena dari hasil pemisahan melalui saluran 12 akan menjadi umpan masuk menuju reaktor dehidrogenasi pertama R2. Reactor dehidrogenasi R2 akan mengubah n-butana menjadi 1-butena, 2-butena, dan sebagian kecil butadiena. Reaksi dijalankan dalam kondisi autothermal dengan pemasukan oksigen atau udara melalui saluran 13 dan pemasukan gas hidrogen pada saluran 14. Produk keluar dari reaktor R2 adalah campuran butadiena, 1-butena, 2-butena melalui saluran 16. Selain senyawa tersebut terdapat pula sisa n-butana, uap, komponen kedua seperti hidrogen, karbon oksida, karbon dioksida, nitrogen, metana, etana, etena, propana dan propena untuk diumpankan ke reaktor dehidrogenasi kedua R3 dan melalui saluran 17 dialirkan oksigen atau udara. Gas yang dihasilkan kemudian dari saluran 19 dialirkan meuju HE C1 untuk mengkondensasi air dan produk samping bertitik didih tinggi melalui saluran 21, sedang gas yang tidak terkondensasi melalui saluran 22 akan dialirkan menuju pemisah 23 untuk memisahkan senyawa titik didih rendah dan komponen sekunder yang tidak terkondensasi melalui saluran 24 seperti metana, propana, CO2, CO, nitrogen, hidrogen , etana, propana, oksigen. Pemisah T4 dapat berupa kolom pemisah atau unit absorber/desorber. Saluran keluar dari pemisah T4 adalah saluran 25 yang mengandung hasil senya karbon C4 hasil dehidrogensasi, n-butana yang tidak bereaksi, dan oksigenat seperti furan dan anhidrid maleat, selanjutnya dialirkan menuju pemisah T5 untuk memisahkan oksigenat dan air sisa melaui saluran 27, sedangkan saluran keluaran 28 mengandung butadiena dan n-butana serta mengandung sedikit 1-butena dan 2-butene dialirkan menuju kolom pemisah selanjutnya T6 yang akan memisahkan 1-butene dan 2-butene melalui saluran 31 dan butadiena murni dikeluarkan melalui saluran 30. Sebagian campuran n-butana melalui saluran 31 diumpankan kembali ke reaktor dehidrogenasi menuju reaktor dehidrogenasi R2.
262
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
3 1
n‐butane isobutane
CH4 C2H6 C3H8 n‐butane isobutane
KETERANGAN: TRectifiercolumn/ Absorber/desorber RReaktor CCondensor
11 R1
CH4,C2H6,C3H8 T T3 9 isobutane 1 7 n‐butane isobutene 4n‐butane 12 pentane T2 n‐butane isobutene pentane 6 pentane O2/udara H2
14
13
31 R2
16 CH4 ,C2H6 ,C3H8,C2H4 ,C3H6
O2/udara
17
1‐butene,2‐butene,butadiena n‐butane H2,N2,O2,H2O,CO,CO2
R3
19 n‐butane 1‐butene 2‐butene
O2/udara
17a R4
19a
CH4 ,C2H6 ,C3H8,C2H4 ,C3H6 Butadiena,n‐butane 1‐butene,2‐butene, oxygenate H2,N2,O2,H2O,CO,CO2 pentane
24
H2,N2,O2,H2O,CO,CO2 CH4,C2H6,C3H8,C2H4,C3H6
T4 22
25
28 T6
30 butadiena C4product T 5 n‐butane furan 21 maleatanhidride27 Water Highboilingorganic furan Oxygenate maleatanhydride pentane water(trace) C1
pentane
Gambar 2. Diagram alir detail proses pabrikasi gas butadiena 7.Simulasi dan Pembahasan
263
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Sebagai ilustrasi, adalah disimulasikan proses pabrikasi dengan basis kapasitas produksi 1,3- butadiena sebesar 100 kg/jam. Simulasi dilakukan dengan menggunakan data-data kinetika dari Othmer, 1979, kemudian diolah dengan program simulasi CHEMCAD.
Konversi n-butana yang menjadi
1-butena adalah 94%.
Selektifitas butadiena yang terjadi masih kecil, yaitu 3,3%. Untuk menguji rancangan yang dibuat maka diuji nilai komposisi senyawa campuran dari aliran yang masuk dan keluar dari reactor dehisrogenasi tahap pertama dan taha kedua. Uji simulasi tersebut bertujuan untuk melihat apakah komposisi komponen sudah sesuai dengan metode pemisahan yang diterapkan. Setelah melewati reaktor dehidrogenasi tahap pertama, mula-mula senyawa mengandung gas H2, O2, N2 dari udara, air, dan n-butana maka terbentuk gas 1-butena dan 2-butena cukup besar. Kemudian selian itu juga terbentuk senyawa hidrokarbon dengan berat molekul lebih rendah seperti metana, etanan, propane, sedikit butadiena dan propena. Jumlah H2O relatif tetap selama reaksi berlangsung. Tabel 1. Komposisi gas masuk dan keluar dari reaktor dehidrogenasi tahap pertama No
Komponen
Aliran masuk
Aliran keluar
Metana
0,07
Etana
0,05
Etena
-
Propane
0,10
Propena
0,05
H2
4
16,3
O2
2
-
N2
8
6,8
CO
0,03
CO2
0,28
Isobutana
0,11
n-butana
57,4
33,2
trans-butena
5,7
cis-butena
4,8
isobutene
0,08
1-butena
4,1
1,3-butadiena
0,52
H2O
28,6
27,7
Setelah melewati reactor dehidrogenasi tahap kedua, konversi 1-butena yang menjadi butadiena adalah 99%. Selektifitas butadiena yang terjadi meningkat menjadi 88%. Proses dehidrogenasi selalu menghasilkan senyawa-senyawa sekunder seperti tampak pada tabel 2, yaitu metana, propane, propena, dan air. Demikian pula gas CO2 dan O2.
264
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 2. Komposisi gas masuk dan keluar dari reaktor dehidrogenasi tahap kedua No
Komponen
Aliran masuk
Aliran keluar
Metana
0,07
0,01
Etana
0,05
0,01
Etena
-
-
Propane
0,10
0,02
Propena
0,05
-
H2
16,3
3,5
O2
-
11,1
N2
6,8
63,5
CO
0,03
1,3
CO2
0,28
1,3
Isobutana
0,11
0,02
n-butana
33,2
7,0
trans-butena
5,7
-
cis-butena
4,8
-
isobutene
0,08
-
1-butena
4,1
-
1,3-butadiena
0,52
2,6
H2O
27,7
9,6
8.Kesimpulan Berdasarkan ketersediaan bahan baku LPG yang melimpah di Indonesia, maka dapat didisain teknologi pabrikasi butadiena dengan bahan baku gas LPG. Disain tersebut memungkinkan untuk mengatasi masalah pengadaan bahan butadien dalam jumlah kecil yang diperlukan dalam rangka penelitian dan pengembangan HTPB untuk menjamin kemandirian bahan baku pendukung propelan roket padat di Indonesia. Selain itu, disain teknologi yang dikembangkan dapat mengatasi kelemahan-kelemahan dari proses pembuatan butadien dari thermal cracking senyawa hidrokarbon berat molekul tinggi. Peralatan produksi dirancang menggunakan bahan baku dari gas LPG pertamina dan memiliki keluaran 1,3-butadiena dengan kemurnian 99%, seperti yang dipersyaratkan untuk pembuatan HTPB. Proses dasar meliputi pemurnian LPG untuk mendapatkan bahan n-butana, kemudian dehidrogenasi n-butana menjadi 1butena dan 2-butena, dehidrogenasi 1-butena dan 2-butena menjadi 1,3-butadiena, dan akhirnya pemurnian 1,3butadiena dari senyawa yang bercampur. Desain tersebut dapat memperbaiki kinerja rancang bangun pabrikasi 1,3-butadiena dari n-butana.
265
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
DAFTAR PUSTAKA Othmer, 1979, Enclycopedia of Chemical Engineering, John Wiliams and Sons Publ. Inc., New York US PATENT NO 3161670 US PATENT NO 4408085 US PATENT NO 4558168 US PATENT NO 4718986 US PATENT NO 4788371 US PATENT NO 4902849 US PATENT NO 4996387 US PATENT NO 4996849 US PATENT NO 5087780 US PATENT NO 5220091 US PATENT NO 5389342 US PATENT NO 5430220 US PATENT NO 5877369 US PATENT NO 5955640 US PATENT NO 6414209 US PATENT NO 6437206 US PATENT NO 6670303 US PATENT NO 7034195 US PATENT NO 2003/0220530 US PATENT NO 2005/0119515 US PATENT NO 2005/0171311 Wibowo, H.B., 2010, Disain dan Uji Kelayakan Pembuatan Butadiena dari n-Butana, Proceeding, JASAKIAI, Jogjakarta.
Tanya Jawab
Pertanyaan (ita Puspita) : Apakah dengan berdirinya pabrik butadiene maka harga butadiene menjadi lebi murah dari butadiene impor 266
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Jawaban : Apabila kapasitas produuksi butadien minimal 100.000 ton per tahun, maka nilai keuntungan diperoleh dengan masa operasi pabrik 10 tahun. Pabrik butadiene dengan pangsa pasar yang relative tinggi di tanah air membuat butadiene terserap pasar dalam negeri semua, dan biaya butadiene yang dihasilkan menjadi lebh murah karena tidak memerlukan impor bahan baku utama, LPG yangmelimpah di Indonesia, dan tidak keluar biaya tarnsportasi dan pajak yang relative tinggiberkontribusi terhadap biaya produksi. Petanyaan (Sarwani) : Adakah syarat khusus gas LPG dapat igunakan sebagai bahan baku pembuatan butadiene Jawaban : Gas LPG ada dua jenis, yaitu yang mengandung senyawa dominan C4 atau butane dan LPG yang mnegandung senyawa dominan C5 atau lebih tinggi.
267
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Kajian Penerapan ISO/IEC 17024:2003 Sebuah Lembaga Sertifikasi Personel
Medi Yarmen1 , Sik Sumaedi2 Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian – LIPI, Kawasan Puspiptek Gedung 410, Serpong, Tangerang 15311,2 E-mail : [emailprotected] 1, [emailprotected] Abstrak Sertifikasi personel merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia guna mencapai daya saing nasional. Lembaga Sertifikasi Personel memegang peranan penting untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan sertifikasi tersebut. Oleh karena itu, Lembaga Sertifikasi Personel dituntut untuk dapat beroperasi secara efisien dan efektif. Dalam kaitan itu, Lembaga Sertifikasi Personel dapat mengadopsi ISO/IEC 17024:2003, standar internasional tentang Penilaian Kesesuaian-Persyaratan Umum Untuk Lembaga Sertifikasi Personel. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji ISO/IEC 17024:2003, bagaimana proses penerapannya pada proses usaha Lembaga Sertifikasi Personel di Indonesia, serta apa saja manfaat setelah proses penerapan.Kajian ini penting mengingat baru 4 Lembaga Sertifikasi Personel di Indonesia yang terakreditasi ISO/IEC 17024. Metode kajian bersifat studi kasus. Objek studi kasus adalah sebuah Lembaga Sertifikasi Personel Auditor Sistem Manajemen Mutu. Hasil kajian menunjukkan bagaimana proses penerapan ISO/IEC 17024:2003 pada lembaga tersebut. Selain itu, teridentifikasi juga beberapa manfaat yang didapat setelah penerapan ISO/IEC 17024:2003 oleh Lembaga Sertifikasi Personel tersebut, antara lain fokus pada pelanggan menjadi lebih baik, setiap proses usaha terpetakan dan alur kerja menjadi jelas serta mudah dideteksi apabila terjadi masalah, konsistensi pengukuran kinerja yang memberikan gambaran utuh performa lembaga, budaya perbaikan berkelanjutan, dokumentasi sistem yang mampu memenuhi kebutuhan karakteristik sebuah lembaga sertifikasi, dan sertifikat akreditasi sistem yang meningkatkan kepercayaan umum.
268
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
1. Pendahuluan Daya saing merupakan isu penting bagi Indonesia pada dekade ini. Menurut World Economic Forum, pada tahun 2009, daya saing Indonesia hanya menduduki peringkat 54 dari 133 Negara yang dinilai [1]. Hal ini mengindikasikan perbaikan di berbagai aspek mutlak dibutuhkan. Sumber daya manusia merupakan salah satu aspek yang menentukan daya saing suatu Negara. Kompetensi sumber daya manusia dalam berbagai bidang harus senantiasa dibina dan ditingkatkan. Mengingat hal itu, Sertifikasi personel yang memberikan penilaian kecukupan atas kompetensi seseorang dalam suatu bidang merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kompetensi sumber daya tersebut. Lembaga Sertifikasi Personel (LSP) adalah lembaga yang memverifikasi kesesuaian kompetensi personel dengan persyaratan yang ditetapkan [1]. LSP menentukan skema sertifikasi yang melingkupi kriteria dan rincian persyaratan bagi kandidat personel yang akan disertifikasi. LSP bertanggung jawab atas kelancaran proses aplikasi, evaluasi, pengambilan keputusan dalam sertifikasi, surveillance, dan re-sertifikasi personel. Dalam kaitan tersebut, LSP memegang peranan penting untuk membina dan meningkatkan mutu sumber daya manusia. Hal ini berkonsekuensi pada keharusan LSP untuk beroperasi secara efektif dan efisien. Dalam kaitan pembangunan daya saing suatu negara, Total Quality Management (TQM) yang dikembangkan oleh Dr. Edward Deming pada tahun 50-an telah terbukti mampu memulihkan kondisi perekonomian Jepang pasca perang dunia ke-2[10]. TQM secara nyata meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi dengan berbasis pada prinsip-prinsip kepemimpinan manajemen puncak, perbaikan secara berkesinambungan, memenuhi persyaratan pelanggan, mengurangi pengerjaan ulang, visioner, meningkatkan keterlibatan karyawan dan kerja tim, mendesain ulang proses, benchmark, problem solving berbasis tim, pengukuran hasil secara konsisten, dan hubungan yang erat dengan para pemasok (Powell, 1995; Whitney and Pavett, 1998) [11]. LSP dapat menerapkan TQM agar ia mampu beroperasi secara efisien, efektif, dan berkontribusi nyata pada pembangunan daya saing nasional. Akan tetapi, TQM berisikan filosofi-filosofi umum yang perlu dirinci dan dikontekstualisasikan lebih lanjut. Hal ini berarti LSP yang akan menerapkan TQM haruslah menyediakan waktu dan personel untuk membuat kerangka TQM yang cocok bagi organisasinya. ISO, organisasi standar internasional, menyadari kondisi di atas.Oleh karenanya, dikeluarkanlah standar ISO/IEC 17024:2003 yang memberikan kriteria-kriteria pengelolaan untuk Lembaga Sertifikasi Personel [2]. Standar tersebut memfasilitasi kebutuhan LSP akan kerangka TQM. Bagi sebuah LSP, penerapan ISO/IEC 17024:2003 merupakan salah satu langkah untuk mengembangkan TQM [6]. Dengan mengadopsi standar ISO/IEC 17024:2003, LSP diharapkan dapat beroperasi secara efektif dan efisien dalam memenuhi tuntutan stakeholder dan lingkungan usahanya. Selain itu, perolehan sertifikat akreditasi ISO/IEC 17024:2003 diharapkan juga akan menjadi dasar bagi LSP untuk dapat bergerak lebih ekspansif memperluas jangkauannya. Hal ini menjadi lebih penting, apabila dikaitkan dengan tuntutan persaingan saat era CAFTA yang mengharuskan sumber daya manusia Indonesia lebih bermutu.
269
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Standar ISO/IEC 17024:2003 dikeluarkan oleh ISO pada tahun 2003, sedangkan pedoman penerapannya dikeluarkan oleh International Accreditation Forum (IAF) pada tahun 2004. Standar ISO/IEC 17024 : 2003 mengantikan standar EN 45013:1989 tentang Kriteria Umum untuk Lembaga Sertifikasi Personel [4]. Meskipun demikian, belum banyak LSP yang menerapkan standar tersebut. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh IAF, hingga tahun 2008, terdapat 194 LSP yang terakreditasi ISO/IEC 17024:2003 di seluruh dunia [6]. Jumlah tersebut didominasi oleh LSP yang bergerak untuk mensertifikasi auditor sistem manajemen mutu (18%), disusul oleh LSP yang mensertifikasi mekanik (15%). Salah satu upaya untuk memperbanyak penerapan ISO/IEC 17024:2003 di Indonesia adalah dengan mengadopsi standar tersebut menjadi standar nasional. Pedoman KAN 501-2003 merupakan bentuk adopsi standar ISO/IEC 17024:2003 di Indonesia. Kedua jenis standar memiliki isi dan struktur yang sama. Pembeda antara keduanya, hanya terletak pada bahasa yang digunakan dimana Pedoman KAN 501-2003 menggunakan bahasa Indonesia sementara ISO/IEC 17024:2003 menggunakan bahasa Inggris. Meskipun demikian, LSP yang terakreditasi sesuai Pedoman KAN 501-2003, dengan sendirinya diakui sesuai dengan akreditasi ISO/IEC 17024:2003. 2. Metodologi Kajian Kajian ini mengadopsi metode penelitian yang dijalankan oleh Singh dan Nahra (2006) yaitu studi kasus. Objek kajian adalah
pengalaman sebuah LSP Auditor
Sistem Manajemen Mutu dalam menerapkan ISO/IEC
17024:2003. Pengumpulan data dilakukan dengan ”key informant strategy” [9] melalui personel kunci LSP yang telah menjalankan sistem ISO/IEC 17024:2003 tersebut. 3. Persyaratan Lembaga Sertifikasi Personel ISO/IEC 17024:2003 Proses penerapan ISO/IEC 17024:2003 adalah proses intrepretasi persyaratan-persyaratan standar ke dalam proses usaha LSP. Oleh karena itu, untuk menjembatani pemahaman terhadap proses penerapan ISO/IEC 17024:2003 dan apa manfaat yang bisa diperoleh, terlebih dahulu dikaji seperti apakah persyaratan ISO/IEC 17024:2003 tersebut? Apa kaitannya dengan Total Quality Management (TQM) seperti di singgung pada I.1? Standar ISO/IEC 17024 adalah standar internasional yang merinci persyaratan-persyaratan untuk menjamin lembaga sertifikasi personel agar dapat menjalankan operasinya secara konsisten, dapat diuji, dan reliable. Dengan menerapkan ISO/IEC 17024:2003, diharapkan LSP dapat menjadi lembaga sertifikasi dengan karakteristik baik yaitu fokus pada kebutuhan klien dan pelanggannya, keputusan sertifikasinya dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, dan mampu memberikan nilai tambah sehingga proses sertifikasi bermanfaat [8]. Untuk menjawab kebutuhan tersebut, ISO/IEC 17024:2003 dirancang sebagai sebuah perpaduan sistem manajemen yang berlandaskan pada TQM ditambah dengan persyaratan-persyaratan spesifik terkait proses usaha sebuah LSP. Unsur TQM terlihat pada persyaratan sistem manajemen (klausul 4.4) dimana standar mengarahkan agar LSP menerapkan dokumentasi berbasis ISO 9001 untuk memenuhi persyaratan tersebut [1].
270
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Gotzamani and Tsiotras (2002) menjelaskan bahwa ISO 9001 adalah sebuah sub sistem TQM yang bila secara sadar dan konsisten diterapkan akan membawa perbaikan bagi organisasi[12]. Model TQM compatible dan komplemen dengan model ISO 9001. Dimulai dengan ISO 9001:2000, dan kini dipertegas dengan ISO 9001:2008, persyaratan-persyaratan yang ada memperjelas keterkaitan antara SMM ISO 9001 dengan TQM (Biazzo and Bernardi, 2003). Standar ISO tersebut mengadopsi filosofi TQM dengan fokus yang lebih kuat pada kepuasan pelanggan dan pendekatan perbaikan proses yang berkelanjutan (Chan et al., 2002); dan menekankan agar manajemen puncak memastikan seluruh personel memahami pentingnya memenuhi persyaratan pelanggan (Kartha, 2004) [12]. Selain itu, di dalam standar juga disebutkan secara jelas lembaga sertifikasi harus mempunyai sistem pengendalian dokumen dan audit internal serta kaji ulang manajemen yang sudah diterapkan termasuk ketentuan untuk perbaikan berkelanjutan, tindakan koreksi dan pencegahan [2]. Apabila ditelaah lebih mendalam, maka persyaratan tersebut mengindikasikan adanya kriteria TQM yaitu continual improvement.
Persyaratan-
persyaratan yang terdapat pada ISO/IEC 17024:2003 secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian utama yaitu persyaratan untuk lembaga sertifikasi, persyaratan untuk personel lembaga sertifikasi, dan persyaratan untuk proses sertifikasinya sendiri. Persyaratan untuk lembaga sertifikasi menentukan kriteriakriteria bagaimana proses internal sebuah LSP seharusnya dijalankan. Dalam hal ini, ditentukan mulai dari persyaratan umum lembaga sertfikasi, struktur organisasi, pengembangan dan pemeliharaan skema sertifikasi, sistem manajemen, subkontrak, rekaman, kerahasiaan hingga proses penjaminan keamanan. Persyaratan untuk personel lembaga sertfikasi menentukan kriteria-kriteria bagaimana seorang penguji LSP seharusnya. Selain itu, persyaratan juga menentukan keharusan LSP untuk menetapkan kompetensi personel penguji serta memelihara dokumen dan rekaman terkait. Sementara persyaratan untuk proses sertifikasi menentukan kriteria-kriteria proses usaha LSP yang mencakup proses aplikasi, evaluasi, pengambilan keputusan dalam sertifikasi, surveillance, dan resertifikasi personel.
4. Studi Kasus: Penerapan ISO/IEC 17024:2003 Pada LSP Auditor Sistem Manajemen Mutu Sesuai bahasan I.2, LSP terbanyak yang menerapkan ISO/IEC 17024:2003 adalah LSP yang mensertifikasi Auditor Sistem Manajemen Mutu. Oleh karena itu untuk menangkap fenomena tersebut dan mencapai tujuan kajian, berikut ini dibahas penerapan ISO/IEC 17024:2003 pada sebuah LSP Auditor Sistem Manajemen Mutu di Indonesia. LSP tersebut menerapkan Pedoman KAN 501-2003 yang merupakan adopsi atas ISO/IEC 17024:2003 dan telah berhasil terakreditasi oleh KAN. Proses Penerapan ISO/IEC 17024:2003 Proses penerapan ISO/IEC 17024:2003 pada objek kajian dapat dibagi menjadi empat fase yaitu fase persiapan, pengembangan, fase penerapan, serta fase pemeliharaan. Fase persiapan bertujuan untuk memetakan tugas-tugas yang diperlukan dalam rangka menerapkan ISO/IEC 17024:2003 dengan output akhir berupa implementation plan. Fase ini diawali
dengan pembentukan Tim untuk mengembangkan sistem ISO/IEC
271
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
17024:2003. Setelah Tim terbentuk, anggota tim mengadakan diskusi untuk menyamakan persepsi terkait persyaratan ISO/IEC 17024:2003. Setelah itu, diidentifikasi gap/kesenjangan antara sistem yang ada dengan persyaratan ISO/IEC 17024:2003 dan perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan. Berdasarkan hasil identifikasi gap/kesenjangan, disusunlah implementation plan yang berisi rincian tugas bagi setiap anggota tim dalam rangka memenuhi persyaratan ISO/IEC 17024:2004. Fase pengembangan bertujuan untuk menyusun struktur organisasi, skema sertifikasi, proses-proses usaha yang diperlukan, serta dokumen ISO/IEC 17024:2003. Struktur organisasi terdiri atas sekretariat dan komite-komite. Komite terpenting yang mesti ada adalah komite penguji dan komite skema. Skema sertifikasi merupakan inti dari proses usaha yang terdapat dalam LSP. Berdasarkan skema sertifikasi, dibentuk prosedur dari masing-masing proses dimulai dari permohonan sertifikasi awal, kenaikan tingkat, perpanjangan sertifikasi hingga perpanjangan sertifikasi. Dokumen yang dibentuk terdiri atas tiga level dokumen yaitu pedoman mutu, prosedur, dan instruksi kerja serta dokumen pendukung. Alur pembuatan dokumen dimulai dari pedoman mutu, diturunkan menjadi prosedur. Lalu prosedur diturunkan menjadi instruksi kerja dan dokumen pendukung. Output akhir dari fase pengembangan adalah disahkannya dokumen sistem yang terdiri atas pedoman mutu, prosedur, instruksi kerja maupun dokumen pendukung oleh pihak-pihak yang berwenang. Pedoman mutu adalah dokumen yang menggambarkan secara umum bagaimana ISO/IEC 17024:2003 dijalankan pada LSP. Setelah dokumen disahkan, fase selanjutnya adalah penerapan sistem. Fase ini diawali dengan sosialisasi dokumen yang akan digunakan. Setelah itu, setiap personel menggunakan dokumen system dalam proses kerjanya. Setiap dokumen dan rekaman hasil aktivitas dikendalikan menggunakan prosedur pengendalian dokumen dan prosedur pengendalian rekaman. Setelah beberapa bulan diterapkan, dilakukan kegiatan audit internal dan tinjauan manajemen sebagai upaya untuk memelihara sistem. Proses audit internal, pada prinsipnya merupakan proses untuk memeriksa pelaksanaan dan efektifitas sistem. Proses ini diatur dan mengacu pada prosedur tersendiri yang disebut prosedur audit mutu internal. Proses tinjauan manajemen merupakan proses pemeriksaan oleh manajemen terhadap performa system yang ada. Dalam tinjauan manajemen dibahas hasil audit internal, pencapaian sasaran mutu dan performa proses, feedback klien, dan ketidaksesuaian serta hal-hal lain yang dianggap penting dan dapat mempengaruhi sistem. Setelah seluruh fase dilalui, LSP diregistrasi pada KAN untuk diakreditasi. 2 Manfaat Penerapan ISO/IEC 17024:2003 Setelah seluruh fase dilalui oleh LSP, terdapat beberapa manfaat penerapan ISO/IEC 17024:2003 yang dirasakan oleh organisasi. Berikut ini beberapa manfaat yang berhasil diidentifikasi. Fokus Pada Pelanggan Setelah diterapkan ISO/IEC 17024:2003, LSP menjadi lebih fokus pada kebutuhan dan kepuasan pelanggan yaitu para auditor sistem manajemen mutu. Setiap tahun, LSP mengirimkan kuesioner untuk mengevaluasi
272
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
kepuasan para auditor sistem manajemen mutu para pelanggannya. Hasil dari pengolahan kuesioner, menjadi input yang berharga untuk memperbaiki performa layanannya. Hal ini meminimalisir bahkan meniadakan keluhan pelanggan sekaligus meningkatkan hubungan antara LSP dengan pelanggannya. Orientasi Proses Setelah diterapkan ISO 17023:2004, LSP harus memetakan proses usahanya baik di level organisasi maupun level fungsi. Hal ini membuat alur koordinasi dan komunikasi antar tiap proses menjadi lebih baik. Setiap personel dapat mengetahui secara pasti proses apa yang harus dikerjakan setelah proses yang dikerjakannya selesai. Selain itu, apabila terjadi masalah dapat diidentifikasi dengan cepat proses apa yang bermasalah. Pengukuran Kinerja Sebagai konsekuensi dari penerapan ISO/IEC 17024:2003, LSP menetapkan dan mereview secara berkala sasaran mutu. Sasaran mutu adalah sesuatu yang dicari, atau dikehendaki, yang berkaitan dengan mutu [8]. Dalam hal ini, sasaran mutu menunjukan indikator-indikator kuantitatif yang disepakati oleh LSP untuk menunjukkan performa sistem. Hal ini membuat kinerja LSP menjadi terukur dan dapat dievaluasi guna meningkatkan performa kinerja LSP. Perbaikan Berkelanjutan ISO/IEC 17024:2003 mengarahkan LSP melakukan kegiatan audit internal dan tinjauan manajemen secara berkala. Dua kegiatan ini membuat kebutuhan akan perbaikan di dalam sistem dapat diidentifikasi. Selain itu, ISO/IEC 17024 mengarahkan agar setiap hasil audit internal dan tinjauan manajemen ditindaklanjuti. Hal ini membuat perbaikan berkelanjutan terjadi di dalam sistem LSP. Dokumentasi Sistem LSP identik dengan penataan dan pengarsipan dokumen. Penerapan ISO/IEC 17024:2003 membuat proses pengendalian dan pengarsipan dokumen pada LSP menjadi lebih mudah. Hal ini disebabkan ISO/IEC 17024:2003 mengarahkan organisasi untuk membuat prosedur pengendalian dokumen dan pengendalian rekaman. Akreditasi Sistem Setelah menerapkan ISO/IEC 17024:2003, LSP berhasil memperoleh sertifikat akreditasi KAN. Dengan diperolehnya, sertifikat tersebut, meningkatkan kepercayaan umum terhadap sertifikasi yang dilakukan oleh LSP. Hal ini bisa dimanfaatkan LSP untuk memperluas jangkauan pemasarannya. Selama ini, LSP Auditor Sistem Manajemen Mutu memiliki ”pesaing” International Register of Certification Auditor (IRCA). Dengan terakreditasi ISO/IEC 17024:2003, membuat jaminan mutu sertifikasi yang dilakukan oleh LSP tidak kalah dengan hasil sertifikasi IRCA. Selain itu, pengguna auditor yang disertifikasi LSP Auditor Sistem Manajemen Mutu umumnya adalah Lembaga Sertifikasi Produk. Dengan adanya sertifikat akreditasi ISO/IEC 17024:2003,
273
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
maka legalitas para auditor hasil sertifikasi LSP untuk menilai kesesuaian produk luar dengan persyaratan dengan SNI diyakini semakin kuat. 5. Kesimpulan Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian, mengacu pada pengalaman sebuah LSP Asesor sistem manajemen mutu, secara umum dapat diberikan gambaran bahwa: 1.
Proses penerapan ISO/IEC 17024:2003 pada LSP dapat dibagi menjadi beberapa fase yaitu fase pendahuluan, fase pengembangan, fase penerapan, serta fase pemeliharaan.
2.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh LSP dengan penerapan ISO/IEC 17024:2003 antara lain fokus pada pelanggan menjadi lebih baik, setiap proses usaha terpetakan dan alur kerja menjadi jelas serta mudah dideteksi apabila terjadi masalah, konsistensi pengukuran kinerja yang memberikan gambaran utuh performa lembaga, budaya perbaikan berkelanjutan, dokumentasi sistem yang mampu memenuhi kebutuhan karakteristik sebuah lembaga sertifikasi, dan sertifikat akreditasi sistem yang meningkatkan kepercayaan umum.
Daftar Pustaka
1. Santoso, Dana (2010). “Kebijakan Industri Nasional dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional”. Prosiding SNNPTI. UMB
2. ISO/IEC 17024:2003/Pedoman KAN 501 :2003, International Standard, Conformity Assessment – General requirement for Bodies Operating Certification of Persons
3. IAF GD 24:2009/Pedoman KAN 506 : 2009, IAF Guidance on the Application of ISO/IEC 17024:2003 4. Thomson, John (2006). “Global Review of Qualification and Certification of Personnel for NDT & Condition Monitoring”, ECNDT Th. 3.6.1
5. Swift, Roy A (2009). “ISO 17024A Standard for the 21st Century A Basis for Economic Development of a Country”. Semana de la Acreditation. ANSI
6. Sugiri (2005). “TQM, Best Method to Eliminate Narcotics and Psychotropics Abuse and Illegal Distribution”. Vol. 327 41 No. 4 October – December
7. Subramaniam, Parama I. (2007). “Update On the Adoption and Use of QMS Standards in Malaysia “. SIRIM Seminar
8. ISO 9000:2005, International Standard, Fundamentals and vocabulary 274
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
9. Singh, Prakash and Nahra, Manshour (2006). “ISO 9000 in the public sector: a successful case from Australia”. The TQM Magazine Vol. 18 No. 2, 2006 pp. 131-142
10. Winn, Robert. C and Green, Robert. S (1998). “Applying Total Quality Management to The Educational Process” Int. J. Eng Ed. Vol. 14, No. 1, p. 24±29.
11. Lewis, W. G et all (2005). “An AHP-based study of TQM benefits in ISO 9001 certified SME’s in Trinidad and Tobago”. The TQM Magazine Vol. 17 No. 6. PP 558-572.
12. Sakthivel, P.B. and Rajendran, G (2005). “TQM Implementation and Students Satisfaction of Academic Performance”. The TQM Magazine Vol. 17 No. 6, 2005 PP. 573-589
275
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Identifikasi dan Pemeringkatan Faktor Kunci Sukses Penerapan ISO/IEC 17024:2003 pada Lembaga Sertifikasi Personel di Indonesia Dengan Analytical Hierarchy Process Medi Yarmen1 , Sik Sumaedi2 Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian – LIPI, Kawasan Puspiptek Gedung 410, Serpong, Tangerang 153101,2 E-mail : [emailprotected] 1, [emailprotected] Abstrak Keberhasilan penerapan suatu sistem baru dikarenakan organisasi mampu mengembangkan faktor-faktor kunci sukses pengembangan suatu sistem. Telah banyak penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci sukses di bidang-bidang Total Quality Management (TQM), Business Process Re-engineering, ISO 9001, ataupun Knowledge Management. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada bukti bahwa penelitian terhadap faktor kunci sukses penerapan ISO/IEC 17024:2003, khususnya di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memberikan peringkat faktor-faktor kunci sukses penerapan ISO/IEC 17024:2003 bagi Lembaga Sertifikasi Personel di indonesia. Penelitian ini penting karena diharapkan dapat menjadi input bagi lembaga-lembaga sertifikasi personel untuk menyusun strategi yang tepat dalam menerapkan ISO/IEC 17024:2003. Penelitian ini menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner perbandingan berpasangan. Responden penelitian adalah para praktisi lembaga-lembaga sertifikasi personel terakreditasi ISO/IEC 17024:2003 yang memiliki pengalaman, pengetahuan dan keahlian dalam menerapkan standar tersebut dalam lembaganya. Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor kunci sukses penerapan ISO/IEC 17024:2003 adalah dukungan pimpinan puncak, keterlibatan personel lembaga sertifikasi dalam penerapan ISO/IEC 17024:2003, kecukupan pelatihan dan pendidikan bagi para personel lembaga sertifikasi, serta komunikasi antar personel yang efektif. Berdasarkan analisa bobot Analytic Hierarchy Process, diperoleh bahwa faktor kunci sukses terpenting adalah dukungan pimpinan puncak dengan bobot 0.73, lalu disusul keterlibatan personil Lembaga sertifikasi personel dalam menerapkan ISO/IEC 17024:2003 dengan bobot 0.16, kecukupan pelatihan dan pendidikan bagi personel dengan bobot 0.06, dan komunikasi antar personel yang efektif dengan bobot 0.05.
1. Pendahuluan Indonesia telah memasuki era perdagangan bebas dimana hambatan tarif tidak mampu lagi membatasi produk-produk asing untuk memasuki pasar domestiknya. Alternatif upaya pencegahan yang dapat dilakukan pemerintah agar perekonomian dalam negeri tetap bertahan adalah dengan menciptakan hambatan non tarif seperti penetapan standar produk. Selain itu, juga dapat dilakukan peningkatan kompetensi sumber daya manusia agar tidak kalah bersaing. Dalam kaitan tesebut, kebutuhan akan lembaga sertifikasi personel menjadi penting. Lembaga sertifikasi personel menilai kompetensi seseorang apakah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu dan menerbitkan sertifikat pengakuan atas kompetensi tersebut. Berdasarkan sertifikat tersebut, seseorang dapat menjadi auditor atau pengambil sampel atau profesi lainnya sesuai kompetensi yang dimilikinya. Mengingat hal itu, lembaga sertifikasi personnel dituntut memiliki kredibilitas sehingga sertifikat yang dikeluarkannya dapat diakui.ISO/IEC 17024:2003 adalah standar internasional tentang penilaian kesesuaian-persyaratan umum untuk Lembaga Sertifikasi Personel. Standar tersebut mengatur bagaimana
276
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
menjalankan suatu lembaga sertifikasi personil. Akreditasi ISO/IEC 17024:2003 diharapkan mampu meningkatkan kredibilitas lembaga-lembaga sertifikasi personil di Indonesia. Pengembangan sistem berbasis faktor kunci sukses, menurut Rockart (1979), akan memberikan manfaat antara lain, kegiatan pengembangan yang lebih terfokus, menghindari pemborosan kegiatan, pengumpulan data dan informasi yang tidak diperlukan [1]. Mengingat hal itu, penelitian ini bertujuan: •
Mengidentifikasi faktor-faktor kunci sukses penerapan ISO/IEC 17024:2003 hingga mampu terakreditasi
•
Memberikan peringkat tingkat kepentingan faktor kunci sukses tersebut dalam penerapan ISO 17024:2003
2. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah Analytical Hierarchy Process, mengadaptasi apa yang dilakukan oleh Ramoutar dan Syam (2009) saat mengindentifikasi dan memberikan peringkat faktor-faktor kritis yang mempengaruhi keberhasilan penerapan ISO 9001. Analytical Hierarchy Process, salah satu metode pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada awal tahun 1970-an, adalah suatu metode untuk memecah situasi kompleks dan tidak terstruktur menjadi bagian-bagian komponen; mengatur bagian-bagian ini menjadi urutan hirarki; memberikan nilai numerik terhadap kepentingan relatif dari setiap variabel; dan mensintesis penilaian tersebut untuk menentukan bagian mana yang mempunyai prioritas tertinggi dan harus dilakukan untuk mempengaruhi hasil dari situasi tersebut [10]. Tiga fitur Analytical Hierarchy Process yang membuat ia berbeda dari pendekatan pengambilan keputusan lainnya adalah [5]: •
Kemampuannya untuk menangani atribut tangible maupun intangible;
•
Kemampuannya untuk menstrukturisasi masalah menjadi sebuah hirarki untuk memperoleh pemahaman lebih mendalam pada pengambilan keputusan;
•
Kemampuannya untuk memantau konsistensi atas penilaian seorang pengambil keputusan.
Pemilihan Analytical Hierarchy Process sebagai metode penelitian yang digunakan, didasari bahwa penilaian terhadap suatu faktor kunci sukses merupakan suatu pengambilan putusan atas masalah yang komplek [5] karena pertimbangan berikut: •
Relatif sulitnya untuk mengkonseptualisasikan dan menstrukturkan penilaian faktor kunci sukses menjadi sebuah kerangka analitis;
•
Nature dari faktor kunci sukses, beberapa kuantitatif sedangkan beberapa lainnya bersifat subyektif;
•
Terdapat banyak faktor yang terlibat dalam kesuksesan suatu implementasi sistem dimana terkadang faktorfaktor tersebut terkadang mereflekan sesuatu yang lebih bersifat psikologis , kualitatif, dan intangible.
Tahapan penelitian mengadopsi alur kerja penelitian Analytical Hierarchy Process dalam [5], [10] yaitu: 1.
Identifikasi faktor kunci sukses Metode yang digunakan dalam identifikasi faktor kunci sukses penerapan ISO/IEC 17024:2003 adalah dengan studi literatur dan menyebarkan kuesioner semi tertutup pada para pakar ISO/IEC 17024:2003
277
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
yang terdiri atas praktisi lembaga sertifikasi personil yang terakreditasi standar tersebut dan juga perwakilan Komite Akreditasi Nasional (KAN). 2.
Pembobotan faktor kunci sukses Pembobotan faktor kunci sukses diawali dengan penyebaran kuesioner perbandingan berpasangan pada para praktisi ISO/IEC 17024:2003 yang dianggap memiliki pengetahuan mendalam tentang penerapan ISO/IEC 17024:2003. Kuesioner perbandingan berpasangan menggunakan skala kepentingan relatif sebagai berikut [10]: Tabel 1. Skala Dasar Untuk Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan
Definisi
1
Kepentingan sama
3
Kepentingan menengah
5
Kepentingan kuat
7
Kepentingan sangat kuat
9
Kepentingan ekstrim
2,4,6,8
Untuk nilai tengah dari nilai-nilai di atas
Berdasarkan hasil kuesioner dilakukan pengolahan data menggunakan bantuan software EC.Pro 2000 untuk mengetahui bobot kepentingan tiap faktor kunci sukses penerapan ISO/IEC 17024:2003 dan rasio inkonsistensi pembobotan. 3.
Analisis konsistensi Analytical Hierarchy Process mengukur konsistensi keseluruhan dari penilaian dengan menggunakan rasio inkonsistensi. Nilai rasio inkonsistensi harus bernilai lebih kecil atau sama dengan 5% untuk matriks 3 x 3, 9% untuk matriks 4 x 4, dan 10% untuk matriks yang lebih besar [10].
3. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan kuesioner yang dibagikan pada para responden penelitian diperoleh bahwa faktor-faktor yang dianggap sebagai kunci sukses penerapan ISO/IEC 17024:2003 hingga terakreditasi adalah sebagai berikut: •
Dukungan pimpinan puncak Dukungan pimpinan puncak menjadi penting karena dalam pengembangan suatu sistem baru dibutuhkan sumber daya dan kekuatan legal untuk menghadapi pertentangan perubahan sistem. Dukungan pimpinan puncak dapat dibuktikan dengan terlibatnya pimpinan dalam pembuatan kebijakan maupun sasaran mutu ataupun dokumen lainnya yang diperlukan, ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan serta mengeluarkan kebijakan yang dapat meminimalisir gangguan-gangguan penerapan ISO/IEC 17024:2003. Selain itu, dukungan pimpinan puncak juga dilakukan dengan jalan pemantauan terhadap proyek pengembangan ISO/IEC 17024:2003 dan mengkomunikasikan tentang pentingnya proyek tersebut. Apabila dikaitkan dengan delapan prinsip manajemen mutu, dukungan pimpinan puncak merupakan bukti pelaksanaan prinsip kedua yaitu kepemimpinan.
278
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
•
Keterlibatan personel Lembaga sertifikasi personel dalam menerapkan ISO/IEC 17024:2003 ISO/IEC 17024:2003 merupakan panduan bagi pelaksanaan sistem lembaga sertifikasi personel sehari-hari (proses usaha inti). Oleh karena itu, terlaksana atau tidaknya sistem tersebut bergantung pada pelaksana/personel harian lembaga. Apabila sistem telah dibuat, tetapi dalam kegiatan harian tidak dilaksanakan maka kecil kemungkinan lembaga akan dapat terakreditasi. Dalam kaitan itu, delapan prinsip manajemen mutu mengatakan tentang pentingnya keterlibatan personel.
•
Kecukupan pelatihan dan pendidikan bagi personel ISO/IEC 17024:2003 merupakan pengetahuan baru bagi personel organisasi yang mulai mengadopsi standar tersebut. Kecukupan pelatihan dan pendidikan bagi personel diharapkan dapat mengarahkan terpenuhinya kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem. Paling tidak kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi oleh personel yang terlibat dalam pelaksanaan ISO/IEC 17024:2003 adalah kemampuan untuk mengintrepretasikan persyaratan standar dalam proses usaha lembaga, kemampuan untuk membuat dokumentasi yang efektif, serta kemampuan untuk melakukan kegiatan audit internal secara tepat.
•
Komunikasi antar personel yang efektif Pelaksanaan ISO/IEC 17024:2003 merupakan pekerjaan yang melibatkan seluruh institusi lembaga sertifikasi personel. Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi efektif antar tiap personel. Dengan adanya komunikasi yang efektif, diharapkan dapat dibangun kesamaan visi dan tujuan antar tiap personel lembaga. Berdasarkan hasil kuesioner perbandingan berpasangan yang merupakan penilaian individu para pakar
dilakukan pembobotan. Hasil penilaian para pakar tersebut digabungkan dengan menggunakan rataan geometris. Hasil rataan geometris menjadi input bagi matriks perbandingan berpasangan. Tabel 2 adalah matriks perbandingan berpasangan faktor kunci sukses yang telah teridentifikasi pada tahap sebelumnya. Tabel 2. Matriks perbandingan berpasangan faktor kunci sukses
Faktor Kunci Sukses A1 A2 A3 A4
A1 1.00
A2 4.47 1.00
A3 12.00 2.45 1.00
A4 14.97 3.87 1.41 1.00
Keterangan: A1 = Dukungan pimpinan puncak, A2 = Keterlibatan personil Lembaga sertifikasi personel dalam menerapkan ISO/IEC 17024:2003, A3 = Kecukupan pelatihan dan pendidikan bagi personel, dan A4 = Komunikasi antar personel yang efektif
279
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Matriks perbandingan di atas menjadi input untuk tahap selanjutnya yaitu pengolahan data bobot dengan menggunakan software Ec. Pro 2000. Berdasarkan penghitungan diperoleh bobot kepentingan untuk tiap faktor kunci sukses adalah sebagai berikut.
Gambar 1. Bobot kepentingan untuk tiap faktor kunci sukses Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa faktor kunci sukses terpenting dalam penerapan ISO/IEC 17024:2003 agar dapat terakreditasi adalah dukungan pimpinan puncak dengan bobot kepentingan 0.73, lalu keterlibatan personil Lembaga sertifikasi personel dalam menerapkan ISO/IEC 17024:2003 dengan bobot 0.16, kecukupan pelatihan dan pendidikan bagi personel dengan bobot 0.06, dan komunikasi antar personel yang efektif dengan bobot 0.05. Berdasarkan hasil penghitungan, diperoleh rasio inkonsistensi untuk penelitian ini adalah 0.23%. Mengingat matriks perbandingan berpasangan yang digunakan berukuran 4 x 4 mensyaratkan rasio inkonsistensi di bawah atau sama dengan 9%, maka hasil penilaian para pakar yang menjadi responden konsisten dan dapat digunakan. 4. Kesimpulan Sesuai permasalahan dan tujuan penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal: 1.
Telah dilakukan penelitian tentang faktor kunci sukses penerapan ISO/IEC 17024:2003 pada lembagalembaga sertifikasi personil dengan metode Analytical Hierarchy Process.
2.
Berdasarkan hasil penelitian, faktor kunci sukses penerapan ISO/IEC 17024:2003 hingga dapat terakreditasi adalah dukungan pimpinan puncak, keterlibatan personil Lembaga sertifikasi personel dalam menerapkan ISO/IEC 17024:2003, kecukupan pelatihan dan pendidikan bagi personel dan komunikasi antar personel yang efektif .
3.
Faktor kunci sukses terpenting dalam penerapan ISO/IEC 17024:2003 agar dapat terakreditasi adalah dukungan pimpinan puncak dengan bobot kepentingan 0.73, lalu keterlibatan personil Lembaga sertifikasi personel dalam menerapkan ISO/IEC 17024:2003 dengan bobot 0.16, kecukupan pelatihan dan pendidikan bagi personel dengan bobot 0.06, dan komunikasi antar personel yang efektif dengan bobot 0.05.
Daftar Pustaka 1.
Amberg, Michael et al (2005). ”Background of Critical Succes Factor Research”. Working Paper No.2. Friedrich-Alexander-Universität
Erlangen-Nürnberg
Lehrstuhl
für
Betriebswirtschaftslehre,
insb.
Wirtschaftsinformatik III Lange Gasse 20, 90403 Nürnberg
280
ISSN 977.2086796.00.2
2.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Jingjing, Wang (2006). ”A Study of Perceived Key Succes Factors among Salmon Importers and Distributors in Shanghai” Master of Science Thesis, Department of Social Science and Marketing, Norwegian College of Fishery Science, University of Tromso, Norway.
3.
Sugiri (2005). “TQM, Best Method to Eliminate Narcotics and Psychotropics Abuse and Illegal Distribution”. Vol. 327 41 No. 4 October – December
4.
ISO/IEC 17024:2003/Pedoman KAN 501 :2003, International Standard, Conformity Assessment – General requirement for Bodies Operating Certification of Persons
5.
Ramoutar, Krystal and Syan, Chanan S (2009) ”An-AHP Based Study of WCM Implementation in ISO 9001 Certified Manufacturing Organizations in Trinidad and Tobago”. Procedings of World Congress on Engineering Vol 1. WCE, London, UK.
6.
Amar, Kifayah and Zain, Mohd. Zuraidah (2002) ”Barriers to Implementing TQM in Indonesia”. The TQM Magazine. Volume 14 No. 6. Pg 367-372
7.
Balzarova, Michael A (2004). “Key success factors in implementation of process-based management, A UK housing association experience”. Business Process Management Journal Vol. 10 No. 4, 2004 pp. 387-399
8.
Al-Mashari, Majed and Zairi, Mohamed (1999). “BPR implementation process: an analysis of key success and failure factors” Business Process Management Journal, Vol. 5 No. 1, pp. 87-112.
9.
Mathri, Kavindra (2004). ”Key Success Factors for Knowledge Management”. Master Thesis, University of Applied Sciences/FH Kempten, Germany
10. Yadrifil dan Sumaedi, Sik (2005). ”Analisis Risiko Pembiayaan pada Bank Umum Syariah dengan Metode Analytic Hierarchy Process”. Jurnal Teknologi, Edisi Khusus No.3, Teknik Industri Tahun XIX, Pg. 63-69
281
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Pengukuran Kepuasan Pelanggan Sebuah Lembaga Sertifikasi Personel Dengan Service Quality (Servqual) Sik Sumaedi1 , Medi Yarmen2 Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian – LIPI, Kawasan Puspiptek Gedung 410, Serpong, Tangerang 153101,2 E-mail : [emailprotected] 1, [emailprotected] 2 Abstrak Untuk menerapkan ISO/IEC 17024:2003 dengan sistem manajemen (klausul 4.4) berbasis ISO 9001:2008 , Lembaga Sertifikasi Personel dituntuk untuk fokus pada pelanggan. Salah satu kegiatan yang dapat memfasilitasi hal itu adalah pengukuran kepuasan pelanggan terhadap kualitas jasa/layanan yang diberikan. Dengan teridentifikasinya kepuasan pelanggan, diharapkan dapat menjadi masukan bagi lembaga untuk memperbaiki kinerja jasa/pelayanannya. Service Quality (Servqual) adalah metode pengukuran kualitas jasa/layanan yang memetakan kualitas jasa/layanan ke dalam lima dimensi yaitu Reliable, Assurance, Tangible, Empathy, dan Responsiveness. Selain itu, metode tersebut tidak hanya mengukur persepsi pelanggan, tetapi juga dapat mengidentifikasi tingkat harapan pelanggan yang memungkinkan diketahuinya kesenjangan antara persepsi dengan harapan pelanggan. Metode ini penting untuk diterapkan agar lembaga tidak keliru mengintrepretasikan tingkat kepuasan pelanggannya. Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan Servqual pada pengukuran kepuasan pelanggan lembaga sertifikasi personel. Metode penelitian bersifat studi kasus pada sebuah Lembaga Sertifikasi Personel Auditor Sistem Manajemen Mutu. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey dengan bantuan kuesioner servqual terhadap pelanggan-pelanggan lembaga. Hasil Penelitian menunjukan hasil penerapan Servqual berupa indeks kepuasan pelanggan (Actual Servqual Score) lembaga sertifikasi personel objek kajian secara keseluruhan sebesar 92.69%, Servqual Score yang memperlihatkan analisa kesenjangan antara harapan dan kinerja pelanggan, serta Weigthed Servqual Score yang menunjukkan prioritas dimensi apa saja yang harus sesegera mungkin ditingkatkan.
I. Pendahuluan Dalam rangka memenuhi persyaratan sistem manajemen (klausul 4.4) ISO 17024:2003 tentang penilaian kesesuaian-persyaratan umum untuk Lembaga Sertifikasi Personel, sebuah Lembaga Sertifikasi Personel (LSP) diarahkan untuk mengadopsi standar ISO 9001:2008 [1].
ISO 9001:2008 adalah standar
internasional tentang sistem manajemen mutu yang dibutuhkan organisasi untuk memperlihatkan kemampuannya secara konsisten dalam memenuhi persyaratan customer, peraturan dan perundang-undangan. Selain itu, ia bertujuan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan melalui aplikasi sistem yang efektif, termasuk proses untuk perbaikan terus menerus dan jaminan kesesuaian persyaratan customer, peraturan, dan perundangundangan [2]. ISO 9001 merupakan standar internasional yang mengacu pada delapan prinsip manajemen mutu yaitu fokus pada pelanggan, kepemimpinan, keterlibatan personel, pendekatan proses, pendekatan sistem untuk pengelolaan, perbaikan terus menerus, pendekatan pengambilan keputusan berdasarkan fakta, dan hubungan saling menguntungkan dengan pemasok [3] dan mengadopsi metodologi Plan-Do-Check-Action (PDCA) dalam setiap prosesnya [2]. Dalam konteks tersebut, dapat dilihat kesesuaian antara model ISO 9001:2008 dengan Total Quality Management (TQM) yang telah terbukti efektif memulihkan keterpurukan Jepang pasca Perang Dunia ke-2.
282
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISO 9001:2008 merupakan pilihan yang tepat bagi sistem manajemen sebuah LSP. Hal ini disebabkan banyak penelitian telah membuktikan bahwa penerapan ISO 9001 secara konsisten akan memberikan banyak manfaat baik dari sisi internal organisasi seperti peningkatan mutu, produktivitas, efektifitas, dan kinerja, maupun dari sisi eksternal seperti peningkatan image dan peluang pemasaran [4]. ISO 9001:2008 terdiri atas lima persyaratan utama yaitu (1) sistem manajemen mutu, (2) tanggung jawab manajemen, (3) manajemen sumber daya, (4) realisasi produk, (5) pengukuran, analisa, dan peningkatan. Sesuai dengan tujuannya untuk meningkatkan kepuasan pelanggan, ISO 9001 :2008 secara spesifik menyebutkan adanya persyaratan-persyaratan fokus pada pelanggan (persyaratan 5.2), proses terkait pelanggan (7.2), dan kegiatan pengukuran kepuasan pelanggan (8.2.1). Dalam konteks pengukuran kepuasan pelanggan, ISO 9001 :2008 mensyaratkan kegiatan ini dengan tujuan memastikan bahwa performa sistem manajemen mutu telah memenuhi persyaratan pelanggan. Dalam hal ini, standar tersebut mensyaratkan adanya kegiatan pemantauan informasi persepsi pelanggan terhadap pemenuhan persyaratan yang dikerjakan oleh LSP. Meskipun demikian, ISO 9001 :2008 tidak mengarahkan pada sebuah metode khusus. LSP dapat memilih kegiatan pengukuran persepsi kepuasan pelanggan diantaranya survei kepuasan pelanggan, data ketepatan realisasi layanan, survey opini pelanggan, lost business analysis, ataupun laporan keluhan pelanggan [2].
2. Service Quality (Servqual) Untuk memperkuat dasar penggunaan Servqual sebagai konsep pengukuran kepuasan pelanggan pada Lembaga Sertifikasi Personel yang menerapkan sistem manajemen ISO 9001:2008, maka berikut ini dibahas konsep dasar Servqual serta keterkaitannya dengan ISO 9001:2008. Servqual adalah konsep yang diciptakan oleh Parasuraman, Berry, dan Zeithaml[7]. Konsep tersebut didasari oleh model diskonfirmasi yang diadopsi secara luas pada literatur-literatur kepuasan pelanggan. Pada literatur tersebut, kepuasan pelanggan dioperasionalkan dalam bentuk hubungan antara ekspektasi (E) dengan persepsi (P). Jika P sesuai dengan E, maka diindikasikan adanya kepuasan pelanggan. Jika P lebih dari E, maka diindikasikan akan diperoleh “customer delight”. Jika E melebihi P, maka ketidakpuasan pelanggan diindikasikan terjadi [5]. Parasuraman et al (1988) mengungkapkan bahwa Servqual menggunakan lima dimensi penilaian tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy. Definisi kelima dimensi tersebut menurut mereka ditunjukan pada tabel 1 [8]. Kelima dimensi tersebut diturunkan menjadi 2 bagian yang masing-masing terdiri atas 22 buah peryataan. Bagian pertama menentukan tingkat ekspektasi pelanggan, sedangkan bagian kedua menunjukkan tingkat penilaian pelanggan terhadap performa (kepuasan) suatu layanan[6].
283
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 1. Lima Dimensi Servqual Dimensi
Definisi
Tangibles
Tampilan materi komunikasi, personel, perlengkapan, maupun fasilitas fisik
Reliability
Kemampuan menyajikan layanan yang dijanjikan secara akurat
Responsiveness
Kesediaan membantu pelanggan & memberikan layanan dengan tepat
Assurance
Pengetahuan dan keramahan personel dan kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan
Empathy
Kepedulian, perhatian pribadi pada pelanggannya
Sumber: Parasuraman, Zeithaml & Berry, 1988, p. 23. and Parasuraman, Berry, and Zeithaml, 1991, p. 41. Servqual mendefinisikan evaluasi kualitas suatu layanan oleh customer sebagai sebuah fungsi gap (kesenjangan) antara layanan yang diharapkan dan layanan yang diterima. Parasuraman et al (1988) mengidentifikasi lima gap berikut yang dapat menyebabkan kegagalan suatu layanan [9]:
1. Kesenjangan antara ekspektasi customer dengan persepsi manajemen 2. Kesenjangan antara persepsi manajemen dengan spesifikasi kualitas layanan 3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas layanan dengan jasa yang diberikan 4. Kesenjangan antara jasa yang diberikan dengan komunikasi eksternal 5. Kesenjangan antara jasa yang diharapkan dengan jasa yang diberikan Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan Servqual sebagai bagian dari sistem ISO 9001:2008, yaitu kegiatan pengukuran kepuasan pelanggan (persyaratan 8.2.1). Mengingat hal itu, perlu dibahas keterkaitan antara ISO 9001:2008 dengan Servqual. Mengapa Servqual yang dijadikan sebagai acuan untuk kegiatan pengukuran kepuasan pelanggan tersebut? Alasan mendasar untuk menjawab pertanyaan di atas adalah ISO 9001:2008 memiliki tujuan yang sejalan dengan Servqual yaitu mengatasi kesenjangan yang biasa terjadi sebagaimana disebutkan dalam [9]. ISO 9001:2008 menetapkan 4 persyaratan yang berkaitan erat dengan kepuasan pelanggan yaitu penentuan persyaratan produk (7.2.1), peninjauan persyaratan produk (7.2.2), Komunikasi pelanggan (7.2.3) dan kepuasan pelanggan (8.2.1). Persyaratan 7.2.1, organisasi diharuskan mengidentifikasi seluruh persyaratan pelanggan, baik yang disebutkan maupun yang tidak disebutkan. Dalam konteks ini, penerapan persyaratan tersebut dapat menghilangkan gap antara ekspektasi customer dengan persepsi manajemen karena manajemen dapat mengetahui secara jelas apa ekspektasi customer. Persyaratan 7.2.2, organisasi dituntut untuk mengkaji setiap persyaratan customer dan menentukan persyaratan apa saja yang dapat dipenuhi serta apa saja yang tidak dapat dipenuhi. Dalam menentukan spesifikasi layanan, organisasi haruslah mengacu pada hasil tinjauan tersebut. Dalam konteks ini, penerapan persyaratan tersebut dapat menghilangkan gap antara persepsi manajemen dengan spesifikasi kualitas layanan serta gap antara spesifikasi kualitas layanan dengan jasa yang diberikan.
284
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Persyaratan 7.2.3, organisasi dituntut untuk mengelola komunikasi dengan customernya secara efektif. Dalam konteks komunikasi pemasaran, organisasi diarahkan untuk tidak mengkomunikasikan atau menjanjikan sesuatu layanan yang tidak dapat dipenuhi sesuai hasil tinjauan persyaratan pelanggan. Dalam konteks ini, penerapan persyaratan dapat mengatasi gap antara jasa yang diberikan dengan komunikasi eksternal.Persyaratan 8.2.1, organisasi dituntut untuk melakukan kegiatan pemantauan informasi persepsi pelanggan terhadap pemenuhan persyaratan yang dikerjakan. Dengan adanya kegiatan ini secara konsisten, organisasi dapat memetakan tingkat performa layanan yang dijanjikannya dengan tingkat persepsi kepuasan pelanggan. Dalam konteks ini, apabila persyaratan tersebut diterapkan maka antara kualitas jasa yang diharapkan dengan kualitas jasa yang diberikan dapat diilangkan. Dari paparan di atas, dapat dilihat Organisasi ISO 9001 :2008 diarahkan untuk mengukur apa saja layanan yang dijanjikan pada pelanggannya. Dalam konteks tersebut, kepuasan pelanggan ISO 9001 :2008 tidaklah mengidentifikasi jenis layanan tambahan yang dibutuhkan oleh customer tetapi mengukur tingkat kualitas layanan yang dijanjikan. Dalam konteks tersebut, Servqual menjadi alat ukur kepuasan pelanggan yang tepat mengingat Servqual mengukur level kualitas suatu layanan dan bukan jangkuan layanan suatu organisasi. 3 Metodologi Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian, maka metodologi penelitian yang digunakan adalah pendekatan studi kasus. Studi kasus dikerjakan dengan objek penelitian sebuah lembaga sertifikasi personel auditor sistem manajemen mutu. Objek penelitian telah menerapkan dokumentasi ISO 9001 sebagai bagian dari pemenuhan persyaratan sistem manajemen (klausul 4.4) ISO/IEC 17024:2003. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey menggunakan alat bantu kuesioner. Kuesioner disusun mengikuti daftar pertanyaan yang diajukan oleh Parasuraman dan kawan-kawan. Berdasarkan uji validitas dan realibilitas, kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data valid dan reliable. Hasil uji validitas menunjukan bahwa setiap variabel pertanyaan memiliki koefisien korelasi (r) bekisar antara 0.52 hingga 0.91. Dengan taraf kepercayaan 95%, nilai ini lebih besar dari r tabel product moment (0.413) sehingga dapat dikatakan bahwa kuesioner valid. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan internal consistency dengan teknik belah dua Speaman Brown. diperoleh koefisen korelasi Speaman Brown (rj) untuk kuesioner persepsi dan ekspektasi masing-masing sebesar 0.97 lebih besar dari r tabel Speaman yang berarti reliable. Mengingat tersebarnya pelanggan LSP objek penelitian, penelitian ini terbatas hanya dilakukan pada responden sebanyak 30 orang auditor sistem manajemen mutu yang tersertifikasi oleh LSP yang memiliki lokasi kerja di wilayah Jakarta, yakni Auditor-Auditor yang berasal dari Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan. 4. Hasil dan Pembahasan Output kegiatan pengukuran kepuasan pelanggan dengan metode servqual adalah servqual score, weighted servqual score, dan actual servqual score. Oleh karena itu, akan dibahas ketiga hal tersebut di bawah ini.
285
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
esuai dengan paparan I.3, kelebihan penggunaan Servqual pada survey pengukuran kepuasan pelanggan adalah diketahuinya tingkat ekspekstasi pelanggan, tidak hanya tingkat persepsi pelanggan saja. Hal ini akan membuat lembaga sertifikasi personel, mengetahui kesenjangan antara mutu layanan yang diberikan dengan apa yang diharapkan pelanggan. Pembuktian hal tersebut dapat dilihat pada servqual score. Servqual score menunjukkan gap antara persepsi dan ekspektasi pelanggan terhadap layanan. Selain itu dengan analisa Servqual Score juga dapat menunjukan pada dimensi apa pelanggan menaruh harapan tertinggi dan menilai performa tertinggi lembaga. Tabel 2 menunjukkan Servqual Score untuk objek penelitian. Tabel 2. Servqual Score Objek Penelitian
No 1 2 3 4 5
Dimensi Reliability Responsiveness Tangibles Assurance Empathy
Ekspektasi 4.03 4.04 3.91 4.00 3.76
Persepsi 3.75 3.75 3.50 3.80 3.51
Servqual Score -0.29 -0.30 -0.41 -0.20 -0.24
Dari tabel Servqual Score dapat dilihat bahwa meskipun persepsi pelanggan terhadap jasa cukup tinggi bekisar antara 3.50 hingga 3.75, tetapi ternyata ekspektasi pelanggan juga cukup tinggi yaitu antara 3.76 hingga 4.04. Pada Servqual Score dapat dilihat bahwa seluruh dimensi bernilai negatif yang berarti kualitas layanan objek kajian masih perlu diperbaiki. Fakta ini tidak dapat terungkap apabila lembaga menggunakan model pengukuran kepuasan pelanggan tradisional yang hanya mengeksplorasi persepsi pelanggan saja, tanpa membandingkan dengan ekspektasinya. Apabila dilakukan analisa secara terpisah terhadap persepsi, ekspektasi, dan servqual score, dapat diberikan gambaran sebagai berikut. Pelanggan objek kajian memiliki standar mutu yang cukup tinggi, hal ini dapat dibuktikan dengan nilai ekspektasi yang tinggi. Nilai ekspekstasi tertinggi terletak pada dimensi responsiveness, yaitu kesediaan petugas lembaga sertifikasi personil membantu pelanggan dan memberikan layanan dengan tepat, sebesar 4.04. Sementara nilai terendah terletak pada dimensi empathy, yaitu kepedulian, perhatian pribadi lembaga sertifikasi personil pada pelanggannya, sebesar 3.76.Pelanggan juga memberikan nilai persepsi yang cukup tinggi. Apabila pengukuran kepuasan pelanggan tidak menggunakan Servqual, lembaga sertifikasi akan terkecoh dengan hasil yang diperolehnya. Hal ini disebabkan meskipun nilai persepsi cukup tinggi, tetapi nilai ekspektasi pelanggan lebih tinggi sehingga tetap terjadi kesenjangan. Nilai persepsi tertinggi diberikan pelanggan pada dimensi assurance, yaitu pengetahuan dan keramahan personel dan kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan, sebesar 3.80. Sementara yang terendah adalah tangibles, yaitu tampilan materi komunikasi, personel, perlengkapan, maupun fasilitas fisik, sebesar 3.50. Dari Servqual Score, terlihat bahwa nilai tertinggi adalah dimensi assurance, sebesar -0.20. Setelah itu, secara berturut-turut disusul oleh dimensi empathy, reliability, responsiveness dan tangibles dengan nilai masingmasing -0.24, -0.29, -0.30, dan -0.41 Kelebihan servqual lainnya adalah ia dapat menunjukkan prioritas perbaikan yang harus dikerjakan oleh lembaga sertifikasi personel. Hal ini dibuktikan dengan adanya weighted servqual score (WSC). WSC
286
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
merupakan hasil perkalian antara servqual score dengan tingkat kepentingan suatu dimensi. Dimensi dengan WSC terkecil memiliki prioritas perbaikan pertama kali. Tabel 3. Weighted Servqual Score Objek Penelitian
No 1 2 3 4 5
Dimensi Reliability Responsiveness Tangibles Assurance Empathy
Bobot 0.22 0.23 0.17 0.21 0.18
WSC ‐0.06 ‐0.07 ‐0.07 ‐0.04 ‐0.04
Berdasarkan tabel 3, maka WSC terendah adalah dimensi responsiveness dan tangibles. Hal ini menunjukkan bahwa kedua dimensi ini perlu memperoleh perhatian lembaga sertifikasi personel untuk diperbaiki. Apabila dibandingkan berdasarkan tingkat kepentingan, maka dimensi responsiveness memiliki tingkat kepentingan tertinggi sementara tangible memiliki tingkat kepentingan terendah. Actual Servqual Score menunjukkan seberapa baik performa lembaga sertifikasi personil dalam memenuhi harapan pelanggannya. ASC merupakan indeks kepuasan pelanggan menurut konsep Servqual. Ukuran yang digunakan adalah persentase (%). Intrepretasi yang digunakan sebagai berikut [10]: •
Nilai yang kurang dari 100% menunjukkan bahwa pelayanan selama ini belum memenuhi harapan pelanggan;
•
Nilai 100% menunjukkan bahwa pelayanan selama ini memenuhi harapan pelanggan;
•
Nilai yang lebih dari 100% menunjukkan bahwa pelayanan selama ini melebihi harapan pelanggan. Tabel 4 menunjukkan Actual Servqual Score objek penelitian. Berdasarkan tabel ASC dapat dilihat bahwa
indeks kepuasan pelanggan objek penelitian sebesar 92.69%. Hal ini berarti objek penelitian baru memenuhi 92.69% harapan pelanggannya. Dimensi dengan nilai ASC tertinggi adalah assurance disusul secara beurutan empathy, reliability, responsiveness, dan tangibles. Tabel 4. Actual Servqual Score objek penelitian
No 1 2 3 4 5
Dimensi Reliability Responsiveness Tangibles Assurance Empathy Rata-rata
ASC 92.89% 92.69% 89.44% 94.93% 93.52% 92.69%
5. Kesimpulan Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal yaitu: •
Servqual dapat digunakan oleh lembaga sertifikasi personel untuk mengukur kepuasan pelanggannya. Dengan servqual, lembaga sertifikasi personel dapat mengidentifikasi tingkat persepsi, ekspektasi, kesenjangan persepsi dan ekspektasi maupun prioritas perbaikan yang perlu dilakukan;
287
ISSN 977.2086796.00.2
•
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Dalam studi kasus, diperoleh output pengukuran kepuasan pelanggan objek penelitian berupa indeks kepuasan pelanggan (Actual Servqual Score) sebesar 92.69%. Servqual score untuk masing-masing dimensi adalah sebagai berikut dimensi assurance, sebesar -0.20, dimensi empathy (-0.24), reliability (0.29), responsiveness (0.30) dan tangibles (-0.41) ;
•
Prioritas perbaikan mutu layanan disusun berdasarkan Weigthed Servqual Score (WSC) pada objek penelitian adalah dimensi responsiveness, kesediaan petugas lembaga sertifikasi personil membantu pelanggan dan memberikan layanan dengan tepat dan tangibles, tampilan materi komunikasi, personel, perlengkapan, maupun fasilitas fisik.
Daftar Pustaka
1. ISO 17024:2003/Pedoman KAN 501 :2003, International Standard, Conformity Assessment – General requirement for Bodies Operating Certification of Persons
2. ISO 9001 :2008, International Standard, Quality Management Systems Requirements 3. Lam, Steve Y.W (2002), “Role of Surveyors under ISO 9000 in the Construction Industry”, Journal of Surveying Engineering, Vol. 128, No. 4, November 1.
4. Nurcahyo, Rahmat dan Sumaedi, Sik (2010). “Pengembangan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 Pada Industri Komponen Otomotif dengan Model Bimbingan Berkelompok”. Prosiding Seminar Nasional Pengkajian dan Penerapan Teknologi Industri. Universitas Mercu Buana
5. Buttle, Francis (1996), “SERVQUAL: review, critique, research agenda”. European Journal of Marketing. Vol. 30 No. 1, pp. 8-32.
6. Nejati et al (2007), “Using SERVQUAL to Measure Employee Satisfaction: An Iranian Case Study”. Proceedings of the 13th Asia Pacific Management Conference, Melbourne, Australia, 371-375
7. Ikiz, Aysun Kapucugil dan Masoudi, Ali (2008). “A QFD and SERVQUAL Approach to Hotel Service Design”. Isletme Fakültesi Dergisi, Cilt 9, Sayı 1, 17-31
8. Abu, Nur Khalidah (2004). “Service Quality Dimensions: A Study on Various Sizes of Grocery Retailers – A conceptual Paper” Proceeding of IBBC.
9. Tan, Kay. C dan Pawitra, Theresia A (2001). “Integrating Servqual and Kano’s Model into QFD for Service Excellent Development”. Managing Service Quality. ABI/INFORM GLOBAL pg. 418
10. Surjandani, Isti dkk (2010). “Analisis Kepuasan Pelanggan Terhadap Pelayanan Fleksi (CDMA) dengan metode Servqual”. Prosiding Seminar Nasional Pengkajian dan Penerapan Teknologi Industri. Universitas Mercu Buana
288
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
PENERAPAN E-GOVERNMENT DI INDONESIA: SUATU TINJAUAN Maria A. Kartawidjaja Fakultas Teknik Unika Atma Jaya, Jakarta email: [emailprotected] Abstrak Perkembangan teknologi yang sangat pesat dewasa ini membawa dampak yang sangat besar pada pola kehidupan manusia. Salah satu kemajuan teknologi ini adalah pemanfaatan komunikasi lewat jaringan internet. Kemudahan komunikasi ini sudah banyak dimanfaatkan manusia untuk melakukan pertukaran informasi, ataupun perdagangan lewat web, yang lazim disebut sebagai e-commerce. Sarana komunikasi ini juga dimanfaatkan Pemerintah Indonesia untuk membangun electronic government (E-Gov), dengan tujuan menyediakan sarana teknologi informasi yang efisien dan efektif untuk administrasi di bidang-bidang pemenrintahan, yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan menerapkan E-Gov, tidak berarti data yang sudah ada harus didaur ulang, melainkan data itu harus dikelola sedemikian rupa sehingga sesuai kebutuhan. Walaupun jelas E-Gov akan sangat membantu masyarakat dalam proses memperoleh informasi, ataupun melakukan berbagai proses secara interaktif dengan Pemerintah, namun sampai saat ini masih ada sejumlah kendala yang perlu diatasi agar E-Gov dapat dimanfaatkan secara optimal. Beberapa masalah yang masih sangat membutuhkan penanganan yang seksama dari Pemerintah antara lain adalah penyediaan infrastruktur dan sarana yang mendukung, informasi yang koheren dan transparan, sosialisasi dan bimbingan khusus bagi masyarakat yang masih awam dalam penggunaan teknologi informasi dan telekomunikasi (ICT), penyediaan fasilitas untuk masyarakat yang memiliki keterbatasan lahiriah, serta penanganan privasi dan keamanan informasi. Kata kunci: ICT, informasi, internet, sekuritas
1.Pendahuluan Perkembangan teknologi yang sangat pesat dewasa ini membawa dampak yang sangat besar pada pola kehidupan manusia. Salah satu kemajuan teknologi ini adalah pemanfaatan komunikasi lewat jaringan internet. Kemudahan komunikasi ini sudah banyak dimanfaatkan manusia untuk melakukan pertukaran informasi, ataupun perdagangan lewat web, yang lazim disebut sebagai e-commerce. Sarana komunikasi ini juga dimanfaatkan Pemerintah Indonesia untuk membangun Electronic government (E-Government), dengan tujuan menyediakan sarana teknologi informasi yang efisien dan efektif untuk administrasi di bidang-bidang pemenrintahan, yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. The World Bank Group mendefinisikan E-Government sebagai berikut: “E-Government refers to the use by government agencies of information technologies (such as Wide Area Networks, the Internet, and mobile computing) that have the ability to transform relations with citizens, businesses, and other arms of government” [1]. Dengan demikian jelaslah bahwa E-Government merupakan suatu layanan dari Pemerintah. Sebenarnya ada empat layanan yang dimungkinkan, yaitu layanan Pemerintah kepada publik (G2C: Government to Citizens), layanan Pemerintah dalam bisnis (G2B: Government to Business), layanan Pemerintah kepada Pegawai (G2E: Government to Employee), dan layanan antar-unit Pemerintah (G2G: Government to Government) [2]. Pembahasan dalam artikel ini difokuskan pada layanan Pemerintah kepada publik atau G2C. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan di berbagai negara dapat disimpulkan bahwa penerapan EGovernment pada sistem Pemerintahan dapat meningkatkan kinerja layanan. Sebagai contoh, penerapan EGovernment di California dapat menyediakan layanan yang efektif dan efisien bagi masyarakat dan meningkatkan pendapatan masyarakat [3], penerapan E-Government di Swedia pada Departemen Trasnportasi juga meningkatkan kinerja layanan dari Departemen tersebut [4]. Di Filipina, penerapan E-Gov di Kantor Investigasi Nasional yang mengurus dokumen misalnya yang dokumen yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, paspor, visa, juga telah berhasil mempersingkat proses administrasinya [5]. Demikian pula di negara berkembang seperti India dan Afrika, penerapan E-Government telah berhasil meningkatkan layanan dari pemerintah kepada masyarakat [6]. Walaupun jelas E-Government akan sangat membantu masyarakat dalam proses memperoleh informasi, ataupun melakukan berbagai proses secara interaktif dengan Pemerintah, namun sampai saat ini masih ada
289
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
sejumlah kendala yang perlu diatasi dan tantangan yang harus dihadapi agar E-Government dapat dimanfaatkan secara optimal. Artikel ini membahas mengenai tahap-tahap yang dibutuhkan untuk pembangunan E-Government, berbagai tantangan yang dihadapi Pemerintah, serta hambatan penerapan E-Government di Indonesia. E-Government bukanlah melulu suatu proses peralihan dari pengelolaan informasi secara konvensional menjadi informasi elektronik, melainkan pemanfaatan teknologi informasi dan telekomunikasi untuk meningkatkan layanan, dan membentuk suatu hubungan timbal-balik antara unit Pemerintah dan publik. Menurut Richard Heeks ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan agar penerapan dan pengembangan e-Gov berhasil dengan baik. Faktor-faktor tersebut adalah [7]: 1. Adanya dorongan dari luar pemerintahan, misalnya masyarakat, 2. Adanya dorongan dari pemegang kekuasaan dalam mewujudkan terlaksananya E-Gov, 3. Sejalan dengan visi dan strategi good governance, 4. Projek manajemen yang aktif, 5. Dukungan dan komitmen dari ownership dan stakeholder dalam menyikapi E-Gov, 6. Rancangan yang efektif ditinjau dari perspektif kebutuhan pengguna. 7. Mempunyai kompetensi yang handal dibidang Teknologi Informasi (IT) dan administrasi pemerintahan, 8. Sejalan dengan pengembangan teknologi infrastruktur. Umumnya pembangunan suatu E-Gov,mencakup tiga tahap [6], yaitu tahap publikasi informasi, tahap interaksi dengan publik, dan tahap transaksi. Tahap Publikasi Informasi Pada tahap ini Pemerintah akan menyediakan informasi yang dapat diakses publik dengan mudah melalui media komunikasi berkecepatan tinggi seperti internet. Publikasi di sini dapat mencakup berbagai hal, misalnya peraturan dan kebijakan pemerintah, formulir-formulir, informasi yang berkaitan dengan unit-unit pemerintah, dan lain sebagainya. Dengan tersedianya informasi yang dapat diakses dari rumah, kantor, ataupun tempat-tempat yang menyediakan fasilitas akses, maka birokrasi dapat dihindari dan korupsi dapat ditekan. Penyajian informasi sedapat mungkin menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat dan dilengkapi dengan ikon, agar masyarakat dapat menelusuri informasi dengan mudah. Tahap Interaksi Dengan Publik Sesudah tahap publikasi, maka ada tahap interaksi antara masyarakat dengan Pemerintah yang merupakan komunikasi dua arah. Pada tahap ini seyogyanya disediakan layanan e-mail, yang memungkinkan masyarakat untuk menanyakan hal-hal yag kurang dipahaminya. Selain itu, demi meningkatkan kinerja dari EGov, sebaiknya disediakan sarana bagi masyarakat untuk menyampaikan umpan-balik, kritikan ataupun keluhan atas layanan E-Gov ini. Tahap Transaksi Sesudah kedua tahap tersebut di atas, maka E-Gov dapat memasuki tahap ketiga yang menyediakan sarana transaksi online bagi masyarakat, misalnya untuk pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pengurusan dan pembayaran pajak, dan lain sebagainya. E-Gov merupakan sarana informasi elektronik yang disediakan pemerintah sebagai media interaksi antara pemerintah dan masyarakat. Adapun gagasan tersebut dikemukakan pada tahun 2003 dengan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 [8].
3.
E-Government Di Indonesia
Indonesia sebagai negara yang memiliki populasi penduduk lebih dari 200 juta sudah pasti membutuhkan suatu E-Government yang handal. Sebenarnya inisiatif untuk mengembangkan E-Government di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2001 dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 tentang Kerangka Kebijakan Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia yang menghimbau aparat Pemerintah untuk menggunakan teknologi telematika dalam mencapai tata-kelola yang baik, dan mempercepat proses demokrasi [9]. Implementasi E-Government kemudian diwujudkan melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 yang berkaitan dengan Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan EGovernment [8].
290
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia menyatakan bahwa terdapat lima unsur penting yang mendukung E-Gov, yaitu legal support, budaya/kultur, infrastruktur, konten dan organisasi [10]. Dasar hukum penerapan E-Gov sudah ada dengan dikeluarkannya Inpres No. 3 tahun 2003 dan Inpres No. 5 Tahun 2004, dan salah satu dukungan terhadap infrastruktur adalah program Palapa Ring yang mulai dibangun di Kawasan Timur Indonesia dengan maksud terciptanya pemerataan infrastruktur di Indonesia. Ini berarti masih perlu penataan konten dan organisasi serta penyesuaian budaya bangsa. Beberapa situs E-Government yang ada misalnya www.ri.go.id. yang merupakan situs akses internet bagi pejabat negara, www.pajak.go.id. yang merupakan situs informasi pajak, dan www.bkn.go.id. yang memuat informasi mengenai Pegawai Negeri Sipil. Dengan mempertimbangkan kondisi Indonesia saat ini, perlu diterapkan enam strategi yang saling terkait dalam rangka mencapai E-Government yang efektif dan efisien. Keenam strategi itu adalah sebagai berikut [8]: a. Mengembangkan sistem pelayanan yang handal, terpercaya, serta terjangkau oleh masyarakat luas. b. Menata sistem manajemen dan proses kerja pemerintah dan pemerintah daerah otonom secara holistik. c. Memanfaatkan teknologi informasi secara optimal. d. Meningkatkan peran serta dunia usaha dan mengembangkan industri telekomunikasi dan teknologi informasi. e. Mengembangkan kapasitas SDM baik pada pemerintah maupun pemerintah daerah otonom, disertai dengan meningkatkan e-literacy masyarakat. f. Melaksanakan pengembangan secara sistematik melalui tahapan-tahapan yang realistik dan terukur. Lembaga pemerintah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan E-Government adalah Direktorat EGovernment yang bernaumg di bawah Direktorat Jendral Aplikasi Telematika, Depkominfo. Direktorat EGovernment bertugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, prosedur, kiteria, pemberian bimbingan teknis, sosialisasi, implementasi, evaluasi dan pelaporan di bidang EGovernment. Bagi lembaga-lembaga pemerintah yang terbaik dalam menerapkan E-Government dalam kegiatan lembaganya, Pemerintah memberikan penghargaan yang berupa E-Government Award, dengan tujuan agar lembaga-lembaga Pemerintah semakin berupaya untuk memberikan layanan yang terbaik bagi masyarakat Indonesia. 4.Kendala Penerapan E-Government Di Indonesia Pada masa ini E-Government sudah banyak diterapkan, baik di negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang, ataupun di negara berkembang seperti India dan Indonesia. Namun penerapan E-Government yang menyeluruh bukanlah suatu hal yang mudah dan murah. Sampai saat ini masih terdapat sejumlah kendala yang perlu ditanggulagi untuk dapat dicapainya suatu sistem E-Government yang efektif dan efisien. Kendala-kendala itu adalah: a. E-Literacy b. Sarana akses d. Format data e. Privasi f. Sekuritas
E-Literacy Tidak dapat dipungkiri bahwa walapun infrastruktur teknologi sudah sangat berkembang masih ada kelompok masyarakat yang sangat awam dengan pemanfaatan teknologi. Hal ini terutama didapati pada masyarakat yang belum atau kurang tersentuh dengan pendidikan. Program E-Government harus melalukan sosialisasi bukan saja kapada masyarakat yang “melek teknologi”, namun juga kepada masyarakat yang “buta teknologi”. Soaialisasi dapat dibuat dengan program yang “user-friendly”, dengan tampilan yang menawan, atau menggunakan media surat kabar, radio dan televisi. Agar program E-Government dapat sukses, maka seluruh lapisan masyarakat harus “mampu dan tertarik” untuk memanfaatkan sistem ini. Sarana Akses Pemerintah harus mampu melayani seluruh lapisan masyarakat baik yang sehat ataupun cacat fisik. Oleh karena itu layanan secara online harus memperhitungkan kendala dari penderita cacat fisik. Sebagai contoh,
291
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
bagi para tunanetra dapat diintegrasikan program komputer yang sedang dikembangkan oleh BPPT [11] untuk membantu para tunanetra mengakses sistem informasi. Format Data E-Government adalah suatu sistem yang berkaitan dengan pengolahan data dalam jumlah yang sangat besar secara intensif. Data tersebut haruslah memiliki format baku dan ditata secara terstruktur, sehingga memudahkan pengelolaan informasi. Privasi Dan Sekuritas Privasi adalah salah satu isu penting yang berkaitan dengan penggunaan internet. Pemerintah memiliki data masyarakat, dan kerapkali data itu adalah data yang tidak boleh dibocorkan ke pihak lain. Ini berarti Pemerintah ikut bertanggungjawab atas kerahasiaan data tersebut. Kebocoran data dapat disebabkan oleh ketidakamanan jaringan komunikasi, namun jaga bisa disebabkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Masalah utama yang dihadapi adalah belum adanya pemahaman (awareness) akan masalah sekuritas. Walaupun dapat dimengerti bahwa penerapan E-Government di Indonesia masih pada tahap awal sehingga fokus utamanya bukan pada masalah sekuritas, namun tanpa penerapan sekuritas pada sistem E-Government, masalah akan timbul di kemudian hari. Oleh karena itu, penanganan privasi dan sekuritas sudah harus dicanangkan pada tahap awal perancangan suatu situs E-Government. Kendala-kendala tersebut di atas bukan hanya dialami oleh Pemerintah Indonesia, namun juga dialami oleh negara-negara lain yang menerapkan E-Government. Di samping kendala yang diuraikan di atas, masih ada tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan E-Government, yaitu infrastruktur untuk E-Government yang mahal, sumber daya manusia yang masih belum mencukupi, serta sikap sekelompok masyarakat yang masih ”enggan” untuk beralih ke sesuatu yang baru. 5.Kesimpulan Penerapan E-Government di Indonesia masih perlu penyempurnaan sebagaimana layaknya di negaranegara yang sudah maju. Beberapa masalah yang masih sangat membutuhkan penanganan yang seksama dari Pemerintah antara lain adalah penyediaan infrastruktur dan sarana yang mendukung, informasi yang koheren dan transparan, sosialisasi dan bimbingan khusus bagi masyarakat yang masih awam dalam penggunaan teknologi informasi dan telekomunikasi (ICT) atau masyarakat yang memiliki keterbatasan lahiriah, serta penanganan privasi dan keamanan informasi.
DAFTAR PUSTAKA [1] The World Bank Group, ” E – Government Definition”. http://www1.worldbank.org/publicsector/egov/definition.htm, diakses 8 Maret 2010. [2] Saldhana, A. 2007. Secure E-Government Portals. W3C Workshop on e-Government and the Web, National Academy of Sciences. Washington DC., USA. [3] Brannen, A. 2001. E-Government in California, Providing Services to Citizens Through Internet. Legislative Analyst’s Office. http://www.lao.ca.gov/2001/012401_egovernment.html, diakses 5 Maret 2010 [4] Grunden, K. 2009. A Social Perspective on Implementation of e-Government – a Longitudinal Study at the County Administration of Sweden. Electronic Journal of e-Government vol 7 issue 1 2009, page 65 – 76. Available online at www.ejeg.com. [5] Pascual, P. J. 2003. “e-Government”, e-ASEAN Task Force UNDP-APDIP [6] The e-Government Handbook For Developing Countries. www.infodev.org/en/Publication.16.html. Diakses 8 Maret 2010. [7] Heeks R. 2003. eGovernment for Development: Causes of eGovernment Success and Failure: Factor Model. IDPM, University of Manchester, UK. http://www.egov4dev.org/causefactor.htm. Diakses 8 Maret 2010. [8] Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government Jakarta.
292
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
http://kelembagaanfiles.pnri.go.id/pdf/about_us/official_archives/public/normal/20031219102428.pdf. Diakses tanggal 5 Maret 2010. [9] Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tshun 2001 Tentang Pengembangan Dan Pendayagunaan Telematika Di Indonesia. Jakarta. http://www.bappenas.go.id/node/133/2174/inpres-no-6-tahun-2001tentang-pengembangan-dan-pendayagunaan-telematika-di-indonesia/. Diakses tanggal 5 Maret 2010. [10] Achmad Rouzni Noor II – Detiknet, “Penerapan e-Gov Jangan ‘Otak Proyek’”, http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/26/time/173043/idnews/834801/id kanal/399. Diakses 10 Maret 2010. [11] Teknologi Informasi untuk Tunanetra. 2010. Surat kabar Suara Pembaruan tanggal 11 Maret 2010.
293
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
PEMETAAN MASALAH DALAM PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN MUTU PADA PERUSAHAAN SERTA SOLUSINYA
Djoko Agustono 1), Dyna Sri Andriyanie 2) 1) 2)
Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian – LIPI Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi – LIPI
Intisari Ketatnya persaingan di pasar global merupakan salah satu alasan diterapkannya sistem manajemen mutu di perusahaan. Makalah ini menguraikan tentang masalah yang secara umum dihadapi perusahaan dalam penerapan sistem manajemen mutu, serta solusi yang dapat diambil apabila masalah serupa terjadi.Makalah ini dibuat berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai sumber seperti internet, wawancara langsung dengan berbagai pihak dalam perusahaan, serta dari sumber-sumber informasi lainnya. Masalah-masalah yang terjadi antara lain disebabkan kurangnya komitmen terutama pada pimpinan puncak, kecenderungan pemilik/pengelola perusahaan untuk lebih memfokuskan bagaimana memperoleh sertifikat tetapi melupakan tujuan bagaimana memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari penerapan sistem mutu tersebut, serta adanya kejenuhan dari beberapa personel pelaksana langsung sistem manajemen mutu tersebut. Kesimpulan utama dalam makalah ini adalah permasalahan penerapan sistem manajemen mutu bukan diakibatkan oleh persyaratan yang ada pada sistem manajemen mutu tersebut, tetapi lebih pada cara atau bagaimana melaksanakan persyaratan yang diminta oleh sistem manajemen mutu. Selain itu dirasakan perlunya pemahaman yang baik dan benar dari personel perusahaan, terutama dari para manajer tentang sistem manajemen mutu yang diterapkan. Kata Kunci: Sistem Manajemen Mutu, Masalah, Solusi, Perusahaan.
Abstract Intense competition in global markets is one reason for the application of quality management systems in companies. This paper describes the general problems faced by companies in implementing quality management systems and solutions that can be taken if a similar problem arises. This paper is based on data obtained from various sources such as the Internet, direct interviews with various parties within the company, as well as from the other information sources. The problems occur partly due to lack of commitment, especially at top management, a tendency owner / manager of the company to focus on how to obtain the certificate, but forget the purpose of how to benefit as much as possible from the application of these quality systems, and the saturation of several executive personnel directly the quality management system. The main conclusions of this paper is the problem of application of quality management system is not caused by the existing requirements on the quality management system, but more on the way or how to implement the requirements demanded by the quality management system. Besides the perceived need for better understanding and the right of the company's personnel, especially from the managers of the quality management system is implemented. Keywords: Quality Management System, problems, solutions, the company. 1. Pendahuluan Era perdagangan bebas telah memaksa produsen barang dan jasa untuk lebih meningkatkan daya saing produk mereka. Salah satu cara yang paling umum ditempuh oleh perusahaan adalah dengan menerapkan sistem manajemen mutu yang sesuai dengan perusahaan mereka.
294
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Rata-rata pemilik perusahaan sangat berharap bahwa dengan penerapan sistem manajemen mutu yang sesuai akan memberikan manfaat pada perusahaan mereka, terutama manfaat financial. Selain itu kecenderungan semakin meningkatnya persaingan untuk masuk ke pasar global semakin nyata. Untuk itu penerapan sistem manajemen mutu, khususnya ISO 9001 merupakan suatu yang tidak dapat diabaikan lagi. Pada umumnya pada awalnya penerapan ISO 9001 ini dirasakan oleh beberapa perusahaan tampak lebih menguntungkan bagi mereka, namun setalah berjalan beberapa tahun, mulai tampak tanda-tanda terjadinya masalah dengan penerapan sistem manajemen mutu tersebut. Dengan munculnya permasalahan, maka mulai timbul keragu-raguan dalam penerapan sistem manajemen mutu tersebut. Apakah penyebab terjadinya permasalahan dalam penerapan sistem manajemen mutu, khususnya ISO 9001? dan bagaimana cara memecahkan masalah tersebut? 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Pengertian Sistem Manajemen Mutu Menurut Gaspersz (2001), Sistem manajemen mutu merupakan sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk (barang dan atau jasa) terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu. Kebutuhan atau persyaratan itu ditentukan atau dispesifikasikan oleh pelanggan dan organisasi. Sistem manajemen mutu mendefinisikan bagaimana organisasi menerapkan praktek-praktek manajemen mutu secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan pasar. Terdapat beberapa karakteristik umum dari sistem manajemen mutu, antara lain sebagai berikut (Gaspersz, 2001, pp.10-11): a. Sistem manajemen mutu mencakup suatu lingkup yang luas dari aktivitas-aktivitas dalam organisasi modern. Kualitas dapat didefinisikan melalui lima pendekatan utama, antara lain sebagai berikut: transcendent quality yaitu suatu kondisi ideal menuju keunggulan; product based quality yaitu suatu atribut produk yang memenuhi kualitas; user based quality yaitu kesesuaian atau ketepatan dalam penggunaan produk; manufacturing based quality yaitu kesesuaian terhadap persyaratan-persyaratan standar; value based quality yaitu derajat keunggulan pada tingkat harga yang kompetitif. •
Sistem manajemen mutu berfokus pada konsistensi dari proses kerja. Hal ini sering mencakup beberapa tingkat dokumentasi terhadap standar-standar kerja.
Sistem manajemen mutu berlandaskan pada pencegahan kesalahan sehingga bersifat proaktif, bukan pada deteksi kesalahan yang bersifat reaktif. Patut diakui pula bahwa banyak sistem manajemen mutu tidak akan efektif sepenuhnya pada pencegahan semata, sehingga sistem manajemen mutu juga harus berlandaskan pada tindakan korektif terhadap masalah-masalah yang ditemukan. Dalam kaitan dengan hal ini, sistem manajemen mutu merupakan suatu closed loop system yang mencakup deteksi, umpan balik, dan korelasi. Proporsi terbesar harus diarahkan pada pencegahan kesalahan sejak tahap awal.
295
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
2.2 Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 2008 Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 dikeluarkan oleh International Organization for Standardization pada akhir tahun 2008. Standar ini merupakan peningkatan dari seri sebelumnya yang dirilis tahun 2000, atau dikenal dengan ISO 9001:2000. ISO 9001:2008 adalah merupakan sistem manajemen mutu yang berlaku internasional. Standar atau persyaratan ini berisi klausul-klausul yang terdiri dari delapan Bab, yakni: - Bab 1: Umum - Bab 2: Pendahuluan dan Ruang Lingkup - Bab 3: Definisi - Bab 4: Sistem Manajemen Mutu - Bab 5: Tanggung-jawab Manajemen - Bab 6: Manajemen Sumber Daya - Bab 7: Realisasi Produk, dan - Bab 8: Pengukuran Analisa, dan Perbaikan. ISO 9001:2008 fokus pada bagaimana mengelola organisasi atau memberi petunjuk langkah-langkah yang perlu diikuti oleh organisasi agar bisa memberikan kepuasan kepada pelanggan. Langkah awal adalah adanya komitmen manajemen untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Salah satu wujud komitmen adalah dengan mengkomunikasikan kepada seluruh jajaran mengenai pentingya memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pelanggan dan penyediaan sumber daya yang diperlukan dalam rangka mewujudkan kepuasan pelanggan. Selain itu ditunjuk Wakil Manajemen atau Management Representative yang memiliki wewenang dan tanggung-jawab yang jelas dalam kaitannya dengan implementasi ISO 9001:2008. Selain itu manajemen juga harus memastikan bahwa proses dan sumber daya yang tersedia mampu untuk mewujudkan persyaratan pelanggan tsb. Untuk itu persyaratan pelanggan harus diidentifikasi, proses harus ditetapkan, sumber daya disediakan, proses direalisasikan dan dikendalikan, data dianalisa. Dokumentasi system manajemen mutu harus dikelola secara memadahi. Sistem Manajemen Mutu keseluruhan harus dicheck melalui audit internal dan eksternal guna mengevaluasi efektifitasnya dan ditinjau secara periodik melalui tinjauan manajemen guna menilai efektifitasnya serta kemungkinan perlunya perbaikan berkesinambungan. 2.3 Elemen-elemen Sistem Manajemen Mutu Sistem manajemen mutu mencakup elemen-elemen: tujuan, pelanggan, hasil-hasil, proses-proses, masukan, pemasok, dan pengukuran untuk umpan balik dan umpan maju.. 2.4 Alasan Perusahaan Menerapkan Sistem Manajemen Mutu Banyak alasan mengapa perusahaan-perusahaan menerapkan sistem manajemen mutu, antara lain: −
Mendorong proses kerja perseroan menjadi lebih efektif dan efisien. (Susan Silaban, 2009)
−
Memberikan dampak positif bagi pendapatan perusahaan (http://www.interking.com/ads/konsultaniso.htm)
−
Produk lebih kompetitif di pasar internasional (Bambang Kesit, 2009)
−
Meningkatkan cost, efficiency dan keamanan produk
296
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
(http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=195:iso-90012008bbsdlp&catid=1:latest&Itemid=1) −
Penjualan terus meningkat dan perbaikan sistem supaya menjadi lebih baik. (Gunawan, N.Y., 2006) Alasan utama adalah adanya tuntutan pelanggan. Alasan-alasan lainnya antara lain adalah, kompetitor
telah atau sedang mengurus sertifikasi, dan untuk dapat bersaing di pasar global. Perlu diketahui bahwa kecenderungan pasar internasional bagi segala macam produk saat ini menuntut standar kualitas atau mutu yang semakin tinggi.
2.5 Tahapan Penerapan Sistem Manajemen Mutu Tidak ada tahapan baku dalam menerapkan sistem manajemen mutu. Namun pada umumnya tahapantahapan dalam penerapan sistem manajemen mutu adalah sebagaimana yang diutarakan Gasperz (2001, hal. 18) sebagai berikut: a. Komitmen dari manajemen puncak b. Pembentukan Komite Pengarah c. Pelajari Persyaratan Standar Sistem Manajemen Mutu d. Melakukan training pada semua anggota organisasi e. Melakukan peninjauan ulang manajemen f. Mengklasifikasi dokumen g. Mengimplementasikan sistem manajemen mutu h. Melaksanakan audit internal.
3. Metodologi Penelitian Penelitian yang telah dilakukan merupakan penelitian yang masuk dalam kategori deskriptif kualitatif. Penelitian ini. bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang mengapa terjadi kekecewaan pemilik/pengelola perusahaan yang telah menerapkan sistem manajemen mutu dan menganggap bahwa sistem manajemen mutu yang telah diterapkannya tersebut tidak membuat perusahaan lebih maju. Data awal yang dimiliki peneliti menyebutkan bahwa beberapa perusahaan tidak mengalami kemajuan dalam bisnisnya setelah beberapa tahun menerapkan sistem manajemen mutu. Dugaan awal terjadinya permasalahan adalah, kurangnya komitmen pimpinan puncak, sehingga perbaikan manajemen sering dilakukan secara setengah hati, sehingga tidak dapat mencapai tujuan secara optimal.
297
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Lokasi Penelitian meliputi daerah-daerah: DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan sejak awal tahun 2009 sampai sekarang.
4.
Permaslahan dan Solusi Dalam Penerapan Sistem Manajemen Mutu di Perusahaan Permasalahan yang umumnya dihadapi perusahaan setelah menerapkan sistem manajemen mutu pada
perusahaannya antara lain adalah: a. Banyak sekali kegiatan yang tidak sesuai dengan dokumen mutu yang mereka miliki, baik Prosedur maupun Instruksi Kerja. b. Pimpinan perusahaan kesulitan untuk memenuhi janjinya dalam penyediaan sumber daya yang memadai. c. Kesulitan dalam menelusuri akar penyebab sebuah persoalan. d. Keuntungan perusahaan cenderung untuk turun setiap tahunnya. e. Kinerja perusahaan yang cenderung turun. f. Motivasi kerja karyawan yang cenderung turun g. Banyak pelanggan yang “lari” ke produk perusahaan lain. Jadi secara garis besar untuk mengatasi masalah tidak diperolehnya manfaat penerapan Sistem Manajemen Mutu adalah: a. Menyadarkan manajemen puncak bahwa komitmen mereka sebagaimana yang tertuang dalam dokumen mutu perlu benar-benar dilaksanakan. b. Apabila selama ini perusahaan hanya fokus ke persyaratan legal, maka perlu diingatkan ke seluruh jajaran organisasi bahwa hal tersebut kurang tepat. Seharusnya semuanya sadar bahwa Sistem Manajemen Mutu dapat benar-benar dimanfaatkan untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya bagi perusahaan. Dengan mengikuti seluruh aturan yang telah disepakati, dapatlah dengan mudah semua kegiatan terkontrol, yang pada akhirnya bisa mengurangi pemborosan-pemborosan yang tidak perlu. c. Problema dalam menerapkan Sistem Manajemen Mutu juga bisa diakibatkan keahlian/ketrampilan karyawan yang tidak mendukung “continual improvement”. Hal ini sering terjadi karena keengganan pimpinan perusahaan untuk mengirimkan karyawannya mengikuti diklat. Dengan demikian pimpinan perusahaan perlu diingatkan kembali bahwa mengikuti diklat jangnlah diartikan membuang uang, tetapi meningkatkan keahlian/keterampilan karyawan, yang pada gilirannya nanti akan memberikan kontribusi terhadap kemajuan perusahaan. d. Hal lain yang perlu disadari oleh pimpinan perusaan adalah, kejenuhan yang terjadi pada karyawan perusahaan dalam menerapkan Sistem Manajemen Mutu. Akibatnya bisa fatal, karena karyawan tidak lagi termotivasi untuk melakukan tindakan peningkatan berkelanjutan, bahkan bisa cenderung untuk mengurangi
298
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
produktivitas mereka. Untuk itu pimpinan perusahaan harus mampu membuat terobosan-terobosan baru dalam menerapkan Sistem Manajemen Mutu, sehingga tidak terjadi kejenuhan 5.
Kesimpulan
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: (1) Permasalahan penerapan sistem manajemen mutu bukan diakibatkan oleh persyaratan yang ada pada sistem manajemen mutu tersebut, tetapi lebih pada cara atau bagaimana melaksanakan persyaratan yang diminta oleh sistem manajemen mutu. (2) Dari berbagai pengamatan tentang penerapan sistem manajemen mutu di perusahaan, maka ada beberapa alasan mengapa penerapan sistem manajemen mutu tersebut tidak/kurang efektif, antara lain: z
Sejak dari awal pemilik/pengelola perusahaan lebih cenderung untuk bagaimana memperoleh sertifikat sistem manajemen mutu, bukan bagaimana memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya dari penerapan sistem manajemen mutu yang dipilih.
z
Beberapa pemilik/pengelola perusahaan menganggap bahwa inti dari penerapan sistem manajemen mutu adalah pada pembuatan dokumen mutu. Sehingga mereka memfokuskan diri bagaimana membuat dokumen mutu yang sesuai dengan persyaratan. Padahal seharusnya pandangan lebih difokuskan ke bagaimana meningkatkan kinerja perusahaan dengan memanfaatkan sistem manajemen mutu yang diterapkan tersebut.
z
Beberapa pemilik/pengelola perusahaan lebih fokus pada persyaratan legal, bukan pada tujuan/maksud dari persyaratan yang telah ditentukan dalam sistem manajemen mutu tersebut.
(3) Hal lain yang juga dapat diidentifikasi sebagai penyebab mengapa sistem manajemen mutu dianggap tidak mampu lagi dalam memajukan perusahaan adalah, terjadinya kejenuhan pada beberapa personel yang berkaitan dengan mutu, dalam menerapkan sistem manajemen mutu tersebut, terutama dalam “continual improvement” (4) Hal lain yang juga tidak kalah penting yang dapat diduga sebagai penyebab masalah dalam penerapan sistem manajemen mutu adalah, mulai berkurangnya/tidak lagi komitmen para manajemen dan karyawan dalam menerapkan sistem manajemen mutu secara baik dan benar. 5.2
Saran Untuk mengoptimalkan manfaat yang diperoleh dalam penerapan sistem manajemen mutu, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai berikut: (1) Para manajer dan karyawan harus saling mengingatkan tentang komitmen awal mereka dalam menerapkan
299
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
sistem manajemen mutu. (2) Untuk menghindari kejenuhan, perlu adanya “variasi” dalam menerapkan sistem manajemen mutu. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan lomba, dimana dilakukan penilaian terhadap para pengusul “continual improvement”. Memberikan hadiah bagi mereka yang dianggap berhasil menemukan kegiatan yang memberikan manfaat yang lebih baik/besar bagi perusahaan. (3) Saling mengingatkan bahwa tujuan utama dari penerapan sistem manajemen mutu bukan hanya untuk memperoleh sertifikat, tetapi yang lebih penting adalah memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari penerapan sistem manajemen mutu yang dipilih. (4) Harus selalu diingatkan kepada siapa saja yang terlibat dalam penerapan sistem manajemen mutu, bahwa, kalau terjadi permasalah pada penerapan sistem manajemen mutu, yang salah bukannya persyaratan yang harus dipenuhi dalam sistem tersebut, tetapi pada cara bagaimana melaksanakan persyaratan yang diminta.
6. Daftar Pustaka a.
Gaspersz, Vincent. “Total Quality Management (TQM)”, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2001.
b. Gunawan N.Y. “Evaluasi Kinerja Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 Pada PT Indo Karya Anugerah”, Fakultas Ekonomi, Universitas Bina Nusantara, 2006. c.
http://www.interking.com/ads/konsultaniso.htm
d.
Kesit,
B..
“Mengapa
Mengimplementasikan
ISO
9001:200?”,
(http://bambangkesit.staff.uii.ac.id/2009/01/15/mengapa-mengimplementasikan-iso90012000/.) e.
Silaban,
S.,
”BTEL
Raih
Sertifikat
ISO
9001:2008
“,(http://www.inilah.com/news/read/ekonomi/2009/10/16/168764/btel-raih-sertifikat-iso90012008/)
300
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
KETIDAKSESUAIAN YANG SERING DITEMUKAN PADA AUDIT INTERNAL LABORATORIUM BERBASIS SNI ISO/IEC 17025:2008 Sri Kadarwati Puslit Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian-LIPI Komplek Puspiptek Gedung 413 Serpong Tangerang Selatan 15314
Intisari Pada laboratorium yang menerapkan SNI ISO/IEC 17025:2008, audit internal merupakan persyaratan yang harus dilakukan setiap tahun untuk mengetahui apakah laboratorium telah menerapkan sistem manajemen mutu dengan baik. Untuk mengetahui ketidaksesuaian apa saja yang sering terjadi pada audit internal, telah dilakukan kajian terhadap hasil audit internal dari tiga laboratorium pengujian. Hasil pengkajian memperlihatkan ada kesamaan ketidaksesuaian dari tiga laboratorium tersebut yaitu ketidaksesuaian pada klausul 4.3 Pengendalian dokumen, 4.10 Peningkatan, 4.13 Pengendalian Rekaman, 5.2 Personel, 5.5 Peralatan, 5.9 Jaminan mutu hasil pengujian. Abstract SNI ISO/IEC 17025:2008 require that a laboratory has to conduct an internal audit annually, in order to verify that its operations continue to comply with requirements of the management system. To get an information about nonconformities that often occurred in internal audit, a study toward the internal audit findings from three testing laboratories has been done. The study shows there are some similarity of nonconformity identified such as nonconformities of clause 4.3 Control of document, 4.10 Improvement, 4.13 Control of records, 5.2 Personnel, and 5.5 Equipment, 5.9 Assuring the quality of test result. Kata kunci: laboratorium, audit internal, SNI ISO/IEC 17025:2008
1.Pendahuluan SNI ISO/IEC 17025:2008 adalah adopsi indentik dari ISO/IEC 17025:2005. Dokumen ini diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) sebagai persyaratan umum kompetensi laboratorium pengujian dan laboratorium kalibrasi. SNI ISO/IEC 17025:2008 digunakan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) sebagai persyaratan akreditasi. Artinya laboratorium pengujian atau kalibrasi akan diakreditasi oleh KAN hanya apabila telah memenuhi/menjalankan semua persyaratan yang ada pada standar tersebut.
301
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
abel 1. Persyaratan dalam SNI ISO/IEC 17025:2008 Persyaratan Manajemen 1. Organisasi
Persyaratan Teknis 1. Umum
2. 3. 4.
Sistem manajemen Pengendalian dokumen Kaji ulang permintaan, tender dan kontrak
2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9.
Subkontrak pengujian dan kalibrasi Pembelian jasa dan perbekalan Pelayanan kepada pelanggan Pengaduan Pengendalian pekerjaan pengujian dan/atau kalibrasi yang tidak sesuai Peningkatan Tindakan perbaikan Tindakan pencegahan Pengendalian rekaman Audit internal Kaji ulang manajemen
5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15.
10.
Personel Kondisi akomodasi dan lingkungan Metode pengujian, metode kalibrasi dan validasi metode Peralatan Ketertelusuran pengukuran Pengambilan contoh (sample) Penangan barang yang diuji dan dikalibrasi Jaminan mutu hasil pengujian dan hasil kalibrasi Pelaporan hasil
Persyaratan didalam SNI ISO/IEC 17025:2008 terdiri atas Persyaratan Manajemen dan Persyaratan Teknis, seperti diperlihatkan pada Tabel 1.Untuk mengetahui apakah laboratorium telah melaksanakan persyaratan-persyaratan tersebut, maka laboratorium melakukan audit internal. Audit dilakukan dengan cara memverifikasi kesesuaian semua kegiatan yang dilakukan laboratorium
dengan persyaratan standar sistem
manajemen mutu SNI ISO/IEC 17025:2008. Apabila di dalam pelaksanaan audit ditemukan ketidaksesuaian maka harus dilakukan perbaikan, sehingga kesesuaian pelaksanaaan kegiatan laboratorium dengan persyaratanpersyaratan standar manajemen mutu dapat segera dipulihkan. Makalah ini memperlihatkan kecenderungan ketidaksesuaian yang sering terjadi pada audit internal laboratorium mengacu kepada persyaratan SNI ISO/IEC 17025:2008. Kajian yang dilakukan terhadap hasil audit internal dari tiga laboratorium pengujian yang berbeda bidang menunjukkan adanya kesamaan ketidaksesuaian di beberapa klausul, yaitu ketidaksesuaian pada klausul 4.3 Pengendalian dokumen, 4.10 Peningkatan, 4.13 Pengendalian Rekaman, 5.2 Personel, 5.5 Peralatan, 5.9 Jaminan mutu hasil pengujian. Oleh karena itu klausul-klausul tersebut harus mendapat perhatian dari pengelola sistem manajemen mutu agar dapat dilakukan tindak pencegahan. 2.Tinjauan Pustaka Beberapa istilah dan definisi yang berhubungan dengan audit, diberikan oleh SNI 19-19011-2005 dan APLAC TC 002-2006, antara lain sebagai berikut; Audit: proses yang sistematik, independen dan terdokumentasi untuk memperoleh bukti audit dan mengevaluasinya secara obyektif untuk menentukan sejauh mana kriteria audit dipenuhi. Bukti audit: rekaman, pernyataan tentang fakta atau informasi lain yang terkait dengan kriteria audit dan dapat diverifikasi. Kriteria audit: seperangkat kebijakan, prosedur atau persyaratan yang digunakan sebagai acuan pembanding terhadap bukti audit. Ketidaksesuaian: adalah tidak terpenuhinya suatu persyaratan dari kriteria audit.
302
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Ketidaksesuaian dalam audit internal ada dua katagori, yaitu: 1.
Ketidaksesuaian major: merupakan penyimpangan yang sangat signifikan dalam sistem manajemen mutu dan akan langsung mempengaruhi mutu data hasil pengujian/kalibrasi. Ketidaksesuaian ini harus segera diperbaiki
2.
Ketidaksesuaian minor: merupakan penyimpangan yang secara tidak langsung mempengaruhi mutu hasil pengujian/kalibrasi. Tindak perbaikan dilakukan sesuai waktu yang telah ditentukan. Adapun menurut Anwar Hadi audit internal laboratorium diartikan sebagai suatu proses yang dimiliki
oleh laboratorium untuk penerapan sistem majemen mutunya dengan melakukan penilaian sistematik dan mandiri untuk menetapkan apakah kegiatan mutu dan hasil yang berkaitan sesuai dengan pengaturan yang direncanakan. SNI ISO/IEC 17025:2008 mensyaratkan laboratorium pengujian harus melakukan audit internal secara periodik, sesuai dengan jadwal dan prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya. Program audit internal harus ditujukan pada semua unsur sistem manajemen termasuk kegiatan pengujian. Audit internal paling tidak harus dilakukan setahun sekali. 3.Metoda Penelitian Data yang dipergunakan pada kajian ini adalah data primer yang merupakan hasil audit internal dari tiga laboratorium pengujian yang berbeda bidangnya, yaitu bidang pengujian mekanik, kelistrikan dan kimia. Hasil audit tersebut dianalisa dan dibandingkan satu sama lain untuk melihat kecenderungan ketidaksesuaian yang ditemukan terdapat pada klausul yang mana. 4.Hasil dan Pembahasan Hasil audit internal dari 3 laboratorium pengujian, menemukan ketidaksesuaian masing-masing sebagai berikut: laboratorium mekanik menemukan 12 ketidaksesuaian katagori major dan 9 ketidaksesuaian katagori minor, laboratorium kelistrikan menemukan 16 katagori major dan 7 katagori minor, sedangkan laboratorium kimia menemukan 14 katagori major dan 11 katagori minor. Setelah dilakukan analisa, maka ketidaksesuaian yang memiliki kesamaan dapat dikelompokkan menjadi 6 klausul, seperti diperlihatkan pada Tabel 2.
303
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 2.Pengelompokan ketidaksesuaian yang terjadi pada tiga laboratorium pengujian. Klausul 4.3
Pengendalian dokumen
4.10
Peningkatan
4.13
Pengendalian Rekaman
5.2
Personel
5.5
Peralatan
5.9
Jaminan mutu hasil pengujian
Mekanik Dokumen kedaluwarsa masih belum ditarik dari laboratorium dan tidak ada cap kedaluwarsa. Tidak mempunyai bukti distribusi dokumen
Mempunyai Program Peningkatan tetapi tidak ada monitoring dan Evaluasi Rekaman tidak memakai indeks, sehingga sulit untuk ditemukan kembali Rekaman riwayat alat tidak lengkap Belum memiliki Program Peningkatan kompetensi personil Beberapa peralatan terlambat dikalibrasi ulang Satu peralatan belum dikalibrasi Tidak melakukan pengukuran antara Belum melakukan Uji Banding
Laboratorium Kelistrikan Tidak mempunyai daftar induk dokumen Identitas dokumen tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan
Belum mempunyai Program Peningkatan. Rekaman tidak memakai indeks, sehingga sulit untuk ditemukan kembali Rekaman riwayat alat tidak ditemukan Belum memiliki Program Peningkatan kompetensi personil Beberapa peralatan terlambat dikalibrasi ulang Tidak melakukan pengukuran antara Belum melakukan Uji Banding
Kimia Dokumen kedaluwarsa masih belum ditarik dari laboratorium dan tidak ada cap kedaluwarsa. Dokumen yang kedaluwarsa tidak ditarik dari Manajer Puncak Mempunyai Program Peningkatan tetapi tidak ada monitoring dan Evaluasi Rekaman data teknis ada yang tidak diidentifikasi.
Belum memiliki uraian kerja untuk masingmasing pelaksana uji Beberapa peralatan terlambat dikalibrasi ulang Telah melakukan pengukuran antara Sudah melakukan Uji Banding dan Uji Profisiensi
Melihat kecenderungan kesamaan klausul dimana ketidaksesuaian yang ditemukan, maka ketidaksesuaian diatas dapat digolongkan sebagai ketidaksesuaian yang potensial menimbulkan penyimpangan hasil pengujian. Klausul-klausul dimana ketidaksesuaian sering terjadi perlu mendapat perhatian agar dapat dilakukan tindak pencegahan sehingga tidak terjadi penyimpangan yang serupa. Jumlah data hasil audit yang hanya meliputi tiga laboratorium memang agak kurang memadai. Hasil kajian akan semakin valid apabila data yang diperbandingkan semakin banyak, akan tetapi untuk mendapatkan data hasil audit dari sebuah laboratorium sangat sulit, karena data hasil audit bersifat rahasia. Apabila data cukup banyak, maka metode pembandingan dapat dilakukan dengan cara mengkuantisasi data audit yang bersifat kualitatif, dengan memberikan score sesuai dengan berat/ringannya ketidaksesuaian yang ditemukan. 5.Kesimpulan Dari hasil analisa temuan ketidaksesuaian pada tiga laboratorium pengujian dapat diambil kesimpulan bahwa ketidaksesuaian yang sering terjadi dalam audit internal ada pada klausul 4.3 Pengendalian dokumen, 4.10 Peningkatan, 4.13 Pengendalian Rekaman, 5.2 Personel, 5.5 Peralatan, 5.9 Jaminan Mutu Hasil Pengujian.
304
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Oleh karena itu, ketidaksesuaian tersebut dapat digolongkan sebagai ketidaksesuaian yang potensial menimbulkan penyimpangan hasil pengujian dan harus menjadi perhatian pengelola sistem manajemen mutu, sehingga dapat dilakukan tindak pencegahan sesuai klausul 4.12. Daftar Pustaka 1.
SNI ISO/IEC 17025:2008, “Persyaratan umum kompetensi laboratorium pengujian dan kalibrasi”, Badan Standardisasi Nasional.
2.
SNI 19-19011-2005 “ Panduan audit sistem manajemen mutu dan/atau lingkungan” Badan Standardisasi Nasional.
3.
APLAC TC 002-2006, Internal audit for laboratories and inspection body, Issue No. 3, Asia Pasific Laboratory Accreditation Cooperation.
4.
Anwar Hadi, “Pemahaman dan Penerapan ISO/IEC 17025:2005”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.
5.
“Guidance for Documenting and Implementing ISO/IEC 17025:2005 & Laboratory Guidance,” Laboratory Accreditation Bureau, Revision 2, 2006.
305
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
PENINGKATAN KUANTITAS DAN KUALITAS INDUSTRI MANUFAKTURING NASIONAL MELALUI PENERAPAN SERIUS SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9000 Masri Wendy Zulfikar BTMP-BPPT, PUSPIPTEK HP. 0815 14160208 email: [emailprotected] Abstrak Hingga sewasa ini, industri manufakturing nasional secara ekomomik kurang dapat berkompetisi dengan industri label asing didalam dan luar negeri.. Produk lokal sulit terjual dalam pasar sendiri, yang dituduhkan terkendala dengan kualitas produknya. Pelanggan dalam negeri sangat bangga dengan produk import dengan argumentasi wajar: banyak pilihan model, garansi cukup panjang waktu, kualitas terjamin dan harga masih terjangkau. Labih lagi diera globalisasi ini tidak ada lagi proteksi pemerintah untuk melindungi produk dalam negeri. Kajian ini akan melihat, seberapa pengaruh adopsi sistem manajemen mutu ISO 900 (QMS~quality management system) dapat membantu, meningkatkan percaya diri dan kemampuan organisasi perusahaan yang dipakai standar manajemen industri nasional. Singapore dan Malaysia telah memacu industrinya yang mengadopsi manajeman ISO 9000, sehingga mampu meningkatkan kompetisi pada pasar lokal, regional dan internasionalnya. Keluhan pelangggan dapat ditekan hingga 60% dan kepuasan pelanggan meningkat drastis sebanding dengan konsistensinya dalam penerapan standar internasional itu. Kegagalan hanya sering terjadi di industri dalam negeri, karena Standar manajemen ISO 9000 tidak dijalankan secara fokus sebagai manajemen perusahaan, dan sering hanya berfungsi sebagai label saja. Kata kunci: organisasi, produk lokal, industri, ISO 9000 1.
Pendahuluan Pada masa tahun 70 an perkembangan industri, aspek kualitas pada produk barang dan jasa belum
menjadi fokus perhatian, karena jumlah konsumen lebih banyak daripada produk atau layanan yang ditawarkan. Perkembangan teknologi masih belum mendominasi variasi barang, industri belum banyak, sementara itu barang sedikit dan konsumen sangat banyak. Pada perkembangan selanjutnya, ketika industri mulai memasuk aneka ragam produk dan jasa, pasar mulai jenuh dengan berbagai macam merek dan tawaran keunggulan produk, sehingga konsumen dihadapkan pada banyak alternatif untuk membeli barang. Dari sinilah mulai terjadi kompetisi para pembuat barang dan memaksa pihak industri berkonsentrasi pada selera / minat pembeli dengan konsep kualitas yang melekat pada produknya. Mulanya konsep “kualitas” tertuju pada kualitas produk semata. Produk hanya dilihat dari penampilan fisik ⇒ fungsi, karakteristik, warna, ada tidaknya cacat, mudah perawatan. Kemudian berlanjut pada pertimbangan biaya (cost), delivery, safety dan terus berkembang lebih komplek lagi hingga perlunya jaminan produk. Industri berlomba memberikan garansi produk, dapat suku cadang (fast moving part), sevice atau ganti baru / uang kembali untuk waktu 1 minggu, 3 tahun, 20 tahun dan bahkan ada yang memberikan life-time warannty. Semakin besarnya (banyak items) tuntutan mutu oleh pelanggan, membuat kebanyakan organisasi bisnis Indonesia yang tidak peka pada setiap perubahan prilaku konsumen, sehingga produk lokal tidak kompetitif di pasar. Untuk itu perlu dikaji dan ditemukan suatu alat / sistem jitu yang dapat mempercepat ketertinggalan produk lokal. Konsep mutu, bukan lagi terbatas di bengkel / layanan produksi, dan QC, tetapi sudah menjadi konsen manajemen yang dimulai dari pengaturan organisasi. Konsumen menentukan pilihan produk akan melihat bagaimana organisasi pemasok itu bekerja. Nilai kepercayaan pada organisasi pemasok, akan dilihat bagaimana
306
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
segala proses yang merangkai terbentuknya produk itu sampai kepada konsumen. Dengan demikian organisasi mutu sepatutnya memprioritaskan pada o
Customer needs (hanya membuat produk yang dibutuhkan pelanggan)
o
Customer satisfactions (mencapai kepuasan pelanggan lahir / bathin)
o
Customer expectations (menjawab harapan pelanggan)
Lembaga pengelola harus memiliki keputusan yang mengadopsi suatu sistem manajemen, yang konsisten pengendalian mutu sepanjang masa, karena pelanggan adalah teman sepanjang masa, bukan pelanggan temporary. 2.
Tinjauan Pustaka Umumnya perusahaan atau industri yang bertahan dan sukses di abad 21, adalah perusahaan yang
sangat memperhatikan mutu untuk diterapkan disemua lini kerja kelembagaannya. Berbagai macam tingkatan layanan pada pelanggan harus direspon, termasuk didalamnya perlunya penetapan standard produk / jasa, bahkan sampai pada pengelolaan sistem berorganisasi. Dalam tinjauan pustaka, berbagai teori dan praktek manajemen mutu dipakai oleh kalangan organisasi, dan salah satu yang sangat populer dikenal sebagai standar internasional yang lebih disebut ISO 9000. Latar belakang dan sejarah perkembangan famili ISO 9000, dikembangkan oleh lembaga dunia yang bernama ISO (International Organization for Standardization) yang merupakan organisasi non pemerintah dan anggotanya terdiri dari sejumlah badan standarisasi nasional dari beberapa negara. Standard Manajemen Mutu ISO-9000 (QMS – Quality Management System) mulai diperkenalkan pada tahun 1987 di Jenewa – Switzerland. Model Standard ISO-9000 sering dipakai sebagai pedoman standard untuk o
perancangan,
o
pabrikasi,
o
penjualan,
o
perbankan,
o
pendidikan,
o
pemerintahan dan
o
pelayanan lainnya, baik berupa barang maupun jasa.
Standar ISO 9000: 2008 adalah versi ke-IV, yang diterbitkan pada 14 Nopember 2008, menggantikan tiga versi terdahulu ISO 9001:2000, dan ISO 9001, 9002, 9003 versi 1994. Sebelum Desember 2000, dipakai istilah standar ISO 9001, 9002, 9003. Dan ketika sesudah Desember 2000, the International Organization for Standardization meleburkan menjadi standar ISO 9001 saja, untuk membedakan dengan versi sebelumnya. Selanjutnya pada revisi yang terbaru dipakai istilah ISO 9001 untuk ISO 9001:2008 yang diluncurkan pada Nopember 2008, sebagaimana logo yang sukses pada ISO 9000:2000. Secara paraktis makna ISO 9000 dan ISO 9001 dianggap sama. Umumnya perubahan dan perbaikan dukumen standar dilakukan 7 tahun sekali. Untuk versi baru 9000:2008 tidak banyak perubahan dan masih mengacu pada versi sebelumnya. Bagi pihak yang masih menerapkan versi 9000:2000, masa kadalursanya m asih ada 8 bualan lagi yaitu berakhir pada 13 Nopember 2010. Penulis lebih fokus pada evaluasi manajeman versi 2000, untuk bahan kajian karena banyak data yang tersedia untuk dilakukan penelitian. Sebagai ilustrasi dapat dilihat famili ISO 9000:2000 sbb
307
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Nama Standar
Uraian
ISO 9000
Quality management systems - Fundamentals and vocabulary
ISO 9001
Quality management systems - Requirements
ISO 9004
Quality management systems - Guidelines for performance improvements
Berbagai perusahaan dunia saling berlomba membuat keputusan investasi jitu untuk memperoleh sertifikasi ISO 9000 untuk kegiatan sistem manajemen mutu. Mereka berharap dengan sertifikasi yang didapat akan membawa manfaat eksternal seperti meningkatnya kepuasan pelanggan, besarnya penguasaan pasar, serta meningkatnya margin keuntungan dan kesejahteraan pegawai. Disamping itu dirasakan manfaat internal, seperti naiknya produktivitas, pengoperasian yang efisiensi, pengendalian manajemen lebih baik, dan meningkatnya kesadaran karyawan. 2.1.
Prinsip Standar ISO 9001 Semua persyaratan dari Standar Internasional ini adalah “generik” (umum) dan dapat diterapkan pada
hampir semua organisasi, tanpa menghiraukan jenis, ukuran dan macam produk yang dihasilkan. Suatu ketetapan yang harus dipatuhi bahwa organisasi yang menerapkan QMS ISO 9001:2000 harus menetapkan, mendokumentasikan, menerapkan dan memelihara sistem manajemen mutu dan secara berkelanjutan meningkatkan efektivitasnya sesuai dengan persyaratan Standar Internasional. Adapun semua persyaratannya termaktub pada pasal 4, 5, 6, 7 dan 8 yang harus diikuti sebagai standar all:
2.2.
Pasal 4.
Sistem manajemen mutu
Pasal 5.
Tanggung jawab manajemen
Pasal 6.
Manajemen sumber daya
Pasal 7.
Realisasi produk
Pasal 8.
Pengukuran, analisis dan peningkatan
Enam Keunggulan ISO 9001:2000 Hingga saat ini peranan konsultan dan lembaga pelatihan ISO 9000 masih dibutuhkan untuk memberi
penjelasan, menuntun secara rinci, bagaimana menyusun, menjalankan dan memelihara dokumen sistem mutu yang menjadi syarat pada pasal 4, 5, 6, 7, 8, untuk memperagakan bahwa organisasi sudah sesuai dengan standar internasional tsb, dan mempercepat mendapatkan sertifikat ISO 9001. Konsultan berupaya mempercepat (mendrive) perubahan prilaku / budaya kerja sebagaimana layaknya yang dikehendaki manajemen modern. Secara umum pelaksanaan ke-5 pasal tsb dapat diuraikan menjadi 6 keunggulan ISO 9001 sbb: 2.2.1.
Terbangunnya Sistem “Quality Management” Organisasi diminta membiasakan diri untuk mencatat, memelihara setiap hal yang penting dan hanya
menjalankan sesuai dengan dokumen yang sudah direncanakan. Semua dukumen mutu ditinjau pada selang waktu tertentu untuk dilihat keefektifannya, serta dimutakhirkan sesuai dengan tuntutan pelanggan / publik pemakai. Semua dokumen dan bukti pekerjaan (rekaman) harus dipelihara.
308
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
2.2.2.
Peran Pucuk Pimpinan. Pesan mutu harus menjadi komitmen pucuk pimpinan. Struktur organisasi, wewenang dan tanggung
jawab, partisipasi semua level pekerja dan staf ditetapkan dengan yang jelas dan dipatuhi dalam pelaksanaannya. Sumberdaya yang mendukung pelaksanaan manajemen mutu harus tersedia, dan bekerja dengan benar. Kegiatan pelatihan (pada sub. Pasal 6.2.1.b.) untuk ketrampilan tenaga yang memadai harus dijadwalkan, dan kualifikasi tenaga kerja dapat dibuktikan ketersediaannya. Tugas dan tanggung manajemen pada pasal 5. jelas diuraikan menjadi 6 sub.pasal pada standar ini, sehingga posisi perhatian menjadi sangat penting yang melebihi ke-5 pasal yang lainnya, seperti;
2.2.3.
Sub.pasal 5.1. Komitmen Manajemen
Sub.pasal 5.4. Perencanan Mutu
Sub.pasal 5.2. Fokus pada Pelanggan
Sub.pasal 5.5. Komunikasi
Sub.pasal 5.3. Kebijakan Mutu
Sub.pasal 5.6. Tinjauan Manajemen
Keterlibatan Semua Orang. Keterlibatan semua pihak dalam organisasi dapat terlaksana dengan baik dengan adanya komitmen
semua karyawan.
Komitmen seseorang terhadap organisasi/perusahaan sangat penting, dan bahkan sering
menjadi isu populer dalam rapat evaluasi pimpinan. Pada kenyataannya komitmen sering hanya menjadi slogan, tetapi sulit dibuktikan, sehingga banyak yang tidak paham apa makna sprit dari komitmen dalam organisasi. Porter mendefinisikan “komitment” organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Ini sebagi basic spirit dalam suatu komunitas yang ingin dibangun untuk mencapai tujuan. Sedangkan Richard M. Steers (1985 : 50) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), «
keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi),
«
loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya.
Steers berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap, policy (quality), tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Dengan demikian fungsi manusia yang berkomitmen dalam segala tingkatan sangat penting dan memiliki andil bersama membangun mutu pada organisasi atau industri tsb.
2.2.4.
Audit (External & Internal). Salah satu keunggulan ISO 9000 adalah dijadwalkannya kegiatan audit. Khusus untuk sertifikasi, pihak
ke-3 melakukan pemeriksaan atas komitmen organisasi pemasok terhadap mutu yang dideklarasikan dan bukti kesanggupan memenuhi permintaan pelanggan. Audit external dapat juga dilaksanakan oleh pihak II untuk persetujuan kontrak (jika diperlukan), tetapi pada kenyataannya memang jarang ditemui di lapangan pihak ke-2 melakukan pemeriksaan sendiri karena ada keterbatasan tenaga ahli, waktu, kesempatan dan biaya. Dengan pertimbangan efisensi, kegiatan audit external cukup dipercayakan pada pihak III (third party) yang diakui netral sebagai badan sertifikasi oleh ke-dua pihak “supplier” dan “customer”. Ini menjadi nilai positif karena ada pihak luar, yang diizinkan masuk untuk pemeriksaan sistematis dan rinci pada semua level kegiatan yang dilakukan oleh organisasi pemasok. Di sisi lain peran auditor ini, akan ikut mendorong organisasi untuk selalu konsen pada
309
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
«
memperhatikan respon pelanggan (keluhan / kepuasan)
«
perbaikan sistem manajemen
Pada audit internal (sub. pasal 8.2.2.) evaluasi dilakukan lebih sering untuk menguji baik, tidaknya sistem mutu yang sedang dijalankan. Ini merupakan evaluasi diri, karena pihak internallah yang paling tahu kondisi didalam yang sebenarnya. Pada masing-masing bagian / bidang / departemen dapat dijadwalkan untuk saling mengaudit. Dan tidak tertutup kemungkinan dilakukan audit di tingkat manajemen dalam rangka perbaikan dijalur top management. Kebiasaan melakukan auditing baik auditee dan auditor, akan terbentuk budaya mau mengkoreksi dan dikoreksi, yang pada giliranya akan terjadi jalinan komunikasi saling percaya sesama pekerja dan meningkatkan kesadaran untuk selalu berbuat yang terbaik bagi organisasi. 2.2.5.
Mengukur Respon Pelanggan Respon pada keluhan pelanggan terdapat pada sub pasal 7.2.3.c, dan kepuasan pelanggan pada Sub
pasal 6.1.b. , 8.2.1.. Sedangkan pemahaman fokus pada pelanggan (pasal 5.2.) adalah merupakan tugas utama pucuk pimpinan menyadarkan bahwa perusahaan itu dapat tumbuh besar karena pelanggan membeli produknya. Kepuasan dan kekecewaan pelanggan harus dipantau, yang dapat melalui survey lapangan. Analisa statistik harus diagendakan sebagai bagian tugas pimpinan organisasi untuk mempertahankan pelanggan yang ada dan upaya penambah pelanggan baru. 2.2.6.
Penerbitan / Pencabutan Sertifkat Pengakuan Mutu. Adopsi sistem manajemen mutu sepatutnya menjadi keputusan strategis suatu organisasi (pasal 0.1.),
sehingga ketetapan mencari sertifikat ISO 9001:2000 adalah merupakan tekat kuat semua level pekerja dalam organisasi. Untuk mendapatkan sertifikat harus dilalui suatu proses pemeriksaan / audit penerapan sistem mutu yang dilakukan pihak ketiga; yang dikenal dengan istilah registration body disingkat registrar (khususnya di Amerika) atau certification body. Banyak organisasi yang semakin berkembang dalam hitungan bulan, tahun setelah meraih sertifikat ISO 9001. Tetapi di sisi lain, ada beberapa organisasi yang sulit berubah dari budaya kerja statisnya, dan bahkan merosot kinerja organisasinya. Untuk organisasi yang tidak dapat mempertahankan “komitmen mutu” yang sudah diikrarkannya, melalui pemeriksaan yang adil oleh pihak yang mengeluarkan sertifikat, maka sertifikat ISO 9001 yang sudah diraihnya dapat dibatalkan. Ini merupakan bukti ketatnya kendali oleh lembaga sertifikasi, sehingga
ada beberapa organisasi yang dicabut sertikatnya karena lalai dalam
kewajiban yang ditentukan oleh standar internasional itu. Pada tahun 2002 saja, tercatat 50.209 (sekitar 8,9%) sertiikat ISO 9001.
3. Metoda Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan memanfatakan data sekunder melalui berbagai survey yang sudah dikerjakan antara lain ditujukan pada 220 perusahaan Indonesia yang sedikitnya telah tiga tahun memegang bersertifikat ISO 9001. Bagi perusahan beroperasi dengan sistem ISO 9001 memperoleh beberapa manfaat yang didapat setelah meraih sertifikasi, meskipun dengan ke tingkat kemanfaatan yang berbeda untuk setiap perusahaannya. ISO 9000 ibarat tools yang bermata dua; suatu sisi sebagai konsep manajemen mutu, yang maknanya mirip dengan TQM, Six Sigma ,Kaizen dll, di sisi lain ISO 9000 adalah sebuah standar yang harus
310
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
dipatuhi mutlak bagi yang mengadopsinya dan sekaligus dapat berfungsi sebagai manajemen perusahaan berdampingan dengan manajemen lain yang sudah biasa dipakai di perusahaan tersebut. Tinjauan pada pesan sakral pakar dunia mutu W. Edward Deming yang mengingatkan kepada pimpinan perusahaan / bangsa, mengenai ”kehancuran tengah mendekati, kecuali bagi perusahaan yang segera berpaling pada standar-standar kualitas”, akan dipakai sebagai rujukan untuk melihat tingkat kebenaran yang nanti dapat dibuktikan pada paparan hasil dan analisis. Melihat berbagai keluhan tentang rumitnya diberbagai perusahaan menerapkan standar kualitas yang terhalang oleh budaya kerja lokan dan rendahnya komitmen manajemen baik itu karyawab maupun pimpinan akan beropengaruh berar terhadap upaya mencapai kulaitas unggul. 4.
Hasil / Evaluasi Sumber Daya Nasional Hasil evaluasi dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Tetapi kebanyakan orang lebih suka
memperagakan dalam bentuk kuantitatif berupa angka, huruf, %, grade. Berikut ini disajikan contoh evaluasi (semacam audit), yang hasilnya kurang memuaskan pada kemajuan kualitas di banyak aspek kegiatan o
Evaluasi I,
Partisipasi pada beberapa ISO yang Penting
o
Evaluasi II,
HDI Manca Negara sebagai Perbandingan
o
Evaluasi III,
Produktifitas Kerja dan Mutu
o
Evaluasi IV,
Kenyataan Perusahaan yang Bersertifikat
Hasil evaluasi dapat dipakai mengukur bagaimana posisi organisasi dengan kompetitor terdekatnya. 3 macam audit dilakukan pihak luar, yang dapat dipakai sebagai umpan balik (feedback), atas reaksi / penilaian publik pada beberapa aktifitas / keadaan sebagai bagian indikator penilaian elemen mutu. Sementara ini, banyak yang tidak puas (public complaint), tetapi ada yang setuju, pada penilaian tsb. 4.1.
Partisipasi pada Beberapa Model Standar ISO Organisasi bisnis Indonesia agak tertinggal dengan negara lain pada bidang perhatian akan kesertaan
peningkatan mutu manajeman. Survey yang dilakukan oleh ISO untuk ISO 9001:2000, Quality Management Systems (QMS), Sistem Manjemen Mutu sampai akhir Desember 2004, tercatat 670.399 sertifikat ISO 9001:2000 yang sudah diterbitkan untuk 154 negara, sebagaimana yang digambarkan pada tabel 1. Tabel 1, Data Sertifkat ISO 9001:2000,Quality Management Systems World results Total Sertifikat
Dec.2000 408.631 ISO 9000:1994
Dec.2001 44.388
Dec.2002 167.210
Dec.2003 497.919
Dec.2004 670.399
98
122.822 134
330.709 149
172.480 154
Peningkatan Jumlah negara
Sejak diperbaruinya menerapkan model ISO 9001:2000, kesertaan organisasi dari berbagai negara dari tahun ketahun bertambah, dari tahun 2001 hingga akhir tahun 2004, yang masing-masing bertambah menjadi 98, 134, 149, 154 negara o
Pada tahun 2004, terjadi peningkatan hingga 172.480 (35%) sertifkat, jika dibandingkan tahun 2003, yang ketika itu hanya ada 497.919 sertifikat.
311
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
o
Sedangkan pada yang sama (2004) secara total terjadi kenaikkan 261.768 certifikat ( 64 %) terhadap akhir tahun 2000, yang kala itu masih menerapkan versi yang lama ISO 9001/2/3:1994 hanya mencapai 408 631 sertifikat.
o
Adanya ISO 9000:2000 versi baru, yang dicacat sejak tahun 2001, nampak organisasi bisnis dunia sangat antusias beradaptasi dengan perbaikkan sistem standar yang selalu di up-date. ISO memang membuktikan adanya perbaikan berkelanjutan (continual Improvement), sebagaimana komitmen itu dibuktikan adanya perbaikan standar ISO 9000 versi I, tahun 1987, diperbaiki versi II tahun 1994, dan diperbaiki lagi versi III tahun 2000.
o
Ini membuktikan adanya minat, spirit dan rasa kompetisi yang sangat besar dikalangan organisasi dunia untuk meraih mutu manajemen perusahaannya. Kemudian, bagaimana keikutsertaan Indonesia pada kompetisi global ini. Tabel 2, 3, 4, 5 yang masing
merupakan 4 model standar manajemen ISO untuk mutu, lingkungan, otomotif dan rumah sakit yang banyak diikuti perusahaan dunia. Tabel 2, Partisipasi Beberapa Negara Asia pada Sertifikasi ISO 9001:2000 Negara Thailand Malaysia Singapore Indonesia Philippines
Dec.2001 89 257 333 161 43
Dec.2002 938 1 119 1 953 308 270
Dec.2003 1 675 3 076 3 341 1 318 456
Dec.2004 5 955 4 337 3 964 3 134 1 108
Tabel 3, Partisipasi Beberapa Negara Asia pada Sertifikasi ISO 14001: 2004 Negara Dec.1999 Dec.2000 Thailand 229 310 Singapore 87 100 Malaysia 117 174 Indonesia 55 77 Philippines 39 46 Thailand pemegang record terjelek ke-2
Dec.2001 Dec.2002 483 671 298 441 367 367 199 229 120 124 sesudah Mexico City pada
Dec.2003 736 523 370 297 174 pencemaran
Dec.2004 966 616 566 373 261 udara, nampaknya
memiliki komitmen kuat untuk membenahi lingkungannya. Tabel 4, Sertifikat. ISO/TS 16949:2002 (bidang Automotive) Negara Dec.2004 Singapore 117 Malaysia 22 Thailand 18 Philippines 14 Indonesia 10 Sumber: ISO Central Secretariat,
Tabel 5, Sertifikat ISO 13485:2003 (bidang Kesehatan) Negara Dec.2004 Singapore 17 Philippines 10 Malaysia 4 Thailand 3 Indonesia 1
Nampak keterlibatan organisasi (Indonesia) semakin melemah pada penerapan mutu di beberapa standar. Ini dapat disebabkan oleh ketidaksiapan SDM, program pengembangan teknologi, keorganisasian dan kurang pekanya akan tuntutan publik pada produk / layanan jasa yang bermutu.
312
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
4.2.
HDI Manca Negara sebagai Perbandingan: Sebenarnya Indonesia ada kemajuan yang dicapai setiap 5 tahunan pada HDI, seperti yang ditulis
dalam HDI pada tabel 6., dimulai pada tahun 1975 hingga 2002. Terjadi kenaikan yang signifikan, dengan ratarata kenaikan 7%. Pada tahun 2000, posisi Indonesia tergeser 6 digit oleh Viet Nam, yang kemudian Indonesia naik tipis 1 digit terhadap Viet Nam. Pada evaluasi (survey) itu Indonesia berada pada urutan ke-111 dari 177 negara yang diteliti, tetapi pada setiap 5 tahunan perkembangan. Tabel. 6, Perbandingan Peringkat HDI antara Negara Serumpun HDI Rank Negara 25 Singapore 33 Brunei 59 Malaysia 76 Thailand 83 Philippines 111 Indonesia 112 Viet Nam Sumber: UN 2003
1975 0.724
1980 0.761
1985 0.784
1990 0.821
1995 0.859
-
2000
0.614 0.613 0.653 0.467 -
0.657 0.651 0.686 0.529 -
0.693 0.676 0.692 0.582 -
0.720 0.707 0.719 0.623 0.610
0.759 0.742 0.735 0.662 0.649
0.789 0.680 0.686
2002 0.902 0.867 0.793 0.768 0.753 0.692 0.691
Pada laporan evaluasi tahun 2003, Viet Nam lebih baik 3 nomor menjadi urutan ke-109, Thailand naik 2 nomor menjadi urutan ke-74, Malaysia naik 1 nomor menjadi urutan ke-58, Brunei Darussalam naik 2 nomor menjadi urutan ke-31, sementara itu Indonesia turun 1 nomor dan Philipina 2 nomor, masing-masing menjadi urutan ke-112 dan 85. Suatu kalkulasi lain; jika negara yang memiliki HDI rank 1, diberi nilai 100, dan yang paling bawah 177 diberi nilai 0, maka Indonesia yang HDI nya nomor 111, mendapat nilai 40. Bandingkan dengan target kelulusan UAN dipatok 4,26 (atau 42,6 untuk rentang 100). 4.3.
Produktifitas Kerja dan Mutu Survey Institute of Management Development 2002 yang dilakukan dalam kompetisi dunia
perekonomian menunjukkan, bahwa daya saing ekonomi Indonesia di pasar global, baik dari mutu maupun produktifitas kerjanya masih rendah yang berada diurutan ke 47 dari 49 negara. Sebagai pembanding masingmasing negara-negara di Asia menunjukkan tingkat yang lebih baik, antara lain: Singapura peringkat ke 5, Malaysia 26, Thailand 34, Philipina 40, dan India pada peringkat ke42. Nampak mereka telah memiliki kesadaran yang sangat tinggi terhadap mutu dan produktifitas nasionalnya. Mereka bekerja lebih terencana dan pasti. Mereka mengerti bahwa perubahan, peningkatan mutu dan produktifitas tak bisa ditawar-tawar lagi ditengah dunia yang berkompetisi dalam memanfaatkan SDM, kemajuan teknologi dan kepiawaian dalam mengelola sistem manajemen. 5.
Pembahasan Dari informasi dan data, serta potensi yang dapat dikembangkan pada konsep ISO 9000:2000, maka
didapat beberapa analisis sbb: o
Dibidang mutu dan produktifitas Indonesia berada di urutan mendekati terbelakang (47 dari 49 nregara yang diteliti), sehingga diprediksi akan mengalami kesulitan dalam bersaing di pasar global. Rendahnya mutu SDM Indonesia secara rata-rata ikut memberi andil tersendatnya pertumbuhan industri nasional.
313
ISSN 977.2086796.00.2
o
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Diantara sekian banyak kelemahan yang diukur orang, masih ada keunggulan yang dimiliki Indonesia, khususnya terkait dengan mutu pendidikan. Pada tahun 2005 salah satu universitas di Indonesia masuk 50 TOP Universitas di Asia, bersama-sama 2 universitas Singapore. Sementara itu negara tetangga yang lain seperti, Malaysia, Philipina, Thailand tidak masuk. Prestasi yang mengagumkan ini harus dikembangkan sebagai penggerak untuk dibuat suatu rencara dan action plan lebih serius lagi.
o
Teori manajemen yang implementasinya diawasi oleh pihak lain (lembaga sertifikasi / akreditasi) seperti standar internasional ISO 9000. Ada komentar beberapa orang yang menyatakan bahwa Sertifikasi ISO9000, sebenarnya tidak lebih sebuah pengakuan dengan penerbitan selembar kertas yang ditanda-tangani oleh orang lain di luar perusahaan penerimanya. Tetapi uniknya mampu membangun persepsi untuk segera berkeyakinan, bahwa organisasi / perusahaan (yang logo dan namanya dituliskan di kertas tersebut, dapat dinyatakan bahwa telah melaksanakan sebuah pedoman kerja, berdasarkan suatu standar international, yakni Sistem Manajemen Mutu (Quality Management System, QMS). Banyak organisasi di negara seperti Thailand, Singapore, Malaysia mengunakan standar internasional (ISO 9000, 14000, 16949, 13485) sebagai pedoman kerja pada organisasi untuk meningkatkan kinerjanya sesuai dengan tuntutan pelanggan / publik (tabel 2, 3, 4, 5). Sementara itu di Indonesia, meskipun tidak sebanyak di negara tetangga, beberapa organisasi sudah merasakan manfaat besar dengan mengadopsi ISO 9000.
o
Budaya kerja ala melayu perlu dipecut / bina-contoh dengan spirit yang tinggi dapat diharapkan etos kerja dapat ditingkatkan 50% hingga 90 % yang pada akhirnya dapat mengimbangi etos kerja negara maju lainnya.
o
Hampir semua konsep manajemen modern yang beredar di seminar / texbook lebih kurang mempertimbangkan aspek seperti; (1) fokus kepada pelanggan (customer focus), (2) kepemimpinan (leadership), (3) keterlibatan semua orang (involvement of people) (4) Pendekatan proses (process approach) (5) manajemen dengan pendekatan sistem (system approach to management) (6) peningkatan berkelanjutan (continual improvement) (7) pendekatan fakta untuk pengambilan keputusan (factual approach to decision making) (8) Relasi dengan pemasok yang saling menguntungkan (mutually beneficialsupplier relationships). Sedangkan standar ISO 9000 menambahkan kegiatan pemeriksaan, pengawasan, yang dilakukan oleh pihak yang credible diluar organisasi. Pemeriksaan sistematis dilakukan secara reguler tentang ketaatazasan organisasi pada persyaratan yang tertulis pada standar.
o
Mengawasi dan diawasi melalui kegiatan audit (internal dan external) adalah model manajemen yang paling tepat dilaksanakan di Indonesia. Karena hanya dengan model itu mereka mau / harus bekerja dengan benar untuk mencapai progam peningkatan kualitas. Sedangkan kalau mengandalkan bangkitnya kesadaran pekerja / pemimpin lokal tentu perlu menunggu 100 tahun atau lebih. Tetapi disisi saat ini ada budaya jelek yang bersemi, yaitu “sibuk” saat ada pemeriksaan auditor pihak ke-3, dan segera kemudian kembali ke pola kerja asal jika auditor pergi. Sifat itu (inconsistency, manipulasi data) adalah kontra produktif yang itu semua adalah sesuatu tidak boleh ada pada saat menerapkan konsep manajemen apapun.
6.
Kesimpulan o
SDM Indonesia banyak kelemahan yang dapat dilihat dari berbagai data sebagai persepsi orang lain , tetapi disisi lain ternyata lembaga pendidikan Indonesia ada yang masuk 50 besar Universitas TOP di Asia.
314
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
o
Standar manajemen mutu ISO 9000 adalah merupakan mendekatan manajemen yang cocok dipakai sebagai dasar mengelola berbagai kegiatan bisnis di Indonesia, karena didalamnya ada ketentuan
yang
wajib
dilalui
yaitu
kegiatan
pengawasan
sistematik
berupa
audit
(internal/external) secara reguler. o
Organisasi yang tidak konsisten / menyalahi standar pada penerapan manajemen mutu ISO 9000, lembaga external dapat membatalkan sertifikat yang sudah diraihnya. Ini adalah hukuman sangat mendidik dan memicu organisasi bekerja lebih profesional lagi.
o
Adanya pengawasan pihak luar dan komunikasi internal (audit internal), diharapkan akan menjadikan industri / perusahaan di Indonesia lebih terpacu untuk berkembang bersama yang lainnya. Hal yang lebih serius lagi adalah keterlibatan / kerja keras pucuk pimpinan untuk memimpin agenda perubahan dan peningkatan pelaksanaan manajemen mutu.
Daftar Pustaka 1.Indra Ismawan. 2005. Spirit of Change. Jakarta: Penerbit Cakrawala, 2.ISO. 2005. The ISO Survey-2004. Genewa. ISBN 92-67-10410-1, 3.Samuel KHO. 1995. TQM an Integrated Approach. London: KoganPage Limited,. 4.Siswanto Sutojo. 1995. Studi Kelayakan Pryek. Jakarta: PT Saptodadi, 5.Sugiyono. 2009. Metoda Penelitian Kuantitatif Kulitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung Pertanyaan : Heru Suprapto (Batan) 9
Banyak masyarakat kita yang menilai produk standar Internasional ISO hanya merupakan rekayasa industri maju, yang memberikan syarat ketat untuk kualitas produk negara berkembang, sehingga akan melemahkan kompetisi di pasa bebas. Bagaimana pendapat saudara melihat masalah itu ?
Jawaban Penyaji 2: Masri Wendy Zulfikar: 9
Memang dilema itu terbagi dalam 2 pendapat. Pendapat yang positif bisa menerima bahwa banyak manfaat yang didapat dengan penerapan standar internasional itu. Kita dapat belajar untuk bekerja berdasarkan kebutuhan pelanggan dan mengutamakan kepuasan pelanggan. Kita memang harus mengubah budaya kerja, menjadi pekerja yang berdasarkan rencana yang sudah ditetapkan, kendali kualitas yang kuat dan menghemat bahan untuk meningkatkan efisiensi mencapai keuntungan semua pihak.
315
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
MAPPING KESEIMBANGAN KENDARAAN UMUM DAN KENDARAAN PRIBADI UNTUK MENGURANGI POLUSI UDARA DI KOTA METROPOLITAN Masri Wendy Zulfikar BTMP-BPPT, PUSPIPTEK HP. 0815 14160208 email: [emailprotected]
Abstrak Problema polusi udara dan kemacetan Kota Tangerang Selatan, Tangerang, Depok, dan Bekasi adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan skema kesemrawutan sistem transportasi rutin Ibukota Jakarta. Di suatu kota modern, sistem transportasi yang baik merupakan suatu indikator utama berkembangnya (sustainable) kota untuk masa depan yang cerah. Sering kali perencanaan transportasi tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, ketika keseimbangan pertumbuhan kendaraan bermotor tidak dapat di antisipasi dengan perencanaan prasarana dan transportasi yang memadai, maka kemacetan tidak dapat dihindari. Makalah in akan mendiskusikan konsep mengatasi persoalan transportasi kota yang melibatkan beberapa aspek penting, antara lain: teknologi, lingkungan, dan sosial. Kata kunci: polusi udara, kebutuhan transportasi, kemacetan, manajemen lalu lintas
1. Pendahuluan Hampir di berbagai kota besar dunia seperti London, New York, Tokyo, Mexico City, Bangkok dan juga tidak ketinggalan kota Metropolitan Jakarta yang dengan penduduk di siang hari hampir mencapai 12 juta jiwa mengalami kemacetan di hampir semua jalan menuju pusat kota. Terjadinya masalah transportasi berupa kemacetan dipicu oleh tidak seimbangnya pertambahan kapasitas jalan yang tersedia dengan laju pertumbuhan kendaraan bermotor (mobil pribadi dan sepeda motor), sebagai konsekuensi besarnya jumlah penduduk dan permintaan jasa angkutan. Pertambahan jaringan jalan di berbagai kota di Indonesia tidak lebih 4%, sedangkan jumlah kendaraan bertambah jauh lebih besar yang mencapai 11%. Pada tahun 2000, terdapat 20,7 juta perjalanan harian di wilayah sibuk jalan-jalan Jakarta, yang 20% nya adalah perjalanan komuter yang datang dari wilayah penyanggah kota sekitarnya antara lain: Tangerang, Tangerang Selatan, Depok, Bogor dan Bekasi. Pengunaan kendaraan pribadi sangat tidak efisien, hanya 4% kendaraan pribadi yang mengangkut penumpang 4 orang lebih. Sementara itu sekitar 84% kendaraan pribadi sering memuat hanya 1 atau 2 orang. Sehingga kemacetan dapat disaksikan sepanjang jalur masuk kota Jakarta dan bahkan kemacetan juga sudah dimulai sejak di kota penyanggah, seperti di jalan Ciputat, Raya Bogor, Raya Bekasi dll. Berbagai kerugian yang dirasakan oleh masyarakat antara lain:
a.
Banyaknya waktu yang hilang pada operasi kendaraan dan kendaraan sering dalam kondisi idle, sehingga menimbulkan polusi udara yang sangat buruk dan merusak lingkungan kota.
b.
Penggunaan bahan bakar yang boros dan menimbulkan biaya perjalannan yang relatif lebih mahal.
c.
Kerugian waktu perjalanan lebih dari 50 hingga 200%
d.
Timbulnya rasa kesal, jemu, stress yang dapat menurunkan produktifitas kerja
e.
Hilangnya waktu bersama keluarga, sebagai akibat banyaknya waktu yang tersita dalam perjalanan.
316
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Munculnya permasalahan transportasi secara umum diakibatkan beberapa faktor antara lain:
a.
Terbatasnya kualitas dan kuantitas jasa layanan transportasi masal yang dapat mengatasi kebutuhan angkutan publik secara cepat dalam jumlah yang banyak. Jalur kereta api sebagai andalan angkuatan masal dan cepat belum terintegrasi dengan moda angkutan lainnya. Frekuensi perjalanan yang sangat minim, ditambah lagi jadwal pemberangkatan yang sering melesat, kondisi stasiun yang kurang asri menyebabkan masyarakat menghindar dari penggunaan kereta api. Banyaknya silang pintu perlintasan kereta dengan jalan raya yang belum dikelola dengan sistematik menjadikan pada titik wilayah itu sebagai bagian pemicu kemacetan baru yang durasi waktunya cukup membosankan.
b.
Besarnya keinginan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi. Rendahnya minat masyarakat memakai kendaraan publik, dengan alasan diatas, ditambah rasa percaya diri yang tinggi atas keuntungan pribadi yang didapat tanpa memperhatikan kondisi lingkungan yang terjadi, menjadikan banyak memaksakan diri untuk memiliki kendaran pribadi. Tersedianya fasilitas kridit murah serta cara memperoleh kendaraan yang lebih mudah, akan meningkatkan penjualan mobil lebih besar dari tahun ke tahun. Gambar 1, memperlihatkan tren penambahanan dan penjualan mobil pertahunnya
Sumber: Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) * Data Penjualan triwulan 1 (menjadi 500.000 unit terjual pada akhir 2008, jika 70%)
Gambar 1, Data Penambahan dan Penjualan Mobil Pada data tersebut dapat dibaca betapa besar distribusi kendaraan bermotor (mendekati 60% dari penambahan nasional) yang akan mengisi jalan-jalan kota Jakarta dan sekitarnya.
c.
Regulasi dan penegakannya yang tidak mendukung. Manajemen transportasi yang masih semrawut yang tidak didukung pengaturan lalu lintas yang baik serta rendahnya kesadaran pemakaian jalan. Beberapa regulasi yang secara langsung dan tidak langsung ikut dapat dipakai membatasi volume kendaraan bermotor antara lain: Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2003, Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai Dan Danau Serta Penyeberangan, Pasal 50, penetapan jalur bus khusus (bus way ); sistem satu arah; pembatasan lalu lintas: 3 in 1, sistem stiker, sistem ganjil genap, area licencing system, road pricing, penerapan tarif parkir yang tinggi pada daerah pusat-pusat kegiatan (CBD), penerapan pajak progresif terhadap kepemilikan kendaraan lebih dari satu, pembatasan perjalanan kendaraan pribadi dalam tiap tahunnya dengan penggunaan lisensing sistem untuk tiap kendaraan;
317
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
mengingat pembatasan kendaraan bermotor dengan model tersebut masih kontroversi maka dapat didekati dengan regulasi emisi yang terkait langsung dengan lingkunagn dan kesehatan untuk membatasai jumlah kendaraan bermotor. Sementara itu pembatasan volume kendaraan bermotor yang terkait dengan syarat kualitas emisi kendaraan bermotor dapat dilihat pada beberapa regulasi dibawah ini: UU Nomor 14/1992, tentang LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN, Bab X, ps 50 : Dampak Lingkungan “Untuk mencegah pencemaran udara dan kebisingan suara kendaraan bermotor yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan hidup, setiap kendaraan bermotor wajib memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan” UU Nomor 23/1997, Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 9, ay3 “Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim”. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999, Tentang : Pengendalian Pencemaran Udara, ps 33 “Kendaraan bermotor tipe baru dan bermotor lama yang mengeluarkan emisi gas buang wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor” Keputusan Gubernur 31/2008 Tabel 1. Ambang Batas Emisi Kendaraan sesuai Surat Keputusan Gubernur No 31 Tahun 2008 Jenis Mobil
CO
HC
Bensin di bawah th 2007
3,0%
700 ppm
Bensin di atas th 2007
1,5%
200 ppm
Kepekatan
Disel di bawah 3,5 ton
50% HSU
Disel di atas 3,5 ton
60% HSU
PerGub Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 92 Tahun 2007, Tentang, Uji Emisi Dan Perawatan Kendaraan Bermotor Pasal 4, ay(1) Setiap kendaraan bermotor …. yang beroperasi di wilayah Provinsi DKI Jakarta wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor. Pasal 13, (ay1) Bengkel Pelaksana Uji Emisi yang telah ditetapkan dapat dicabut atau dibekukan sebagai Bengkel Pelaksana Uji Emisi apabila melanggar ketentuan sebagai berikut :…. (b) melakukan pemalsuan data hasil uji emisi; (c) melakukan kecurangan prosedur uji emisi. Perda Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2 / 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara Pasal 33 (ay 1) : Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah pencemaran udara yang merugikan perikehidupan masyarakat.
318
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Makalah ini akan mendiskusikan beberapa cara mengatasi persoalan kemacetan untuk mandapatkan solusi yang tepat.
2. Tinjauan Pustaka Sudah banyak tulisan yang membicarakan dan memikirkan masalah pencemaran udara yang terkait dengan kemacetan lalu-lintas dan teknologi mesin sebagai penggeraknya. Ini suatu pertanda bangkitnya kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan (udara) bersih sebagai jaminan atas kelangsungan hidup masyarakat di kota metropolitan. Mereka mulai bosan atau merasa terusik ketenangannya akibat gas beracun yang dikeluarkan oleh mesin-mesin kendaraan bermotor dalam jumlah yang besar dan hanya terakumulasi pada tempat tertentu. Kasus kemacetan yang berkepanjangan yang berimbas langsung pada buruknya kualitas udara Ibukota Jakarta memang sangat membahayakan bagi kesehatan. Data tahun 2007, menununjukkan dari jumlah hari dengan berkategori “sehat” sebanyak 56 hari. Jumlah hari sebanyak itu hanyalah 16%, yang masih jauh dari standar hidup sehat di wilayah perkotaan. Sumber pencemaran udara terbesar kota Jakarta adalah gas buang yang dilepaskan oleh bertambahnya kendaraan bermotor yang lalu lalang di jalanan di Ibukota. Permasalaan lingkungan yang langsung dapat dirasakan masyarakat secara fisik adalah polusi udara yang melepaskan bahan pencemar ke udara oleh pembakaran tidak sempurna (CO), gas rumah kaca (CO2), bahan bakar yang tidak terbakar (HXCY), reaksi kimia pada temperatur tinggi (NOX), reaksi bahan ikutan (SOX). Dengan semakin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor praktis pemakaian bahan bakar akan semakin tinggi, yang konsekuensinya kondisi udara di Ibukota semakin buruk (Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, Budirama Natakusumah). Ada sekitar 10 juta kendaraan bermotor (data dinas Perhubungan Propinsi DKI Jakarta Maret 2007) termasuk yang datang dari Depok, Tangerang, Bekasi yang telah berpartisikasi secara berramai-ramai merusak lingkungan udara Jakarta . Adapun tujuan utama dikelolanya sistem transportasi sebagaimana Program Pengembangan Pola Transportasi Makro (PTM) DKI Jakarta atau Jakarta Macro Transportation Scheme (JMaTS) adalah: o
Mengurangi Kemacetan di Jalan
o
Mengurangi Jumlah Kendaraan Pribadi
o
Menekan Konsumsi BBM
Bahasan lain yang perlu mendapat tinjauan sbb: o
Menekan emisi bahan bakar
o
Mengurangi biaya transportasi Sehingga pemakaian kendaran pribadi menurun dan pemakaian transportasi publik meningkat sebanding
dengan baiknya variasi transportasi publik all: o
Bus priority (antara lain busway),
o
Light Rail Transit (LRT),
o
Mass Rapid Transit (MRT) dan
o
Angkutan Sungai.
319
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
4. Metoda Penelitian Kegiatan penelitian akan menggunakan data sekunder untuk mendapatkan mapping pembatasan jumlah kendaraan yang mendapat prioritas masuk wilayah tertentu berdasarkan prestasi emisi yang dibangkitkan dan plotting balance kendaraan pribadi-umum untuk mendapatkan keseimbangan pemakaian jalan sehingga terhindar dari kemacetan. Studi juga diarahkan untuk mengevaluasi kebijakan yang sudah berjalan di Jakarta dan di negara lain yang potensial dapat juga diterapkan di dalam negeri. Model yang didapat akan mengurai kemacetan lalulintas, yang memperlancar arus orang/barang ke tempat tujuan dengan cepat, aman dan nyaman, merupakan dambaan semua warga di Ibukota Jakarta. Mesin-mesin pengerak moda transportasi yang sementara ini didominasi oleh pembakaran bahan bakar fosil, otomatis akan menghasilkan sampah (gas buang beracun dan GRK) yang memiliki efek berbahaya bagi kesehatan dan kelangsungan hidup makhluk hidup di dunia. Regulasi dan perangkat hukum yang terkait dengan emisi gas beracun, akan dipakai sebagai acuan utama untuk menetapkan batasan kendaraan bermotor yang berwawasan lingkungan dan meningkatkan kesehatan bersama (Surat Keputusan Gubernur No 31 Tahun 2008) Kajian dan penelitian kasus “kemacetan dan polusi DKI” yang komplek ini akan disertakan pendekatan kerangka multidisiplin, yang melibatkan
4.
o
aspek engineering (meninjau rekayasa teknologi pada pola pembakar bahan bakar dan desain otomotif),
o
aspek manajeman transportasi dan kelembagaan (standarisasi pelayanan transportasi umum),
o
aspek regulasi pembatasan kendaraan bermotor
Hasil dan Kondisi yang ada Dengan meninjau pesatnya pertambahan populasi mobil sekitar 11 % pertahun (pada tahun 2006
penjualan sekitar 480.000 unit, sedang yang terdaftar telah melampaui 5.500.000 unit). Setiap hari, penambahan kendaraan bermotor di Jakarta rata-rata 1.127 unit, sehingga semakin tahun akan semakin banyak mobil yang secara berramai-ramai menyebarkan polutan didalam kota. Industri otomotif nampaknya terus berlomba-lomba meningkatkan pemasarannya, mereka masih terfokus pada pengembangan ekonomi tanpa memperhatikan keseimbangan ekologi. Diakhir 2007 tercatat penjualan mobil di berbagai pasar dunia sbb : 9
USA
8 juta unit
9
Japan
6 juta unit
9
Thailand 800.000 unit
9
Malaysia 500.000 unit
9
Indonesia 500.000 unit
Jika Indonesia menghentikan atau mengurangi produksi otomotifnya, maka akan masuk deras produk-produk regional maupun global. Ini terjadi karena belum adanya komitmen regional dan global dalam mengurangi pertumbuhan otomotif yang tidak terkendali itu. Kenyataan memang terjadi penjualan kendaraan bermotor langsung diserap oleh konsumen dan dioperasikan di jalan raya, sehingga jumlah kendaran bermotor semakin berlipat. Sehingga populasi kendaraan bermotor terus meningkat, memaksa Direktorat Lalu Lintas Polri, menerapkan kebijakan baru dengan menggunakan 3 huruf di belakang nomor plat mobil, untuk memudahkan identifikasi dan regristasi. Meskipun
320
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
kodefikasi sudah memenuhi ketentuan Pasal 172 UU No. 14/1992, tentang pengaturan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor yang menetapkan jumlah maksimal no plat mobil yang berlaku sebanyak 8 digit berdasarkan tipe mobil (B 1234 ABU), sedan, truk atau minibus. Ini sebuah bukti bahwa seri kenadaran bermotor sudah mulai kehabisan nomor identifikasi, karena berjibunnya kendaraan bermotor di jalan raya. Berdasar data terakhir Dinas Perhubungan DKI, saat ini ada sekitar 5 juta unit kendaraan di Jakarta yang terdiri 2,2 juga unit mobil, dan 2,8 juta unit sepeda motor. Laju pertambahan kendaraan di Jakarta sangat luar biasa. Mobil dan motor baru setiap harinya masing-masing bertambah 296 unit dan 1.036 unit. Sedangkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya lebih rinci lagi. Jumlah kendaraan yang beroperasi di Jakarta tercatat 6.506.244 unit yang terdiri atas 2.229.354 unit mobil berbagai jenis dan 3.276.890 sepeda motor. Besarnya minat memiliki kendaraan pribadi pada publik, maka diprediksi pada tahun 2014 Jakarta akan mengalami kemacetan total. Terjadi stagnasi pada jalan-jalan di Kota Jakarta. Perkiraan itu bukan-bukan mengada-ada, tetapi bercermin pada data yang ada di Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Dengan fakta bahwa o
pertambahan badan jalan di Jakarta tak sampai satu persen per tahun,
o
pertambahan jumlah kendaraan mencapai 11 persen setiap tahunnya,
maka kondisi transportasi Ibu Kota 5 tahun mendatang akan betul-betul terhenti. Dari sisi lain saat ini sudah banyak usaha yang ditempuh oleh perancang mobil untuk mengurangi emisi gas buang, dengan melakukan modifikasi ruang bakar ataupun penyempurnaan pola pembakaran melalui perbaikkan alat bantu lainnya seperti: penyempurnaan pengkabutan bensin dengan pemakaian injektor, perbaikan pengapian melalui CDI, membawa kembali sebagian gas buang melalui sistem “Exhaust Gas Recirculation (EGR), dll. Yang semuanya itu bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemakaian bahan bakar dan mengurangi emisi gas beracun. Satu lagi yang relatif baru di Indonesia, yaitu penggunaan katalisator yang sudah lazim dipasang pada mobil di USA, Jepang dan Eropa untuk mengontrol emisi gas beracun CO, HC dan NOX hingga turun mencapai 80%. Tetapi upaya itu semua, akan tetap sia-sia, jika pertambahan jumlah kendaraan bermotor pertahun jauh lebih besar, yang tidak sebanding dengan kemajuan perbaikkan teknologi mesin yang ada. Menyadari permasalahan polusi udara yang semakin serius ini, tentu cukup beralasan sekali, untuk mempertimbangkan adanya pembatasan jumlah kendaraan yang beroperasi di Jakarta yang lebih rasional, adil dan hanya mengizikan mobil masuk yang memiliki desain yang lebih bersahabat dengan lingkungan dan mengikuti standar yang ditetapkan oleh pemerintah kota.
321
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
5. Pembahasan
Gambar 2. Mapping Pembatasan Area Kerja kendaraan bermotor berdasarkan kualitas emisi yang dibangkitkan
322
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Jakarta Transportation Balance (JTC) 100 90 80 70 56%
60
50 56%
40
44%
30 20 10 %
% 0
2%
98 % Gambar 3. Alat Kontrol Rasio Jumlah Kendaraan
Hubungan emisi kendaran bermotor dan upaya mengurangi kemacetan melalui pembatasan kendaran bermotor yang bermasalah sangat rasional. Emisi gas yang dihasilkan oleh pembakaran kendaraan bermotor pada umumnya berdampak negatif terhadap lingkungan. Sehingga perlu diambil beberapa langkah untuk dapat mengendalikan gas buang yang dihasilkan tersebut. Ada beberapa cara yang dapat diambil untuk mengatasi masalah tersebut antara lain: o
uji emisi,
o
pemilihan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dan
o
penggunaan katalitik konverter.
o
pembatasan operasi kendaran bermotor
Beberapa tahun lalu Swiss Contact bekerja sama dengan 200 bengkel di Jakarta melakukan uji emisi kendaraan. Hasilnya, dari 16 ribu mobil yang diuji, hanya 54 persen yang memenuhi baku mutu emisi. Artinya 46% tidak lulus uji emisi dan berpeluang berkontribusi pemperparah pencemaran udara. 46% kendaran inilah yang perlu dibatasi untuk tidak masuk kota. Dan jika ini di diuraikan lagi dalam pembagian proporsional pada sisi emisi CO maka akan didapat model mapping klasifikasi pembatasan kendaraan yang boleh masuk di areal tertentu sebagaimana yang dapat dilihat pada gambar 2
323
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Model alat kontrol pada gambar 3 ini, merupakan hasil ploting, menggunakan data Dr. Edie Toet (hal 6). 17 juta perjalanan, hanya menggunakan 2% kendaraan umum, sementara kendaraan pribadi mendominasi hampir 98% yang mengangkut tidak lebih 44% pemumpang. Model indikator ini dapat dipakai sebagai ukuran prestasi “Otorita Transportasi Ibukota” atau Pemprov / gubernur DKI untuk meningkatkan pelayanan dan kepuasan publik pada transportasi umum. Jika ingin menurunkan pemakaian kendaran pribadi, maka balance kepuasan transporatsi publik harus ditingkatkan. Dengan memperbaiki pelayanan MRT-BRT, melalui setiap peningkatan 5% akan terjadi penurunan pemakaian kendaraan pribadi (setara mobil) = 500.000 unit. Atau setiap kenaikan pelayanan angkutan publik 1% akan terjadi penurunan pemakaian 100.000 unit setara mobil. Begitu juga berlaku sebaliknya, jika terjadi penurunan tingkat pelayanan 1%, maka masyarakat tidak puas, jengkel, dan masyarakat meningkatkan pemakaian kendaraan pribadi.
Gambar 4, Sungai Cheonggyecheon, sebelum dan sesudah program penghancuran jalan tol Disisi lain upaya walikota Myung Bak Lee, kota Seoul, Korea telah melakukan inovasi kebijakan dengan menghancurkan jalan layang 4 mile yang menutupi sungai Cheonggyecheon River dalam kota dan digantikan taman sungai yang indah, yang dilengkapi dengan fasilitas pejalan kaki ruang publik yang baik. Dibangunnya fasilitas ini untuk menghindarkan semakin padatnya mobil dan truk yang masuk pada daerah itu, sehingga mengurangi kemacetan lalu lintas. Langkah ini ternyata membuahkan perbaikan ekonomi lokal, meningkatkan kesehatan dan kenyamanan kota. Sebagai kompensasinya disediakan jalus bus umum yang memadai sepanjang 36 mile jalur sibuk dan jumlah itu direncanakan akan ditambah sebanding dengan kebutuhan untuk memenuhi tuntutan layanan transportasi publik. Langkah yang ditempuh Walikota Seoul Myung-Bak Lee, mengantarkan nya untuk mendapat penghargaan “Sustainable Transport Award” (Piagam Penghargaan untuk Transportasi yang berkelanjutan) pada tahun 2006. Penghargaan itu diberikan untuk sebuah kota yang telah melakukan inovasi strategis bidang pengelolaan transportasi, sehingga mampu diberikan;
324
ISSN 977.2086796.00.2
o
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
meningkatkan kualitas hidup untuk komunitasnya, dan yang sukses menurunkan emisi kendaraan bermotor, serta kecelakaan,
o
memprioritaskan jalur sepeda dan pejalan kaki atau meningkatkan mobilitas kaum miskin.
o
menurunkan dampak perubahan iklim melalui pengurangan gas beracun dan gas rumah kaca sektor transportasi.
6. Kesimpulan o
Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota besar biasanya timbul karena kebutuhan akan transportasi lebih besar daripada prasarana transportasi yang tersedia, atau prasarana yang ada tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya.
o
Pembatasan kendaraan yang beroperasi dijalan raya dapat didekati oleh regulasi persyaratan emisi dan diatur bersadarkan zona yang dikendalikan.
o
Alat kontrol untuk menurunkan penggunaan kendaraan pribadi, dapat dikendalikan dengan meningkatkan pelayanan transportasi publik.
o
Kebijakan yang dilakukan oleh walikota Seoul dapat yang sukses mengurangi kendaran masuk wilayah tertentu dapat juga dipertimbangkan adopsinya.
Daftar Pustaka Ari Muhammad. 2006. Jakarta Kota Polusi. Pustaka LP3ES. Jakarta Edi Junaedi. Makin bertambahnya Kendaraan bermotor Nomor Plat Mobil Ditambah 3 Huruf. INILAH.COM, Jakarta. Kamis (16/10). Deaton Michael L, Winebrake James J. 2000. Dyanamic Modelling of Environmental System. Springer Science, New York. -----, 1994. “Automotive Handboook”, Bosc, Jachrizal Subrata. 2005. Permasalahan Transportasi Kota: Bagaimana Mengatasinya. Jurnal Kajian Perkembangan Kota. Vol.1 No.1. Universitas Indonesia. Jakarta. Johnson Matthew 1991, CUTTING CAR POLLUTION, 3rd Edition,. Catalytic System Division Kathleen C Tayler, “AUTOMOTIVE CATALYTIC CONVERTER”, Springer Verlag. Lamont C. Hempel. 1996. Environmental Governance. Islan Press. California Lorraine Elliott. 2004. The Global Politict of the Environment. New York University Press. New York Roy M Harrizon, 1990 “POLLUTION CAUSES, EFFECT & CONTROL”, The Royal Sociaty of Chemistry. Zoer’aini Djamal Irwan. 2007. Prinsip-Prinsip Ekologi. PT Bumi Aksara. Cetakan keempat. Jakarta Zainal Arifin.2009. Pengendalian Polusi Kendaraan. Alfabeta. Bandung
325
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
LEMBAR PERTANYAAN
Pertanyaan 1 : Sudewo Harjoko (Mahasiswa Teknik) 9
Apakah regulasi yang tersedia belum cukup memadai untuk mengelola keseimbangan transportasi sehingga kemacetan seharusnya tidak perlu terjadi ?
Jawaban Penyaji 1: Masri Wendy Zulfikar: 9
Sebenarnya peraturan dan UU sudah banyak digulirkan, tetapi menang sarana dan prasarana publik sangat minim dan pengadaannya sangat mahal, sementara masyarakat kita tidak sabar untuk menuntut yang lebih baik dari apa yang ada saat ini. Disisi lain para pejabat pun tidak memberikan keteladannya serta lemahnya penegakkan peraturannya,
Pertanyaan 2 : Koes Indrawati 9
Bagaimana menekan polusi udara ?, kalau selama ini tidak ada pembatasan penjualan kendaraan bermotor ?, sementara kendaraan bermotor masih didominasi oleh fossil fuel vehicle ?. bagaimana makalah saudara ini menjawabnya ?
Jawaban Penyaji 2: Masri Wendy Zulfikar: 9
Bisa jadi kebijakan ekstrim yang dicontohkan oleh Walikota Myung Bak Lee dapat dijadikan model penyelesaian masalah kemacetan dan polusi udara, meskipun banyak para pengambil keputusan tidak setuju. Tetapi efek yang ditimbulkan tetap berpihak pada kepentingan publik dan mengurangi kemacetan dan menekan jumlah kendaraan yang masuk pada distrik kota yang diisolasi.
326
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
KUALITAS VERSUS STANDAR Nur Metasari, I Gede Mahatma Yudha Bakti Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian - LIPI Kompleks Puspiptek Serpong, Gedung 410 Tangerang 15310 e-mail: [emailprotected]; [emailprotected]
Abstrak Tulisan ini akan membahas mengenai apa yang dimaksud dengan kualitas, standar, dan bagaimana hubungan antara keduanya. Standar dan kualitas sangat erat berkaitan, dimana jika tidak ada salah satunya, maka yang lain tidak akan pernah ada, dan sulit untuk menentukan manakah yang harus dicapai terlebih dahulu. Suatu produk dikatakan berhasil di pasaran apabila produk tersebut memiliki kualitas yang baik, dan kualitas yang baik tidak akan dapat dicapai dengan optimal tanpa pemenuhan standar yang telah ditetapkan menurut sistem manajemen kualitas yang ada. Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk memberikan pandangan dan pengetahuan baru bahwa terdapat suatu hubungan antara kualitas dan standar yang perlu dipahami dengan lebih baik, dimana karakteristik kualitas tertentu dapat memunculkan suatu standar baru. Begitu pula sebaliknya, standar juga dapat memunculkan karakteristik kualitas yang sebelumnya belum terpenuhi di dalam produk atau jasa yang bersangkutan. Kata Kunci: Standar, Kualitas, Hubungan Standar dan Kualitas
1.Pendahuluan Standar dan kualitas merupakan dua hal yang sangat erat kaitannya dengan produk suatu perusahaan, yaitu barang dan jasa. Ada tiga hal mendasar yang sangat mempengaruhi tingkat kesuksesan suatu produk atau layanan di pasaran, yaitu harga, ketersediaan, dan kualitas [6]. Kualitas merupakan suatu persyaratan mutlak agar suatu produk dapat diterima dan bertahan di pasar. Untuk menjamin bahwa kualitas suatu produk tetap terjaga, diperlukan suatu standar produk/spesifikasi menurut keinginan konsumen atau berdasarkan suatu sistem manajemen mutu baik sistem manajemen mutu nasional seperti SNI maupun sistem manajemen mutu internasional seperti ISO. Sebagai persyaratan yang harus ada dalam suatu produk, kualitas dan standar tidak dapat dipisahkan keberadaannya. Kualitas barang/jasa harus dipenuhi produsen berdasarkan suatu standar, dan standar yang dibentuk harus menjamin kualitas produk yang dihasilkan, baik dilihat dari proses maupun hasil akhirnya. Sebagai contoh adalah penerapan standar internasional ISO seri 9000. Seri ISO 9000 bukan merupakan standar produk, karena tidak menyatakan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh produk akan tetapi merupakan standar sistem manajemen kualitas. Standar ISO seri 9000 tidak menekankan mutu produk yang diproduksi oleh suatu organisasi, namun pada mutu proses yang organisasi gunakan untuk membuat suatu produk dan berfokus pada proses manajemen untuk memproduksi produk secara konsisten. Dari penjelasan diatas, standar dan kualitas sangatlah erat berkaitan dimana jika tidak ada salah satunya, maka yang lain tidak akan pernah ada, dan sulit untuk menentukan manakah yang harus dicapai terlebih dahulu. 2.Standar Pada tahap awal ini kita akan mencoba untuk memahami dengan baik apa yang dimaksud dengan standar, serta hal-hal yang berhubungan dengan standar, terutama di Indonesia. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya [2]. Dari pengertian yang dikemukakan oleh BSN, kita
327
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
dapat mengatakan bahwa suatu standar merupakan suatu ketentuan baku mengenai spesifikasi teknis yang dibuat untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya dan disetujui oleh pihak-pihak yang terkait dengan standar tersebut dan dalam penentuan standar juga mempertimbangkan unsur keselamatan, kesehatan, teknologi, dll. Sebagai contoh standar pengukuran yaitu bahan ukur, alat ukur atau sistem pengukuran yang digunakan untuk menentukan, mewujudkan, melestarikan atau mereproduksikan suatu satuan ukuran atau satu atau lebih nilai yang telah diketahui dari suatu besaran untuk dialihkan ke alat ukur lainnya dengan cara pembandingan (Contoh: Standar massa 1 kg; Standar resistor 100 Ohm; Standar frekuensi atom Caesium). Selain itu, menurut ISO/IEC, standar didefinisikan sebagai dokumen, yang dibentuk menurut suatu konsensus/kesepakatan dan disetujui oleh badan yang berwenang, yang menyediakan aturan, garis pedoman, atau karakteristik untuk aktivitas/hasil, bertujuan untuk pencapaian tingkat optimum dalam konteks yang diberikan. Jadi pada dasarnya standar merupakan hasil kesepakatan/konsensus dari stakeholder/pihak yang memiliki kepentingan terhadap terbentuknya suatu standar baru. Standar terdiri atas dua macam. Yaitu standar secara de facto dan secara de jure. Secara de facto, standar dimaksudkan sebagai standar yang ditetapkan oleh pemain pasar dan terbentuk secara sendirinya sebagai satu-satunya, atau salah satu, dari standar dominan tanpa pengaruh dari badan standardisasi resmi. Sedangkan secara de jure, standar dimaksudkan sebagai standar yang dibentuk secara resmi oleh badan standardisasi yang resmi. Kedua standar, yaitu secara de facto dan de jure, digunakan secara bersama-sama, sesuai kesepakatan/ konsensus dari para stakeholder standar yang bersangkutan. Proses pembuatan standar oleh panitia teknis perumus standar dan kemudian disahkan oleh suatu badan standardisasi dinamakan standardisasi. Secara formal, menurut ISO/IEC, standardisasi didefinisikan sebagai aktivitas pembutan, yang berhubungan dengan permasalahan yang terjadi/mungkin terjadi, yang bertujuan untuk pencapaian tingkat optimum dalam suatu konteks permasalahan yang diberikan. Suatu definisi standardisasi yang baru yang dirasa cukup baik diberikan oleh [11], yang menyebutkan bahwa standardisasi adalah aktivitas pembuatan dan pencatatan seperangkat solusi yang terbatas yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi/yang mungkin terjadi, dengan tujuan untuk memuaskan pihakpihak yang berkepentingan dengan permasalahan tersebut, memenuhi keinginan mereka, dan berharap bahwa solusi-solusi tersebut akan dapat digunakan secara berulang/kontinyu, selama periode tertentu, dan digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan standar tersebut. Standar diharapkan dapat digunakan secara berulang-ulang dan seterusnya untuk suatu permasalahan yang sama, sehingga proses pembuatan standar (standardisasi) yang memakan waktu cukup lama dan proses yang cukup sulit, tidak terkesan sia-sia, karena biasanya proses pembuatan standar hingga menjadi suatu standar de jure berkisar antara lima hingga tujuh tahun. Beberapa aktivitas yang berhubungan dengan standar adalah akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan pengakuan formal oleh lembaga akreditasi nasional, yang menyatakan bahwa suatu lembaga/laboratorium telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sertifikasi tertentu, sedangkan sertifikasi didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat (merupakan jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan) terhadap barang dan atau jasa [2]. Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa akreditasi adalah suatu jaminan bahwa suatu lembaga atau laboratorium tertentu dapat melakukan kegiatan sertifikasi (mempunyai wewenang mengeluarkan sertifikat), sedangkan sertifikasi adalah suatu aktivitas pembuatan sertifikat untuk suatu barang atau jasa tertentu. Sebagai contoh adalah tanda SNI ( ) yang merupakan tanda sertifikasi yang dibubuhkan pada produk/ barang, kemasan atau label yang menyatakan bahwa barang tersebut telah memenuhi persyaratan SNI. Lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikat tersebut (mempunyai akreditasi) adalah lembaga sertifikasi, dan pihak yang berwenang memberikan akreditasi adalah Komite Akreditasi Nasional. Akhir-akhir ini, dikenal suatu istilah baru dalam permasalahan mengenai standar, yaitu munculnya “open standard”. Open standard didefinisikan sebagai standar yang dapat diperbanyak, digunakan, dan didistribusikan secara cuma-cuma dan semua teknologi yang menyertainya tidak dapat ditarik kembali setelah dimasukkan dalam teknologi yang bebas royalti. (ANSI)
328
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Istilah open standard ini muncul karena para pelaku merasa bahwa untuk menggunakan suatu standar yang baku/standar yang telah dipatenkan, mereka harus membayar sejumlah biaya kepada pemilik paten standar yang bersangkutan (biasanya disebut sebagai sponsor). Suatu standar yang dikeluarkan oleh badan standardisasi yang resmi seperti ISO, IEC, dan IETF mengandung spesifikasi-spesifikasi teknis tertentu di mana untuk menerapkannya, pengguna harus membayar biaya lisensi paten. Jika harus membayar biaya paten, maka standar ini tidak dapat dimanfaatkan oleh perusahaan kecil yang sedang berkembang dalam hal peningkatan kualitas, karena biaya paten yang harus dibayar oleh pengguna cukup mahal. Hal ini akan bertentangan dengan prinsip dasar pengembangan standar yaitu Openess (memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak). Standar harus selalu diterapkan dalam proses-proses yang bertujuan untuk menghasilkan produk, dengan tujuan menjamin kualitas produk yang dihasilkan agar konsumen puas dengan produk tersebut dan tetap menggunakan produk perusahaan tersebut di masa yang akan datang. Jika kualitas yang dihasilkan buruk, maka akan mengakibatkan kehilangan pelanggan, produktivitas rendah, dan biaya kualitas yang mahal. Untuk mencegahnya, standar yang baik dan baku diperlukan di setiap produk dan proses yang dijalani produk tersebut [6]. 3.Kualitas Untuk mempertahankan keberadaannya di pasar dalam jangka panjang, maka perusahaan yang bergerak di sektor barang maupun jasa harus berorientasi pada kualitas. Mengapa demikian? Karena kualitas dapat diartikan sebagai kemampuan suatu produk baik barang maupun jasa dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Sehingga dengan demikian perusahaan yang ingin bertahan dalam persaingan yang ketat dan cepat mengalami perubahan seperti saat ini, harus selalu mempertahankan tingkat kualitas yang telah mereka capai, serta selalu berusaha mengadakan perbaikan-perbaikan berkelanjutan demi peningkatan kualitas perusahaan. Dengan demikian penting sekali peran kualitas untuk suatu produk atas jasa tertentu sehingga dapat memenuhi kebutuhan pelanggan sehingga suatu perrusahaan dapat memperoleh keuntungan yang besar. Dalam hal ini kita tentu perlu mengetahui beberapa dimensi kualitas yang diperlukan yaitu a. Performansi yaitu karateristik utama dari suatu produk atau jasa, b. Astetik, mengenai rasa, penampilan, perasaan, bau, c. Feature khusus, merupakan karateristik tambahan, d. Kesesuaian, yaitu seberapa baik suatu produk atau jasa sesuai dengan harapan konsumen, e. Tahan uji, adalah suatu konsitensi performansi, f. Daya tahan, masa hidup/kegunaan suatu produk/jasa, g. Kualitas yang dirasakan, evaluasi tidak langsung dari kualitas misal reputasi, h. Kemampuan pelayanan, yaitu pelayanan yang diberikan setelah produk terjual [3]. Dengan memiliki semua dimensi kualitas yang telah disebutkan di atas, diharapkan suatu produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan ideal produk yang biasanya dibutuhkan/ diminta oleh konsumen. Perusahaan yang bergerak di sektor barang menghasilkan produk nyata yang berwujud sedangkan di sektor jasa menghasilkan produk yang merupakan pelayanan. Dengan demikian kegiatan ekonomi yang biasanya menghasilkan sesuatu yang wujudnya tidak nyata seperti pendidikan, hiburan, transportasi, administrasi, layanan keuangan, kesehatan disebut kegiatan di sektor jasa. Namun sekarang ini terdapat kecenderungan banyak produk yang merupakan kombinasi dari barang maupun jasa yang biasanya dikenal dengan istilah mix service. Akan tetapi apapun jenis produk yang dihasilkan, perusahaan sekarang ini harus memfokuskan pada kualitas karena bagi konsumen produk yang berkualitas akan memberikan kepuasan sehingga kepercayaan untuk mengkonsumsi produk tersebut akan terus menjadikan para konsumen memiliki loyalitas akan produk tersebut. Kualitas dapat didefinisikan sebagai kecocokan atau melebihi kebutuhan konsumen akan penggunaan produk. Kualitas/kualitas merupakan hal yang sangat vital diperlukan untuk meningkatkan perkembangan dan kemajuan ekonomi. Suatu produk dikatakan memiliki kualitas baik apabila memenuhi dua kriteria, yaitu kualitas desain (produk yang memiliki spesifikasi produk yang bersangkutan secara fisik/performance) dan kualitas kesesuaian (produk tersebut tidak menyimpang dari spesifikasi yang ditetapkan dan dapat memenuhi permintaan konsumen sehingga konsumen merasa puas dengan produk yang diterimanya). Pada masa sekarang, pengertian konsep kualitas sudah lebih luas lagi dari sekedar inspeksi. Pengertian modern dari konsep kualitas adalah membangun kualitas sistem modern. Pada dasarnya, sistem kualitas modern dapat dicirikan oleh lima karakteristik yaitu berorientasi pada pelanggan, adanya partisipasi aktif seluruh bagian organisasi yang dipimpin oleh manajemen puncak dalam proses peningkatan kualitas secara terus menerus (continuous improvement), adanya pemahaman setiap orang dalam organisasi terhadap tanggung jawab spesifik
329
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
terhadap kualitas, adanya aktivitas yang berorientasi pada tindakan pencegahan kerusakan (bukan berfokus untuk mendeteksi kerusakan), dan adanya suatu filosofi yang menganggap bahwa kualitas merupakan ”jalan hidup” (way of life). Saat ini, perusahaan harus menyadari bahwa kualitas merupakan harga mutlak yang tidak bisa ditawar lagi. Pengendalian kualitas harus dilaksanakan oleh semua perusahaan baik yang bergerak di bidang manufaktur ataupun jasa. Hal ini terutama disebabkan karena harapan konsumen terhadap kualitas tidaklah sama untuk kelas-kelas produk atau jasa yang berbeda. Untuk itu perusahaan perlu mengadakan sistem jaminan kualitas baik internal maupun eksternal. Sistem jaminan kualitas internal digunakan untuk mengetahui apakah suatu perusahaan telah menerapkan konsep pengendalian kualitas secara menyeluruh di perusahaan (Total Quality Control – TQM) atau belum. Sedangkan sistem jaminan kualitas eksternal digunakan untuk mengetahui tingkat kualitas yang telah dicapai oleh suatu perusahaan. Penjaminan kualitas adalah semua aktivitas yang dilakukan untuk menjamin kualitas produk yang keluar dari proses dan hal ini memerlukan prosedur-prosedur, sistem dan pengukuran. Penjaminan kualitas diperlukan untuk mengontrol kualitas (to check and control quality) agar kualitas tetap terjaga, meningkatkan kualitas (to improve the quality), dan melindungi konsumen (costumer protection) dari produk-produk yang tidak sesuai dengan persyaratan dan keinginan konsumen. Ada dua segi umum tentang kualitas: kualitas rancangan dan kualitas kecocokan. Semua barang dan jasa dihasilkan dalam berbagai tingkat kualitas. Variasi dalam tingkat kualitas ini memang disengaja, maka dari itu istilah teknik yang sesuai adalah kualitas rancangan. Kualitas kecocokan adalah seberapa baik produk itu sesuai dengan spesifikasi dan kelonggaran yang disyaratkan oleh rancangan itu. Kualitas kecocokan dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk pemilihan proses pembuatan, latihan, dan pengawasan angkatan kerja, jenis sistem jaminan kualitas (pengendalian proses, uji, aktivitas pemeriksaan, dan sebagainya) yang digunakan, seberapa jauh prosedur jaminan kualitas ini diikuti, dan motivasi angkatan kerja untuk mencapai kualitas [3]. Selain itu, pengendalian kualitas diperlukan agar biaya kualitas yang dikeluarkan perusahaan mencapai tingkat yang paling minimum. Biaya kualitas adalah biaya yang terjadi atau mungkin akan terjadi karena kualitas yang buruk, jadi biaya kualitas adalah biaya yang berhubungan dengan penilaian, pengidentifikasian, perbaikan dan pencegahan kerusakan. Biaya kualitas dapat dikelompokkan menjadi empat golongan yaitu: biaya kegagalan internal, biaya kegagalan eksternal, biaya penilaian, dan biaya pencegahan. Berdasarkan pengukuran terhadap biaya kualitas, pihak manajemen dapat menjadikan ukuran-ukuran itu sebagai petunjuk untuk mengidentifikasi biaya-biaya yang dikeluarkan dalam upaya meningkatkan kualitas produk yang ditawarkan. Jika suatu perusahaan ingin melakukan program perbaikan kualitas, pertama kali perusahaan itu harus mengidentifikasi biaya-biaya yang dikeluarkan pada masing-masing dari keempat kategori biaya kualitas diatas. [5]. Program perbaikan dapat dilakukan dengan melalui reduksi biaya yaitu melalui eliminasi pemborosan. Elemen-elemen biaya kegagalan internal dan eksternal dapat dipergunakan untuk memantau secara terus menerus apakah program reduksi biaya telah efektif. Berkaitan dengan hal ini, kita dapat menggunakan suatu alat yang disebut sebagai Jendela Kegagalan (Failure Grid). Tanpa Kegagalan Eksternal Tanpa Kegagalan Internal Dengan Kegagalan Internal
Dengan Kegagalan Eksternal
OK ( tidak ada pemborosan )
$$$$ ( ada pemborosan )
$$$$$$$$ ( ada pemborosan )
$$$$$$$$ $$$$$$$$ ( ada pemborosan )
Gambar 1. Jendela Kegagalan
330
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Informasi biaya kualitas dapat memberikan berbagai macam manfaat antara lain dapat digunakan untuk: • • • • •
Mengidentifikasi laba, menekan biaya pembelian dan biaya yang berkaitan dengan pemasok Mengambil keputusan capital budgeting dan keputusan investasi lainnya Mengidentifikasi pemborosan dalam aktifitas yang tidak dikendaki pelanggan. Dijadikan sebagai ukuran penilaian kinerja yang objektif. Dijadikan sebagai alat manajemen strategik untuk mengalokasikan sumber daya dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan strategi. Kualitas dapat diukur berdasarkan biayanya, pada dasarnya perusahaan menginginkan agar biaya kualitas turun namun mampu menghasilkan output kualitas yang meningkat. Oleh karena itu konsep biaya kualitas dapat digunakan pula sebagai indikator keberhasilan suatu program perbaikan kualitas [5]. Pengendalian kualitas sendiri dikatakan efektif dan efisien apabila biaya total kegagalan internal dan eksternal terus menurun, sehingga biaya kualitas total juga akan terus menurun. Adanya komitmen manajemen yang tinggi secara simultan akan mengurangi pemborosan, sehingga akan menurunkan biaya kualitas total. Disamping itu komitmen manajemen untuk meningkatkan kepuasan pelanggan secara terus menerus akan meningkatkan penerimaan total melalui loyalitas pelanggan terhadap produk. Pada akhirnya dengan adanya selisih yang besar antara penerimaan total dan biaya total akan menambah keuntungan bagi perusahaan. Berdasarkan beberapa pengertian kualitas yang dipaparkan oleh Quality Gurus seperti Deming, Juran, dkk dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kualitas merupakan fitur atau karakteristik total dari sebuah produk barang atau jasa yang dikaitkan dengan kemampuannya memuaskan kebutuhan yang terlihat maupun tersirat. Menetapkan harapan kualitas sangat penting bagi operasi yang efisien dan efektif.
4.Standar Versus Kualitas Setidaknya ada tiga hal mendasar yang sangat mempengaruhi tingkat kesuksesan suatu produk atau layanan di pasaran, yaitu harga, ketersediaan, dan kualitas. Konsumen sangat membutuhkan produk atau layanan yang berkualitas tinggi dan tersedia pada waktu yang dibutuhkan dengan harga yang terjangkau dan sesuai dengan manfaat yang akan diperoleh. Organisasi atau perusahaan akan dapat sukses dan mampu bersaing di pasaran jika tingkat kepuasan pelanggan terhadap pemakaian produk dan layanannya cukup tinggi. Faktor harga dan ketersediaan adalah fitur transient saja, dalam arti pengaruhnya tidak berlangsung lama setelah terjadi transaksi. Lain halnya dengan kualitas, yang mempunyai pengaruh dan implikasi yang cukup panjang, karena kualitas suatu produk atau layanan ditentukan dari tingkat kesuksesan kegunaan produk atau layanan tersebut selama pemakaiannya [6]. Makna kualitas suatu produk atau layanan sendiri erat kaitannya dengan tingkat kesempurnaan, kesesuaian dengan kebutuhan, bebas dari cacat, ketidaksempurnaan, atau kontaminasi, serta kemampuan dalam memuaskan konsumen. Sebuah produk atau layanan yang memiliki fitur atau manfaat yang memuaskan kebutuhan konsumen dapat disebut sebagai produk atau layanan yang berkualitas, demikian pula sebaliknya, produk atau layanan yang memiliki fitur atau manfaat yang tidak memuaskan kebutuhan konsumen dapat disebut sebagai produk atau layanan yang tidak berkualitas. Akan dapat menilai tingkat kepuasan konsumen terhadap produk melalui berbagai cara, seperti feedback langsung dari konsumen, atau juga bisa dilihat dari tingkat kerugian penjualan, turunnya market share, dan pada akhirnya adalah kerugian bisnis. Pada pasar dengan tingkat persaingan usaha yang sangat ketat, kualitas dari suatu produk atau layanan yang ditawarkan akan memiliki peranan yang sangat strategis terhadap perkembangan bisnis. Adalah sesuatu yang tidak mungkin perusahaan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan dan mempertahankan suatu produk yang berkualitas tanpa disertai adanya manajemen proses yang matang dan rapi di dalamnya. Kualitas yang baik tidak akan dapat diraih hanya dengan mengandalkan keberuntungan semata, tapi mutlak harus dengan cara penerapan manajemen bisnis yang baik. Sistem manajemen kualitas akan memberikan kemampuan kepada perusahaan dalam melakukan kontrol, menciptakan stabilitas, prediktabilitas, dan kapabilitas bisnis. Dengan adanya sistem kualitas diharapkan perusahaan akan lebih terbantu dalam mencapai, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas produk atau layanan yang disediakan secara ekonomis. Sistem manajemen kualitas akan sangat membantu untuk dapat bertindak dengan lebih baik dibanding sebelumnya. Saat membeli suatu produk atau layanan dari suatu perusahaan, tentunya berharap akan mendapatkan
331
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
produk atau layanan dengan kualitas atau kualitas yang persis sama seperti yang mereka janjikan. Jaminan bahwa akan mendapatkan kualitas barang atau layanan yang sesuai dengan harapan tersebut hanya dapat diberikan oleh perusahaan yang telah memiliki sertifikasi suatu standardisasi sistem kualitas. Mengapa standardisasi itu penting? Sebagai pembeli atau pengguna suatu produk tentunya akan merasa sangat terganggu dan kecewa ketika produk yang telah dibeli tersebut ternyata memiliki kualitas yang sangat buruk, tidak layak pakai, tidak cocok dengan peralatan yang telah dimiliki sebelumnya, mudah rusak, atau berbahaya jika digunakan. Sebaliknya ketika produk yang dibeli atau digunakan telah memenuhi keinginan dan harapan dan tidak menimbulkan masalah selama pemakaiannya, kadang merasakan kenyamanan tersebut sebagai hal yang biasa saja. Itulah sebagian gambaran dimana masyarakat terkadang kurang peduli terhadap peran dari suatu sistem kualitas dalam meningkatkan level kualitas/kualitas, keamanan, ketahanan, efisiensi, dan interchangeability dari suatu produk yang digunakan. Suatu standard kualitas memberikan kontribusi yang sangat besar pada segenap aspek kehidupan, walaupun kadang kontribusinya sering tidak disadari. Lantas, peran seperti apa yang dapat dilakukan oleh suatu standardisasi sistem kualitas seperti ISO 9000, Six Sigma, dan Malcolm Baldrige dalam membantu kesuksesan suatu perusahaan? Sistem-sistem tersebut merupakan tool atau alat untuk membantu perusahaan agar bekerja dengan lebih terorganisir serta membantu pengelolaan dan pengontrolan proses bisnis yang berjalan di perusahaan dengan berpegang pada standard kualitas yang telah ditetapkan. Sistem kualitas seperti ISO 9000, TS 16949, QS 9000, Six Sigma, dan Malcolm Baldrige adalah suatu sistem yang telah teruji dan terbukti luas di dunia Penerapan standar didorong oleh tuntutan konsumen terhadap suatu jaminan mutu. Tuntutan tersebut menjadi lebih gencar setelah ditandatanganinya perjanjian World Trade Organization (WTO) yang di dalamnya mencakup mengenai penerapan standar Mutu, sehingga baik dalam kegiatan perdagangan internasional maupun untuk melindungi pengusaha dan konsumen di dalam negeri, standar Mutu menjadi salah satu nilai tambah bagi produsen & eksportir. Dengan penerapan suatu sistem kualitas tertentu seperti ISO 9000, QS-9000, atau yang lain, tentunya akan membawa dampak positif bagi bisnis, yaitu meningkatkan dan menjamin kualitas dari produk atau layanan yang dihasilkan sehingga pada akhirnya akan meningkatkan tingkat kepuasan konsumen terhadap produk atau layanan yang disediakan. Mutu suatu produk/layanan harus mengikuti suatu standar tertentu karena dengan penerapan standar, maka sistem secara otomatis akan berusaha mengontrol dan mencegah setiap potensi timbulnya ketidaksesuaian atau penyimpangan pada seluruh tahapan rantai pasok. Hal ini juga akan berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan yaitu akan terhindarnya pemborosan anggaran, meminimalisasi biaya-biaya, dan pada akhirnya adalah meningkatnya keuntungan perusahaan secara signifikan. Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa standar – dalam hal ini adalah sistem manajemen mutu – dapat meningkatkan kualitas yang terdapat dalam produk atau jasa jika benar-benar dijalankan secara benar dan konsekuen. Sebaliknya karakteristik kualitas tertentu juga dapat menjadi suatu standar apabila karakteristik kualitas tersebut belum ada sebelumnya dalam suatu produk, dan dianggap perlu untuk dijadikan standar. Standar semacam ini dinamakan dengan private standard. Private standard, didefinisikan sebagai standar yang tidak selalu mengikuti prinsip-prinsip penyusunan standar yang telah ditetapkan dalam persetujuan WTO, namun terbentuk melalui penerimaan Code of Good Practice [9]. Namun, perlu diingat juga bahwa pada pasar dengan tingkat persaingan bisnis yang ketat, perusahaan harus memiliki produk atau layanan dengan mutu yang baik dan tinggi agar tetap dapat meningkatkan nilai kompetitif perusahaan. Mutu yang baik hanya bisa dihasilkan oleh perusahaan yang memiliki sistem manajemen mutu yang handal. Tapi sistem manajemen mutu hanyalah sebuah alat yang dapat membantu perusahaan untuk bekerja secara lebih efektif dan efisien. 5.Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semua produk sebuah perusahaan (barang atau jasa) akan berhasil dalam pasar apabila produk tersebut berkualitas dengan baik seperti tidak mudah rusak atau tahan lama. Kualitas produk tersebut tidak akan bisa dicapai tanpa adanya standarstandar yang telah ditetapkan sesuai dengan sistem standardisasi yang telah disepakati bersama seperti sistem
332
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISO 9000, TS 16949, QS 9000, Six Sigma, dan Malcolm Baldrige. Dengan adanya sistem standardisasi tersebut diharapkan kemampuan suatu produk untuk memenuhi persyaratan konsumen dan memberikan kepuasan konsumen meningkat.
Daftar Pustaka 1. Badan Standardisasi Nasional. 2007. Diktat Kuliah Standardisasi. Tidak Diterbitkan. 2. Badan Standardisasi Nasional. Salinan Lampiran Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor: 3401/Bsn-I/Hk.71/11/2001 Tanggal: 26 November 2001 Mengenai Sistem Standardisasi Nasional. 3. Dwiningsih, Nurhidayati. 2006. Diktat Kuliah Desain Produk dan Manajemen Kualitas. Tidak Diterbitkan. 4. Gasperz, Vincent. 2005. Total Quality Management. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 5. Goetsch, David L dan Davis, Stanley B. 2006. Quality Management: Introduction to Total Quality Management for Production, Processing, and Services. New Jersey: Pearson Prentice Hall. 6. http://id.saltanera.com/bahan/manajemen/sistem-manajemen-mutu-antara-kebutuhan-dan-keharusan 7. http://www.wikipedia.com/open_standard.html 8. http://www.wikipedia.com/standardization.html 9. International Standardization Organization. 2010. International Standard and “Private” Standard. ISO. 10. Krechmer, Ken. 2005. “Open Standard Requirements” in Standard Engineering. HICSS Proceedings. 11. Kurihara, Shiro. 2006. “The General Framework and Scope of Standard Studies” dalam Hitotsubashi Journal of Commerce and Management 40. Tokyo: Hitotsubashi University. 12. National IT and Telecom Agency. “Definition of Open Standard”. Denmark: National IT and Telecom Agency 13. Slob, Florens J.C. dan Henk J. de Vries. “Best Practice in Company Standardization”. 14. Verman, Lal. C. 1973. Standardization: A New Discipline. New Delhi: East-West Press Pvt Ltd.
333
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
ANALISIS HUBUNG SINGKAT 3 FASA UNTUK MENGEVALUASI KEMAMPUAN BUSBAR DAN CIRCUIT BREAKER TEGANGAN 11 kV PT PERTAMINA UNIT PENGOLAHAN II DUMAI 1)
Sudirman Palaloi 1) Balai Besar Teknologi Energi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi 1) Universitas Pamulang, Banten Email : [emailprotected]
Abstrak Makalah ini memaparkan hasil perhitungan arus gangguan hubung singkat 3 fasa pada sistem kelistrikan PT Pertamina UP II Dumai. Analisis hubung singkat dilakukan untuk mendapatkan nilai arus kerja pemutusan (interrupting duty) dan kerja sesaat (momentary duty) yang dapat digunakan untuk menentukan kemampuan bus dan circuit breaker. Gangguan yang dianalisis pada makalah ini adalah gangguan hubung singkat tiga fasa, karena dipandang sebagai gangguan yang dapat menghasilkan arus dan daya hubung singkat terbesar. Analisis hubung singkat ini dilakukan karena penambahan suplai daya baru pada sistem kelistrikan PT Pertamina UP II Dumai, berupa pembangunan 1 unit pembangkit PLTU 1 x 14 MW (dari 2 unit dan 1 yang belum terpasang) dan 1 Unit Diesel Emergency 1x 5 MW yang akan bekerja parallel (interkoneksi) dengan pembangkit lama 4 x 14 MW dan Gas Turbin Generator 2 x 17,5 MW. Dalam studi hubung singkat ini penulis melakukan analisis terhadap konfigurasi-konfigurasi kondisi pola operasi pembangkit yang akan diaplikasikan. Konfigurasi yang dikembangkan dalam analisis ini mengacu kepada kemungkinan pengoperasian beberapa pembangkit yang bekerja secara paralel untuk melayani keseluruhan beban. Berdasarkan kondisi eksisting dan pengoperasian yang akan datang, maka dikembangkan 13 konfigurasi pola operasi yang dihitung dengan menggunakan software EATAP 4.0. Hasil perhitungan hubung singkat menujukkan bahwa ke 13 konfigurasi tersebut layak untuk diaplikasikan karena nilai arus hubung singkat yang mungkin terjadi masih lebih kecil dibanding dengan kapasitas breaking capacity bus bar dan circuit breaker. Kata kunci : Arus hubung singkat, kapasitas pemutusan, busbar, circuit breaker 1.
Pendahuluan Kapasitas produksi Kilang UP II secara keseluruhan sebesar 170.000 barel per hari. Jumlah itu berasal
dari Kilang Minyak Putri Tujuh Dumai sebesar 120.000 barel per hari; dan unit produksi BBM Kilang UP II Sungai Pakning yang berkapasitas pengolahan 50.000 barel per hari. Kilang UP II Dumai memiliki 14 unit proses produksi pengolahan dan dua unit penunjang proses produksi. Kilang minyak UP II Dumai terdiri atas kilang lama (Existing Plant) dan kilang baru (New Plant). Existing Plant terdiri atas 3 unit proses, yaitu Topping Unit/ Crude Distilling Unit (CDU), Naptha Rerun Unit (NRU), dan Hydrobon Platforming Unit (Platforming I). New Plant (Hydrocracker Complex) merupakan perluasan dari Existing Plant yang dibangun pada tahun 1981. Pengoperasiannya
diresmikan
oleh
Presiden
Soeharto,
16
Februari
1984.
New Plant terdiri atas 11 unit proses produksi, yaitu High Vacuum Unit (HVU), Delayed Coking Unit (DCU), Hydrocracking Unit (HCU), Naptha Hydrotreating Unit (NHDtU), CCR Platforming Unit, Destillate Hydrotreating Unit (DHDtU), Amine & LPG Recovery Unit, Hydrogent Plant, Nitrogen Plant, dan Sour Water System Plant. Sedangkan dua unit penunjang produksi adalah Instalasi Tanki dan Pengapalan dan Utilities Unit. Dibangunnya Kilang Hydrocracker Complex ini bertujuan untuk memproses lebih lanjut Low Sulfur Waxy Residu (LSWR) yang dihasilkan oleh Crude Distilling Unit (CDU) Dumai dan CDU Sungai Pakning, sehingga dapat menghasilkan produk-produk BBM yang siap pakai. Dari 100 persen minyak mentah yang
334
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
diolah (100 persen Crude Intake) hanya dapat dihasilkan sekitar 37,5 persen produk BBM, 62 persen LSWR (Residu), dan sisanya sekitar 0,5 persen gas. Sedangkan dengan mengolah LSWR lebih lanjut di unit proses produksi Hydrcocracker Complex dapat dihasilkan produk BBM sekitar 93,34 persen dan sisa berupa produk gas yang digunakan sebagai bahan bakar (fuel) di unit-unit proses produksi kilang. Selain itu dihasilkan produk padat berupa green coke dan calcined coke. Produk ini digunakan kalangan industri untuk bahan elektroda dalam proses peleburan biji alumunium. Kilang Dumai mengolah minyak mentah jenis Sumatera Light Crude (SLC) dan jenis Duri Crude Oil (DCO) yang dihasilkan oleh PT Caltex Pacific Indonesia. Kilang Dumai menghasilkan berbagai macam produk BBM dan produk non BBM. Jenis-jenis produk BBM yang dihasilkan adalah premium, kerosene, avtur, JP-5 (bahan bakar khusus), dan solar/diesel. Sedangkan jenis-jenis produk non BBM yang dihasilkan adalah Elpiji (LPG), green coke, dan calcined coke. Produk BBM yang dihasilkan Kilang Minyak UP II Dumai memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, khususnya daerah operasi UPms I (Provinsi-provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau). Sementara produk non BBM (coke) diarahkan untuk ekspor. Pendistribusian produk tersebut dikirim melalui perpipaan (10 persen) dan melalui kapal (90 persen). Sebagai sebuah kilang minyak terbesar ketiga di Indonesia, Kilang minyak UP II Dumai memiliki sejumlah fasilitas pendukung, yaitu tangki penampung, unit pembangkit listrik, dan di kompleks kilang ini pun terdapat pengolah air tawar Water Treatment Plant (WTP) yang berkemampuan pengolahanan 12.000 m3 per jam. Terdapat juga pembangkit steam, udara tekan, nitrogen plant, dan unit pengolah limbah cair. Untuk mendukung semua itu maka diperlukan pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas total lebih kurang 90 MW. Namun karena ada penambahan kapasitas produksi, dan pembangkit yang ada mengalami derating karena faktor usia, maka diperlukan pembangkit baru berupa STG dengan kapasitas 2x14 MW dan 1 unit Diesel engine yang berkapasitas 5 MW. Adanya penambahan beban dan pembangkit ini, tentulah memiliki konsekuensi terhadap kenaikan arus hubung singkat yang mungkin terjadi. Dalam operasi sistem tenaga listrik terjadinya gangguan tidak dapat dihindarkan. Gangguan dapat terjadi dikarenakan adanya kejadian secara acak dalam sistem yang dapat berupa berkurangnya kemampuan peralatan, meningkatnya beban dan lepasnya peralatan-peralatan yang tersambung ke sistem. Gangguan yang sering terjadi pada saluran distribusi adalah gangguan hubung singkat. Untuk menentukan dan mengevaluasi peralatan listrik seperti CB dan busbar, umumnya berdasarkan arus hubung singkat 3 fasa, karena arus hubung singkat 3 fasa inilah yang menyebabkan arus paling besar diantara arus gangguan lainnya. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis akan melaksanakan menghitung arus hubung singkat 3 fasa pada Sistem Kelistrikan PT. Pertamina Unit Pengolahan (UP) II Dumai. Analisis hubung singkat ini dilakukan karena penambahan suplai daya baru pada sistem kelistrikan PT. Pertamina Unit Pengolahan (UP) II Dumai, berupa pembangunan unit pembangkit PLTU 2 x 14 MW (1 unit belum terpasang) dan 1 Unit Diesel Emergency 1x 5 MW yang akan bekerja parallel (interkoneksi) dengan pembangkit lama 4 x 14 MW dan Gas Turbin Generator 2 x 17.5 MW. Permasalahan yang terjadi setelah interkoneksi adalah kemungkinan arus hubung singkat yang terjadi pada sistem kelistrikan PT.Pertamina UP II dumai akan menjadi lebih besar dari nilai sebelumnya. Hal ini tentu akan berpengaruh pada kemampuan busbar dan kapasitas pemutusan daya (CB). Evaluasi kemampuan circuit breaker dan busbar (switchgear) dilakukan dengan cara membandingkan hasil perhitungan arus hubung singkat berbasis standar ANSI (yang mencakup arus
335
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Momentary dan Interrupting) yang didapatkan dari perhitungan menggunakanc software ETAP dengan kapasitas circuit breaker terpasang dan yang akan dipasang pada unit baru. Dalam melakukan analisis hubung singkat Sistem Kelistrikan Pertamina UP-II Dumai di lakukan analisis terhadap konfigurasi-konfigurasi kondisi pola operasi pembangkit yang akan diaplikasikan. Konfigurasi yang dikembangkan dalam analisis ini mengacu kepada kemungkinan pengoperasian beberapa pembangkit yang bekerja secara paralel untuk melayani keseluruhan beban. 2.
Metodologi Dalam penelitian ini, ada beberapa langkah-langkah yang telah dilakukan antara lain :
a. Survei lapangan untuk mengumpulkan data - data seperti single line diagram sistem kelistrikan PT .Pertamina UP II Dumai, data-data generator existing maupun data generator baru, data-data transformator, data-data penghantar, data CB, dan busbar serta data-data beban – beban listriknya. Datadata tersebut akan dipergunakan untuk menganalisis arus hubung singkat 3 fasa simetris. b. Studi tentang konfigurasi sistem pembangkit yang akan bekerja secara paralel untuk melayani beban. c. Perhitungan arus gangguan hubung singkat dari konfigurasi kerja paralel pembangkit yang mungkin terjadi dengan menggunakan software ETAP. d. Evaluasi kemampuan busbar dan circuit breaker berdasarkan hasil perhitungan. 3. Hasil dan Pembahasan Dalam melakukan studi hubung singkat
Sistem Kelistrikan Pertamina UP-II Dumai di lakukan
analisis terhadap konfigurasi-konfigurasi kondisi pola operasi pembangkit yang akan diaplikasikan. Konfigurasi yang dikembangkan dalam analisis ini mengacu kepada kemungkinan pengoperasian beberapa pembangkit yang bekerja secara paralel untuk melayani keseluruhan beban. Perhitungan hubung singkat dilakukan hanya pada bus-bus tegangan menengah 11 kV. Namun demikian beban-beban seperti motor-motor pada tegangan 3,3 kV dan 380 V dimasukkan dalam perhitungan. Sehingga konstribusi arus hubung singkat bukan hanya berasal dari Generator, tetapi juga berasal dari motormotor, baik motor tegangan menengah juga motor tegangan rendah. Gambaran pembangkit yang akan beroperasi secara paralel dapat dilihat pada single line diagram berikut ini.
336
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 1. One single line diagram sistem kelistrikan UP II Dumai Berdasarkan kondisi eksisting dan penambahan pembangkit baru untuk kemungkinan pengoperasian yang akan datang, maka dikembangkan 13 konfigurasi pola operasi yang dihitung hubung singkatnya. Untuk semua konfigurasi dipasang reactor sebesar 0.6 ohm dengan rating 2000 A yang menghubungkan antara bus sinkronisasi PLTU eksisting (lama) dengan bus sinkronisasi PLTU baru. Sedangkan antara Diesel Emergency Generator dengan bus sinkron (lama) dihubungkan dengan transformator Step-Up 6,6/11 KV.
Konfigurasi
pola operasi masing-masing yang akan dihitung, seperti berikut.
337
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 1. Konfigurasi sistem pengoperasian pembangkit yang mungkin diterapkan Pola Operasi
TG1
TG2
TG3
TG4
TG5
TG6
GT1
GT2
DEG
1
√
√
√
√
x
x
√
x
x
2
√
√
√
x
√
√
x
x
3
√
√
x
x
√
√
√
x
x
4
√
√
√
√
x
x
x
x
x
5
√
√
x
x
√
x
√
x
x
6
√
√
√
x
√
x
x
x
x
7
√
√
x
x
√
√
x
x
x
8
√
√
x
x
√
x
x
x
√
9
√
x
x
x
√
x
√
x
√
10
√
√
√
x
x
x
x
x
√
11
√
√
√
√
√
x
√
x
√
12
√
√
√
x
√
x
√
x
√
13
√
x
x
x
√
√
√
x
x
Keterangan :
√ : Beroperasi
x : Tidak Beroperasi
3.1. Data-data peralatan listrik Tabel 2. Data Generator Nama Generator
Kapasitas (MW)
Tegangang (kV)
X’’d
X’d
X2
STG-01
14,025
11
18
25
18
STG-02
14,025
11
18
25
18
STG-03
14,025
11
18
25
18
STG-04 (New)
14,025
11
18
25
18
STG-05 (New)
14,025
11
18
25
18
GTG-01
18,3
10.5
13,62
18,33
12
GTG-01
18,3
10.5
13,62
18,33
12
DG (New)
5
6,6
26
35
22
Tabel 3. Data transformator Nama Transformator T 1-1
Kapasitas (MVA) 10
T 2-1
Z (%)
Tegangan (kV)
8,16
11/3,5
10
8,11
11/3,5
T 1-2
10
8,09
11/3,5
T 2-2
10
8,22
11/3,5
T 1-3
10
8,34
11/3,5
T 2-3
10
8,07
11/3,5
338
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Nama Transformator T 1-2
Kapasitas (MVA) 10
T 2-4
Z (%)
Tegangan (kV)
8,11
11/3,5
10
8,23
11/3,5
T 1-5
4
7,11
11/3,5
T 2-5
4
7,27
11/3,5
T 1-6
4
7,22
11/3,5
T 2-6
4
7,11
11/3,5
T 1-7
10
8,11
11/3,5
T 2-7
10
8,15
11/3,5
T 1-10
10
8,25
11/3,3
T 2-10
10
8,25
11/3,3
T 1-11
1
4.45
11/3,3
T 2-11
1
4.45
11/3,3
LBO TR-1
6
8,09
11/3,45
LBO TR-2
6
8,09
11/3,45
TR-DG
6,25
8
6,6/11
3.2. Hasil dan analisis Hubung Singkat pada Konfigurasi 1
Tabel 4. Hasil perhitungan hubung singkat pada konfigurasi 1 Bus
Tegangan (kV)
Arus Sesaat Sym (rms kA)
Bus ST-01
11
34,94
Arus Pemutusan Sym (rms kA) 28,19
Kapasitas Bus bar Sym( kA)
Ket
40
ok
Bus ST-02
11
34,94
28,19
40
ok
Bus ST-03
11
34,94
28,19
40
ok
Bus ST-04
11
34,94
28,19
40
ok
Bus Sinkron lama
11
34,94
28,19
40
ok
Bus ST-05
11
11,33
10,39
40
ok
Bus ST-06
11
11,33
10,39
40
ok
Bus Sinkron Baru
11
11,33
10,39
40
ok
Bus Nissan
10,5
15,17
13,36
40
ok
Bus ES#12
11
10,86
9,96
40
ok
Analisis :
339
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Dari hasil perhitungan arus hubung singkat dan daya hubung singkat untuk konfigurasi 1. dimana ada 5 generator yang beroperasi secara pararel yakni ST1, ST2 ST3, ST4 dan GT1 didapatkan bahwa tidak ada nilai Ihs dan MVAhs yang melebihi kapasitas busbar yang terpasang. Nilai ini masih lebih rendah daripada Kapasitas hubung singkat busbar dan Kapasitas daya hubung singkat busbar.
3.3. Hasil dan Analisis Hubung Singkat pada Konfigurasi 2 Tabel 5. Hasil perhitungan hubung singkat pada konfigurasi 2 Bus
Tegangan (kV)
Bus TG-01
11
32,196
Arus Pemutusan Sym (rms kA) 25,59
Bus TG-02
11
32,196
Bus TG-03
11
Bus TG-04
Arus Sesaat Sym (rms kA)
Kapasitas Bus bar Sym( kA)
Ket
40
ok
25,59
40
ok
32,196
25,59
40
ok
11
32,196
25,59
40
ok
Bus Sinkron lama
11
32,196
25,59
40
ok
Bus TG-05
11
15,88
14,83
40
ok
Bus TG-06
11
15,88
14,83
40
ok
Bus Sinkron Baru
11
15,88
14,83
40
ok
Bus Nissan
10,5
16,76
14,986
40
ok
BUS ES#12
11
14,59
13,65
40
ok
Analisis : Dari hasil perhitungan arus hubung singkat dan daya hubung singkat untuk konfigurasi 2. dimana ada 5 generator yang beroperasi secara pararel yakni ST1, ST2 ST3, ST5 dan GT1 didapatkan bahwa tidak ada nilai Ihs dan MVAhs yang melebihi kapasitas busbar yang terpasang. Nilai ini masih lebih rendah daripada Kapasitas hubung singkat busbar dan Kapasitas daya hubung singkat busbar. 3.4. Hasil dan Analisis Hubung Singkat pada Konfigurasi 3 Tabel 6 Hasil perhitungan hubung singkat pada konfigurasi 3 Tegangan (kV)
Arus Sesaat Sym (rms kA)
Bus TG-01
11
28,56
Arus Pemutusan Sym (rms kA) 22,04
Bus TG-02
11
28,56
Bus TG-03
11
Bus TG-04
Kapasitas Bus bar Sym( kA)
Ket
40
ok
22,04
40
ok
28,56
22,04
40
ok
11
28,56
22,04
40
ok
Bus Sinkron lama
11
28,56
22,04
40
ok
Bus TG-05
11
20,27
19,01
40
ok
Bus TG-06
11
20,27
19,01
40
ok
Bus
340
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Bus Sinkron Baru
11
20,27
19,01
40
ok
Bus Nissan
10,5
16,96
15,19
40
ok
BUS ES#12
11
17,85
16,79
40
ok
Analisis : dari hasil perhitungan arus hubung singkat dan daya hubung singkat untuk konfigurasi 3. dimana ada 5 generator yang beroperasi secara pararel yakni ST1, ST2 ST5, ST6 dan GT1 didapatkan bahwa tidak ada nilai Ihs dan MVAhs yang melebihi kapasitas busbar yang terpasang. Nilai ini masih lebih rendah daripada Kapasitas hubung singkat busbar dan Kapasitas daya hubung singkat busbar. 3.5. Hasil dan Analisis Hubung Singkat pada Konfigurasi 4 Tabel 7 Hasil perhitungan hubung singkat pada konfigurasi 4 Bus
Tegangan (kV)
Arus Sesaat Sym (rms kA)
Bus TG-01
11
34,16
Arus Pemutusan Sym (rms kA) 26,91
Bus TG-02
11
34,16
Bus TG-03
11
Bus TG-04
Kapasitas Bus bar Sym( kA)
Ket
40
Ok
26,91
40
Ok
34,16
26,91
40
Ok
11
34,16
26,91
40
Ok
Bus Sinkron lama
11
34,16
26,91
40
Ok
Bus TG-05
11
10,10
8,59
40
Ok
Bus TG-06
11
10,10
8,59
40
Ok
Bus Sinkron Baru
11
10,10
8,59
40
Ok
Bus Nissan
10,5
5,94
4,11
40
Ok
BUS ES#12
11
9,56
8,07
40
Ok
Analisis : Dari hasil perhitungan arus hubung singkat dan daya hubung singkat untuk konfigurasi 4. dimana ada 5 generator yang beroperasi secara pararel yakni ST1, ST2 ST3, ST4 didapatkan bahwa tidak ada nilai Ihs dan MVAhs yang melebihi kapasitas busbar yang terpasang. Nilai ini masih lebih rendah daripada Kapasitas hubung singkat busbar dan Kapasitas daya hubung singkat busbar. 3.6. Hasil dan Analisis Hubung Singkat pada Konfigurasi 5 Tabel 8. Hasil perhitungan hubung singkat pada konfigurasi 5 Bus
Tegangan (kV)
Arus Sesaat Sym (rms kA)
Bus TG-01
11
27,39
Arus Pemutusan Sym (rms kA) 20,78
Bus TG-02
11
27,39
Bus TG-03
11
27,39
Kapasitas Bus bar Sym( kA)
Ket
40
ok
20,78
40
ok
20,78
40
ok
341
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Bus TG-04
11
27,39
20,78
40
ok
Bus Sinkron lama
11
27,39
20,78
40
ok
Bus TG-05
11
15,46
14,20
40
ok
Bus TG-06
11
15,46
14,20
40
ok
Bus Sinkron Baru
11
15,46
14,20
40
ok
Bus Nissan
10,5
16,74
14,95
40
ok
BUS ES#12
11
14,26
13,13
40
ok
Analisis : Dari hasil perhitungan arus hubung singkat dan daya hubung singkat untuk konfigurasi 5. dimana ada 5 generator yang beroperasi secara pararel yakni ST1, ST2 ST5, GT1 didapatkan bahwa tidak ada nilai Ihs dan MVAhs yang melebihi kapasitas busbar yang terpasang. Nilai ini masih lebih rendah daripada Kapasitas hubung singkat busbar dan Kapasitas daya hubung singkat busbar. 3.7. Hasil dan Analisis Hubung Singkat pada Konfigurasi 6 Tabel 9. Hasil perhitungan hubung singkat pada konfigurasi 6 Bus
Tegangan (kV)
Arus Sesaat Sym (rms kA)
Bus TG-01
11
31,76
Arus Pemutusan Sym (rms kA) 24,89
Bus TG-02
11
31,76
Bus TG-03
11
Bus TG-04
Kapasitas Bus bar Sym( kA)
Ket
40
ok
24,89
40
ok
31,76
24,89
40
ok
11
31,76
24,89
40
ok
Bus Sinkron lama
11
31,76
24,89
40
ok
Bus TG-05
11
14,59
12,93
40
ok
Bus TG-06
11
14,59
12,93
40
ok
Bus Sinkron Baru
11
14,59
12,93
40
ok
Bus Nissan
10,5
6,28
4,49
40
ok
BUS ES#12
11
13,23
11,656
40
ok
Analisis : Dari hasil perhitungan arus hubung singkat dan daya hubung singkat untuk konfigurasi 6. dimana ada 5 generator yang beroperasi secara pararel yakni ST1, ST2 ST3, ST5 didapatkan bahwa tidak ada nilai Ihs dan MVAhs yang melebihi kapasitas busbar yang terpasang. Nilai ini masih lebih rendah daripada Kapasitas hubung singkat busbar dan Kapasitas daya hubung singkat busbar.
342
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
3.8 Hasil dan Analisis Hubung Singkat pada Konfigurasi 7 Tabel 10. Hasil perhitungan hubung singkat pada konfigurasi 7 Bus
Tegangan (kV)
Arus Sesaat Sym (rms kA)
Bus TG-01
11
28,32
Arus Pemutusan Sym (rms kA) 21,61
Bus TG-02
11
28,32
Bus TG-03
11
Bus TG-04
Kapasitas Bus bar Sym( kA)
Ket
40
ok
21,61
40
ok
28,32
21,61
40
ok
11
28,32
21,61
40
ok
Bus Sinkron lama
11
28,32
21,61
40
ok
Bus TG-05
11
18,98
17,11
40
ok
Bus TG-06
11
18,98
17,11
40
ok
Bus Sinkron Baru
11
18,98
17,11
40
ok
Bus Nissan
10,5
6,48
4,7
40
ok
BUS ES#12
11
16,50
14,82
40
ok
Analisis : Dari hasil perhitungan arus hubung singkat dan daya hubung singkat untuk konfigurasi 7. dimana ada 5 generator yang beroperasi secara pararel yakni ST1, ST2 ST5, ST6 didapatkan bahwa tidak ada nilai Ihs dan MVAhs yang melebihi kapasitas busbar yang terpasang. Nilai ini masih lebih rendah daripada Kapasitas hubung singkat busbar dan Kapasitas daya hubung singkat busbar.
343
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
3.9. Hasil dan Analisis Hubung Singkat pada Konfigurasi 8 Tabel 11. Hasil perhitungan hubung singkat pada konfigurasi 8
11
Arus Sesaat Sym (rms kA) 27,86
Arus Pemutusan Sym (rms kA) 20,99
Kapasitas Bus bar Sym( kA) 40
Bus TG-02
11
27,86
20,99
40
ok
Bus TG-03
11
27,86
20,99
40
ok
Bus TG-04
11
27,86
20,99
40
ok
Bus Sinkron lama
11
27,86
20,99
40
ok
Bus TG-05
11
14,25
11,44
40
ok
Bus TG-06
11
14,25
11,44
40
ok
Bus Sinkron Baru
11
14,25
11,44
40
ok
Bus Nissan
10,5
6,26
4,46
40
ok
BUS ES#12
11
12,96
11,26
40
ok
Bus
Tegangan (kV)
Bus TG-01
Ket ok
Analisis : Dari hasil perhitungan arus hubung singkat dan daya hubung singkat untuk konfigurasi 8. dimana ada 5 generator yang beroperasi secara pararel yakni ST1, ST2 ST5, DEG didapatkan bahwa tidak ada nilai Ihs dan MVAhs yang melebihi kapasitas busbar yang terpasang. Nilai ini masih lebih rendah daripada Kapasitas hubung singkat busbar dan Kapasitas daya hubung singkat busbar.
3.10 Hasil dan Analisis Hubung Singkat pada Konfigurasi 9 Tabel 12. Hasil perhitungan hubung singkat pada konfigurasi 9 Bus
Tegangan (kV)
Arus Sesaat Sym (rms kA)
Bus TG-01
11
23,50
Arus Pemutusan Sym (rms kA) 16,88
Bus TG-02
11
23,50
Bus TG-03
11
Bus TG-04
Kapasitas Bus bar Sym( kA)
Ket
40
ok
16,88
40
ok
23,50
16,88
40
ok
11
23,50
16,88
40
ok
Bus Sinkron lama
11
23,50
16,88
40
ok
Bus TG-05
11
15,02
13,49
40
ok
Bus TG-06
11
15,02
13,49
40
ok
Bus Sinkron Baru
11
15,02
13,49
40
ok
Bus Nissan
10,5
16,71
14,89
40
ok
BUS ES#12
11
13,90
12,56
40
ok
344
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Analisis : Dari hasil perhitungan arus hubung singkat dan daya hubung singkat untuk konfigurasi 9. dimana ada 5 generator yang beroperasi secara pararel yakni ST1, ST2 ST5, GT1 dan DEG didapatkan bahwa tidak ada nilai Ihs dan MVAhs yang melebihi kapasitas busbar yang terpasang. Nilai ini masih lebih rendah daripada Kapasitas hubung singkat busbar dan Kapasitas daya hubung singkat busbar. 3.11 Hasil dan Analisis Hubung Singkat pada Konfigurasi 10 Tabel 13. Hasil perhitungan hubung singkat pada konfigurasi 10 Bus
Tegangan (kV)
Arus Sesaat Sym (rms kA)
Bus TG-01
11
30,27
Arus Pemutusan Sym (rms kA) 22,01
Bus TG-02
11
30,27
Bus TG-03
11
Bus TG-04
Kapasitas Bus bar Sym( kA)
Ket
40
ok
22,01
40
ok
30,27
22,01
40
ok
11
30,27
22,01
40
ok
Bus Sinkron lama
11
30,27
22,01
40
ok
Bus TG-05
11
9,84
8,22
40
ok
Bus TG-06
11
9,84
8,22
40
ok
Bus Sinkron Baru
11
9,84
8,22
40
ok
Bus Nissan
10,5
5,91
4,07
40
ok
BUS ES#12
11
9,35
7,75
40
ok
Analisis : Dari hasil perhitungan arus hubung singkat dan daya hubung singkat untuk konfigurasi 1. dimana ada 5 generator yang beroperasi secara pararel yakni ST1, ST2 ST3, dan DEG didapatkan bahwa tidak ada nilai Ihs dan MVAhs yang melebihi kapasitas busbar yang terpasang. Nilai ini masih lebih rendah daripada Kapasitas hubung singkat busbar dan Kapasitas daya hubung singkat busbar.
345
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
3.12 Hasil dan Analisis Hubung Singkat pada Konfigurasi 11 Tabel 14. Hasil perhitungan hubung singkat pada konfigurasi 11 Bus
Tegangan (kV)
Arus Sesaat Sym (rms kA)
Bus TG-01
11
37,89
Arus Pemutusan Sym (rms kA) 31,28
Bus TG-02
11
37,89
Bus TG-03
11
Bus TG-04
Kapasitas Bus bar Sym( kA)
Ket
40
ok
31,28
40
ok
37,89
31,28
40
ok
11
37,89
31,28
40
ok
Bus Sinkron lama
11
37,89
31,28
40
ok
Bus TG-05
11
16,19
15,28
40
ok
Bus TG-06
11
16,19
15,28
40
ok
Bus Sinkron Baru
11
16,19
15,28
40
ok
Bus Nissan
10,5
15,54
13,77
40
ok
BUS ES#12
11
14,81
13,96
40
ok
Analisis : Dari hasil perhitungan arus hubung singkat dan daya hubung singkat untuk konfigurasi 11. dimana ada 5 generator yang beroperasi secara pararel yakni ST1, ST2 ST3, ST4, ST5, GT1 dan DEG didapatkan bahwa tidak ada nilai Ihs dan MVAhs yang melebihi kapasitas busbar yang terpasang. Nilai ini masih lebih rendah daripada Kapasitas hubung singkat busbar dan Kapasitas daya hubung singkat busbar. 3.13. Hasil dan Analisis Hubung Singkat pada Konfigurasi 12 Tabel 15. Hasil perhitungan hubung singkat pada konfigurasi 12 Bus
Tegangan (kV)
Arus Sesaat Sym (rms kA)
Bus TG-01
11
33,084
Arus Pemutusan Sym (rms kA) 26,47
Bus TG-02
11
33,084
Bus TG-03
11
Bus TG-04
Kapasitas Bus bar Sym( kA)
Ket
40
ok
26,47
40
ok
33,084
26,47
40
ok
11
33,084
26,47
40
ok
Bus Sinkron lama
11
33,084
26,47
40
ok
Bus TG-05
11
15,88
14,84
40
ok
Bus TG-06
11
15,88
14,84
40
ok
Bus Sinkron Baru
11
15,88
14,84
40
ok
Bus Nissan
10,5
15,52
13,74
40
ok
BUS ES#12
11
14,57
13,61
40
ok
Dari hasil perhitungan arus hubung singkat dan daya hubung singkat untuk konfigurasi 12. dimana ada 5 generator yang beroperasi secara pararel yakni ST1, ST2 ST3, ST5, GT1 dan DEG didapatkan bahwa tidak
346
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
ada nilai Ihs dan MVAhs yang melebihi kapasitas busbar yang terpasang. Nilai ini masih lebih rendah daripada Kapasitas hubung singkat busbar dan Kapasitas daya hubung singkat busbar. 3.14. Hasil dan Analisis Hubung Singkat pada Konfigurasi 13 Tabel 16. Hasil perhitungan hubung singkat pada konfigurasi 13 Bus
Tegangan (kV)
Arus Sesaat Sym (rms kA)
Bus TG-01
11
23,77
Arus Pemutusan Sym (rms kA) 17,21
Bus TG-02
11
23,77
Bus TG-03
11
Bus TG-04
Kapasitas Bus bar Sym( kA)
Ket.
40
ok
17,21
40
ok
23,77
17,21
40
ok
11
23,77
17,21
40
ok
Bus Sinkron lama
11
23,77
17,21
40
ok
Bus TG-05
11
19,64
18,02
40
ok
Bus TG-06
11
19,64
18,02
40
ok
Bus Sinkron Baru
11
19,64
18,02
40
ok
Bus Nissan
10,5
15,67
13,91
40
ok
BUS ES#12
11
17,37
16,04
40
ok
Analisis : Dari hasil perhitungan arus hubung singkat dan daya hubung singkat untuk konfigurasi 1. dimana ada 5 generator yang beroperasi secara pararel yakni ST1, ST2, ST5, ST6, dan GT1 didapatkan bahwa tidak ada nilai Ihs dan MVAhs yang melebihi kapasitas busbar yang terpasang. Nilai ini masih lebih rendah daripada Kapasitas hubung singkat busbar dan Kapasitas daya hubung singkat busbar. 5.
Kesimpulan Dari hasil analisis hubung singkat 3 fasa di Pertamina UP II Dumai, dapat disimpulkan bahwa Untuk semua
pola operasi, kemungkinan arus hubung singkat terbesar terjadi di bus sinkron, bus TG1-TG4 dengan nilai Ihs tertinggi adalah 37,89 kA (pola operasi 11). Namun demikian arus hubung singkat masih lebih rendah dibandingkan kapasitas bus dan CB yang terpasang. Sehingga semua peralatan berada pada kondisi aman untuk dioperasikan untuk berbagai macam pola operasi.
Daftar Pustaka 1. 2. 3.
Arrillaga, J. ; C.P. Arnold. dan B.J. Harker. 1984. Computer Modeling of Electric Power Systems. John Wiley & Sons Ltd. Boylestad, Robert L. 1997. Introductory Circuit Analysis, 8th Edition. Prentice Hall International Inc. Donald J dkk. Standard Handbook for Electrical Engineers. 12th edition, Mc. Graw-Hill Book Company.
347
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
4.
El-Abiad dan Stagg 1968. Computer Methods in Power System Analysis. International Student Edition, Mc. Graw-Hill Series in Electric Systems. 5. Marsudi, Jiteng. 1990. Operasi Sistem Tenaga Listrik. Balai penerbit dan Humas ISTN, Jakarta. 6. Operation Techonology Inc. “ETAP 4.0.0.” Volume I & II Southern California 7. Pai, M.A. 1980. Computer Techniques in Power Systems Analysis. Tata Mc Graw-Hill Publishing Company. Limited , New Delhi. 8. Schauder, C ; Bernhard M. dan Stacey. E. 1995. Development of a .100 MVAr Static Condenser for Voltage Control of Transmission Systems. IEEE Transactions on Power Delivery, Vol. 10 No.3 9. Single line diagram dan data-data sistem kelistrikan PT Pertamina UP II Dumai, 2009 10. Stevenson Jr, William D dan Kemal Idris. 1990. Analisis Sistem Tenaga, Erlangga. Jakarta, 1990. 11. Weedy, B.M. 1980. Electric Power System. Third Edition, John Wiley & Sons Ltd.
348
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
ANALISIS PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK DI INDUSTRI BAJA
1)
Sudirman Palaloi 1) Balai Besar Teknologi Energi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi 1) Universitas Pamulang, Banten Email : [emailprotected]
ABSTRAK Makalah ini menyajikan hasil penelitian penggunaan energi listrik di industri baja. Pabrik ini mengolah bahan dasar berupa scrap limbah automatif menjadi barang jadi berupa komponen automotif yang bernilai tinggi. Proses produksi diawali dengan proses memasak/melting scrap tersebut ke dalam tungku/furnace untuk menghasilkan baja cair. Setelah proses melting selesai, kemudian dilanjutkan dengan proses penuangan kedalam cetakan (pouring), lalu dilanjutkan dengan proses pendinginan di cooling line. Setelah dingin kemudian dilakukan proses shake out untuk melepas cetakannnya. Tahapan proses selanjutnya adalah proses finishing dengan melakukan proses shot blasting dan grinding. Proses inspeksi akhir dilakukan dengan mesin dan dilanjutkan dengan proses packing. Dari hasil penelitian menujukan bahwa pada tahun 2008, untuk meproduksi baja cari sebanyak 14.125,8 ton diperlukan energi listrik sebesar 12.758.484 kWh dengan demikian konsumsi energi spesifik adalah 903 kWh/ton baja cair. Sedangkan total konsumsi energi listrik spesifik untuk melting hingga proses packing adalah 1.730 kWh/ton produk jadi. Kata kunci : melting, baja cair, energi listrik, konsumsi energi listrik spesifik. 1. Pendahuluan Industri baja merupakan salah satu industri padat energi. Salah satu industri yang dikaji penggunaan energinya adalah Industri Baja Bakrie Tosanjaya. Pabrik ini memproduksi suku cadang kendaraan bermotor dan manufactured casting yang terbuat dari besi baja seperti: brake drum, fly wheels, hubs, exhaust manifold, disc brake, clutch housings, fly wheel housing, gear boxes, transmission cases, diesel component, valve body, anchorage, electrical accessories dan pump castings. Produk-pruduk tersebut sebelum di cetak, masi dalam bentuk baja cair. Baja cair tersebut di produksi pada plant yang sama. Pabrik Bakrie Tosanjaya telah mempunyai 3 plant dengan total kapasitas produksi rata-rata 17.000 ton/tahun. Plant 1 terdiri dari : 4 dapur yakni dapur 1,dapur 2, dapur 3, dan dapur 4. Dapur 1 dan dapur 2 kapasitas masing-masing 5 ton. Dapur 3 dan 4 masing-masing 2 ton. Plant 2 terdiri dari : 3 dapur yakni dapur 5,dapur 6, dan dapur 7 . Kapasitas masing-masing dapur 4 ton. Plant 3 terdiri dari : 2 dapur yakni dapur 8, dan dapur 9. Kapasitas masing-masing dapur 3 ton. Bahan baku utama adalah berupa besi scrap limbah automotif yang dipasok oleh potongan besi/baja dari perusahaan automotive seperti Mitsubishi, Isuzu, Suzuki dan lainnya yang berasal dari Jabodetabek, Magelang, Surabaya. Pasokan lain didapatkan dari pengumpul besi bekas yang dipilih sesuai dengan standar bahan baku yang diperbolehkan. Bahan tambahan lain adalah: silica, Fe, Cr dll. Produk yang dihasilkan pada PT Bakrie Tosanjaya berdasarkan pesanan untuk konsumsi baik dalam negeri (hampir semua ATPM) maupun pesanan industri outomotif luar negeri, yakni dari Malaysia, Jepang dan Australia. Makalah ini menyajikan profil penggunaan energi listrik untuk memproduksi baja cair dan produk bahan jadi lainnya. Disajikan pula baik penggunaan energi spesifik dalam kWh per ton baja cair.
349
ISSN 977.2086796.00.2
2.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Tinjauan Pustaka
2.1 Proses Produksi Dalam produksinya, PT Bakrie Tosanjaya mengolah bahan dasar berupa scrap limbah automatif menjadi barang jadi berupa komponen automotif yang bernilai tinggi. Proses produksi diawali dengan proses memasak/melting scrap tersebut kedalam tungku/furnace untuk menghasilkan baja cair. Diagram alir dari proses produksinya seperti pada Gambar 1. Secara simultan juga dilakukan tahapan proses lainnya yaitu pembuatan cetakan atau moulding dan pembuatan cetakan core untuk produksi yang terdapat rongga. Setelah proses melting selesai, kemudian dilanjutkan dengan proses penuangan kedalam cetakan (pouring), lalu dilanjutkan dengan proses pendinginan di cooling line. Setelah dingin kemudian dilakukan proses shake out untuk melepas cetakannnya. Tahapan proses selanjutnya adalah proses finishing dengan melakukan proses shot blasting dan grinding. Proses inspeksi akhir dilakukan dengan mesin dan dilanjutkan dengan proses packing.
Gambar 1. Proses produksi 2.2
Sumber Energi Listrik Energi yang dibutuhkan di PT. Bakrie Tosanjaya dalam operasinya adalah : • energi listrik, dan • energi termal dari BBM dan gas acetylene Energi listrik digunakan pada peralatan-peralatan produksi utama yaitu Furnace Induksi, serta peralatan penunjang seperti; kompressor udara (air compressor), sistim transportasi produk (ban berjalan, dan lainnya), motor listrik, work shop, sistim penerangan serta sistim tata udara (air conditioning) ruang kantor. Energi listrik tersebut dipasok dari : a. PLN dengan kapasitas terpasang sebesar 8.660 kVA dan b. Pembangkitan sendiri dengan generator diesel (Genset) dengan kapasitas terpasang 1 x 250 kVA yang digunakan sebagai emergency. c. Sumber energi gas berupa gas acetylene digunakan pada produksi pembuatan core /Core Making.
350
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Daya yang berasal dari PLN pada tegangan 20 kV terdistribusi ke seluruh pabrik melalui 3 buah feeder. Feeder 1 masuk ke substation-02. Feeder 2 ke substation-1A dan feeder 03 ke substation-03. Tranformator daya yang digunakan ada 2 macam. yakni transformator daya untuk peleburan dan transformator daya untuk utilitas. Diagram sederhana sistem kelistrikan PT. Bakrie Tosanjaya diperlihatkan pada gambar berikut.
1000 kVA 20/0,380 kV
Main Panel 01 PLANT-2
1000 kVA 20/0,380 kV
Main Panel 02 PLANT-2
2900 kVA 20 /0,575kV
FURNACE 05 PLANT-2
2900 kVA 20 /0,575kV
FURNACE 06 PLANT-2
2900 kVA 20 /0,575kV
GARDU PLN 8660 kVA 20 kV
FURNACE 07 PLANT-2
2900 kVA 20 /0,575kV
FURNACE 07 PLANT-2
2900 kVA 20 /0,380kV
PANEL KOMPRESOR-A
1000 kVA 20 /0,575kV
SELURUH KEPERLUAN PABRIK
PANEL KOMPRESSOR-B
1400 kVA 20 /0,575kV
1250 kVA 20 /0,575kV 1250 kVA 20 /0,575kV
FURNACE 03 FURNACE 04
PLANT-1
FURNACE 01 FURNACE 02
PLANT-1
OFFICE & BUILDING PLANT-1
2500 kVA 20 /0,575kV
FURNACE 08 FURNACE 09
1250 kVA 20 /0,575kV
PLANT-3
PLANT-3 & MACHINE SHOP UTILITY, LINGHTING PLANT-3
Gambar
2.
Diagram
Sederhana
Sistem
Kelistrikan
pabrik
baja
PT
Bakrie
Tosanjaya
351
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
3. Metodologi Penelitian Pada penelitian ini, metode pengumpulan data dilakukan dengan survei langsung ke lapangan dan pemanfaatan beberapa data sekunder. Data-data yang dikumpulkan meliputi : data proses produksi, disain peralatan terpasang berikut pola operasinya, data produksi bulanan dan tahunan, data pemakaian bahan baku dan produk yang dihasilkan serta data-data historis yang tersedia di pabrik yang dikunjungi. Verifikasi data yang dilakukan saat survei adalah bila ditemukan data-data yang kurang lengkap. Verifikasi pencatatan energi pada masing-masing proses juga dilakukan untuk menambah informasi dalam menganalisis. Pengelompokan penggunaan energi listrik berdasarkan proses produksi telah dilakukan oleh pabrik yang bersangkutan dan menjadi masukan dalam evaluasi. Data pemakaian energi listrik, data pemakaian bahan bakar lain, modifikasi proses yang pernah dilakukan sebelumnya, serta permasalahan-permasalahan yang sering muncul dalam proses produksi kemudian dievaluasi. Data yang dianalisis adalah data yang didapatkan pada tahun 2008. Data yang diperoleh kemudian dianalisis seperti :
3.
-
Profil penggunaan energi listrik
-
Profil produksi
-
Hubungan penggunaan energi listrik dan produksi baja cair
-
Konsumsi energi spesifik
Hasil dan Pembahasan
4.1 Konsumsi energi listrik dan produksi baja
Pada bagian ini akan dipaparkan data-data konsumsi energi dan data-data produksi. Penggunan energi listrik disamping untuk mencairkan besi, juga untuk keperluan lain. Berdasarkan data yang didapatkan terlihat bahwa konsumsi energi paling besar adalah di plant II, ini wajar saja karena di Plant II terdapat 3 furnace yang berkapasitas total 12 ton dan lebih besar dibanding dengan furnace yang lainnya.
Konsumsi energi listrik
masing-masing plant dan penggunaan energi listrik untuk keperluan lain diperlihatkan pada Tabel 1. Dan profil penggunaan energi listrik bulanan tahun 2008, disajkikan pada Gambar 3. Tabel 1. Data konsumsi energi listrik bulanan 2008
MONTH 2008 Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 Mei-08 Jun-08 Jul-08 Agust-08 Sep-08 Okt-08 Nop-08 Des-08 Min Rata2 Max Total
PLANT I FURNACE 01, 02 215,334.0 132,520.0 145,760.0 149,000.0 244,080.0 281,920.0 224,840.0 277,628.0 343,640.0 231,120.0 358,280.0 274,200.0 132,520.0 239,860.2 358,280.0 2,878,322
KONSUMSI ENERGI (kW h) PLANT II PLANT III
FURNACE 03, 04 74,000.0 102,738.0 93,261.0 152,137.0 203,715.0 199,103.0 198,683.0 193,838.0 134,692.0 108,915.0 163,039.0 137,963.0 74,000.0 146,840.3 203,715.0 1,762,084
FURNACE 05,06,07 308,974.0 357,683.0 535,333.0 396,471.0 567,945.0 646,832.0 522,144.0 619,709.0 656,302.0 441,342.0 666,583.0 647,054.0 308,974.0 530,531.0 666,583.0 6,366,372
FURNACE 08,09 112,816.0 37,340.0 35,343.0 99,958.0 180,260.0 181,255.0 176,704.0 191,795.0 184,340.0 130,096.0 219,207.0 202,592.0 35,343.0 145,975.5 219,207.0 1,751,706
PENGGUNAAN UNTUK FASILITAS LAIN 902,570.0 710,264.0 921,335.0 711,568.0 1,052,870.0 1,089,499.0 1,058,370.0 1,127,541.0 1,203,996.0 904,474.0 1,315,955.0 1,298,322.0 710,264.0 1,024,730.3 1,315,955.0 12,296,764
352
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Gambar 3. Grafik konsumsi energi listrik, tahun 2008 Berdasarkan konsumsi energi listrik tahun 2008, terlihat bahwa total konsumsi energi adalah 25.055.248 kWh. Pemakaian energil istrik untuk furnace adalah 12.758.132 kWh (50,92 %) dan non furnace 12.296.764 kWh (49.08%). Pada Plant I terdapat furnace 01, 02, 03, 04 , dan pada Plant II terdapat furnace 05, 06, 07 sedangkan furnace 08 dan 09 terdapat pada Plant III. Distribusi konsumsi energi pada masing-masing furnace dan peralatan non furnace secara lengkap diperlihatkan pada Gambar berikut.
YANG LAIN 12,296,764 kwh 49.08%
TOTAL KONSUMSI LISTRIK TAHUN 2006 : 25,055,248 kwh
FURNACE 01, 02 2,878,322 kwh 11.49%
FURNACE 08,09 1,751,706 kwh 6.99%
FURNACE 03, 04 1,762,084 kwh 7.03%
FURNACE 05,06,07 6,366,372 kwh 25.41%
Gambar 4. Distribusi konsumsi energi Furnace dan kebutuhan lainnya tahun 2008 Sebagaimana kita ketahui bahwa furnace 01 dan 02 adalah dua furnace yang identik. Demikian pula halnya furnace 03 dan 04. Sedangkan furnace 05, furnace 06 dan furnace 07 juga merupakan 3 unit furnace yang identik. Demikian halnya furnace 08 dan furnace 09. Furnace yang identik biasanya running secara bergantian, untuk memudahkan saat pouring. Dari data produksi selama tahun 2008, Furnace 01 & Furnace 02 memproduksi baja cair sebanyak 2.909,5 ton. Furnace 03 dan furnace 04 sebanyak 1.920,5 ton. Sedangkan
353
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
furnace 05, furnace 06 dan furnace 08 memproduksi 7.834, 1 ton baja cair. Untuk furnace 08 dan furnace 09 hanya 1.461,4 ton baja cair. Rendahnya produksi furnace 08 dan 09 disebabkan pada bulan Februari dan Maret mengalami perbaikan. Data produksi masing-masing Furnace disajikan secara lengkap pada Tabel 2 dan dalam bentuk grafik diperlihatkan pada Gambar 5. Sedangkan Gambar 6 memperlihatkan hubungan antara penggunaan energi dengan produksi. Dari gambar tersebut telihat bahwa ada kecenderungan bila produksi naik, konsumsi energi listrik juga akan naik. Hal ini nampak untuk semua pabrik.
Tabel 2. Data produksi baja cair, tahun 2008 PRODUKSI TAPPING (TON) MONTH 2008
TAPPED FURN 01,02 200.8 129.9 156.3 152.1 279.7 325.7 251 301.8 343.9 206.4 334.9 227 129.9 242.5 343.9 2909.5
TAPPED FURN 05,06,07
77.4 114.8 106 180.1 219 228.7 232.7 213.9 145.7 108.7 161.7 131.8 77.4 160.0 232.7 1920.5
TAPPED FURN 08,09
360.7 370 613.4 452.7 698.4 734.7 671.4 749.4 848.9 597.7 887.8 849 360.7 652.8 887.8 7834.1
107.4
81.8 158.4 154.2 154.6 164.3 155.5 121.2 198.2 165.8 81.8 146.1 198.2 1461.4
Des‐08
Nop‐08
Okt‐08
Sep‐08
Agust‐08
Jul‐08
Jun‐08
Mei‐08
Apr‐08
Mar‐08
Feb‐08
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Jan‐08
Produksibajacair(ton)
Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 Mei-08 Jun-08 Jul-08 Agust-08 Sep-08 Okt-08 Nop-08 Des-08 Min Rata2 Max TOTAL
TAPPED FURN 03,04
Tahun2008 PRODUKSITAPPING(TON)TAPPEDFURN01,02 PRODUKSITAPPING(TON)TAPPEDFURN05,06,07
PRODUKSITAPPING(TON)TAPPEDFURN03,04 PRODUKSITAPPING(TON)TAPPEDFURN08,09
Gambar 5 . Grafik profil produksi baja cair, tahun 2008
354
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
KonsumsiEnergiListrik(MWh)
700
1000 900
600
800
500
700
400
600 500
300
400
200
300 200
100
100 0 Des‐08
Nop‐08
Okt‐08
Sep‐08
Agust‐08
Jul‐08
Jun‐08
Mei‐08
Apr‐08
Jan‐08
Feb‐08
Mar‐08
Tahun2008 FURNACE01,02
FURNACE03,04
FURNACE05,06,07
FURNACE08,09
TAPPEDFURN01,02
TAPPEDFURN03,04
TAPPEDFURN05,06,07
TAPPEDFURN08,09
Gambar 6 . Grafik Konsumsi energi listrik vs produksi baja cair, tahun 2008
3.2 Konsumsi energi Spesifik Konsumsi energi spesifik (KES) merupakan perbandingan antara jumlah energi yang dikonsumsi terhadap jumlah produk ( kWh/ton). KES masing-masing pabrik akan disajikan pada Tabel 3 dan secara grafik pada Gambar 7. Tabel 3. Konsumsi energi spesifik masing-masing furnace
KONSUMSI ENERGI SPESIFIK (KWH/TON) MONTH 2008
Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 Mei-08 Jun-08 Jul-08 Agust-08 Sep-08 Okt-08 Nop-08 Des-08 Min Rata2 Max
FURNACE FURNACE FURNACE FURNACE 01, 02 03, 04 05,06,07 08,09 1072.4 1020.2 932.6 979.6 872.6 865.6 895.8 919.9 999.2 1119.8 1069.8 1207.9 865.6 998.7 1207.9
956.1 894.9 879.8 844.7 930.2 870.6 853.8 906.2 924.4 1002.0 1008.3 1046.8 844.7 926.7 1046.8
856.6 966.7 872.7 875.8 813.2 880.4 777.7 826.9 773.1 738.4 750.8 762.1 738.4 822.6 966.7
1050.4 1079.2 1001.2 1222.0 1138.0 1175.5 1143.0 1167.3 1185.5 1073.4 1106.0 1221.9 1001.2 1134.4 1222.0
KWH/TON TOTAL FURNACE
KWH/TON OTHER TOTAL
KWH/TON FURN & OTHER
953.0 971.0 889.0 920.0 882.0 907.0 857.0 898.0 883.0 882.0 889.0 919.0 857.0 903.6 971.0
1209.0 1094.0 1011.0 821.0 777.0 755.0 808.0 789.0 806.0 875.0 832.0 945.0 527.0 826.7 1209.0
2162.3 2064.6 1900.1 1741.2 1659.1 1661.9 1665.1 1686.4 1688.7 1756.2 1720.6 1863.8 1386.0 1730.2 2162.3
355
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
2250 2000 1750 1500 1250 1000 750 500 250 0 Des-08
Nop-08
Okt-08
Sep-08
Agust-08
Jul-08
Jun-08
Mei-08
Apr-08
Mar-08
Feb-08
Jan-08
Konsumsi Energi Spesifik (kWh/ton)
2500
FURNACE 01, 02 (kWh/ton)
FURNACE 03, 04 (kWh/ton)
FURNACE 05,06,07 (kWh/ton)
FURNACE 08,09 (kWh/ton)
KWH/TON TOTAL FURNACE
KWH/TON OTHER TOTAL
KWH/TON FURN & OTHER
Gambar 7. Distribusi konsumsi energi Furnace dan kebutuhan lainnya tahun 2008 Berdasarkan KES yang diperlihatkan pada Tabel 3 terlihat bahwa furnace 01 dan furnace 02 memiliki nilai KES rata-rata 998,7 kWh/ton, terbaik 865,6 kWh/ton dan paling tinggi adalah 1.207,9 kWh/ton. Furnace 03 dan furnace 04 mempunyai nilai KES lebih baik dari furnace 01 dan furnace 02, yaitu dengan nilai rata-rata 926,7 kWh/ton, terendah 844,7 kWh/ton dan tertinggi 1046,8 kWh/ton. Furnace 05, furnace 06 dan furnace 07, memiliki performace terbaik diantara furnace yang lain. Ini terlihat pada nilai KES rata-rata adalah 822,6 kWh/ton, terendah 738,4 kWh/ton dan tertinggi 966,7 kWh/ton. Sedangkan furnace 08 dan furnace 09 merupakan furnace yang paling boros. Ini terlihat dari nilai KES rata-rata 1134,4 kWh/ton. Nilai terbaiknya pun masih juga tinggi yaitu 1001,2 kWh/ton. Secara keseluruhan di Industri ini untuk menghasilkan 1 ton baja cair, dibutuhkan energi listrik sebanyak 903,6 kWh. Sedangkan penggunaan energi listrik lainnya yang merupakan rangkaian proses produksi menjadi barang jadi diluar furnace dibutuhkan energi sebesar 826,7 kWh/ton. Sehingga untuk menghasilkan barang jadi mulai dari bahan baku dibutuhkan energi listrik sebanyak 1730,2 kWh/ton barang jadi.
Sedangkan Gambar 7 mengillustrasikan bahwa Furnace 05, 06 dan 07 sepajang tahun
mulai Bulan Januari hingga Desember 2008, memililiki nilai KES selalu lebih baik dibandingkan dengan furnace-furnace lainnya.
4. Kesimpulan • Berdasarkan data konsumsi energi listrik dan data produksi terlihat bahwa furnace 05, furnace 06 dan furnace 07 lebih efisien dibanding dengan furnace lainnya yaitu 822,6 kWh/ton.
356
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
• Hasil perhitungan menunjukan bahwa di perusahaan ini untuk memproduksi baja cair 1 ton dibutuhkan energi rata-rata sebesar 903,6 kWh. Sedangkan penggunaan energi listrik lainnya yang merupakan rangkaian proses produksi menjadi barang jadi diluar furnace dibutuhkan energi sebesar 826,7 kWh/ton. Sehingga untuk menghasilkan barang jadi mulai dari bahan baku dibutuhkan energi listrik sebanyak 1730,2 kWh/ton barang jadi. . Daftar Pustaka 1. 2.
Data produksi dan Energi PT Bakrie Tosanjaya tahun 2006, Tahun 2007 dan tahun 2008. ICN. Perkembangan Industri Baja Indonesia, 2008. Phttp://www.datacon.co.id/Baja2008IndList.html
3.
J.A.T. Jones, B. Bowman, and P.A. Lefrank, Electric Furnace Steelmaking, in The
4.
Making, Shaping and Treating of Steel, 525–660. R. J. Fruehan, Editor. 1998, The AISE Steel Foundation: Pittsburgh.
5.
G. D. Rai, Non Conventional Energy Sources, 17th Edition. 2006, Khanna Publishers: New Dehli.
6.
American Iron and Steel Institute, Saving One Barrel of Oil per Ton: A New Roadmap for Transformation of Steelmaking Process. 2005. http://tinyurl.com/yf778we
7.
Databases from MARMAGOA STEEL LIMITED (MSL), Goa.
8.
S. Banerjee, “Process for making steel,” US Patent 6424671, July 23, 2002.
9.
K. H. Oribe, M. Watanabe, and T. Machida, “Electric furnace waste heat recovery method and apparatus,” US Patent 4099019, July 4, 1978.
10. H. Ester (SMS Siemag), “Energy recovery technology for EAFs,” presented at the 11. International Convention on Clean, Green, and Sustainable Technologies in Iron and Steelmaking, Bhubaneswar, India, July 15-17, 2009. http://tinyurl.com/yby6yu2 12. K. K. Singhal (Steel Authority of India, Ltd.) “Energy efficiency in steel industry & Clean Development Mechanism,” presented at the International Convention on Clean, Green, and Sustainable Technologies in Iron and Steelmaking, Bhubaneswar, India, July 15-17, 2009. http://tinyurl.com/yhxr9ka
357
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL EPOKSIDASI DARI MINYAK KELAPA SAWIT
Geni Rosita Peneliti LAPAN Abstrak Poliuretan merupakan reaksi poliol dengan diisosianat, minyak kelapa sawit curah (CPO) merupakan gliserid yang tidak memiliki gugus alcohol sehingga perlu perlakuan awal pengolahan CPO untuk mendapatkan gugus alkohol sehingga dapat menjadi poliuretan yaitu antara lain: esterifikasi, epoksidasi dan pembuatan polialkid untuk memperpanjang rantai. CPO disini di epoksidasi membentuk epoksidasi CPO, epoksidasi dapat dipengaruhi oleh beberapa factor. Pada penelitian ini kami mencoba dengan fariasi suhu, katalisator, jumlah pelarut dan kecepatan pengaduk, ternyata kecepatan pengaduk tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil epoksidasi yang berpengaruh adalah suhu maksimal pada 75®C dengan lama reaksi 3 jam. variasi pelarut kami lakukan pada 100 cc, 150 cc dan 200 cc, sedangkan katalisator 1 g- 10 g. Lama reaksi maksimal pada 3 jam.
1.Pendahuluan Sebagaiman kita ketahui Indonesia adalah penghasil kelapa sawit terbesar setelah Malaysia, tapi banyak potensi pengolahan minyak kelapa sawit mentah atau CrudePalmOil (CPO) menjadi produk turunan yang tidak berkembang padahal pohon sawit mulai dari: daun, tandan buah, buah kelapa sawit dan batang adalah tanaman yang dapat dimanfaatkan. Potensi produk turunan CPO banyak yang belum dimanfaatkan oleh pengusaha kita, padahal bahan baku melimpah 75% dari semua CPO Indonesia di ekspor ke pasar Internasional seperti: India, beberapa negara Eropa dan China, sisa yang 25% baru diolah, sangat disayangkan CPO yang diekspor keluar masuk kembali ke Indonesia dengan harga yang jauh lebih mahal. Kondisi ini berbeda dengan Malaysia yang sudah mengelola produk turunan minyak kelapa sawit hingga 90% sementara Indonesia selain memanfaatkan minyak kelapa sawit baru ada 10 perusahaan yang mengelola tandan kosong sawit sebagai produk kompos dan 2 pabrik baru mengelola biodiesel padahal, potensi serapan CPO dalam negeri masih besar terutama untuk pengembangan biodiesel. Banyak dari turunan CPO yang dapat diolah untuk bahan pangan dan non-pangan. LAPAN sebagai instansi pengembang teknologi dirgantara pada pengembangan roket khususnya memerlukan bahan komposit untuk digunakan sebagai fuelbinder dan liner propelan padat komposit. LAPAN sampai saat ini menggunakan bahan Poliuretan berbasis HTPB untuk binder propelan padat. Salah satu bahan lain yang memungkinkan pengganti HTPB adalah Polieter yang berasal dari monogliserid yang diolah dari CPO atau bentuk epoksidasinya. Minyak kelapa sawit merupakan Trigeliserid apabila diesterifikasi akan dihasilkan monogliserid. Monogliserid merupakan gliserid dengan dua ujung OH hingga dapat berfungsi sebagai poliol HTPB.
358
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
2. Landasan Teori Epoksidasi mudah terurai menjadi alkohol, oleh karena itu air haruslah di reduksi untuk mendapatkan oxiran yang maksimal untuk mengatur reaksi tekanan dan mencegah peruraian H2O2 maka untuk itu digunakan asam asetat galaksial. Reaksi dapat terjadi dengan katalisator asam peroksida, seperti Hidrogen peroksida, Bipenilperoksida dll. Reaksi pembentukan dari minyak pada dasarnya adalah reaksi pembentukan gugus epoksi. Hasil reaksi addisi ikatan rangkap dua menjadi oxiran dan air, seperti reaksi dibawah ini O / \ C=C + HOO ------> C----C + H2O
(1)
Kinetika Reaksi Perubahan konsentrasi pereaksi selama reaksi berlangsung dengan anggapan reaksi merupakan reaksi elementer yang dapat dituli sebagai berikut ; dCA
= -kCACB
(2)
dCB ------ = -kCACB
(3)
-------
dt
dCD ------ = -k (CAo - Cd )(CB - CD ) dt
(4)
pengaruh katalisator terhadap konstanta kecepatan reaksi diperoleh dengan rumusan persamaan (5), dimana as adalah konsentrasi katalisator yang digunakan. (rA) = k aS (5) Sifat mekanik suatu bahan polimer dipengaruhi oleh strukrur jaringan polimer, derajat kristalinitas dan panjang rantai polimer dengan struktur yang rapat dan tidak teratur akan cenderung memiliki sifat keras dan getas, namun struktur jaringan yang teratur akan memiliki sifat fleksibel dan kuat. Polimer yang tersusun atas untaian mer-mer dengan berat molekul yang panjang - panjang cenderung memberikan sifat polimer yang lunak, sebaliknya polimer dengan untaian mer-mer yang pendek - pendek memberikan struktur jaringan yang rapat sehingga cenderung keras.
4.
Metodologi Penelitian Proses epoksidasi dari minyak kelapa sawit mentah ( CPO ) dilakukan dengan metode
Gall dan
Greenspan yang sudah dimodifikasi dalam bentuk reactor bath berkapasitas 1 L yang telah dilengkapi dengan pendingin balik, thermostat dan pengaduk magnit. Masukan bahan berturut-turut Pelarut benzene, katalisator resin Amberlit IR-120 dan CPO , atur suhu reaksi 30
C dengan kecepatan pengaduk 100 rpm. Reaksi
dilakukan dengan menambahkan 1 : 1 H2 O2 ( Hidrogen peroksid dan Asam asetat galaksial, setiap interval waktu 1 jam sampel diambil
10 cc dicuci dengan panas, lalu dipisahkan , air yang masih tersisa di jerab
359
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
dengan potassium karbonat kadar epoksi dapat ditentukan dengan Gas Chromatografi Mass Spetrofotometry ( GC-MS rentang suhu 30 – 80 0
5.
Hasil Penelitian
Pengaruh Katalisator Semakin banyak katalisator yang dipakai, semakin tinggi kecepatan reaksinya. Bahan yang dipakai benzene 100 grm, ester 100 grm, kecepatan pengaduk 100 rpm, suhu 75oC. Tabel 1. Pengaruh katalisator terhadap reaksi Hasil Grm/ liter dengan katalis Lama Reaksi
Katalis 1 grm
Katalis 2 grm
Katalis 5 grm
Katalis 10 grm
1 jam 2 jam 3 jam 4 jam
0.1511 0.4012 0.5807 0.6009
0.3253 1.5351 0.6393 0.6283
0.761 1.0364 1.1648 0.9863
0.6243 0.8651 1.5089 0.979
Pengaruh Katalisator 4.5 4
0.8651
1.5089
3.5 0.9796
3
1.0364 10gr
2.5 2
1.1648 0.7243
0.9863
1.5351
2gr
1.5
1gr 0.7651
1 0.5 0
5gr
0.3253
0.4012
0.6393
0.6283
0.5867
0.6009
0.1511 1jam
2jam
3jam
4jam
Dilihat dari hasil diatas kondisi terbaik dicapai pada jumlah katalisator 5 grm dengan waktu reaksi 3 jam, karena pada waktu 4 jam mulai terbentuk hidrolisir alcohol
360
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Pengaruh pemakaiaan jumlah pelarut Bahan yang dipakai adalah katalis 1 grm, ester 100 grm, suhu 75oC, kecepatan pengaduk 100 rpm Tabel 2. Pengaruh jumlah pelarut Hasil dan Jumlah pelarut dalam grm/ liter Lama Reaksi 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam
Pelarut 100 cc
Pelarut 150 cc
Pelarut 200 cc
0.5946 0.6959 1.6061 1.8025
0.3253 0.5351 0.6393 0.6283
0.6368 0.4222 0.5374 0.3286
Jumlah pelarut ideal adalah : pada 100 cc, sudah stabil, pada waktu 4 jam, karena semakin banyak pelarut, zat reaksinya tidak sempurna. Pengaruh Pelarut 3 0.5374
0.3286
2.5
0.6283 0.6393
2 1.8025 0.6368
1.5
0.4222
Pelarut200cc
1.6061
Pelarut150cc 0.5351
1
Pelarut100cc
0.3253 0.5946
0.5
0.6959
0 1jam
2jam
3jam
4jam
Pengaruh Suhu Bahan yang dipakai ester 100 grm, benzene 100 grm, katalis 1 grm, kecepatan pengaduk 100 rpm. Tabel 3. Pengaruh Suhu Lama Reaksi
Hasil dan fariasi suhu (oC) 30 45
60
75
90
1 jam 2 jam 3 jam 4 jam
0.3846 0.6832 0.7818 1.1877
0.5946 0.6959 1.6061 1.8025
0.4998 0.6717 0.9745 1.5325
0.4946 0.6875 0.91234 1.4989
0.4925 0.6769 0.7803 1.2036
361
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Pengaruh Suhu 8
3.5
7
1.4989
3
6
2.5 60
5 2
0.91234
4 3 0.4946
2
0.5946 0.4998
1
0.3846
0.6875
1.6061
0.6959 0.6717
0.9745
0.6837
0.788
1.8025
30
1.5325
1.5 1
1.1877
2jam
3jam
90 75
0.5 0
1jam
45
4jam
Setelah dapat data dengan variasi suhu, dari keseluruhan suhu dan keseluruhan reaksi terlihat, semakin lama reaksi semakin banyak hasilnya, semakin tinggi suhu, seharusnya kecepatan reaksi semakin meningkat dan hasil semakin banyak, nyatanya pada penelitian ini, suhu maksimal terdapat pada suhu 75oC, diatas 75oC hasil menurun, dan ada yang naik atau tidak konsisten dimana hal ini menunjukkan reaksi lanjutan berupa hidrolisi masih terjadi karena pengambilan air tidak sempurna. 5. Kesimpulan 1.
.Pada variasi katalisator dengan lama reaksi, hasil maksimal didapat pada jumlah katalisator 5 grm, dan lama reaksi 3 jam, pada waktu reaksi 4 jam hasil mulai menurun.
2.
Pada variasi pelarut, semakin lama reaksi hasil semakin banyak, semakin banyak pelarut, hasilnya naik turun, hal ini disebabkan karena ketidak seimbangan reaksi, jumlah yang maksimal pelarut 150 cc, pada pelarut 200 cc, seakin lama reaksi hasil semakin turun.
3.
Pada variasi suhu dengan lama reaksi, sangat kelihatan hasilnya, dimana semakin naik suhu reaksi, semakin sempurna, hasil jadi banyak dan batas maksimal pada suhu 75oC, diatas 75oC hasil semakin menurun kerena terjadi hasil hidrolit lanjutan.
Daftar Pustaka 1.
Aranguen, M.I and William, R.J.J., 1998, Kinetic and Statistic Aspect of the Formation of Polyyurethanes from Toluen Diisocyanate, J.Polymer Sci., 27, 424-428.
2.
Avery, H.E., 1982, Basic Reaction Kinetics and Mechanism, p.p. 355-370, The Macmillan Press Ltd., Hong Kong.
3.
Bhabhe, M.D. and Athawale, V.D., 1998, Chemoenzymatic Synthesis of Urethane Oil Based on Special Funcional Group Oil., J.Appl. Polym. Sci 69, 1451-1458
362
ISSN 977.2086796.00.2
4.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Dubois, C, Desilets, S., Ait- kadi, A., and Tanguy, P., 1995, Bulk Polymerization of HTPB with TDI : a Kinetics Study Using 13C-NMR Spectroscopy., J.Appl. Polym. Sci., 58, 827-834
5.
Flory, J. 1969, Principles of Polymer Chemistry., p.35, Cornell University Press, London
6.
Gupta, D.C., Deo, S.S., Wast, D.V., Raomore, S.S., and Gholap, Dd.H., 1995, HTPB-Based Polyurethanes for Inhibition of Composite Propellants., J.Appl.Polym. Sci., 65, 355-363
7.
Hepburn, C., 1982, Polyurethane Elastomers, Applied Science Publishers, p.p. 355-359, New York.
8.
Pryde, E.H., 1979, Fatty Acids, 2nd printing, p.p. 513-514, Illionis, AOCS
TANYA JAWAB Pertanyaan (Wigati) Mengapa dipilih bahan CPO? Jawab Karena CPO merupakan bahan yang murah dan melimpah di Indonesia, dan merupakan idustri terbesar nomor dua di dunia.
363
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
MENCARI PERBANDINGAN REAKSI HIDROTERMINETED POLI BUTADIEN DENGAN TOLUENDIISO SIANAT UNTUK BINDER PROPELAN PADAT KOMPOSIT Oleh Geni Rosita LAPAN ABSTRAK. Hampir semua propelan roket modern menggunakan bahan fuel binder poliuretan yang didapat dari hasil reaksi HTPB dengan Toluen Diisosianat ( T D I ), karena memiliki sifat mekanik yang baik. Sifat mekanik poliuretan dipengaruhi oleh perbandingan diisosianat dengan poliol, reaksi pemadatan terjadi karena adanya diisosianat berlebihan. Propelan komposit padat harus memiliki sifat kuat mekanik yang memadai sehinga selama penerbangan tidak terjadi keretakan atau perubahan sifat fisik yang dapat menyebabkan terjadi ledakan. Fuel binder propelat komposit padat ,ternyata selain berfungsi sebagai pengikat oksidator juga dapat berfungsi sebagai liner atau pelapis tahan panas. Penelitian ini dilakukan untuk mencari perbandingan yang tepat supaya didapat hasil sesuai dengan yang diharapkan, HTPB yang dipakai adalah hasil polimerisasi Butadien.pada sampel 1, dengan perbadingan HTPB : TDI yang elastis pada 9:1 dan 7:1, pada sampel 2, dengan perbandingan 13 : I, 17 : 1. Sampel 3, dengan perbandingan 11 : 1 dan 13 : 1. Sampel 4, dengan perbandingan 9 : 1, 11 : 1 dan 13 : 1, setelah diamati semuanya ini memenuhi persyaratan yang ditentukan. Yang dicari adalah elastis dan tidak ada gelembung udara
1.Pendahuluan Pengembangan propelan padat di LAPAN terus dilakukan untuk mendapatkan propelan dengan kinerja yang baik, propelan padat yang dikembangkan adalah jenis komposit. Propelan roket padat komposit terdiri dari oksidator,fuel binder dan bahan additive.yang secara umum mudah dicetak .Ada beberapa jenis polimer yang dapat digunakan untuk fuel binder diantaranya polisulfit, polistirin ,polisiloksan, poliuretan dll, Poliuretan dikenal sebagai bahan binder propelan roket padat yang terbaik. yaitu sebagai jaringan untuk mengikat bahan oksidator.Hampir semua roket padat modern saat ini menggunakan fuel binder poliuretan berbasis HTPB ,karena memiliki sifat mekanik yang baik dan sifat energetik yang tinggi ( I sp ). Poliuretan merupakan reaksi dari isosianat dengan alkohol,asam atau amin, poliuretan berbasis HTPB, bahan utamanya adalah HTPB dan direaksikan dengan TDI .Bahan TDI banyak terdapat dipasaran yang biasa dipakai pada industri- industri karet, sedangkan HTPB merupakan senyawa yang secara khusus dipakai untuk kepentingan bahan fuel binder propelan roket padat, sehingga pengembangannya pembuatan HTPB hanya dikembangkan oleh lembaga khusus yang bergerak dalam bidang peroketan, HTPB merupakan bahan strategis yang susah di dapat dipasaran oleh karena itu LAPAN susah mendapatkan HTPB dengan spesifikasi yang sama yang dapat mengganggu peneltian. Oleh karena itu LAPAN perlu mengembangkan penelitian pembuatan HTPB khusus untuk fuel binder dengan spesifikasi yang sama. HTPB yang dipakai pada penelitian ini adalah HTPB hasil polimerisasi butadiene menjadi polibutadien melalui bermacam-macam variasi antara lain, lama proses, suhu proses, banyak pelarut dan jumlah katalisator.
2.Tinjauan Pustaka Propelan komposit padat secara umum terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu : oksidator sebagai sebagaia sumber oksigen, fuel binder sebagai pengikat kepadatan oksidator, dan solit fuel untuk menaikkan
364
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
suhu pembakaran, solit fuel agar terdistribusi secara merata. Bahan fuel binder propelan, selain ebagai pengikat kepadatan sekaligus sebagai bahan bakar propelan, sebagai bahan pengikat, fuel binder harus memiliki sifat mekanik yang memadai sehingga selama pembakaran tidak terjadi perubahan sifat fisik, supaya tidak terjadi fluks pembakaran yang bergejolak, karena apabila arah pembakaran dan fluks pembakaran tidak terkena pembakaran kedinding tabung motor roket, akan menjadi ledakan sangat besar. Poliuretan merupakan polimer dengan rantai dasar uretan yang dapat dibentuk dari reaksi isosianat dengan hidroksil atau amin. Reaksi linier akan membentuk rantai lurus, apabila poliol dan diisosianat bereaksi membentuk rantai lurus
akan menghasilkan polimer yang lunak. Apabila digunakan poliol
dengan
fungsionalitas lebih dari 2, maka akan terjadi ikatan silang yang banyak, bila yang terjadi banyak ikatan silang, akan mempengaruhi sifat mekanik poliuretan menjadi agak keras. Sifat mekanik poliuretan dapat dipengaruhi oleh bilangan hidroksil, poliol, berat molekul poliol, perbandingan poliol dan isosianat,dll. Sifat mekanik poliuretan untuk propelan padat yang pernah digunakan dapat dilihat pada tabel .1 Tabel.1. Sifat mekanik poliuretan untuk propelan padat yang pernah digunakan Bahan HTPB / TDI / TMP. HTPB : TDI Polisikloheksan HTPB : TDI HMDI IPDI HTPB - TDI HTPB - IPDI Solitan
TS ( kg cm-1 ) 1,2 - 8,9 4 - 16 2,4 - 9 5,3 - 13 6,6 - 15,3 14,5 14,6 4 - 10 4 - 10 4 - 7 6 - 15
E(%)
Kekerasan
129 90
- 30 - 108
-
65 83 79,9 74,3 153
- 100 - 74,4 - 56,8
25 - 50 30 - 58 4 68 54 7
Pilihan utama yang digunakan pada roket padat peluncur pada saat ini adalah poliuretan berbasis HTPB , dimana HTPB direaksikan dengan TDI . Poliuretan memiliki sifat mekanik yang baik dan memenuhi persyaratan untuk binder propelan padat komposit. Karena itu kinetika reaksi pembentukan poliuretan penting dipelajari untuk pengembangan propelan roket padat, poliuretan selain sebagai binder propelan padat ternyata juga sangat baik untuk pelapis penahan panas. Secara umum diisosianat bereaksi dengan HTPB membentuk poliuretan, sifat meknik yang muncul tergantung pada bilangan hidroksil, perbandingan hidroksil dengan isosianat ,berat molekul poliol dsb. Polimer yang memenuhi yang memenuhi persaratan untuk sifat mekanik adalah elastomer yang cukup elastis tapi tidak lunak, tidak mengalami perobahan sifat fisik dan perubahan bentuk selama proses
3.Spesifikasi HTPB Hidroksil indek
0,7 - 0,9
Humiditi ( % )
0,1 maks
Zat menguap ( % )
0,5 maks
365
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Visikositas pada suhu 30 oC Total peroksid ( ppm )
40 - 65 500 maks
Identifikasi Infra merah ( % ) Cis
20 - 35
Tran Vinil
45 – 60 16 – 22
Struktur (%) 1,4 addition 1,2 addition CCL4 (%)
> 60 < 40 0.2 Maks
Asam Sulfat (%)
0.05 Maks
Toluene DIIsocyanate Specitifications 4.Cara Penelitian Polimerisasi gas butadiene menjadi polibutadien, dengan cara : -Penampungan gas butadiene dari tabung induk ke tabung penampungan 1 pada T -300C dengan t : 4 jam, dialirkan ke tabung penampungan 2 dengan ukuran 200 ml pada T -30oC dengan t : 1 jam -Tabung 2 dipanaskan pada T 50oC – 60oC, dilairkan ke reactor yang berisi Butanol, H2O2 yang telah di vakum terlebih dahulu pada suhu kamar dengan t : 2 jam, hasil polimerisasi dicuci dengan methanol, terjadi larutan kental (HTPB), di oven dan di vakum untuk menghilangkan zat- zat lainnya. Mereaksikan HTPB dengan TDI -HTPB yang terbentuk direaksikan dengan TDI pada suhu kamar, dalam labu leher 3, sambil diaduk sampai merata, dicetak dan diamati reaksi yang terjadi. Yang memenuhi persyaratan adalah yang elastis dan tidak ada gelembung udara.
5.Hasil dan Pembahasan Bahan HTPB merupakan bentuk polibutadien (pengulangan butadien), dengan gugus ujungnya adalah gugus hidroksil, berdasarkan strukturnya memiliki 3 isomer, yaitu : vinil 1.2 HTPB, sis 1.4 HTPB, dan trans 1.4 HTPB yang saling bercampur, dimana dominan masing- masing struktur akan mempengaruhi sifat mekanin polimer yang dihasilkan.
366
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Hasil : Sampel 1=
HTPB : TDI (grm)
Keterangan
20
: 7
sangat keras getas, warna coklat keruh
17
: 7
sangat keras getas, warna coklat keruh
17
: 1
keras tanpa gelembung, warna coklat bening
15
: 1
keras tanpa gelembung, warna kuning muda
Sample 2 =
13
: 1
sedikit agak elastis, warna kuning muda
11
: 1
sedikit agak elastis, warna kuning muda
9
: 1
lebih elastis, tetapi ada gelembung
7
: 1
lebih elastis, tetapi ada gelembung
HTPB : TDI
Keterangan
7
: 1
keras, ada gelembung, kuning tua
9
:
1
keras, ada gelembung, kuning tua
11
:
1
sedikit elastis tanpa gelembung, warna kuning muda
13
:
1
elastis, tanpa gelembung, kuning muda
15
:
1
elastis, tanpa gelembung, sedikit agak lembek, warna kuning muda
Sampel 3 =
HTPB : TDI 7
Keterangan
: 1
9
:
1
Keras bergelembung, kuning muda elastis, sedikit bergelembung, kuning muda
11
: 1
elastis, tanpa gelembung, kuning muda
13
:
1
elastis, tanpa gelembung, kuning muda
15
:
1
elastis, tanpa gelembung, sedikit agak lembek, kuning muda
17
:
1
elastis, tanpa gelembung, sedikit agak lembek
Sampel 4 =
HTPB : TDI
Keterangan
7
: 1
keras, kropos
9
: 1
keras, kropos
11
: 1
keras, kropos
13
: 1
keras, kropos
367
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
15
: 1
keras, kropos
Dari hasil reaksi perbandingan HTPB dan TDI, dapat kita lihat, masing- masing sampel yang dicoba berbeda beda hasilnya, kerena setiap sampel HTPB yang direaksikan, proses dan komposisi juga berbeda. Disini terlihat, bahwa hasil polimerisasi dipengaruhi oleh bermacam- macam faktor, diantaranya : suhu reaksi, lama proses, pelarut, katalis, dll. Struktur HTPB yang dihasilkan juga berbeda- beda, dan dapat mempengaruhi sifat mekanik HTPB,
sedangkan yang kita ingingkan adalah struktur cis 1.4 HTPB, karena membuat elastis atau
tidak keras.
6.Kesimpulan Dilihat dari hasil reaksi HTPB dengan TDI dari berbagai perbandingan, dapat kita simpulkan: Pada sampel 1, yang bisa dipakai adalah perbandingan 9 : 1, dan 7: 1 Pada sampel 2, yang bisa dipakai adalah perbandingan 11 : 1, 13 : 1, dan 15 : 1 Pada sampel 3, yang bisa dipakai adalah perbandingan 11 : 1, 13 : 1, 15 : 1, dan 17 : 1 Pada sampel 4, tidak ada yang bisa dipakai, karena semua hasilnya keras dan kropos Daftar Pustaka 1.
Aranguen, M.I and William, R.J.J., 1998, Kinetic and Statistic Aspect of the Formation of Polyyurethanes from Toluen Diisocyanate, J.Polymer Sci., 27, 424-428.
2.
Avery, H.E., 1982, Basic Reaction Kinetics and Mechanism, p.p. 355-370, The Macmillan Press Ltd., Hong Kong.
3.
Bhabhe, M.D. and Athawale, V.D., 1998, Chemoenzymatic Synthesis of Urethane Oil Based on Special Funcional Group Oil., J.Appl. Polym. Sci 69, 1451-1458
4.
Dubois, C, Desilets, S., Ait- kadi, A., and Tanguy, P., 1995, Bulk Polymerization of HTPB with TDI : a Kinetics Study Using 13C-NMR Spectroscopy., J.Appl. Polym. Sci., 58, 827-834
5.
Flory, J. 1969, Principles of Polymer Chemistry., p.35, Cornell University Press, London
6.
Gupta, D.C., Deo, S.S., Wast, D.V., Raomore, S.S., and Gholap, Dd.H., 1995, HTPB-Based Polyurethanes for Inhibition of Composite Propellants., J.Appl.Polym. Sci., 65, 355-363
7.
Hepburn, C., 1982, Polyurethane Elastomers, Applied Science Publishers, p.p. 355-359, New York.
8.
Pryde, E.H., 1979, Fatty Acids, 2nd printing, p.p. 513-514, Illionis, AOCS
TANYA JAWAB Pertanyaan (Turah Sembiring) Selain HTPB adakah bahan yang dapat digunakan untuk propelan? Jawab Propelan dibedakan dari roket cair dan roket padat.roket padat dibedakan menjadi propelan komposit dan propelan homogeny. Propelan komposit terdiri dari ammonium perklorat, HTPB, TDI, dan alumunium.
368
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
PERHITUNGAN PRESTASI TERBANG ROKET RKX 170-LPN DENGAN BERBAGAI SUDUT ELEVASI Turah Sembiring LAPAN Abstrak Penelitian ini membicarakan masalah perhitungan prestasi terbang roket RKX 170-LPN dengan sudut Elevasi 50o, 60o dan 70o. Perhitungan dilakukan dengan data spesifikasi roket : berat total roket 120 kg, berat propelan 34 kg, gaya dorong rata-rata 500 kgf, waktu pembakaran 8,5 detik dan diameter roket adalah 17 cm. Perhitungan berdasarkan pada beberapa data dari konfigurasi roket, beban aerodinamik dan data propulsi. Perhitungan prestasi terbang roket dilakukan dengan menggunakan metode Adams Bashforts Moulton. Dengan sudut elevasi 50o diperoleh hasil perhitungan prestasi terbang roket antara lain waktu terbang maksimum roket adalah 45 detik, jarak jangkauan maksimum roket adalah 11,145 km, ketinggian maksimum roket adalah 1,738 km dan kecepatan maksimum roket adalah 1,119 mach. Dengan sudut elevasi 60o hasil perhitungan prestasi terbang roket adalah waktu terbang maksimum roket adalah 60 detik, jarak jangkauan maksimum roket adalah 13,403 km, ketinggian maksimum roket adalah 3,270 km dan kecepatan maksimum roket adalah 1,076 mach. Pada sudut elevasi 70o hasil perhitungan waktu terbang roket adalah 70 detik, jarak jangkauan maksimum roket adalah 11,734 km, ketinggian maksimum roket adalah 5,109 km dan kecepatan maksimum roket adalah 1,040 mach. Dengan telah diperolehnya prestasi terbang roket maka untuk selanjutnya dapat ditentukan apakah roket RKX 170-LPN diluncurkan untuk penelitian atmosfir atau apakah roket diluncurkan untuk pengembangan persenjataan. Hal ini tergantung pada antara lain sudut elevasi yang diluncurkan.
1. Pendahuluan Dalam peluncuran suatu roket, salah satu bagian penting yang perlu diperhatikan untuk menentukan prestasi terbang roket tersebut adalah waktu terbang roket, jarak jangkauan, ketinggian roket dan kecepatan dari roket. Dengan diketahuinya prestasi terbang roket besarnya waktu terbang maksimum, jarak jangkauan maksimum, ketinggian maksimum dan kecepatan maksimum dari roket dapat diketahui. Roket yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah roket RKX 170-LPN tanpa dikendalikan yang digunakan untuk penelitian atmosfir dan dapat dikembangkan untuk persenjataan. Dengan diketahuinya besar gaya dorong, waktu
pembakaran dan sudut elevasi roket maka persamaan gerak roket tersebut dapat
diselesaikan dengan berbagai metode numerik, salah satu diantaranya adalah metode Adams Bashfort Moulton yang hasilnya tidak begitu jauh menyimpang dari sebenarnya. Perhitungan dilakukan dengan sudut elevasi 50o, 60o dan 70o. Dengan sudut elevasi ini maka diperoleh prestasi gerak dari roket. 2. Persamaan Gerak Lintasan Roket Gerakan suatu roket yang diluncurkan bukan untuk persenjataan tetapi secara khusus untuk penelitian atmosfir dapat dianggap sebagai gerakan roket dengan lintasan dua dimensi. Arah dari lintasan roket dan sumbu roket diasumsi berimpit sehingga sudut serang roket dan gaya angkat roket dapat diabaikan. Berdasarkan asumsi ini maka persamaan gerak lintas roket dapat ditulis sebagai sistem persamaan differensial bukan linear orde pertama yaitu sebagai berikut :
369
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
dx = V cos γ dt dh = V sin γ dt dV T − D = − g sin γ dt m
................................................................................... (2-1)
dγ − g cos γ = dt V dm = −m& dt dimana : D = gaya hambat roket g = gravitasi roket h = tinggi roket m = massa roket T = gaya dorong roket t = waktu terbang roket V = kecepatan x = jarak jangkauan roket .
m = laju aliran massa roket
γ
= sudut lintas terbang roket
Gravitasi dari roket dapat dihitung berdasarkan formula :
R02 g = g0 ( R0 + h) 2
......................................................................................... (2-2)
dimana :
g 0 = gravitasi muka laut = 9,81 m/det2 R0 = jari-jari bumi = 6856953,7402 m Besarnya bilangan mach dihitung dengan formula
M =
V .........................................................................................................................(2-3) a
dimana M adalah bilangan mach roket dan a adalah kecepatan suara yang besarnya diasumsi konstan yaitu 340 m/det Koefisien gaya hambat udara roket dihitung dengan formula :
370
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
CD = 0,4 + 0,5 M6 untuk M < 1...............................................................................(2-4)
CD =
2
0,16 + 0,74 / M untuk M > 1......................................................................(2-5) Gaya hambat udara roket dihitung dengan formula :
D=
1 ρ V 2 S C D .......................................................................................................(2-6) 2
dimana : S = luas penampang roket CD = koefisien gaya hambat udara roket
ρ
= diasumsi konstan = 0,1205 kg/m3
..
Dengan adanya formula gravitasi, bilangan mach, koefisien gaya hambat udara dan gaya hambat udara roket maka dengan metode Adams Bashfort Moulton prestasi terbang roket dapat dilakukan. 2.1 Spesifikasi Roket RKX 170-LPN Sebagai data perhitungan dari makalah ini diambil roket RKX 170- LPN yaitu roket LAPAN yang diluncurkan oleh para peneliti LAPAN dengan data sebagai berikut: Berat total roket
: 120 kg
Diameter roket
: 17 cm
Berat propelan roket : 34 kg Gaya dorong rata-rata : 500 kgf Waktu pembakaran
: 8,5 detik
Sudut elevasi
: 50o,60o dan 70o
Dengan adanya data perhitungan ini, perhitungan untuk memperoleh prestasi terbang roket dapat ditentukan. 2.2 Kondisi Awal Dan Batas Dalam penerbangannya roket mempunyai kondisi awal dan kondisi batas. Kondisi awal adalah kondisi pada saat roket mulai diterbangkan dan kondisi batas pada saat bahan bakar roket habis terbakar. Kondisi batas ini dicapai bila massa roket adalah sama dengan massa struktur dan massa beban guna, jadi setelah propelan roket habis terbakar. Segmen lintasan setelah waktu kondisi batas dicapai adalah merupakan segmen lintas terbang bebas. Setelah waktu ini terbang roket hanya digerakkan oleh kecepatan pada waktu bahan bakar habis dan ini berlangsung hingga roket jatuh ketanah. 3. Massa Roket Selama Terbang Massa awal roket didefinisikan sebagai jumlahan dari massa yang terdiri dari massa struktur, massa propelan dan massa beban guna yaitu sebagai berikut :
m0 = mc + m p + mu .......................................................................................(3-1) dimana :
371
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
m0 = massa awal roket mc = massa struktur
m p = massa propelan mu = massa beban guna Propelan roket diasumsi terbakar secara merata. Propelan roket diasumsi terbakar secara linear, jadi massa roket berkurang secara linear sampai propelan roket habis terbakar. Setelah propelan habis terbakar massa roket adalah konstan. Selama waktu pembakaran propelan massa roket dihitung sebagai berikut :
mi +1 = m0 − m p .t / w1 ....................................................................................(3-2) dimana :
mi +1 = massa selama propelan roket terbakar pada waktu ke (i+1) w1 = waktu pembakaran roket 4. Solusi Persamaan Gerak Roket Perhitungan dalam penelitian ini dilakukan dengan sudut elevasi 50o,60o dan 70o. Pertama sekali masing-masing persamaan gerak lintas roket (2-1) ditulis sebagai satu variabel. Kemudian diintegrasikan sehingga diperoleh solusi dari masing-masing persaman tersebut. Solusi untuk masing-masing persamaan gerak lintas roket dengan metode Adams Bashfort Moulton dilakukan sebagai berikut :
dx = F ( x) maka dt
t
xi +1 = xi + ∫ F ( x)dx .....................................................(4-1) ti
Ada tiga tahap dalam menyelesaikan persamaan ini. Tahap pertama adalah perhitungan prediktor, tahap kedua adalah perhitungan korektor dan tahap ketiga adalah gabungan dari keduanya. Dengan melalui tahap-tahap ini akhirnya diperoleh : x i +1 = xi + z / 24(55 Fi − 59 Fi −1 + 37 Fi − 2 − 9 Fi −3 ) p
xic+1 = xi + z / 24(9 Fi +ρ1 + 19 Fi − 5 Fi −1 + Fi −2 )
...................................(4-2)
xi +1 = X ic+1 − 19 / 270( xic+1 − xip+1 ) Dengan cara yang sama didapat juga solusi untuk variabel-variabel h, v dan γ . Dengan demikian telah diperoleh formulasi untuk masing-masing variabel dari persamaan gerak lintas roket. Bahwa superskript p menyatakan hasil prediktor dan superskript c menyatakan hasil koreksi dari perhitungan.
5. Hasil Perhitungan
372
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Hasil perhitungan yang diinginkan adalah waktu terbang roket, jarak jangkauan roket, ketinggian roket dan kecepatan roket. Sudut elevasi yang digunakan adalah 50o, 60o dan 70o. Pada sudut elevasi 50o waktu terbang maksimum roket yang dicapai adalah 45 detik, jarak jangkauan maksimum roket adalah 11,145 km, ketinggian maksimum roket adalah 1,738 km dan kecepatan maksimum roket adalah 1,119 mach. Pada sudut elevasi 60o waktu terbang maksimum roket yang dicapai adalah 60 detik, jarak jangkauan maksimum roket adalah 13,403 km, ketinggian maksimum roket adalah 3,270 km dan kecepatan maksimum roket adalah 1,076 mach. Pada sudut elevasi 70o waktu terbang maksimum roket yang dicapai adalah 70 detik, jarak jangkauan maksimum roket adalah 11,734 km, ketinggian maksimum roket adalah 5,109 km dan kecepatan maksimum roket adalah 1,040 mach. Prestasi terbang maksimum roket RKX 170-LPN satu tingkat dapat dilihat pada Tabel 5-1. Tabel 5-1: Prestasi Terbang Maksimum Roket RKX 170-LPN
1 2 3 4
Sudut Elevasi
Hasil Perhitungan Prestasi Terbang
No
Roket RKX 170-LPN
50o
60o
70o
45 detik
60 detik
70 detik
Jarak Jangkauan Maksimum
11,145 km
13,403 km
Ketinggian Maksimum
1,738 km
3,270 km
Kecepatan Maksimum
1,119 mach
1,076 mach
Waktu terbang maksimum
11,734 km 5,109 km 1,040 mach
6. Pembahasan Dari Tabel 5-1 diketahui bahwa waktu terbang maksimum roket terbesar yang dicapai adalah pada sudut elevasi 70o dan terkecil adalah 50o. Pada sudut elevasi 70o waktu terbang maksimum yang dicapai roket adalah 70 detik dan pada sudut elevasi 50 o adalah 45 detik. Jarak jangkauan maksimum terbesar yang dicapai roket adalah pada sudut elevasi 60o yaitu 13,403 km. Pada sudut elevasi yang lain yaitu 50o dan 70o jarak jangkauan maksimum yang dicapai adalah lebih kecil. Ketinggian maksimum terbesar yang dicapai roket adalah pada sudut elevasi terbesar yaitu 70o. Makin kecil sudut elevasi maka ketinggian maksimum yang dicapai adalah makin kecil. Kecepatan maksimum terbesar yang dicapai roket adalah pada sudut elevasi 50o yaitu 1,119 mach. Kecepatan maksimum akan lebih kecil bila sudut elevasi makin besar. Bila roket adalah alat untuk penelitian atmosfir maka roket harus terbang pada sudut elevasi terbesar o
yaitu 70 . Sedangkan bila roket dikembangkan untuk persenjataan maka roket harus terbang pada sudut elevasi 60o yaitu pada jarak jangkauan maksimum terbesar dari roket. Gambar 6-1, Gambar 6-2 dan Gambar 6-3 masing-masing adalah gambar jarak jangkauan, gambar ketinggian dan gambar kecepatan vs waktu terbang roket.
373
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
7. Kesimpulan Dari perhitungan terbang roket RKX 170-LPN dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : -
Waktu terbang maksimum yang dicapai roket adalah 70 detik. Hal ini untuk penelitian atmosfir.
-
Jarak jangkauan maksimum yang dicapai roket adalah 13,403 km pada sudut elevasi 60o. Hal ini untuk mengembangkan persenjataan.
-
Tinggi maksimum yang dicapai roket adalah 5,109 km pada sudut elevasi 70o. Hal ini untuk penelitian atmosfir.
-
Kecepatan maksimum terbesar yang dicapai roket adalah pada sudut elevasi 50o yaitu sebesar 1,119 mach. Hal ini untuk mengembangkan persenjataan.
Daftar Pustaka 1.
Neelson Jack N., “ Missile Aerodynamics “, Mc Graw Hill Book Company, New York, 1960.
2.
Said Jenie., “ Desain Manual Roket “, Jakarta, 1989.
3.
Sastry S.S., Introductory Methods Numerical Analysis “, Prentice Hall of India, New York, 1979.
4.
Sembiring T dan Salam Ginting., “ Prediksi Penampilan Roket RKX 150-LPN A-DUI ”, Jakarta, 1995.
5.
Sembiring T., “ Prestasi Terbang Roket Dua Tingkat “, Jakarta, 1999.
6.
Sembiring T., “ Perbandingan Solusi Metode Runge Kutta dan Metode Adams Bashfort Moulton Dalam Persamaan Gerak Roket “, Jakarta, 2000.
7.
Sembiring T., 2005, “ Menentukan Tinggi Maksimum Roket Balistik Dengan Beban Guna Tertentu Yang Terbang ke Atmosfir “, Prosiding Siptegan IX-2005, Jakarta.
8.
Sembiring T., 2008, “ Penelitian Prestasi Terbang Roket Sonda Satu Tingkat RX 320 “, Jurnal Teknologi Dirgantara, Jakarta.
9.
Sembiring T., 2009, “ Perhitungan Besarnya Gaya Hambat Udara Roket Satu Tingkat RX 100 Pada Berbagai Sudut Elevasi “, Prosiding Siptegan XIII-2009, Jakarta.
TANYA JAWAB PERTANYAAN Apa misi dan jangkauan roket RX-170? JAWAB Misi roket RX-170 adalah roket untuk kepentingan militer dan jarak jangkauan menengah (jangkauan 10-16 km). Roket tersebt merupakan salah satu desain roket – roket jarak sedang dan menengah serta dapat digunkaan sebagai roket bertingkat.
374
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
X (km) 14
60
12 50
70
10
8
6
4 2 t (detik) 0
10
20
30
50
40
60
70
waktu Gambar 6-1: Jarak jangkauan vs waktu
h(km)
12 10 8 6 4 2 60
50 0
10
20
30
40
70 t(detk)
50
60
70
Waktu Gambar 6-2 : Ketinggian vs Waktu
375
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
376
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
UJI STATIK RANCANG BANGUN SISTEM SEPARASI ROKET BERTINGKAT Wigati LAPAN
Abstrak Pada pengembangan roket di LAPAN, telah dirancang jenis roket bertingkat dua. Untuk mengoptimalkan kinerja terbang roket bertingkat ini yang berupa ketinggian dan jarak jangkau yang bisa dicapai, kedua motor roket tersebut dipisahkan dengan dipasang sistem separasi roket bertingkat yang berfungsi memisahkan roket tingkat I dengan roket tingkat II pada saat terbang. Makalah ini manyajikan uji statik rancang bangun sistem separasi roket tipe piston yang diletakkan pada sambungan roket tingkat I dan II yang selanjutnya untuk memisahkan kedua roket tersebut piston diledakkan menggunakan sistem komando elektronik dan piroteknik yang berisi bahan peledak. Rancangan ini telah diuji statik untuk roket bertingkat berdiameter 150 mm hasil rancangan LAPAN, didapat untuk berat roket tingkat II 20 kg, menggunakan bahan peledak 2 gram ,roket tingkat II terlontar sejauh 2m. Dari grafik antara berat roket tingkat II dengan jarak lontar terlihat linier.
1. Pendahuluan Tujuan penggunaan wahana peluncur roket, dengan daya jangkau maupun ketinggian yang memadai, dan berdayaguna untuk kepentingan masyarakat penguna roket makin mendesak, baik untuk kepentingan umum, berupa roket pengorbit satelit maupun untuk kepentingan khusus yaitu sistem pertahanan dan keamanan wilayah . Maka, salah satu pilihan alternatif dengan menggunakan roket bertingkat dua dan dilengkapi sistem separasi sebagai upaya untuk mengoptimalisasi pencapaian ketinggian dan daya jangkau roket
pada saat
terbang. Pada pengembangan wahana roket LAPAN dewasa ini, telah dipersiapkan untuk memenuhi tujuan tersebut, yaitu memperoleh gaya dorong roket yang besar, pada motor roket tingkat satu dengan motor roket konfigurasi propelan jenis bintang yang memiliki gaya dorong roket besar yang dipersiapkan sebagai motor booster. Sedangkan, untuk dapat mencapai ketinggian dan daya jangkau yang optimal, pada motor roket tingkat kedua dipilih konfigurasi propelan dengan waktu bakar yang panjang jenis cigaret burning. Untuk mencapai ketinggian dan daya jangkau roket yang optimal, dipilih dengan mengabungkan kedua jenis roket tersebut menjadi roket bertingkat. Pada operasional terbang kedua motor roket tersebut harus dipisahkan dengan dipasangkan sistem sparasi roket bertingkat, diantara kedua bagian roket tersebut . Dengan demikian wahana roket dapat memperoleh kecepatan awal yang cukup dari roket tingkat satu dan dapat memperoleh ketinggian dan jangkauan yang optimum dari roket tingkat dua. Selanjutnya dalam paper ini disajikan uji statik rancangan sistem separasi tersebut sehingga didapat parameter- parameter dari sistem separasi ini untuk dilanjutkan dengan uji terbang roket .
377
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
2. Prinsip Dasar Sistem Separasi Sistem separasi roket bertingkat adalah perangkat sistem pemisah roket dua tingkat saat terbang, terdiri dari komponen struktur separator yang kompak dan kokoh, sistem komando elektronik dan piroteknik yang spesifik dan harus dapat bekerja secara sinkron dengan kepresisian yang tinggi.Untuk lebih jelasnya hal ini dapat dilihat pada gambar berikut:
Motor roket tk I
Sistem separasi
Motor roket tk II
Gambar 2.1. Hubungan Motor Roket tk I Dengan Motor Roket tk II Sistem separasi roker bertingkat harus dapat bekerja pada waktu yang tepat dan terprogram secara cermat. Separasi roket tingkat satu dan tingkat dua terjadi atas perintah system komando elektronik yang diprogram waktunya. Waktu mengaktifkan separasi dilakukan sesaat setelah motor roket tingkat satu habis terbakar, sedangkan seting waktu yang tepat untuk separasi dapat dilihat dari kurva thrust dan tekanan yang diperoleh dari uji statik motor Roket. Dari Kurva Gaya Dorong Motor Roket Dan Data Fisiknya, Dapat Ditentukan Gaya Dorong Piston Separasi Yang Diperlukan Untuk Mendorong Melepaskan Motor Roket Tingkat Satu Dari Roket Tingkat Dua. Berikut Ilustrasi Cara Kerja Separasi
378
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Roket Tingkat 2
Roket Separasi
Roket Tingkat 1 Roket Tingkat 2 Recover Roket 2 Tingkat mulai terbang
Gambar 2.2 Ilustrasi cara kerja separasi roket bertingkat 3. KOMPONEN SISTEM SEPARASI Bagian-bagian atau komponen system separasi roket bertingkat dua yang dirancang di LAPAN adalah: 1.
2.
3.
Sistem mekanik separasi : •
Piston pelontar
•
Iner pelurus separator
•
Cakar pelurus
Sistem elektronik separasi •
Timer system perintah serparasi
•
Saklar perintah otomatis
•
Baterai
Piroteknik •
Sumber daya pelontar
•
Penyala awal / squip
Gambar berikut ini adalah susunan komponen system separasi roket untuk roket bertingkat dua.
379
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Gambar 3..1 Rancangan system separasi roket 2 tingkat 3.1
Piston Pelontar Separasi Sistem separasi yang digunakan untuk memisahkan motor rokek tk I dengan motor roket tk II
menggunakan suatu piston yg berfungsi untuk mendorong motor roktet tk II saat pemisahan dilakukan. Agar tenaga ledak piroteknik pada system separasi bekerja secara optimal maka kontruksi piston perlu diperhatikan terutama pada ketebalan dinding-dinding piston. Karema pada dinding-dinding ini akan bekerja gaya yang timbul akibat ledakan piro teknik didalam piston. Gaya-gaya yang akan timbul pada ruang piston : •
Gaya longitudinal yaitu gaya yang searah dengan sumbu piston atau roket (P1)
•
Gaya aksial yaitu gaya yang searah dengan poros piston (P2)
P2 P1
P1
Gambar 3.1.1. Diagram gaya-gaya pada ruang ledak piston Piston pelontar separasi adah bagian utama pada system separasi ini, piston berfungsi sebagai pendorong untuk memisahkan roket tingkat I dan roket tingkat II . Piston yang berbetuk silinder bertingkat dengan salah satu sisi ujung silinder tertutup dengan luasan rongga bagian dalam yang dirancang cukup untuk volume udara/ oksigen yang diperlukan untuk penyalaan sistem piro teknik didalam rongga tersebut. Bagian tutup dan diding piston ketebalanya harus memiliki kemampuan untuk menahan tekanan yang terjadi didalamnya, sehingga besaran tekanan ini akan membangkitkan gaya dorong pada piston yong diperlukan untuk mendorong beban minimal seberat motor roket yang habis pembakarannya. Karena
380
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
piston ini dirancang untuk bebas bergerak kearah depan bagian piston yang tertutup dengan tumpuan gesekan pada diding piston bagian luar, agar tenaga dorong piston tidak mengalami rugi-rugi daya atau hambatan tenaga, maka permukaan diding piston bagian yang begesekan dengan silinder rumah piston diperkecil dengan membuat alur-alur yang berbentuk ring merata pada diding bagian luar.
Gambar 3.1.2. Piston sistem separasi 3.2
Inner Silinder Pelurus Separator Inner adalah bagian komponen yang berfungsi ganda, yaitu sebagai penyabung dan sekaligus pelurus
sambungan antara roket tingkat I dan roket II. Selain fungsi tersebut inner juga berfungsi sebagai rumah piston atau silinder piston. Pada bagian inner ini akan dibangkitkan kompresi tekanan yang timbul karena piston bergerak kearah depan. Ketebalan dinding silinder inner dibuat untuk mampu menahan sambungan roket bertingkat. Bagian ujung depan dari inner bekerja sebagai penghubung dengan bagian nosel pada riket tingkat II, sedangkan bagian belakan ujung inner berfungsi untuk menyambung roket tingkat I pada bagian capnya. Pada ujung inner bagian depan dengan diameter yang disesuaikan dengan ujung nosel tingkat II bagian belakang. Kedua bagian diding ini permukanya harus licin agar memperkecil gesekan, selain itu pemukaanya dibuat agar permukaan diding yang begesekan sekecil mungkin yaitu diding bagian luar untuk nosel dan permukaan bagian dalam untuk inner, baik berfungsi untuk sanbungan maupun sebagai silinder piston separasi ( Gambar 3 inner separasi sambungan pelurus )
381
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 3.2.1. Inner separasi sambungan pelurus 3.3 Cakar Pelurus Separasi Dinamakan cakar karena bentuknya mirip cakar binatang, cakar ini juga berfungsi ganda, yaitu berfungsi untuk menyambung kedua bagian roket bertingkat,dan berfungsi juga untuk meluruskan sambungan roket tingkat I dan roket tingkat II bersama dengan komponen inner. Jikalau inner berfungsi meluruskan sambungan dari arah dalam maka cakar menjaga kelurusan pada bagian luar sambungan. Selain fungfsi tersebut diatas cakar juga berfungsi untuk menjaga agar tidak terjadi pergeseran dudukan roket yang berupa posisi puntiran dari roket tingkat II terhadap motor tingkat I. Cakar dibuat dengan ketebalan yang diperhitungkan mampu menahan sambungan kedua roket pada saat terbang. (Gambar 4 rancangan Cakar pelurus separasi ) Bagian yang perlu dicermati pada cakar ini adalah, pada celah cakar yang terdiri dari empat bagian yang terbagi pada sudut lingkaran 900, dimana ditempatkan sirip roket tingkat II . Posisi cengkeraman cakar perlu diberikan celah toleransi cepitan cakar terhadap rumah sirip agar tidak menghambat pergeseran pelepasan pada saat separasi bekerja.
382
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Gambar 3.3.1. Cakar pelurus separasi 3.4
Piroteknik Piroteknik adalah komponen sumber daya pelontar yang dipasang pada bagian dalam piston pelontar
separasi. Sehingga kemampuan untuk memisahkan pada system separator sangat tergantung dari daya ledak yang membangkitkan gaya dorong dari piroteknik didalam ruang ledak piston. Menurut formula Morton Shorr, berat bahan peledak yang berupa black powder dapat ditentukan sebagai berikut:
W =
1 g 0 V c Pc 1 − T Ra T i M ig
Dimana : •
Ve
= Volume ruang bakar
•
Pe
= Tekanan gas pembakaran
•
Tg
= Temperatur pembakaran
•
T
= Fraksi pembakaran
•
Mig
= Berat molekul gas pembakaran
•
Ra
= Tetapan gas
•
go
= Percepatan grafitasi
383
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
4. Uji Statik Sistem Separasi SUB SISTEM
PROTO TYPE SISTEM SEPARASI
PEREKAM DATA DAN VISUALISASI
Gambar 4.1. Skema operasional Uji Statik 5. Pembahasan Dan Hasil Yang Dicapai Sebelum dirangkai menjadi sebuah rancangan sistem separasi untuk diuji statik , terlebih dahulu dilakukan uji masing-masing komponen antara lain: •
Piston pelontar sebagai bagian utama untuk mendorong terpisahnya dua bagian roket dan pada pengujiannya terlihat optimalisasi kinerja piston terletak pada ruang bakar dimana ditempatkan piroteknik.
Gambar 5.1.Piston pelontar separasi •
Piroteknik sebagai sumber daya pembangkit gaya dorong gerakan piston pendorong, Untuk pengujian piroteknik optimalisasi kinerja terletak pada ketepatan jumlah black powder isian yang dipasang dan kualitas sistem penyala awal tidak gagal menyala.
Gambar 5.2. Piroteknik.
384
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
•
Sistem elektronik separasi yaitu sistem perintah untuk menyalurkan daya listrik penyala piroteknik. Pengujian timer piroteknik optimalisasi terletak pada ketepatan waktu perintah yaitu tepat seperti waktu perintah kerja piroteknik yang dirancang dan kemampuan untuk meneruskan daya listrik ke penyala awal
Gambar 5.3.Sistem elektronik separasi Tahap selanjutnya dilakukan uji Statik untuk rancang bangun sistem separasi dengan rangkaian seperti pada gambar berikut:
Gambar 5.4. Rangkaian Uji Statik Sistem Separasi Adapun data spesifikasinya adalah: Diameter
: 150 mm
Panjang : 25 mm Bahan Squip
Piston
: Aluminium ketebalan 6mm : 1 buah (6 volt, 1 amp )
Berat beban yang dilempar
: 20 kg
Berat Isian (black powder) : bervariasi Posisi tempat : horisontal
385
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Friksi dianggap nol Dan hasil uji statik ditunjukkan dalam bentuk kurva berikut ini:
kurva piroteknik Vs jarak
jarak lontar (cm)
2500 2000 2000 1500 1000 500
250
400
500
1
1.5
0 0.5
2
piroteknik (gram)
Gambar 5.5. Kurva Piroteknik VS Jarak Kurva Beban payload vs Jarak lontar
jarak lontar (m)
3 2.5 2.5 2
2.2
2
2 1.4
1.5
1.2
1
1 0.5
0.75 0.4
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Beban payload (kg)
Gambar 5.6. Kurva beban payload (roket tk II) VS Jarak 6.
Kesimpulan 1) Bahwa komponen piston denganvolume ruang bakar yang dirancang dengan material aluminium dan ketebalan min 6 mm dapat beroperasi dengan baik dan memenuhi syarat teknis dan fungsinya. 2) Dari uji coba piroteknik maka penggunaan black powder yang tepat yaitu 2 gram telah mampu menisahkan beban denga beban dumyload seberat 20 kg dengan getaran minimal ( yaitu getarn ledakan yang tidak menganggu kinerja roket), 3) Timer bekerja pada 10 detik dan bekerja tepat waktu dengan kemampuan menyalurkan daya listrik bertegangan 6 volt, kuat arys 1 Amp untuk menyalakn penyala awal dengan sempurna 4) Pada uji beban separator mampu memisahkan beban yaitu simulasi dua roket tingkat satu dan tingkat dua dengan sempurna.
386
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Daftar Pustaka 1. Howard S. Seifert,1959, Space Technology, John Willey and Sons,
New York.
2. Kcham B,et al,1967,Rocket and Space Science Series, Vol 1 Propulsion,Amateur Association, W. Foulsham and Co, England. 3. Morton Shoor,1967, Solid Rocket Technology, John Willey and Sons,
New York.
4. Sutton G P,2001,Rocket Propulsion Elements ,John Willey and Sons,
New York.
5. Thomson W T, 1985, Introduction to Space Dynamics, Douver Publication Inc, New York.
TANYA JAWAB PERTANYAAN (Prapto) Roket ini menggunakan bahan bakar padat atau cair? JAWAB Roket berbahan bakar padat PERTANYAAN (Geni) Apa misi besar roket jenis ini? JAWAB Sistem separasi digunakan untuk separasi pada roket RX-200 dengan misi sistem separasi pada roket pengorbit satelit (RPS).
387
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
PEMBUATAN MONOGLISERID DARI MINYAK KELAPA SAWIT (CPO) Oleh Estiningsih TH Abstrak Minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil / CPO) merupakan trigliserid dari ester asam lemak jenuh dan tak jenuh yang tidak memiliki gugus hidroksil, tetapi pada proses esterifikasi pada minyak kelapa sawit akan dihasilkan monogliserid yang memiliki dua buah gugus hidroksil, kemudian digliserid dengan satu gugus hidroksil dan gliserol. Senyawa alkohol yang biasa digunakan pada proses esterifikasi adalah monoalkohol (methanol, etanol) dialkohol (butandiol, etilen glikol) atau trialkohol (gliserol)
1.
Pendahuluan Indonesia sebagai negara agraris tengah mengusahakan sektor industry andalan terutama perkebunan kelapa sawit. Produk ekspor minyak kelapa sawit nasional lebih dari 50% berupa minyak kelapa sawit curah (CPO), sehingga nilai ekspor relatif rendah. Disamping itu mutu minyak kelapa sawit curah dari Indonesia dikenal bermutu rendah, hal tersebut yang menyebabkan harganya yang kurang dapat bersaing dengan baik di pasaran internasional. ntuk itu diperlukan langkah perbaikan mutu pada minyak kelapa sawit hasil olahan atau melalui diversifikasi CPO supaya diperoleh produk lain yang memilikin nilai ekonomis yang lebih tinggi. 2.
Teori Minyak adalah lemak yang pada suhu kamar berbentuk cair, umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti jagung, zaitun, kelapa sawit dan sebagainya. Wujud lemak berkaitan dengan asam lemak pembentuknya, untuk lemak yang berwujud cair (minyak) banyak mengandung asam lemak tak jenuh seperti asam oleat (C17H31COOH), asam linoleat (C17H31COOH) sedang lemak yang berwujud padat lebih banyak mengandung asam lemak jenuh seperti asam astearat (C15H35COOH) dan asam palmitat (C15H31COOH). Untuk mendapatkan monogliserid dan gliserol dari minyak kelapa sawit (CPO) dibutuhkan proses esterifikasi. Proses esterifikasi dengan alkohol disebut alkoholisis dan yang menggunakan gliserol disebut gliserolisis, dengan jumlah monogliserid yang dihasilkan lebih banyak dari gliserid (Pryde, 1979) Produk yang terbentuk tidak sempurna, selalu dalam bentuk campuran monogliserid, digliserid dan ester dalam reaksi kesetimbangan.
388
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Persamaan reaksi yang terjadi sebagai berikut : H2 C – O – CO – R1 HC – O – CO – R2 H2 C – OH H2 – C – O – CO – R1 H2 – C – O – CO – R2 + 3ROH H2 – C – O – CO – R3
H2 C – OH + R1COR + R2COR HC – OH H2 C – O – C – R3 H2 – C – OH H – C – OH + R1 -C-OR + R1 -C-OR + R1 -
Katalisator yang digunakan adalah asam sulfat atau asam klorida (untuk yang bersidat asam) serta natrium hidroksida atau kalium hidroksida untuk yang bersifat basa (Wiratni, 1995). Penggunaan katalisator basa lebih memberikan keuntungan karena reaksi dapat berjalan lebih cepat meskipun suhu proses menggunakan suhu rendah. Adapun kelemahan adalah menyebabkan terjadinya reaksi penyabunan dan reaksi harus pada kondisi benar-benar bebas air. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi esterifikasi adalah waktu, suhu, katalisator, pencampuran. Perbandingan komposit zat dan konsentrasi zat pereaksi. a. Waktu Semakin lama waktu reaksi maka konversi minyak nabati akan akan semakin besar hingga dicapai titik kesetimbangan. Dengan bertambah panjang waktu reaksi, akan member kesempatan molekul-molekul zat pereaksi untuk saling bertembukan. b. Suhu Dengan semakin tingginya suhu reaksi maka kecepatan reaksi akan semakin meningkat. Hal tersebut disebabkan semakin meningkat pula energi kinetik yang dimiliki molekul-molekul zat pereaksi. c. Katalisator Reaksi energi aktivasi yang lebih rendah dari reaksi normal akan membuat jalur baru reaksi sehingga kecepatan reaksi mengalami peningkatan (Hill, 1977) d. Pencampuran Pencampuran yang baik akan memurnikan tahanan perpindahan massa dan panas secara konversi. e. Konsentrasi zat pereaksi Tingginya zat konsentrasi dapat meningkatkan kecepatn reaksi, karena semakin tinggi konsentrasi zat pereaksi, akan semakin banyak frekuensi terjadinya tumbukan antar molekul zat yang bereaksi. 3.
METODE PENELITIAN Untuk memperoleh produk monogliserid dari minyak kelapa sawit (CPO) dilakukan dengan proses gliserolisasi. Adapun tahapan proses : - Persiapan bahan-bahan - Set alat-alat proses - Tahap pencampuran
389
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
- Proses reflux - Proses penguapan 3.1. Bahan-bahan yang dibutuhkan - Sebagai bahan baku adalah CPO hasil perkebunan produksi PT Wahana Citra Nabati – Jakarta dengan spesifikasi : Freefat acid 0,05% max Colour Intensty 2,5/30 max 25 red/yellow Iodin value 50 – 54 Melting point 36 – 45 Peroxide content 0,7 max (m.eq/100 g eq) Moisture Content 0,05% max Taste Bland - Sebagai katalisator digunakan bahan sodium metylat (CH3ONa) 3.2. Sebagai pelarut , Piridin (C6H5NO) 3.3. Alat-alat yang dibutuhkan 3.4. Cara Kerja - Labu leher 4 sebagai reaktor, stirrer, thermometer, water bath/oil bath. » » -
Tahapan Persiapan Minyak kelapa sait curah (CPO) dioven dengan suhu 115°C selama 4 jam Timbang minyak tersebut sesuai komposisi Pembuatan monogliserid (CPOm & CPOg) Masukkan berturut-turut CPO, gliserol, sodium metylat kedalam reaktor Set suhu sampai suhu didalam reaktor 115°C Pendingin balik difungsikan Waktu proses 4 jam dihitung setelah suhu di dalam reaktor 115°C Larutan hasil proses dipindahkan ke dalam reaktor Reflux untuk mendistilasi piridinnya Dilanjutkan dengan penguapan dan penimbangan hasil monogliserid Bagian larutan yang lainnya dituang dalam cetakan 2cm x 2cm x 10cm untuk uji kuat mekaniknya (dilakukan di laboratorium teknologi polimer tinggi UGM Yogyakarta.
4.
Hasil Penelitian Alkoholisis CPO dengan methanol dihasilkan campuran trigliserid (CPO), digliserid (ada gugus OH = 1, monogliserid (gugus OH = 2) dan gliserol (gugus OH = 3) dan metal ester.
390
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Komposisimonogliseriddenganmethanoltertulispadatabelberikut: KOMPOSISIKOMPONEN(%BERAT) KODE TG
DG
MG
G
ME
CPOm–1
5
8
12
50
25
CPOm–2
6
10
15
60
9
CPOm–3
5
11
14
42
28
CPOm–4
4
9
16
52
19
CPOm–5
5
12
10
55
18
CPOm–6
5
11
17
65
2
Alkoholisis dengan gliserol dihasilkan monogliserid (CPOg) yang lebih banyak dibanding alkoholisis menggunakan methanol. Kadar monogliseridnya dapat mencapai 35%. Hasil selengkapnya komposisi gliserid dalam CPOg ditampilkan dalam tabel berikut ini. KOMPOSISIKOMPONEN(%BERAT) KODE TG
DG
MG
G
ME
CPOg–1
8
15
35
14
28
CPOg–2
5
16
32
15
32
CPOg–3
6
17
34
23
20
CPOg–4
7
20
36
21
16
CPOg–5
8
11
34
18
29
CPOg–6
9
9
17
25
40
5.
Kesimpulan
391
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Dari bahan dasar CPO, pada pembentukan menjadi polyurethane adalah CPO yang diproses dengan komposisi CPO / Gliserol / Piridin / Sodium Metylat Æ 50 / 75 / 600 / 0,40 dan memiliki sifat rekat sampai suhu 400°C.
392
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
UPAYA MENDAPATKAN DISRIBUSI BERAT MOLEKUL YANG SEMPIT Heri Budi Wibowo Bidang Material Dirgantara LAPAN Abstrak Penelitian pembuatan HTPB secara bulk polymerization dimaksudkan untuk mendapatkan HTPB dengan distribusi berat molekul rata-rata polimer yang lebih sempit. Polimerisasi secara bulk akan memberikan polimer dengan distribusi berat molekul yang lebih sempit atau seragam karena proses inisiasi terjadi secara seragam dengan kecepatan yang relatif tetap. Penelitian dimaksudkan untuk mempelajari pembuatan HTPB dengan beberapa inisiator dan perlakuan untuk memperoleh HTPB dengan berat molekul rata-rata yang sempit dan mendekati 5000 g/mol. Butadien (98%) dipolimerisasikan dengan inisiator litium dan natrium yang telah diaktivasi dalam autoklaf kapasitas 250 mL, kondisi bebas udara. Reaksi dijalankan pada suhu kamar, kemudian diterminasi dengan etilen oksid untuk membentuk HTPB. Berat molekul rata-rata polimer ditentukan dengan osmometer. Hasil percobaan menunjukkan bahwa distribusi berat molekul rata-rata polimer dapat diperkecil dengan polimerisasi secara ionik daripada polimerisasi radikal bebas. Pelarut non polar (parafin) akan memberikan distribusi berat molekul rata-rata HTPB yang lebih sempit dibandingkan dengan pelarut polar (toluen). Demikian pula semakin kecil elektronegativitas logam (katalisator) akan memberikan distribusi berat molekul yang lebih sempit karena reaktivitas nya lebih tinggi dan terjaga, ditunjukkan dengan penggunaan katalisator Litium memberikan distribusi berat molekul yang lebih sempuit dibandingkan katalisataor natrium.
1. Pendahuluan Propelan komposit padat pada umumnya digunakan untuk keperluan roket peluncur dan misil. Bahan bakar roket padat merupakan bahan komposit, yang diperoleh dengan cara mereaksikan antara fuel binder (pengikat) dengan bahan curing agent (retikulasi) untuk memperoleh struktur jala suatu polimer sebagai bahan pengikat oksidator. Poliuretan merupakan reaksi dari isosianat dengan alkohol, asam, atau amin. Untuk kepentingan propelan komposit padat, pilihan utama yang digunakan beberapa roket peluncur komersial dan juga LAPAN adalah toluen diisosianat dan HTPB (Hydroxy Terminated Polybutadiene) karena di samping memiliki nilai energetik yang tinggi, juga memiliki sifat mekanik yang sangat baik untuk propelan. Oleh karena itu LAPAN mengembangkan propelan komposit padat berbasis poliuretan dari TDI dan HTPB. Bahan HTPB merupakan bahan yang tidak dijual bebas, sehingga pengadaannya sulit, apalagi dikaitkan dengan industri militer. Oleh karena itu perlu diupayakan untuk dapat membuat HTPB sendiri sehingga keperluan bahan utama propelan komposit padat dapat dicukupi sendiri. Ada beberapa metode untuk membuat HTPB, pertama polimerisasi butadien dengan radikal bebas menggunakan inisiator hidrogen peroksida. Hasil polimer biasanya diperoleh struktur 1,2-HTPB yang dominan dan distribusi berat molekulnya tidak seragan (sebarannya sangat luas). Cara kedua polimerisasi anionik dengan inisiator logam alkali tanah (Li, Na, K, dll.) dan senyawa organiknya seperti BuLi, BuNa, dan sebagainya. Laporan penelitian tahun 2002 telah dapat dihasilkan HTPB dengan menggunakan inisiator natrium (Heri dkk., 2002). Banyak jurnal menyatakan berhasil membuat HTPB,namun ada bagian proses yang tidak dijelaskan
393
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
karena nilai strategisnya HTPB). Hal tersebut dapat dilihat pada jurnal yang menyatakan berhasil membuat HTPB pada tahun 1940-an (Morton dll, 1950). Bagian yang penting dari karakterisasi polimer (HTPB) adalah distribusi berat molekul rata-rata dan strukturnya. Distribusi berat molekul rata-rata yang diinginkan adalah sempit atau seragam sehingga hasil poliuretan yang diperoleh memiliki sifat fisik dan mekanik yang homogen. Semakin sempit distribusiberat molekul rata-rata, maka sifat molekul polimer mendekati sebagai senyawa tunggal, sehingga sifat fisik memiliki daerah batas yangsempit pula, sehingga karakterisasi polimer bersifat tunggal. Penelitian ini mencoba mengurai metode-metode pembuatan HTPB dan distribusi berat molekul yang dihasilkan.
2.Landasan Teori
Reaksi polimerisasi butadien menjadi polibutadien merupakan reaksi polimerisasi adisi, dengan pertumbuhan rantai secara serentak. Butadien dapat dipolimerisasi dengan tiga jenis inisiator, yaitu inisiator radikal bebas, inisiator ionik, dan inisiator ionik koordinasi. Tahapan polimerisasi adisi adalah inisiasi, yaitu pengaktifan monomer agar menjadi senyawa dengan ujung gugus aktif yang siap untuk tumbuh berpolimerisasi. Pada reaksi dengan inisiator radikal bebas, maka inisiasi terjadi dengan pembentukan radikal OH dari reaksi redoks H2O2/Fe(III) atau splitting H2O2 menjadi radikal OH*. Selanjutnya radikal bebas bereaksi dengan butadien membentuk butadien radikal aktif (M*). Selanjutnya propagasi/pertumbuhan polimer terjadi dengan reaksi radikal M* dengan monomer butadien membentuk radikal aktif baru yang lebih panjang (MnM*). Selanjutnya terminasi terjadi dengan reaksi kopling (penyatuan radikal aktif menjadi polimer tidak aktif, M2n+1M) atau terminasi oleh senyawa lain seperti OH* membentuk HTPB. Karena terminasi atau pembentukan polimer melalui dua cara dengan kemungkinan reaksi yang sama, maka diperkirakan akan terbentuk hasil polimer-polimer yang panjang yang berbeda. Selain itu, kecepatan pembentukan radikal bebas sangat cepat sehingga reaksi propagasi akan semakin besar kemungkinan berhenti di tengah jalan, sehingga kemungkinan besar panjang molekul polimer tidak seragam. Hal ini disebabkan reaksi radikal bebas terjadi secara simultan sehingga ada kemungkinan reaksi kopling terjadi lebih awal. Dengan demikian, ketidakpastian terjadi kopling cukup besar. Disosiasi:
H2O2
Æ
OH*
Inisiasi
OH* + M
Æ
M*
Propagasi
M* + M
Æ
MM*
MM* + M
Æ
M2M*
Mn-1M* + M
Æ
MnM*
MnM* + MnM* Æ
M2n+1M
MnM* + OH*
Æ
. Terminasi
MnM
Untuk inisiator ionik maka pada inisiasi, monomer bereaksi dengan inisiator logam membentuk monomer
aktif (tersisipi logam). Tahap berikutnya adalah propagasi, yaitu pertumbuhan rantai polimer
394
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
sehingga polimer makin panjang. Ini terjadi dengan adanya monomer yang teraktifkan menjadi suatu monomer aktif
bereaksi dengan monomer lain terus-menerus menjadi rantai mer-mer yang aktif satu per satu.
Pertumbuhan rantai menjadi sangat besar, dan pertumbuhan rantai akan berhenti bila terjadi reaksi terminasi, yaitu reaksi matinya polimer aktif yang sedang tumbuh. Proses terminasi dapat terjadi memlalui reaksi antara sesama polimer aktif, atau dengan adanya suatu senyawa lain yang bereaksi dengan radikal polimer menjadi senyawa yang stabil. Untuk mendapatkan polibutadien dengan dua gugus ujung aktif seperti HTPB (gugus ujung aktifnya adalah gugus hidroksil), maka inisiator yang dapat digunakan adalah logam litium, natrium, kalium kemudian diterminasi dengan etilen oksid. Inisiasi : Li + H2C-CH=CH-CH2 Æ
[H2C=CH-CH=CH2]-Li+ (Li+M-Li+)
Propagasi : M + Li+M-Li+
Æ
Li+MM-Li+
M + Li+MM-Li+
Æ
Li+M3-Li+
M + Li+M3-Li+
Æ
Li+M4-Li+
Æ
Li+Mx+1-Li+
. . M + Li+Mx-Li+ Terminasi: Li+Mx-Li+
+
EtO
Æ HO-Mx-OH + 2LiOH
Berat molekul rata-rata polimer ditentukan dengan persamaan Stockmayer (1951), dimana untuk reaksi polimerisasi anionik. Berat molekul rata-rata polimer merupakan perbandingan berat monomer dibagi dengan monomer mula-mula. C Mn = ------Co 3. Metodologi Penelitian Bahan utama yang digunakan adalah gas butadien, kemurnian 98%, diperoleh dari PT SINTETIKA JAYA, Serang. Gas butadien sebelum digunakan dilewatkan ke dalam larutan 6N sodium hidroksida dan kalsium klorida untuk menghilangkan impuritis yang ada. Logam Litium diperoleh dari Merck Jakarta, berupa litium bubuk kondisi segar dan murni. Gas nitrogen diperoleh dari PT Aneka Gas dan Industri, Tangerang. Sebelum digunakan, gas nitrogen dilewatkan ke dalam larutan 6N sodium hidroksida, kalsium klorida, dam logam sodium untuk menghilangkan impuritis yang terkandung di dalamnya. Polimerisasi dilakukan dengan kondisi inert, semua peralatan dicuci menggunakan pelarut toluen. Inisiator yang digunakan untuk sistem radikal bebas adalah H2O2 dan Besi (II) sulfat, sedangkan untuk reaksi anionik menggunakan logamlitium dan natrium. Polimerisasi terjadi dalam kondisi bulk. Polimerisasi dilakukan dalam reaktor berupa autoklaf dengan suhu operasi suhu kamar. Reaksi polimerisasi secara anionik dilakukan dengan memasukkan bubuk logam (litium dan natrium) sejumlah tertentu ke dalam reaktor yang telah diisi toluen, kemudian diaduk dengan kecepatan 400 rpm. Mula-
395
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
mula dialirkan nitrogen untuk mengusir udara dalam reaktor, kemudian reaktor ditempatkan pada refrigeran pada suhu –20 C dan dialirkan gas butadien selama waktu tertentu. Setelah itu, reaktor ditempatkan pada shaker dan diputar dengan kecepatan 150 putaran per menit. Setelah waktu tertentu (24 jam), reaktor dialiri gas etilen oksid beberapa saat untuk terminasi. Berat molekul ditentukan dengan VPO. Reaksi polimerisasi secara radikal dilakukan dalam sistem emulsi. Ke dalam reaktor dimasukan bahan berturut-turut akuades, besi (II) sulfat, kalium sulfat, dan hidrogen peroksida 30%. Kemudian setelah diatur kecepatan pengadukan dan suhu reaksi (suhu kamar), kemudian dialirkan butadien . Reaksi dijalankan selama 24 jam. Perlakukan yang lain sama dengan perlakuan untuk reaksi secara anionik. 4. Pembahasan Berdasarkan hasil percobaan awal, dapat ditunjukkan bahwa polimer terjadi secara visual dengan adanya cairan kental bening (mirip dengan HTPB yang digunakan LAPAN). Berdasarkan perubahan viskositas yang terjadi, mendukung adanya polibutadien yang terjadi. Untuk mendukung pernyataan tersebut, dilakukan analisis FTIR, serapan FTIR spesifik pada 910 cm-1, 1250 cm-1, 1650 cm-1, 3080 cm-1, 966 cm-1, 1380 cm-1, dan 1400 cm-1 menunjukkan bahwa polibutadien betul-betul terbentuk seperti ditunjukan pada spektra FTIR 1-11. Untuk reaksi polimerisasi dengan katalisator litium dengan menggunakan pelarut paraffin, dimana semakin lama reaksi maka berat molekul rata-rata akan naik, sesuai dengan meningkatnya panjang rantai. Untuk berat katalisator yang sama, semakin lama polimerisasi berlangsung maka berat molekul akan semakin besar karena reaksi semakin lama maka jumlah polimer yang tumbuh semakin panjang sehingga berat molekul semakin besar. Untuk lama waktu yang hampir sama, dengan kenaikan berat katalisator yang digunakan maka berat molekul semakin besar karena semakin banyak katalisator maka jumlah monomer yang bereaksi secara serentak semakin banyak sehingga waktu terminasi berat molekul masih memiliki panjang rantai yang relatif panjang. Apabila berat katalisator yang digunakan relatif sedikit, maka polimer yang tumbuh semakin lamasemakin panjang karena memiliki pertumbuhan yang lebih sedikit dengan adanya inisiator yang tersedia lebih sedikit sehingga berat molekul menjadi kecil. Selanjutnya dapat ditunjukkan bahwa distribusi berat molekul rata-rata mendekati 0,9 atau dianggap cukup sempit. Hal tersebut dikarenakan reaksi pertumbuhan rantai polimer terjadi dengan step by step, sehingga pada waktu yang sama kemungkinana untuk terjadi terminasi hampir sama.
396
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Selanjutnya polimerisasi butadien secara anionik dengan katalisator natrium dilakukan dalam pelarut toluen. Pelarut toluen dipilih karena toluen memiliki titik didih mendekati natrium, sehingga saat litium mencair (perlakuan awal untuk membuang pengotor dalam litium) udara terusir dengan uap tolen yang mendidih. Kondisi percobaan ditunjukkan pada tabel 2 dan hasil pengukuran ditunjukkan pada tabel 3. Ternyata distribusi berat molekul rata-rata polimer lebih rendah dari polimerisasi dengan litium, yaitu 0,87. Reaktivitas litium lebih tinggi daripada natrium, sehingga kecepatan reaksi pertumbuhan rantai (propagasi) terjadi lebih cepat daripada pada polimerisasi dengan natrium. Karena reaksi propagasi yang lebih cepat, maka reaksi inisiasi yang terjadi (pembentukan monomer aktif) selalu langsung diikuti dengan reaksi propagasi sehingga reaksi samping lebih kecil terjadi. Hal tersebut ditunjukkan dengan tetapan keepatan reaksi pertumbuhan reaksi polimerisasi butadien dengan natrium sebesar 10x lebih lambat daripada reaksi polimerisasi dengan katalisator litium (Wibowo, 2004). Tabel 1. Kondisi proses tiap percobaan. Percobaan
Kondisi
P1
Toluen 60 mL, Logam natrium 1 gr, butadien dialirkan setengah jam, reaksi 24 jam.
P2
Toluen 60 mL, Logam natrium 1,5 gr, butadien dialirkan satu jam, reaksi 36 jam.
P10
Toluen 60 mL, Logam natrium 1,5 gr, butadien dialirkan satu jam, reaksi 24 jam.
P7
Toluen 60 mL, Logam natrium 1,5 gr, butadien dialirkan dua jam, reaksi 24 jam.
P8
Toluen 60 mL, Logam natrium 1,5 gr, butadien dialirkan dua jam, reaksi 90 jam
P9
Toluen 60 mL, Logam natrium 1,5 gr, butadien dialirkan dua jam, reaksi 45 jam
Tabel 2. Berat molekul rata-rata polimer HTPB hasil. Perc
Mn (g/mol)
DXn
P2
5000
0,85
P7
7000
0,86
P8
8500
0,87
P90
10000
0,89
P10
4500
0,82
P11
7000
0,87
397
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Analisis berat molekul rata-rata dengan VPO hanya dapat dijelaskan pada percobaan P7, P8, P9, dimana semakin lama reaksi maka berat molekul rata-rata akan naik, sesuai dengan meningkatnya panjang rantai. Selanjutnya hasil polimerisasi butadien dengan radikal bebas ditunjukkan pada tabel 4. Dengan semakin bertambahnya jumlah katalisator, maka berat molekul semakin rendah karena semakin banyak katalisator yang digunakan, kemungkinan jumlah monomer yang aktif semakin banyak secara bersama-sama sehingga pada waktu yang sama, terminasi terjadi dengan jumlah rantai polimer atau yang tumbuh belum maksimal. Kemudian dari tabel 5 dapat ditunjukkan bahwa distribusi berat molekul rata-rata polimer hasil tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan dari berat katalisator yang digunakan. Hal yang sama terjadi untuk reaksi polimerisasi dengan katalisator litium maupun natrium. Kejadian tersebut dimungkinkan karena sistribusi berat molekul bergubungan dengan reaksi kopling maupun reaksi samping yang terjadi selama polimerisasi, demikian juga reaksi percabangan yang mungkin terjadi. Selanjutnya dapat dilihat bahwa distribusi berat molekul rata-rata polimer hasil reaksi radikal jauh lebih rendah dari reaksi polimerisasi dengan katalisator litium dan natrium, yaitu 0,60. Reaksi polierisasi secara radikal memiliki kemungkinan reaksi percabangan yang lebih besar karena pada reaksi pertumbuhan, radikal memiliki kecepatan reaksi yang hampir sama untuk semua radikal bebas yang tumbuh baik pada saat polimer yang tumbuh panjang maupun pendek. Selain itu, reaksi radikal yang memungkinkan terjadi matinya polimer (terminasi) dengan cara kopling, disosiasi, dan terminasi dengan adanya senya alain membuat reaksi polimerisasi bisa berhenti kapan saja. Hal tersebut membuat distribusi berat molekul rata-rata poimer menjadi jauh lebih rendah. Tabel 3. Kondisi proses tiap percobaan polimerisasi dengan radikal bebas. Percobaan
Kondisi
P1
Akuades 60 mL, FeSO4 1 mg, H2O2 1,5 mL, butadien dialirkan setengah jam, reaksi 24 jam.
P2
Akuades 60 mL, FeSO4 1 mg, H2O2 2,5 mL, butadien dialirkan satu jam, reaksi 24 jam.
P3
Akuades 60 mL, FeSO4 1 mg, H2O2 3 mL, butadien dialirkan satu jam, reaksi 24 jam.
P4
Akuades 60 mL, FeSO4 1 mg, H2O2 5 mL, butadien dialirkan dua jam, reaksi 24 jam.
P5
Akuades 60 mL, FeSO4 1 mg, H2O2 6,5 mL, butadien dialirkan dua jam, reaksi 24 jam
398
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 4. Berat molekul rata-rata polimer HTPB hasil. Perc
Mn (g/mol)
DXn
P1
15000
0,65
P2
10000
0,66
P3
8500
0,57
P4
6000
0,55
P5
4500
0,69
5.Kesimpulan Berdasarkan hasil percobaan dan pembahasan, terlihat bahwa distribusi berat molekul rata-rata polimer HTPB yang dihasilkan akan menjadi sempit apabila digunakan kreaksi polimerisasi secara anionik dengan katalisator litium dari pada natrium karena eektronegatifitas litium yang lebih rendah. Polimerisasi dengan radikal bebas memberikan distribusi berat molekul yang lebih lebar dibanding reaski polimerisasi anionik karena terminasi pada reaksi radikal bisa terjadi beberapa cara, sedangakan pada reaksi anionik terminasi hanya satu cara dan reaksi pertumbuhan terjadi melalui step y step. Secara umum, semakin besar jumlah karalisator yang digunakna akan memberikan berat molekul yang semakin
rendah.
Jumlah katalisator tidak berpengaruh
terhadap disribusi berat molekul polimer.
DAFTAR PUSTAKA Dubois, C., Desilets, S., Ait-kadi, A., and Tanguy, P., 1995, Bulk Polymerization of HTPB with TDI : a Kinetics Study Using 13C-NMR Spectroscopy., J. Appl. Polym. Sci., 58, 827-834. Gupta, D.C., Deo, S.s., Wast, D.V., Raomore, S.S., and Gholap, Dd.H., 1995, HTPB-Based Polyurethanes for Inhibition of Composite Propellants., J. Appl. Polym. Sci., 55, 1151-1155. Gupta, D.C., Divekar, P.K., and Phadke, V.K., 1997, HTPB-Based Polyuretanes for Inhibition of CompositeModified Double Base (CMDB) Propellants., J. Appl. Polym. Sci., 65, 355-363. Gupta, R.B. and Prausnitz, J.M., 1996, Vapour-Liquid Equilibria for Solvent-Polymer Systems from a Perturbed Hard-Sphere-Chain Equation of State, Ind.Eng.Chem.Res., 35, 1225-1230. Jain, D.R., Sekar, V., Krishnamurti, V.N., 1994, Mechanical and Swelling Properties of HTPB-based Copolyurethane Networks., J. Appl. Polym. Sci., 48, 1515-11523. Timnat, J., 1992, Advanced Rocket Propulsion., p. 139, Interscience Publisher, London.
399
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Pertanyaan (Sarwani) Selain HTPB, adakah bahan alternative untuk fuel bider propelan? Jawab Beberapa jenis yang dapat digunakan sebagai fuel binder propelan adalah CTPB, poliuretan, polisulfid, dan aspal, serta minyak jarak. Namun demikian sifat mekanik dan balistik serta energetic propelan yang dihasilkan semua di bawah dari propelan dengan fuel binder HTPB.
400
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
ANALISIS RASIO PROFITABILITAS SEBELUM DAN SESUDAH SERTIFIKASI ISO 9001 PADA PT. UNITED TRACTORS, Tbk I Gede Mahatma Yuda Bakti1 , Nur Metasari2 1,2
Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian – LIPI Kawasan Puspiptek, Gedung 410, Setu, Tangerang 15314
E-mail : [emailprotected] 1, [emailprotected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rasio profitabilitas perusahaan sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001. Rasio profitabilitas yang diteliti hanya dibatasi pada rasio gross profit margin, net profit margin, operating profit margin, return on investment, dan sales growth. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan teknik studi dokumentasi dalam memperoleh data. Objek penelitian ini adalah PT. United Tractor, Tbk dengan data yang digunakan adalah laporan keuangan selama 6 tahun sebelum dan 7 tahun sesudah perusahaan memperoleh sertifikat ISO 9001. Analisis yang digunakan adalah analisis independent sample t test sebagai alat untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001 pada objek penelitian. Hasil penelitian menunjukan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada rasio net profit nargin, operating profit margin, dan sales growth antara sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk. Akan tetapi, untuk rasio gross profit margin dan return on investment, terdapat perbedaan yang signifikan dalam profitabilitas sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001. Kata Kunci: Gross Profit Margin, Net Profit Margin, Operating Margin, Return on Investment, Sales Growth, ISO 9001. Abstract This research aims to determine whether there are differences in profitability at PT. United Tractors, Tbk before and after ISO 9001 certification. Profitability ratio studied are only limited to the ratio of gross profit margin, net profit margin, operating profit margin, return on investment, and sales growth. This research is a case study using the documentation techniques in obtaining data. The object of this research is PT United Tractors, Tbk. Data in this study are the financial reports for 6 years before and 7 years after the company obtained ISO 9001 certificate. In this research, the author uses the analysis of the Independent Sample T test as a tool to determine the presence of profitability differences before and after ISO 9001 certification. The result of research showed that at PT United Tractors, Tbk profitability there is no significant difference between before and after receiving the ISO 9001 certificate for the ratio of untuk rasio Net Profit Margin, Operating Profit Margin, and Sales Growth. Meanwhile, for the ratio Gross Profit Margin and Return on Investment, there are significant differences in profitability before and after ISO 9001 certification. Keywords : Gross Profit Margin, Net Profit Margin, Operating Margin, Return on Investment, Sales Growth, ISO 9001.
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pada era persaingan pasar global tuntutan konsumen atas mutu produk semakin bertambah. Era ini membuat perkembangan dunia usaha semakin pesat dan ketat, sehingga perusahaan-perusahaan dituntut untuk lebih kreatif dan kompetitif agar dapat memenangkan persaingan bisnisnya. Salah satu indikator keberhasilan perusahaan dalam memenangkan dan mempertahankan posisinya adalah dilihat dari kemampuannya dalam
401
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
menghasilkan produk yang bermutu. Mutu produk menjadi penting karena mutu merupakan hal yang paling diandalkan perusahaan untuk tetap memberikan yang terbaik bagi kepuasan konsumen. Dalam menghasilkan produk yang bermutu, perusahaan perlu menerapkan sistem manajemen mutu dalam organisasinya. Sistem manajemen mutu adalah sistem manajemen untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi dengan memperhatikan mutu (Sugiono, 2009). Sistem manajemen mutu mengintegrasikan semua elemen dalam perusahaan yang diperlukan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan. Penerapan sistem tersebut dapat meminimalkan produk yang tidak memenuhi persyaratan sehingga berdampak untuk mengurangi pekerjaan pengulangan (rework). Salah satu standar sistem manajemen mutu yang telah banyak diakui efektifitasnya adalah ISO 9001. Penerapan ISO 9001 memberikan banyak sekali nilai tambah bagi perusahaan yang menerapkannya, seperti peningkatan produktivitas, peningkatan efisiensi, penurunan biaya, peningkatan kepuasan pelanggan, dan lainlain (Nevizond Chatab, 1996 dalam Rifan F.A., 2008). Dengan adanya peningkatkan nilai tambah tersebut artinya akan terjadi peningkatan laba dalam jangka panjang sehingga akan meningkatkan profitabilitas perusahaan. United Tractors berdiri pada tanggal 13 Oktober 1972 sebagai distributor tunggal alat berat Komatsu di Indonesia. Pada tanggal 19 September 1989, Perusahaan mencatatkan saham perdana di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya dengan kode perdagangan UNTR, dimana PT Astra International menjadi pemegang saham mayoritas. Pada tahun 2002, PT. United Tractor, Tbk sudah tersertifikasi ISO 9001, hal ini membuktikan bahwa perusahaan sudah dapat memenuhi persyaratan-persyaratan sistem manajeman mutu yang berlaku secara internasional (www.unitedtractors.com). Penerapan sistem manajemen mutu diharapkan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah perusahaan. Oleh karana itu, berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul “Analisis Profitabilitas Sebelum dan Sesudah Sertifikasi ISO 9001 Pada PT. United Tractors, Tbk”. 1.2. Perumusan Masalah Penerapan ISO 9001 memberikan banyak sekali nilai tambah bagi perusahaan yang menerapkannya, seperti peningkatan produktivitas, peningkatan efisiensi, penurunan biaya, peningkatan kepuasan pelanggan, dan lain-lain (Nevizond Chatab, 1996 dalam Rifan F.A., 2008). Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, maka perumusan permasalahannya adalah Apakah terdapat perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk, yang diukur dengan rasio sales growth, gross profit margin, operating profit margin, net profit margin, dan return on investment. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk, yang diukur dengan rasio sales growth, gross profit margin, operating profit margin, net profit margin, dan return on investment. Dengan mengetahui hasil penelitian tersebut maka akan diketahui apakah penerapan ISO 9001 dalam PT. United Tractors, Tbk telah memberikan dampak yang positif terhadap profitabilitas perusahaan.
402
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
2. Tinjauan pustaka 2.1. Analisis Rasio Keuangan Baridwan (2000) dalam Dwi Indriya L. (2005) mendefinisikan laporan keuangan sebagai ringkasan dari suatu proses pencatatan, suatu ringkasan dari transaksi keuangan yang terjadi selama satu tahun buku bersangkutan. Laporan yang dibuat manajemen merupakan alat untuk mempertanggungjawabkan kepada pemilik perusahaan atas kepercayaan yang diberikan (Munawir, 1995 dalam Dwi Indriya L. 2005). Analisa laporan keuangan adalah suatu angka yang menunjukan hubungan antara suatu unsur lainnya dalam laporan keuangan (Djarwanto 1989 dalam Dwi Indriya L. 2005). Untuk menganalisis laporan keuangan perusahaan, diperlukan ukuran-ukuran tertentu. Ukuran yang sering digunakan adalah rasio. Rasio diperoleh dengan membandingkan satu pos atau elemen laporan keuangan dengan elemen yang lain dalam laporan keuangan tersebut (Paton dan Litleton, 1970 dalam Fauzan A., 2006). Analisis rasio keuangan merupakan salah satu teknik analisis dalam analisis laporan keuangan (Dwi Indriya L. 2005). Menurut James C. Van Home (Iskandar R.S.) “Analisis dan interprestasi dari macam-macam rasio dapat memberikan pandangan yang lebih baik tentang kondisi keuangan dan prestasi perusahaan bagi para analis yang ahli dan berpengalaman dibandingkan analisis yang hanya didasarkan atas data keuangan sendirisendiri yang tidak berbentuk ratio. Pada dasarnya analisis rasio bisa dikelompokkan ke dalam lima macam kategori, seperti rasio likuiditas, rasio aktivitas, rasio leverage, rasio profitabilitas, rasio pertumbuhan dan rasio penilaian (Erlina, 2002 dan Sartono 1999, dalam Toha M, 2007). 2.2. Rasio Profitabilitas Rasio-rasio profitabilitas digunakan berhubungan dengan penelitian terhadap kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba (M. Faisal, 2002, dalam Rifan F.A., 2008). Rasio profitabilitas yang berhubungan dengan penjualan perusahaan dapat diukur dengan cara gross profit margin, net profit margin, dan operating profit margin. Ukuran rasio profitabilitas yang berkaitan dengan investasi dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu dari pemilik modal dan dari manajemen yang mengelola sumber daya yang ada. Beberapa ukuran rasio yang secara luas digunakan dalam analisis laporan keuangan antara lain return on equity, earning per share dan return on investment. Besarnya profitabilitas tidak terlepas dengan besarnya penjualan sehingga perusahaan perlu untuk mengukur seberapa besar tingkat pertumbuhan penjualan (sales growth) dari waktu ke waktu (Rifan F.A., 2008). 2.3. Pengertian ISO 9001 ISO 9001 adalah suatu standar internasional untuk sistem manajemen kualitas. ISO 9001 menetapkan persyaratan-persyaratan dan rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu sistem manajemen kualitas, yang bertujuan untuk menjamin bahwa organisasi akan memberikan produk yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Persyaratan-persyaratan yang ditetapkan ini dapat merupakan kebutuhan spesifik dari pelanggan, dimana organisasi yang dikontrak itu bertanggung jawab untuk menjamin kualitas dari produk-produk tertentu, atau merupakan kebutuhan dari pasar tertentu, sebagaimana ditentukan oleh organisasi. ISO 9001 bukan merupakan standar produk, karena tidak menyatakan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh produk. ISO 9001 hanya merupakan standar sistem manajemen kualitas yang telah memenuhi standar internasional (Gaspersz V., 2002).
403
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISO 9001 hanya terdiri dari daftar persyaratan generik, tanpa menentukan bagaimana harus memenuhinya. Setiap perusahaan harus dapat menentukan bagaimana memenuhi setiap persyaratan dan bagaimana membuktikan bahwa semua persyaratan telah terpenuhi (Fandy T. dan Anastasia D.,2001, dalam Rifan F.A., 2008). Sertifikasi ISO 9001 mempunyai arti bahwa sistem mutu perusahaan telah di asses atau dinilai dan hasilnya telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang sesuai dengan standar persyaratan ISO 9001. Sertifikat ISO 9001 menghasilkan peningkatan kinerja operasi melalui pengurangan proses tindakan korektif dan penghapusan, meningkatkan profitabilitas, dan keunggulan pemasaran yang berasal dari pengakuan internasional dengan dimilikinya logo ISO 9001 (Simmon and White,1999 dalam Rifan F.A., 2008). 2.2.5. Hubungan Mutu, Profitabilitas, dan ISO 9001 Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu baik produk ataupun proses suatu perusahaan adalah dengan memperoleh sertifikat ISO 9001. Jika mutu yang dihasilkan perusahaan superior dan pangsa pasar yang dimiliki besar, maka profitabilitas perusahaan tersebut terjamin (Fandy T. dan Anastasia D.,2001, dalam Rifan F.A., 2008). Mutu juga dapat mengurangi biaya. Adanya pengurangan biaya ini pada gilirannya akan memberikan keunggulan kompetitif berupa peningkatan profitabilitas dan pertumbuhan. Dengan demikian, mutu yang dicapai melalui ISO 9001 mempunyai hubungan yang sangat erat dengan profitabilitas (Rifan F.A., 2008). 3. Metode penelitian 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan menggunakan teknik studi dokumentasi dalam memperoleh data. Data penelitian yang digunakan adalah laporan keuangan selama 6 tahun sebelum dan 7 tahun sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractor, Tbk. Sumber data penelitian ini hanya pada data sekunder. Dalam pengolahan data digunakan analisis statistik dengan bantuan program SPSS 16 dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. 3.2. Definisi dan Pengukuran Variabel. Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan sama dengan variabel penelitian dari Rifan F.A. (2008) antara lain sebagai berikut : 1.
Gross Profit Margin Gross profit margin merupakan ukuran presentase dari laba kotor/gross profit (penjualan – HPP) dibagi dengan penjualan (sales).
2.
Operating Profit Margin Operating profit margin merupakan ukuran presentase dari laba operasi (operating profit ) dibagi dengan penjualan (sales).
3.
Net Profit Margin Net profit margin merupakan presentase dari laba bersih (net profit after taxes) dibagi dengan penjualan (sales)
4.
Return on Investment Return on investment merupakan presentase laba bersih (net profit after taxes) dibagi dengan total assets.
5.
Sales Growth
404
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Sales growth merupakan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan penjualannya dari waktu ke waktu. Perhitungannya adalah presentase dari penjualan pada tahun n dikurangi penjualan tahun n-1 kemudian dibagi dengan penjualan pada tahun n-1. 3.3. Analisis data Dalam mencapai tujuan penelitian ini maka analisis yang digunakan analisis t-test dengan menggunakan independent sample t-test dengan bantuan program SPSS 16 (Ghozali, 2001 dalam Jundan, 2008). Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: 1.
Pengujian normalitas data Sebelum melakukan uji hipotesis tersebut, maka peneliti melakukan pengujian normalitas data yang bertujuan untuk menguji apakah data sampel yang diambil mempunyai sebaran distibusi normal atau tidak. Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Pengambilan keputusan didapat dari nilai signifikan uji Kolmogorov-Smirnov (p-value). Jika nilai Signifikan > α=0,05 maka distribusi data dinyatakan normal. Sebaliknya, jika nilai Signifikan < α=0,05 maka distribusi data dinyatakan tidak normal.
2.
Pengujian parametrik independent sample t-test Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001. Dalam menganalisis dengan pengujian parametrik independent sample t-test dilakukan dua tahapan yaitu : a.
Melihat levene test, merupakan pengujian apakah populasi kedua sampel tersebut memiliki varian sama atau berbeda. Apabila pada Levene's Test for Equality of Variances menunjukan F hitung lebih kecil dari F tabel atau nilai signifikan (probabilitas) lebih besar dari 0,5 maka Ho diterima atau menunjukan kedua varian adalah sama.
b.
Melihat t-test, merupakan pengujian apakah terdapat perbedaan profitabilitas pada sebelum dan sesudah sertifikasi ISO. Apabila hasil varian ke dua sampel sama, maka analisis yang digunakan adalah equal variance assumsed, maka tahap selanjutnya melihat t hitung dibandingkan dengan t tabel atau melihat signifikan (probabilitas), jika t hitung < t tabel atau signifikan (probabilitas) > 0.05 maka Ho diterima. Begitu juga sebaliknya, apabila hasil varian ke dua sampel berbeda, maka analisis yang digunakan adalah equal variance not assumsed, maka tahap selanjutnya melihat t hitung dibandingkan dengan t tabel atau melihat signifikan (probabilitas), jika t hitung < t tabel atau signifikan (probabilitas) > 0.05 maka Ho diterima.
4. Hasil dan pembahasan Analisis ststistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah independent sample t-test dengan level of significance (α) sebesar 5 persen. Dalam melakukan uji tersebut, data yang digunakan harus berdistribusi normal. Berdasarkan hasil One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test, maka seluruh data yang digunakan untuk ttest sudah berdistribusi normal. Data tersebut berdistribusi normal karena p-value pada setiap variabel menunjukan lebih besar dari 0,05, seperti yang ditunjukan pada tabel 1. 4.1. Pengujian hipotesis pertama Adapun rumusan Ho pertama pada penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk yang diukur dengan rasio sales growth. Tabel 1
405
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
menunjukan nilai signifikan pada levene test sebesar 0,382 yang artinya lebih besar dari level of significance sebesar 5 persen, maka t hitung dan probabilitas yang digunakan adalah dari equal variances assumed yaitu t hitung sebesar 0.160 dan probabilitas sebesar 0.872, yang artinya bahwa tidak terdapat perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk yang diukur melalui rasio sales growth atau artinya Ho pertama diterima. Hal ini terjadi karena probabilitasnya sebesar 0.872 lebih besar dari tingkat signifikan sebesar 0.05. Meskipun terjadi penurunan rata-rata sales growth sebesar 1,93 persen, dimana rata-rata sales growth sebelum sertifikasi ISO 9001 adalah 29,81 persen dan sesudah sertifikasi ISO 9001 adalah 27,88 persen. Akan tetapi penurunan tersebut tidak begitu jauh dengan dengan nilai rata-rata sebelum sertifikasi ISO 9001. Hal ini terjadi karena PT. United Tractors, Tbk pada saat sebelum sertifikasi ISO 9001 sudah mampu meningkatkan penjualannya dari tahun ke tahun dengan rata-rata sebesar 29,81% sehingga menunjukan bahwa sebelum sertifikasi ISO 9001 perusahaan sudah mampu continual improvement pada penjualannya dan saat sertifikasi ISO 9001, PT United Tractors, Tbk hanya dapat mempertahankan continual improvement pada penjualannya. Tabel 1. Nilai Rata-rata, Levene's Test, t-test, dan Kolmogorov Smirnov Test Keterangan
Sales Growth Gross Profit Margin Operating Profit Margin Net Profit Margin Return on Investment
Kolmogorov Smirnov Test
Nilai Rata-rata
Levene's Test
t-test
Sebelum Sertifikasi
Sesudah Sertifikasi
F
Sig.
T
Sig.
Sig.
29,81% 25,00% 17,10% -2,04% -0,89%
27,88% 18,17% 11,91% 7,73% 9,73%
0,847 3,883 4,458 9,718 3,985
0,382 0,074 0,058 0,010 0,071
0,160 2,301 1,826 -2,031 -2,719
0,876 0,042 0,095 0,093 0,020
0,851 0,306 0,515 0,277 0,574
4.2. Pengujian hipotesis kedua Adapun rumusan Ho kedua pada penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk yang diukur dengan rasio gross profit margin. Pada tabel 1 menunjukan nilai signifikan pada levene test sebesar 0,074 yang artinya lebih besar dari level of significance sebesar 5 persen, maka t hitung dan probabilitas yang digunakan adalah dari equal variances assumed yaitu t hitung sebesar 2.301 dan probabilitas sebesar 0.042, yang artinya bahwa terdapat perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah memperoleh sertifikat ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk yang diukur dengan rasio gross profit margin atau artinya Ho kedua ditolak. Hal ini terjadi karena probabilitasnya sebesar 0.042 lebih kecil dari tingkat signifikan sebesar 0.05. Perbedaan tersebut menunjukan bahwa terjadi penurunan pada rata-rata gross profit margin sebesar sebesar 6,83 persen, karena rata-rata gross profit margin sebelum sertifikasi ISO 9001 adalah 25,00 % dan sesudah sesudah sertifikasi ISO 9001 adalah 18,17 persen. Kemungkinan terjadinya penurunan pada rata-rata gross profit margin setelah sertifikasi ISO 9001 disebabkan oleh faktor penjualan dan/atau faktor harga pokok penjualan. Jika dilihat dari faktor penjualan, PT United Tractor selalu mengalami continual improvement pada penjualannya seperti dijelaskan pada hasil hipotesis pertama. Kemungkinan terbesar adalah dari faktor harga pokok penjualan, dimana pertumbuhan harga pokok penjualan semakin besar dibandingkan dengan pertumbuhan penjualannya, sehingga gross profit margin semakin kecil. Oleh kerena itu, perusahaan perlu menindaklanjuti kembali sistem manajemen mutu yang sudah diterapkan diperusahaannya.
406
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
4.3. Pengujian hipotesis ketiga Adapun rumusan Ho ketiga pada penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk yang diukur dengan rasio operating profit margin. Pada tabel 1 menunjukan nilai signifikan pada levene test sebesar 0,058 yang artinya lebih besar dari level of significance sebesar 5 persen, maka t hitung dan probabilitas yang digunakan adalah dari Equal variances assumed yaitu t hitung sebesar 1.826 dan probabilitas sebesar 0.095, yang artinya bahwa tidak terdapat perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk yang diukur dengan rasio operating profit margin atau artinya Ho ketiga diterima. Hal ini terjadi karena probabilitasnya sebesar 0.095 lebih besar dari tingkat signifikan sebesar 0.05. Hasil tersebut menunjukan bahwa sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractor, Tbk belum mampu memberikan peningkatan secara signifikan pada nilai operating profit margin. Jika dilihat dari rata-rata pperating profit margin sebelum sertifikasi ISO 9001 adalah 17,10 persen dan sesudah sertifikasi ISO 9001 adalah 11,91 persen, sehingga terjadi penurunan yang sebesar 5,91 persen. Meskipun demikian, penurunan tersebut belum menunjukan perbedaan pada operating profit margin. Akan tetapi, perusahaan juga perlu menindaklanjuti kembali sistem manajemem mutu yang sudah diterapkan diperusahaannya, terutama dalam penekanan biaya-biaya operasionalnya. 4.4. Pengujian hipotesis keempat Adapun rumusan Ho keempat pada penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk yang diukur dengan rasio net profit margin. Pada tabel 1 menunjukan nilai signifikan pada levene test sebesar 0,010 yang artinya lebih kecil dari level of significance sebesar 5 persen, maka t hitung dan probabilitas yang digunakan adalah dari equal variances not assumed yaitu t hitung sebesar -2.031 dan probabilitas sebesar 0.093, yang artinya bahwa terdapat perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah memperoleh sertifikat ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk yang diukur dengan dengan rasio net profit margin atau artinya Ho keempat diterima. Hal ini terjadi karena probabilitasnya sebesar 0.093 lebih besar dari tingkat signifikan sebesar 0.05. Hasil tersebut menunjukan bahwa sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractor, Tbk belum mampu memberikan peningkatan secara signifikan pada nilai net profit margin. Jika dilihat dari rata-rata net profit margin sebelum sertifikasi ISO 9001 adalah -2,04 persen dan sesudah sesudah sertifikasi ISO 9001 adalah 7,73 persen, meskipun saat sesudah sertifikasi ISO 9001 terjadi peningkatan yang begitu besar yaitu sebesar 9,77 persen. Akan tetapi, dari hasil t-test menganggap tidak ada perbedaan sebelum dan sesudah memperoleh sertifikat ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk. Meskipun terjadi peningkatan rata-rata net profit margin sesudah sertifikasi ISO 9001. Akan tetapi, perusahaan perlu meningkatkan net profit margin untuk periode selanjutnya. 4.5. Pengujian hipotesis kelima Adapun rumusan Ho kelima pada penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk yang diukur dengan return on investment. Pada tabel 1 menunjukan nilai signifikan pada levene test sebesar 0,071 yang artinya lebih besar dari level of significance sebesar 5 persen, maka t hitung dan probabilitas yang digunakan adalah dari equal variances assumed yaitu t hitung sebesar -2.719 dan probabilitas sebesar 0.020, yang artinya bahwa terdapat perbedaan profitabilitas sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk yang diukur dengan rasio return on
407
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
investment atau artinya Ho kelima diterima. Hal ini terjadi karena probabilitasnya sebesar 0.020 lebih kecil dari tingkat signifikan sebesar 0.05. Hasil tersebut menunjukan bahwa sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractor, Tbk mampu memberikan peningkatan secara signifikan pada nilai return on investment. Jika dilihat dari rata-rata return on investment sebelum sertifikasi ISO 9001 adalah -0,89 persen dan sesudah sesudah sertifikasi ISO 9001 adalah 9,73 persen, sehingga pada saat sesudah sertifikasi ISO 9001 terjadi peningkatan yang begitu besar yaitu sebesar 9,77 persen. Hal ini menunjukan bahwa setelah sertifikasi ISO 9001, kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba lebih besar dibandingkan dengan sebelum sertifikasi ISO 9001, sehingga penerapan ISO 9001 memberikan dampak positif pada perusahaannya jika dianalisis dengan return on investment. 5. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan profitabilitas antara sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001, yang diukur dengan rasio sales growth, operating profit margin, dan net profit margin. Terdapat perbedaan profitabilitas antara sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001, yang diukur dengan rasio gross profit margin. Perbedaan tersebut menunjukan bahwa sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk, rata-rata gross profit margin perusahaan mengalami penurunan. Akan tetapi, jika profitabilitas PT. United Tractor, Tbk diukur dengan return on investment maka terdapat perbedaan profitabilitas antara sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001. Perbedaan tersebut menunjukan bahwa telah terjadi peningkatan return on investment setelah PT. United Tractors, Tbk melakukan sertifikasi ISO 9001. Hasil penelitian ini hanya menunjukan terdapat atau tidak terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah sertifikasi ISO 9001 pada PT. United Tractors, Tbk, yang diukur dengan rasio gross profit margin, operating profit margin, net profit margin, return on investment, dan sales growth, sehingga hasil penelitian ini belum mampu menunjukan lebih jelas dari sisi mana perbedaan atau persamaan itu terjadi atau belum mampu menunjukan dengan jelas sebab akibat dari perbedaan atau persamaan tersebut. Maka untuk mengetahui lebih mendalam hasil dari penelitian ini perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengetahui sebab akibat dari perbedaan atau persamaan tersebut. 6. Daftar pustaka Dwi I.L., 2005, Analisis Laporan Keuangan Pada Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Kudus, http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/ HASHe08d.dir/ doc.pdf Fauzan A., 2006, Analisa Pengaruh Penilaian Kinerja Terhadap Rate Of Return Pada Perusahaan Yang Tergabung Dalam LQ 45, http://rac.uii.ac.id/server/document/ Private/ 2008043001455901312063.pdf Gaspersz V., 2002, ISO 9000:2000 And Continual Quality Improvement, Jakarta : Gramedia Iskandar R.S., Analisis Rasio Keuangan, http://ridwaniskandar.files.wordpress.com/ 2009/05/231-analisa-rasiokeuangan.pdf Jundan, 2008, Efektifitas Penggunaan Multimedia Dalam Pembelajaran Sirah Nabawiyah (Studi Eksperimen di Madrasah Aliyah Tahfizhul Qur’an Program Takhassus Ma’had Isy Karima Gerdu Karangpandan Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2007/2008), http://etd.eprints.ums.ac.id/3548/1/G000060015.pdf
408
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Rifan F.A.,2008, Analisis Profitabilitas Sebelum Dan Sesudah Memperoleh Sertifikat ISO 9000 Pada Perusahaan
Manufaktur
Yang
Terdaftar
di
Bursa
Efek
Jakarta,
http://rac.uii.ac.id/
server
/document/Private/2008090510134004312125.pdf Sugiono, 2009, Buku Saku Untuk Mempermudah Pengertian Terhadap ISO 9000:2005 sistem manajemen mutu – dasar-dasar dan kosakata, Jakarta Toha M.,2007, Analisis Kinerja Keuangan PT. Indosat, Tbk, http://pustaka.ut.ac.id/puslata /pdf/ 40176.pdf www.unitedtractors.com
409
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ANALISA TINGKAT KEPUASAN PELANGGAN TERHADAP JASA PELATIHAN PUSLIT SMTPLIPI BERBASIS IMPORTANCE PERFORMANCE ANALYSIS (IPA) Darmawan Baginda Napitupulu Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian-LIPI Gedung 410 Puspiptek [emailprotected] ABSTRAK Tujuan dari penerapan sistem manajemen mutu adalah mencapai kepuasan pelanggan. Fokus pada pelanggan adalah hal yang sangat penting bagi organisasi. Kurangnya fokus pada pelanggan dapat menyebabkan perusahaan mengalami kerugian bahkan kehancuran karena ditinggalkan oleh pelanggannya. Begitu pentingnya kepuasan pelanggan ini hingga ISO (International Organization for Standardization) mengadopsi hal tersebut ke dalam sistem manajemen mutu ISO 9001. Dengan demikian pengukuran kepuasan pelanggan menjadi sangat krusial. Setiap organisasi perlu mengetahui dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan persepsi dan harapan pelanggan terhadap produk atau jasa yang digunakan sehingga dapat diidentifikasi apakah produk tersebut memenuhi atau sesuai dengan persyaratan/permintaan pelanggan. Dalam salah satu klausul ISO 9001 yang berkenaan dengan kepuasan pelanggan yaitu klausul 8.2.1 kepuasan pelanggan, perlu ditentukan suatu metode untuk mengukur kepuasan pelanggan. Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian (SMTP-LIPI) selain melakukan penelitian, juga menawarkan produk berupa jasa pelatihan kepada pelanggan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Untuk mengukur kepuasan pelanggan terhadap berbagai faktor yang berkaitan dengan jasa diklat yang ditawarkan, digunakan metode survei kepuasan pelanggan dengan alat bantu kuesioner. Pada penelitian ini, dilakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan analisa tingkat kepuasan pelanggan berdasarkan kuesioner kepuasan pelanggan dengan metode Importance Performance Analysis (IPA). Kuesioner yang digunakan menyangkut penyelenggaraan diklat secara keseluruhan yang berisi faktor-faktor seperti kesesuaian materi dengan kebutuhan, ketepatan waktu, kapasitas ruang diklat, dll. Dengan metode IPA dapat diketahui hubungan antara persepsi (kinerja) yang dirasakan oleh pelanggan dan harapannya terhadap produk yang digunakan sehingga dapat memudahkan usulan perbaikan kinerja bagi organisasi. Dari hasil analisa diperoleh bahwa faktor yang dianggap penting oleh responden namun belum memuaskan sehingga menjadi prioritas peningkatan kualitas adalah faktor fasilitas yang meliputi materi, alat tulis dan kelengkapan diklat lainnya. Sedangkan beberapa faktor yang menurut responden penting dan telah memuaskan sehingga perlu dipertahankan yaitu kesesuaian materi dengan kebutuhan, ketenangan ruangan diklat, kapasitas ruangan diklat, kelengkapan ruangan diklat, kenyamanan ruangan diklat serta kemudahan mendapat informasi sebelum dan selama kegiatan berlangsung. Faktor-faktor tersebut menjadi masukan bagi manajemen untuk melakukan perbaikan berkelanjutan (continual improvement). Kata Kunci : Sistem Manajemen Mutu, Kepuasan Pelanggan, IPA, Kuesioner, Pelatihan
1.
Pendahuluan
Di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat, setiap organisasi harus mengutamakan kepuasan pelanggan diatas segalanya. Tren menunjukkan bahwa segala kegiatan yang dilakukan organisasi pada saat ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan atau persyaratan pelanggan agar pelanggan menjadi puas. Dengan demikian fokus pada pelanggan menjadi hal yang sangat penting. Kurangnya fokus pada pelanggan dapat menyebabkan perusahaan mengalami kerugian bahkan kehancuran karena ditinggalkan oleh pelanggannya. Terlebih di era globalisasi ini, pelanggan mempunyai banyak pilihan dalam menggunakan suatu produk atau layanan sehingga pelanggan dapat mudah berpindah kepada pesaing atau perusahaan lainnya (Adhi Maryadi dkk 2009). Apa yang terjadi jika pelanggan tidak puas? Hasil studi di Amerika menunjukkan bahwa (Lea, 2007): •
90 % Pelanggan yang tidak puas tidak akan membeli lagi produk
•
Setiap pelanggan yang tidak puas akan menceritakan kepada paling sedikit 9 orang lain
410
ISSN 977.2086796.00.2
•
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Waktu usaha, tenaga dan uang yang diperlukan untuk menarik seseorang pelanggan baru 5 kali lebih banyak daripada untuk mempertahankan seorang pelanggan lama
•
Setiap pelanggan yang puas akan menceritakannya kepada paling sedikit 5 orang lainnya, yang sebagian diantaranya dapat menjadi pelanggan tetap.
Selain itu hasil penelitian dari National Productivity Board dari Singapura menunjukkan bahwa : •
77 % responden menyatakan tidak akan kembali jika mendapatkan pelayanan yang buruk di restoran, pusat perbelanjaan atau “service counter”
•
55 % responden menyatakan akan memberitahukan kepada teman mereka agar tidak belanja atau pergi ke tempat tersebut.
Hasil riset pada tahun 2004 pada industri otomotif dapat dibuktikan bahwa perusahaan yang berhasil meningkatkan kepuasan pelanggan dalam jangka waktu lima tahun mengalami kenaikan nilai bagi pemegang sahamnya sebesar ± 52%. Sebaliknya, perusahaan yang mengalami penurunan nilai kepuasan pelanggannya, pemegang sahamnya juga mengalami penurunan nilai sebesar ± 28% (Swa Online, 2009). Dari beberapa hasil riset di atas menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan adalah hal yang tak terbantahkan lagi bagi suatu perusahaan. Begitu pentingnya kepuasan pelanggan ini hingga ISO (International Organization for Standarization) mengadopsi hal tersebut ke dalam standar sistem manajemen mutu ISO 9001. Klausul dalam standar ISO 9001 yang berkenaan dengan kepuasan pelanggan terdapat pada klausul 5.2 fokus pada pelanggan ; 7.2 proses yang berkaitan dengan pelanggan serta 8.2.1 kepuasan pelanggan. Klausul pada ISO 9001 tersebut memerlukan aplikasi lebih lanjut sehingga pelanggan bisa terpuaskan dari produk yang dihasilkan. Singkat kata, what gets measured gets managed. Apa yang mau dikelola harus diukur terlebih dahulu. Dengan demikian pengukuran kepuasan pelanggan menjadi sangat krusial. Setiap organisasi perlu mengetahui dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa yang ditawarkan sehingga dapat diidentifikasi apakah produk tersebut dapat memenuhi atau sesuai dengan persyaratan/permintaan pelanggan. Puslit SMTP-LIPI dalam menawarkan produk dalam hal ini jasa pelatihan kepada pelanggan, senantiasa melakukan pengukuran terhadap kepuasan pelanggan. Survei kepuasan pelanggan menggunakan alat bantu kuesioner yang disebarkan kepada para peserta pada waktu pelatihan berlangsung. Pada penelitian ini, dilakukan analisa tingkat kepuasan pelanggan berdasarkan kuesioner kepuasan pelanggan terhadap jasa pelatihan yang ditawarkan berbasis metode Importance Performance Analysis (IPA). Dengan menggunakan metode IPA dapat diketahui tingkat kepuasan pelanggan yaitu hubungan antara tingkat kepentingan atau harapan pelanggan dan persepsi pelanggan yang berkaitan dengan faktor atau atribut dari produk yang ditawarkan. Dengan metode IPA ini dapat ditunjukkan pula faktor-faktor apa yang menjadi prioritas peningkatan kualitas suatu produk dalam hal ini jasa pelatihan. 2.
Landasan teori
2.1 Definisi Kepuasan Pelanggan Kepuasan pelanggan bukanlah konsep yang baru. Awal abad 20, sudah banyak praktisi bisnis di seluruh dunia memahami bahwa kepuasan pelanggan adalah hal yang sangat penting bagi suatu organisasi. Neiman-
411
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Marcus, misalnya, seorang pelaku bisnis dalam dunia ritel yang namanya masih sangat popular dalam indutri ritel modern, mengingatkan kepada seluruh anak buahnya “sell satisfaction not just merchandise.” Berbagai studi riset menyatakan bahwa sekitar 90% top manajemen di Indonesia percaya bahwa kepuasan pelanggan adalah hal yang sangat penting. Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia seperti, Telkom, Garuda Indonesia, Askes, PLN, Pos Indonesia, Pelni, Jasindo, dan BUMN yang lain sudah melakukan berbagai program untuk meningkatkan kepuasan pelanggan (Jasamarga award, 2009). Namun konsep kepuasan pelanggan sebenarnya masih bersifat abstrak. Pencapaian kepuasan pelanggan dapat merupakan proses yang sederhana maupun kompleks dan rumit. Untuk dapat mengetahui kepuasan pelanggan, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kepuasan pelanggan dan sebab-sebab kepuasan pelanggan. Banyak pakar yang memberikan definisi mengenai kepuasan pelanggan. Day (dalam Tse dan Wilton, 1988) menyatakan bahwa kepuasan/ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian (disconfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Wilkie (1990) mendefinisikan sebagai suatu tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi suatu produk atau jasa. Engel, dkk. (1996) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purnabeli di mana alternatif yang dipilih sekurangkurangnya sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil (outcome) yang diperoleh tidak memenuhi harapan. Sedangkan pakar pemasaran Kotler (1994) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pengertian kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Pengertian ini didasarkan pada disconfirmation paradigm dari Oliver (dalam Engel, et al., 1990; Pawitra, 1993). Ada kesamaan diantara beberapa definisi di atas, yaitu menyangkut komponen kepuasan pelanggan (harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan). Umumnya harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya bila ia membeli atau mengkonsumsi suatu produk. Sedangkan kinerja yang dirasakan adalah persepsi pelanggan terhadap apa yang ia terima setelah mengkonsumsi produk yang dibeli. Dalam kaitannya dengan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan, bahwa sebab-sebab ketidakpuasan pelanggan adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang relatif dapat dikendalikan perusahaan, misalnya karyawan yang kasar, jam karet, kesalahan pencatatan transaksi. Sebaliknya, faktor eksternal yang di luar kendali perusahaan, seperti cuaca, gangguan pada infrastruktur umum, aktivitas kriminal, dan masalah pribadi pelanggan. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam hal terjadi ketidakpuasan, ada beberapa kemungkinan yang bisa dilakukan pelanggan, yaitu tidak melakukan apa-apa, pelanggan yang tidak puas tidak melakukan komplain, tetapi mereka praktis tidak akan membeli atau menggunakan jasa perusahaan yang bersangkutan lagi. Sedangkan beberapa faktor yang mempengaruhi apakah seorang pelanggan yang tidak puas akan melakukan komplain atau tidak, yaitu derajat kepentingan konsumsi yang dilakukan, tingkat ketidakpuasan pelanggan, manfaat yang diperoleh, pengetahuan dan pengalaman, sikap
412
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
pelanggan terhadap keluhan, tingkat kesulitan dalam mendapatkan ganti rugi dan peluang keberhasilan dalam melakukan komplain. 2.2 Importance Performance Analysis (IPA) Metode Importance Performance Analysis (IPA) pertama kali diperkenalkan oleh Martilla dan James (1977) dengan tujuan untuk mengukur hubungan antara persepsi konsumen dan prioritas peningkatan kualitas produk/jasa yang dikenal pula sebagai quadrant analysis (Brandt, 2000 dan Latu & Everett, 2000). IPA telah diterima secara umum dan dipergunakan pada berbagai bidang kajian karena kemudahan untuk diterapkan dan tampilan hasil analisa yang memudahkan usulan perbaikan kinerja (Martinez, 2003). IPA mempunyai fungsi utama untuk menampilkan informasi berkaitan dengan faktor-faktor pelayanan yang menurut konsumen sangat mempengaruhi kepuasan dan loyalitas mereka, dan faktor-faktor pelayanan yang menurut konsumen perlu ditingkatkan karena kondisi saat ini belum memuaskan. IPA menggabungkan pengukuran faktor tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan dalam grafik dua dimensi yang memudahkan penjelasan data dan mendapatkan usulan praktis.
Prioritas
Tingkatkan Kinerja
Rendah
Prioritas Rendah Rendah
Pertahankan Kinerja
4
1
3
2
Rata-rata
Tinggi
Rata-rata
Cenderung Berlebihan
Tingkat Kepuasan
Tinggi
Gambar 1. Pembagian Kuadran Importance Performance Analysis Interpretasi grafik IPA sangat mudah, dimana grafik IPA dibagi menjadi empat buah kuadran berdasarkan hasil pengukuran importance-performance sebagaimana terlihat pada Gambar 1 di atas. Berikut penjelasan untuk masing-masing kuadran (Brandt, 2000): •
Kuadran Pertama, “Pertahankan Kinerja” (high importance & high performance) Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini dianggap sebagai faktor penunjang bagi kepuasan konsumen sehingga pihak manajemen berkewajiban memastikan bahwa kinerja institusi yang dikelolanya dapat terus mempertahankan prestasi yang telah dicapai.
•
Kuadran Kedua, “Cenderung Berlebihan” (low importance & high performance) Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini dianggap tidak terlalu penting sehingga pihak manajemen perlu mengalokasikan sumber daya yang terkait dengan faktor-faktor tersebut kepada faktor-faktor lain yang mempunyai prioritas penanganan lebih tinggi yang masih membutuhkan peningkatan, semisal dikuadran keempat.
•
Kuadran Ketiga, “Prioritas Rendah” (low importance & low performance)
413
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini mempunyai tingkat kepuasan yang rendah dan sekaligus dianggap tidak terlalu penting bagi konsumen, sehingga pihak manajemen tidak perlu memprioritaskan atau terlalu memberikan perhatian pada faktor –faktor tersebut. •
Kuadran Keempat, “Tingkatkan Kinerja” (high importance & low performance) Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini dianggap sebagai faktor yang sangat penting oleh konsumen namun kondisi pada saat ini belum memuaskan sehingga pihak manajemen berkewajiban mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk meningkatkan kinerja berbagai faktor tersebut. Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini merupakan prioritas untuk ditingkatkan.
Ada dua macam metode untuk menampilkan data IPA (Martinez, 2003) yaitu: pertama menempatkan garis perpotongan kuadran pada nilai rata-rata pada sumbu tingkat kepuasan dan sumbu prioritas penangganan dengan tujuan untuk mengetahui secara umum penyebaran data terletak pada kuadran berapa, kedua menempatkan garis perpotongan kuadran pada nilai rata-rata hasil pengamatan pada sumbu tingkat kepuasan dan sumbu prioritas penangganan dengan tujuan untuk mengetahui secara spesifik masing-masing faktor terletak pada kuadran berapa. Metode yang kedua lebih banyak dipergunakan oleh para peneliti. 3.
Metolodogi Untuk mengukur kepuasan pelanggan terhadap berbagai faktor yang berkaitan dengan jasa pelatihan
digunakan kuesioner dengan format pertanyaan disesuaikan dengan metode Importance Performance Analysis (IPA). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner kepada seluruh peserta pelatihan yang berjumlah 16 responden dimana pelatihan yang diselenggarakan adalah pelatihan pengelolaan laboratorium pengujian/kalibrasi berdasarkan ISO 17025 : 2005. Ada 14 faktor dalam kuesioner yang diberikan penilaian yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelatihan seperti kesesuaian materi dengan kebutuhan, ketepatan waktu penyajian, kapasitas ruangan diklat, kenyamanan ruangan diklat hingga fasilitas berupa materi, alat tulis dan kelengkapan diklat lainnya. Data yang telah dikumpulkan lalu diolah dengan menghitung rata-rata tingkat kepentingan/harapan dan tingkat kepuasan pelanggan. Hasil pengolahan data akan dianalisa dengan metode IPA untuk menunjukkan faktor-faktor pelayanan atau kinerja yang menurut konsumen perlu ditingkatkan karena kondisi saat ini belum memuaskan, faktor-faktor atau kinerja yang perlu dipertahankan, faktor-faktor yang cenderung berlebihan dilakukan serta faktor-faktor pelayanan yang memiliki prioritas rendah (non prioritas). Hubungan antara prioritas penanganan dan kepuasan pelanggan disajikan dalam bentuk diagram kartesius IPA untuk memudahkan penggambaran. 4.
Hasil penelitian dan pembahasan Dari hasil pengolahan data kuesioner, diperoleh nilai rerata tingkat kepuasan maupun penanganan prioritas
untuk setiap faktor yang berkaitan dengan jasa pelatihan adalah sebagai berikut : Tabel 1. Rata-rata Tingkat Kepuasan dan Prioritas Penanganan Untuk Berbagai Faktor Rata-rata No
Faktor
Tingkat
Prioritas
Kepuasan
Penanganan
414
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
1.
Kesesuaian materi dengan kebutuhan
3.69
4.19
2.
Ketepatan waktu penyajian
3.44
3.88
3.
Kelengkapan alat bantu diklat
3.31
3.93
4.
Ketenangan ruangan diklat
3.88
4.06
5.
Kapasitas ruangan diklat
3.69
4.19
6.
Kelengkapan ruangan diklat
3.50
4.00
7.
Kenyamanan ruangan diklat
3.56
4.06
8.
Ketepatan waktu penyajian konsumsi
3.44
3.75
9.
Variasi makanan/snack
3.50
3.75
10.
Pelayanan penyajian
3.38
3.81
11.
Kemudahan mendapat informasi sebelum dan selama
3.56
4.06
3.13
3.63
3.56
3.88
Fasilitas (materi, alat tulis, dan kelengkapan diklat lainnya)
3.31
4.00
Rata-rata Keseluruhan
3.49
3.94
kegiatan berlangsung 12.
Penanganan peserta pada saat kedatangan di tempat kegiatan
13.
Penanganan peserta selama pemberian materi di tempat kegiatan
14.
Hasil perhitungan pada Tabel 1 selanjutnya ditampilkan berupa dua macam grafik IPA. Grafik yang pertama mempergunakan nilai rata-rata pada skala pengukuran tingkat kepuasan dan prioritas penanganan
Prioritas Penanganan
sebagai garis pemisah antar kuadran seperti terlihat pada gambar 2 di bawah ini : 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
Tingkat Kepuasan Gambar 2. Pembagian Kuadran Importance Performance Analyis Berdasarkan Nilai Rata-rata Pada Skala Pengukuran Tingkat Kepuasan dan Prioritas Penanganan Pada Gambar 2 di atas terlihat secara umum responden menyatakan bahwa 14 faktor berkaitan dengan jasa pelatihan berada pada Kuadran 1 (Pertahankan Kinerja) atau secara umum dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan pada saat ini sudah sesuai dengan keinginan konsumen.
415
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Namun jika ingin dilakukan kajian lebih mendetail mengenai pengelompokan faktor-faktor apa saja yang sesungguhnya masih perlu ditingkatkan atau tidak perlu terlalu mendapatkan perhatian, maka dipergunakan grafik IPA yang mempergunakan nilai rata-rata hasil pengukuran tingkat kepuasan dan prioritas penanganan sebagai garis pemisah antar kuadran yang disajikan pada Gambar 3 di bawah ini :
4.30
Prioritas Penanganan
4.20
1;5
4.10
4
7;11
4.00
14
3.90
3
3.80
6 13
2 10
3.70
8
3.60
9
12
3.50 3.00
3.20
3.40
3.60
3.80
4.00
Tingkat Kepuasan Gambar 3. Pembagian Kuadran Importance Performance Analyis Berdasarkan Nilai Rata-rata Hasil Pengukuran Tingkat Kepuasan dan Prioritas Penanganan Berdasarkan grafik IPA pada gambar 3 di atas maka faktor-faktor yang berkaitan dengan jasa diklat Puslit SMTP-LIPI dapat dikelompokkan dalam masing-masing kuadran sebagai berikut : Kuadran 1 : Pertahankan Kinerja •
Kesesuaian materi dengan kebutuhan
•
Ketenangan ruangan diklat
•
Kapasitas ruangan diklat
•
Kelengkapan ruangan diklat
•
Kenyamanan ruangan diklat
•
Kemudahan mendapat informasi sebelum dan selama kegiatan berlangsung
Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini dianggap sebagai faktor penunjang bagi kepuasan konsumen sehingga pihak manajemen berkewajiban memastikan bahwa kinerja institusi yang dikelolanya dapat terus mempertahankan prestasi yang telah dicapai. Kesesuaian materi, ruangan diklat dan kemudahan mendapat informasi adalah faktor-faktor yang dianggap penting oleh pelanggan. Faktor-faktor tersebut berhasil diidentifikasi oleh pihak manajemen dan dianggap sudah memuaskan pelanggan. Kuadran 2 : Cenderung Berlebihan •
Variasi makanan/snack
•
Penanganan peserta selama pemberian materi di tempat kegiatan
416
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini dianggap sudah memuaskan namun tidak terlalu penting oleh pelanggan sehingga manajemen tidak perlu terlalu banyak mengalokasikan sumber daya yang terkait dengan faktor-faktor tersebut tetapi sebaliknya dapat mengalokasikan sumber daya tersebut kepada faktor-faktor lain yang mempunyai prioritas penanganan lebih tinggi yang masih membutuhkan peningkatan. Kuadran 3 : Prioritas Rendah •
Ketepatan waktu penyajian materi
•
Kelengkapan alat bantu diklat
•
Ketepatan waktu penyajian konsumsi
•
Pelayanan penyajian
•
Penanganan peserta pada saat kedatangan di tempat kegiatan
Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini mempunyai tingkat kepuasan yang rendah namun sekaligus dianggap tidak terlalu penting bagi pelanggan, sehingga pihak manajemen tidak perlu memprioritaskan atau terlalu memberikan perhatian pada faktor–faktor tersebut; cukup sekedar mempertahankan dan menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Kuadran 4 : Tingkatkan Kinerja •
Fasilitas (materi, alat tulis dan kelengkapan diklat lainnya)
Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini dianggap sebagai faktor yang sangat penting namun kondisi pada saat ini belum memuaskan bagi pelanggan dalam hal ini pengguna jasa pelatihan Puslit SMTP-LIPI sehingga pihak manajemen harus mengupayakan sumber daya yang memadai untuk meningkatkan kinerja pada berbagai faktor tersebut. Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini merupakan prioritas untuk ditingkatkan agar minat pelanggan terhadap jasa diklat dapat terus dipertahankan. V. Kesimpulan Secara umum dari grafik nilai rata-rata pada skala pengukuran tingkat kepuasan dan prioritas penanganan (gambar 2) dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan jasa pelatihan pada saat ini sudah sesuai dengan keinginan pelanggan karena 14 faktor yang dinilai berkaitan dengan jasa pelatihan berada pada Kuadran 1 (pertahankan Kinerja). Namun setelah dilakukan kajian lebih mendalam mengenai pengelompokan faktor-faktor apa saja yang sesungguhnya masih perlu ditingkatkan atau tidak perlu terlalu mendapatkan perhatian, maka dari grafik nilai rata-rata hasil pengukuran tingkat kepuasan dan prioritas penanganan sebagai garis pemisah antar kuadran (gambar 3) menunjukkan adanya faktor yang perlu ditingkatkan atau menjadi prioritas peningkatan bagi manajemen yaitu faktor yang berhubungan dengan fasilitas yang meliputi materi, alat tulis dan kelengkapan diklat lainnya. Selain itu faktor-faktor yang dianggap sebagai low priority (prioritas rendah) adalah ketepatan waktu penyajian materi, kelengkapan alat bantu diklat, ketepatan waktu penyajian konsumsi, pelayanan
417
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
penyajian konsumsi dan penanganan peserta pada saat kedatangan di tempat kegiatan. Faktor-faktor tersebut menjadi masukan bagi manajemen untuk melakukan perbaikan berkelanjutan (continual improvement). VI. DAFTAR PUSTAKA Brandt, D.R., 2000, “An “Outside-In” Approiach to Determining Customer-Driven Priorities for Improvement and Innovation”, White Paper Series, Volume 2 – 2000. Latu, T.M., & Everett, A.M., 2000, Review of Satisfaction Research and Measurement Approaches, Departement of Conservation, Wellington, New Zealand. Martinez, C.L., 2003, Evaluation Report: Tools Cluster Networking Meeting #1, CenterPoint Institute, Inc., Arizona. Adhi Maryadhi. & Darmawan N (2009) ‘Pembuatan Sistem Manajemen Hubungan Pelanggan (System Development Customer Relationship Management)’, Annual Meeting on Testing and Quality 2009. Magal, Simha R. dan Levenburg, Nancy M. (2005) ‘Using importance-performance analysis to evaluate ebusiness strategies among small businesses’, Proceedings of the 38th Hawaii International Conference on System Science. Wade, Derek J. dan Eagles, Paul F.J. (2003) ‘The use of importance-performance analysis and market segmentation for tourism management in parks and protected areas: an application to Tanzania’s National Parks’, Journal of Ecotourism, Vol. 2 No. 3, pp. 196 – 212. Yavas, Ugur dan Shemwell, Donald J. (2001) ‘Modified importance-performance analysis: an application to hospitals’, International Journal of Health Care Quality Assurance, Vol. 14 No. 3, pp. 104 – 110. Lewis, Roger (2004) ‘Importance-performance analysis’, Australasian Journal of Engineering 4Education, http://www.aaee.com.au/journal/2004/lewis04.pdf. Lea. (2007) ‘Kepuasan Pelanggan Sepenuhnya (Total Customer Satisfaction)’. Swa Online. (2009) ‘Menyimak Kepuasan Pelanggan di Mancanegara.’ Jasamarga award. (2009) ‘ Kepuasan Pelanggan’.
418
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
RANCANGAN SASARAN MUTU SEBUAH LEMBAGA SERTIFIKASI PERSONEL BERBASIS BALANCE SCORE CARD Sik Sumaedi1 , Medi Yarmen2 Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian – LIPI, Kawasan Puspiptek Gedung 410, Serpong, Tangerang 15311,2 E-mail : [emailprotected] 1, [emailprotected] 2 Abstrak ISO/IEC 17024:2003 mengarahkan Lembaga Sertifikasi Personel untuk mengadopsi sistem manajemen terdokumentasi mengacu pada ISO 9001:2008. Lembaga Sertifikasi Personel yang menerapkan sistem dokumentasi berbasis ISO 9001 disyaratkan memiliki sasaran mutu. Sasaran mutu diharapkan sesuai dengan indicator kinerja lembaga sertifikasi personel sehingga saat sasaran mutu tercapai maka kinerja lembaga juga sesuai harapan. Permasalahannya sasaran mutu dalam ISO 9001 dijelaskan secara umum. Hal ini membuat Lembaga Sertifikasi Personel harus mengidentifikasi kerangka yang sesuai dengan sasaran mutunya. Balance Score Card, sebuah kerangka manajemen pengukuran kinerja strategis yang membagi indikator-indikator sasaran menjadi 4 perspektif (finansial, customer, proses internal, pertumbuhan dan Pembelajaran) yang telah terbukti efektifitasnya, dapat menjadi solusi atas permasalahan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan kerangka manajemen pengukuran kinerja Balance Score Card pada sasaran mutu lembaga sertifikasi personel. Metode penelitian bersifat studi kasus pada sebuah Lembaga Sertifikasi Personel Auditor Sistem Manajemen Mutu yang telah menerapkan system manajemen terdokumentasi berbasis ISO 9001. Hasil penelitian menunjukkan rancangan sasaran mutu berbasis Balance Score Card dengan 12 indikator sasaran mutu yang terdiri atas 1 indikator perspektif keuangan, 5 indikator perspektif pelanggan, 3 perspektif proses internal, dan 3 perspektif pembelajaran & pertumbuhan. Selain itu, di dalam makalah juga diperlihatkan analisa nature business lembaga sertifikasi personil dan peta strategi lembaga sertifikasi personel. Kata Kunci: ISO 9001, Sasaran Mutu, Balance Score Card, Lembaga Sertifikasi Personel Abstract ISO/IEC 17024:2003 directs Bodies Operating Certification of Person to adopt documented quality management system according to ISO 9001:2008. Bodies Operating Certification of Person that implement ISO 9001 documentation system should have quality objective. Quality objective is wished to be appropriated with institution performance indicators. Therefore, when quality objective is achieved, the institution performance is also good. The problem is quality objective in ISO 9001 is generally explained. This condition pushes Bodies Operating Certification of Person to identify the appropriate quality objective framework. Balance Score Card, a strategic performance measurement management framework that consist of 4 perspectives (financial, customer, internal process, learning and growth) that effectively proven, could be solution for that problem. This research is to implement Balance Score Card performance management framework in Bodies Operating Certification of Person’s quality objective. The research methodology using case study in a Quality Management System Auditor Bodies Operating Certification of Person that already implemented ISO 9001 documentation system. The research result shows Balance Score Card based quality objective design with 12quality objective indicators that consist of 1 financial perspective indicator, 5 customer perspective indicators, 3 internal process indicators, and 3 learning and growth perspective indicators. Beside that, this paper also described the business nature analysis of Bodies Operating Certification of Person and its strategic map. Keyword: ISO 9001, Quality Objective, Balance Score Card, Bodies Operating Certification of Person 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
419
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISO/IEC 17024:2003 mengarahkan agar Lembaga Sertifikasi Personel (LSP) mengelola dokumentasi sistem manajemennya berbasis ISO 9001 [1]. Hal ini wajar, mengingat telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa penerapan ISO 9001 secara konsisten akan memberikan banyak manfaat baik dari sisi internal organisasi seperti peningkatan mutu, produktivitas, efektifitas, dan kinerja, maupun dari sisi eksternal seperti peningkatan image dan peluang pemasaran [2]. Dalam kaitan tersebut, ISO 9001 mensyaratkan agar LSP menetapkan Sasaran Mutu. Sasaran mutu adalah sesuatu yang dicari, atau dikehendaki, yang berkaitan dengan mutu [8]. Seluruh proses dan aktivitas dalam suatu sistem manajemen mutu diarahkan untuk mencapai sasaran tersebut. Dengan kalimat berbeda dapat disebutkan bahwa sasaran mutu merupakan indikator performa bagi sistem manajemen mutu suatu LSP. ISO 9001 mengarahkan agar sasaran mutu dapat diukur dan konsisten dengan kebijakan mutu. ISO 9004 sebagai standar intrepretasi ISO 9001 untuk perbaikan berkelanjutan mengarahkan agar organisasi tidak hanya memperhatikan pencapaian proses saja, tetapi juga performa kinerja organisasi lainnya, termasuk performa keuangan. Hal ini berarti sasaran mutu haruslah selaras dengan tujuan kinerja LSP. Saat sasaran mutu tercapai, idealnya tujuan-tujuan kinerja LSP dapat tercapai pula. Dan pada akhirnya, LSP akan mencapai posisi yang sesuai 2dengan visinya. 1.2 Permasalahan Baik ISO 9001 maupun ISO 9004 hanya memberikan panduan umum tentang sasaran mutu. Lembaga Sertifikasi Personil (LSP) yang menginginkan pencapaian sasaran mutunya selaras dengan kinerja organisasi haruslah mencari kerangka pengukuran kinerja yang sesuai. Di sisi lain, LSP adalah organisasi yang unik dikarenakan ia melibatkan pihak luar dalam proses intinya yaitu pengelolaan skema sertifikasi dan pengujian. Dalam kaitan itu, diperlukan rancangan sasaran mutu yang mampu merepresentatifkan ukuran-ukuran kinerja dan berkorelasi dengan visi sebuah LSP. I.3 Tujuan Penelitian Balance Score Card, sebuah sistem manajemen pengukuran kinerja yang ditemukan oleh Kaplan dan Norton, telah efektif dan dipercaya menjadi kerangka pengukuran kinerja banyak organisasi di dunia. Balance Score Card memiliki kelebihan-kelebihan antara lain ia mampu menerjemahkan visi dan strategi ke dalam tolak ukur kinerja yang lebih operasional, mengarahkan organisasi untuk mengukur performa baik dari aspek tangible maupun intangible, mendrive organisasi untuk mengidentifikasi dan memelihara leading indicator dan lagging indicator. Balance Score Card, bukan sekadar sebuah sistem manajemen pengukuran kinerja. Ia adalah sebuah sistem manajemen strategis berbasis pengukuran yang telah diterapkan di banyak sektor baik profit maupun non profit seperti sekolah, rumah sakit atau pemerintahan. Balance Score Card diterapkan oleh pemerintah RRC, Thailand, Malaysia dan Fiji. Balance Score Card juga popular diterapkan di instansi-instansi layanan umum Amerika Serikat, Inggris dan Negara Scandinavia [3].
420
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Mengingat hal itu, penerapan Balance Score Card sebagai kerangka sasaran mutu LSP merupakan sebuah solusi untuk menyelaraskan pencapaian sasaran mutu dengan kinerja lembaga. Diharapkan dengan penerapan Balance Score Card, sasaran mutu dapat merepresentatifkan indikator-indikator kinerja LSP sehingga saat sasaran mutu tercapai dengan sendirinya target kinerja lembaga tercapai. Penerapan Balance Score Card pada LSP merupakan hal yang baru. Mengingat hal itu, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran penerapan kerangka Balance Score Card pada sasaran mutu sebuah LSP dalam bentuk suatu rancangan sasaran mutu yang terdiri atas sasaran, indikator, dan ukuran indikator. 2. ISO 9001 dan Balance Score Card Mengingat penelitian ini bertujuan menerapkan kerangka Balance Score Card pada sasaran mutu LSP berdokumentasi ISO 9001, berikut ini dibahas konsep dasar Balance Score Card beserta hubungannya dengan ISO 9001. 2.1 Konsep Dasar Balance Score Card Balance Score Card diperkenalkan oleh Kaplan dan Norton sebagai jawaban atas hasil riset mereka terhadap 12 organisasi yang menyimpulkan bahwa pengukuran performa kinerja tradisional hanya fokus pada aspek keuangan yang membuat penilaian menjadi bias dan menjadikan fungsi pengukuran terpusat sebagai alat pengendalian, serta mengabaikan keterkaitan antara performa operasional dengan sasaran strategis organisasi pada semua level [6]. Balance Score Card bukanlah sekedar tools untuk mengukur kinerja organisasi, tetapi ia adalah sebuah sistem pengukuran performa strategis [4]. Ia menerjemahkan strategi organisasi menjadi sasaran, indikator, ukuran, target, dan inisiasi (action plan) organisasi yang jelas dalam empat perspektif yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses internal, dan pertumbuhan dan pembelajaran [5]. Keempat perspektif menjawab pertanyaanpertanyaan mendasar sebagai berikut [7]
1. Perspektif finansial. Ukuran-ukuran yang ada menjawab pertanyaan “Bagaimana organisasi seharusnya terlihat di mata shareholdersnya?"
2. Perspektif pelanggan. Ukuran-ukuran yang ada menjawab pertanyaan “Bagaimana organisasi seharusnya terlihat di mata pelanggannya?”
3. Perspektif proses internal. Ukuran-ukuran yang ada menjawab “Proses apa yang harus dijalankan organisasi secara sempurna?”
4. Perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Ukuran-ukuran yang ada menjawab “Bagaimana agar organisasi mempertahankan kemammpuannya untuk merubah dan meningkatkan?” Balance Score Card mengarahkan agar indikator pengukuran dalam empat perspektif di atas terkoneksi pada visi organisasi [6]. Dalam kaitan tersebut organisasi harus mengidentifikasi dan menetapkan leading indicator, indikator-indikator yang memicu tercapainya ukuran keberhasilan organisasi dan lagging indicator, indikator-indikator ukuran keberhasilan organisasi.
421
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Dalam konteks penerapan, seperti sudah disinggung, Balance Score Card adalah sebuah konsep manajemen strategis. Karenanya, ia mengandung empat aspek utama manajemen strategis yang harus diperhatikan [3], yaitu •
Menggambarkan strategi ke dalam sebuah peta strategi yang mengilustrasikan ssaran kunci dalam empat perspektif
•
Mengukur strategi melalui serangkaian sasaran, indicator, ukuran, target, dan inisiasi
•
Menyelaraskan organisasi dengan strategi
•
Mengelola strategi melalui kegiatan tinjauan secara berkala, menghubungkan strategi dengan budget, kebutuhan sumber daya manusia, dan teknologi informasi. Sebagai manajemen strategi, pemilihan indikator dan ukuran kinerja dalam Balance Score Card haruslah
disesuaiakan dengan nature organisasi dan konteks penggunaan serta memperhatikan lingkungan bisnis dari organisasi. 2.2 Hubungan ISO 9001 dan Balance Score Card Persyaratan ISO 9001 berusaha mewujudkan penerapan delapan prinsip manajemen mutu yaitu fokus pada pelanggan, kepemimpinan, keterlibatan personel, pendekatan proses, pendekatan sistem untuk pengelolaan, perbaikan terus menerus, pendekatan pengambilan keputusan berdasarkan fakta, dan hubungan saling menguntungkan dengan pemasok. Pemenuhan persyaratan-persyaratan ISO 9001 yang dibuktikan dengan diperolehnya sertifikat ISO 9001, tidak dengan serta merta dapat dikatakan bahwa organisasi telah menerapkan delapan prinsip manajemen mutu tersebut. Akan tetapi, penerapan persyaratan-persyaratan ISO 9001 secara konsisten akan mendrive berkembangnya prinsip-prinsip tersebut dalam organisasi. Apabila dikaitkan dengan konsep Balance Score Card, penerapan persyaratan ISO 9001 merupakan leading indicator sementara berkembangnya delapan prinsip manajemen mutu merupakan lagging indicator. Dalam kerangka Balance Score Card, idealnya sasaran mutu terdiri atas leading indicator
dan lagging
indicator. Dalam konteks leading indicator, maka kesesuaian antara proses yang dijalankan dengan persyaratan ISO 9001 dapat menjadi salah satu sasaran mutu. Di sisi lain, indikator-indikator berkembangnya delapan prinsip manajemen mutu dapat menjadi lagging indicator. Meskipun demikian, beberapa lagging indicator itu dapat pula dipandang sebagai leading indicator. Tabel 1 adalah pemetaan antara empat perspektif Balance Score Card dengan delapan prinsip manajemen mutu. Meskipun di dalam delapan prinsip manajemen mutu, tidak disinggung keterkaitan dengan perspektif keuangan secara langsung. Berkembangnya kedelapan prinsip dalam organisasi akan memberikan benefit keuangan seperti pengurangan biaya mutu maupun peningkatan penjualan akibat customer satisfaction. Tabel 1. Perspektif Balance Score Card vs Delapan Prinsip Manajemen Mutu
422
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
PerspektifBalanceScoreCard 1.Keuangan 2.Customer 3.Prosesinternal
4.Pertumbuhan&Pembelajaran
DelapanprinsipManajemenMutu ‐ Fokuspelanggan Perbaikanterusmenerus Pendekatansistem Pendekatanproses Pengambilanputusanberbasisfakta Kepemimpinan Keterlibatanpersonil Hubungandengansuplieryangsalingmenguntungkan
3. Metodologi Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian, maka metodologi yang digunakan adalah pendekatan studi kasus. Studi kasus dikerjakan dengan objek kajian sebuah lembaga sertifikasi personel auditor sistem manajemen mutu. Objek kajian telah menerapkan dokumentasi ISO 9001 sebagai bagian dari pemenuhan persyaratan sistem manajemen (klausul 4.4) ISO/IEC 17024:2003. Penelitian dilakukan berbasis dokumen-dokumen visi, misi, kebijakan, sasaran, panduan mutu, dan program kerja lembaga serta informasi-informasi lingkungan bisnis dan literatur-literatur yang relevan.
Penelitian ini
dibatasi hanya pada tahap perancangan sasaran, indikator, ukuran yang sesuai dengan Balance Score Card. Perancangan meliputi beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Analisa Nature Business, bertujuan untuk memahami konsep bisnis lembaga sertifikasi personel sehingga dapat dijustisifikasi kemungkinan-kemungkinan sasaran-sasaran strategi/indikator-indikator yang harus diperhatikan. Dalam hal ini, tools yang digunakan adalah diagram Supplier-Input-Process-Output-Customer (SIPOC) mengingat Balance Score Card digunakan sebagai kerangka sasaran mutu.
2. Analisa Strategi, bertujuan untuk mengidentifikasi sasaran-sasaran strategi, indikator, ukuran yang kemudian dipetakan ke dalam empat perspektif. Input tahapan ini adalah hasil analisa Nature Business, visi, misi, kebijakan, sasaran mutu, dan program kerja lembaga.
3. Analisa Peta Strategi, bertujuan untuk melihat keterkaitan antar sasaran strategi/indikator dan hubungannya dengan pencapaian visi lembaga. Dengan diketahui keterkaitan dari setiap indikator, organisasi dapat menetapkan apakah leading dan lagging indicator dalam rancangan Balance Score Card. Hal ini bermanfaat agar penetapan jadwal target-target pencapaian kinerja tepat. Input tahapan ini adalah hasil analisa strategi. Analisa ini menjadi penting, mengingat Balance Score Card bukanlah sekedar alat ukur tetapi sebagai manajemen strategi. Sehingga prioritasasi pencapaian target dari sisi waktu harus dilakukan dalam rangka mencapai visi lembaga. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Nature of Business Lembaga Sertifikasi Personel.
423
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Diagram SIPOC objek kajian dapat dilihat pada gambar 1. Dalam konteks pemakaian Balance Score Card sebagai kerangka sasaran mutu, lembaga haruslah mengidentifikasi indikator-indikator penting pada tiap elemen diagram SIPOC. Agar kinerja lembaga baik, objek kajian harus mampu membuat performa tiap elemen excellent yang berarti indikator sasaran mutu harus dapat mengakomodir kepentingan tersebut. Hal yang esensial terkait sasaran mutu adalah output dan customer. Ini mengingat tujuan ISO 9001 adalah memberikan kerangka yang efektif untuk menghasilkan produk dan layanan bermutu serta meningkatkan kepuasan pelanggan. Oleh karena itu, dikaji terlebih dahulu kedua hal tersebut. Pada aspek output terlihat bahwa produk akhir objek kajian dapat dipandang dua hal yaitu sertifikat kelulusan (hasil ujian bagi yang tidak lulus) dan auditor sistem manajemen mutu yang tersertifikasi. Apabila output objek kajian adalah sertifikat kelulusan maka customernya adalah auditor peserta ujian. Tetapi, apabila output objek kajian dipandang auditor sistem manajemen mutu yang tersertifikasi maka customernya adalah lembaga sertifikasi pengguna. Dalam kaitan tersebut, objek kajian haruslah memperhatikan kepentingan kedua output dan customernya. Hal ini disebabkan keduanya mempengaruhi jumlah auditor yang akan mendaftar pada lembaga. Apabila lembaga sertifikasi pengguna percaya pada objek kajian, maka mereka akan mengarahkan para auditornya untuk tersertifikasi. Di sisi lain, apabila para auditor tersertifikasi puas mereka dapat mereferensikan pada para auditor lainnya untuk mendaftar. Oleh karena itu perancangan sasaran mutu harus memperhatikan tingkat kepuasan dan kepercayaan kedua customer tersebut serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Pada aspek proses terlihat bahwa objek kajian berada pada bisnis jasa yang melibatkan secara intensif para pelanggannya dalam proses operasi. Hal ini berimplikasi perancangan sasaran mutu harus memperhatikan ketepatan dan kecepatan proses pelayanan serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Pada aspek input terlihat bahwa objek kajian merupakan bagian dari organisasi pemerintahan. Hal ini berimplikasi perancangan sasaran mutu harus memperhatikan arah kebijakan pemerintahan, faktor kepemimpinan yang top down dan ikatan emosional dengan pegawai sebagai salah satu ciri khas organisasi pemerintahan, serta indikator-indikator kinerja organisasi pemerintahan lainnya. Pada aspek supplier, objek kajian melibatkan pihak luar pada proses intinya yaitu proses pembuatan dan pemeliharaan skema sertifikasi serta proses pengujian. Hal ini mutlak diperlukan sebagai pemenuhan persyaratan independensi lembaga. Oleh karena itu, perancangan sasaran mutu harus memperhatikan aspek komitmen dan kepuasan para supplier tersebut. 4.2 Rancangan Balance Score Card Setelah dipahami nature business dari objek kajian, langkah selanjutnya adalah membuat rancangan sasaran mutu berbasis Balance Score Card. Agar sasaran mutu tersebut dapat merepresentatifkan indikator-indikator kinerja lembaga maka haruslah dibuat kerangka sasaran mutu yang melingkupi seluruh elemen performa yang
424
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
terdapat dalam diagram SIPOC dan mengakomodir keterkaitan antara Balance Score Card dengan ISO 9001 sesuai paparan II.2.
Tabel 2 Rancangan Balance Score Card pada Lembaga Sertifikasi No
Sasaran Strategis
Indikator
Ukuran
Perspektif Keuangan 1 Peningkatan penerimaan iuran anggota
Jumlah penerimaan iuran anggota
Rp
Perspektif Pelanggan 2 Peningkatan jumlah anggota baru
Jumlah anggota baru
Jumlah
3 Peningkatan retensi anggota lama
Jumlah anggota yang mengundurkan diri dari keanggotaan
Jumlah
4 Peningkatan kepuasan anggota
Tingkat Kepuasan anggota berdasarkan Survey Kepuasan Anggota
Indeks
5 Peningkatan kepercayaan LSSM/LSPRO Jumlah LSSM/LSPRO yang menggunakan jasa anggota 6 Penerbitan Direktori Auditor Indonesia
Ketepatan Jadwal penerimaan
Jumlah %
Perspektif Proses Internal 7
Penerapan & pemeliharaan Sistem ISO 17024:2003
8
Penurunan waktu pengiriman sertifikat kelulusan
9
Penurunan waktu penyampaian informasi perubahan skema sertifikasi
Jumlah temuan audit KAN Durasi waktu pengiriman minimal untuk setiap anggota sejak di terimanya bukti pelunasan biaya administrasi dan iuran tahunan Durasi waktu penyampaian informasi perubahan skema sertifikasi minimal
Jumlah Hari Hari
Perspektif Pembelajaran & Pertumbuhan 10 Peningkatan partisipasi pegawai
Tingkat kepuasan personil berdasarkan survey kepuasan pegawai
Indeks
Tingkat pelaksanaan pelatihan/program pembinaan dibandingkan kebutuhan pengembangan kompetensi pegawai berdasarkan Training Needs Analysis
%
Tingkat kehadiran rata-rata pegawai/bulan
%
11
Peningkatan kepemimpinan transformasional
Tingkat kepemimpinan transformasional berdasarkan survey kepemimpinan transformasional
Indeks
12
Peningkatan hubungan dengan anggota komite luar LSP yang menguntungkan
Komposisi Anggota Luar dan anggota dalam
Rasio
Tingkat kehadiran anggota komite luar RSP rata-rata
%
425
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 1. Diagram SIPOC Objek Kajian Perspektif Finansial
Perspektif Customer
Perspektif Proses Internal
Perspektif Learning & Growth
Gambar 2.Peta Strategi objek Kajian
4.3 Peta Strategi
426
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Seperti disebutkan pada uraian II.1 bahwa Balance Score Card adalah sebuah sistem pengukuran performa strategis. Oleh karena itu, rancangan indikator haruslah memiliki koneksitas yang jelas. Analisa peta strategi bertujuan untuk melihat hal itu. Peta strategi rancangan Balance Score Card dapat dilihat pada gambar 2. Pada peta strategi dapat dilihat indikator apa yang menjadi leading indicator dan lagging indicator yang penting digunakan untuk prioritasas target dan waktu pencapaiaannya. Dimungkinkan bahwa sebuah indikator memiliki dua peran yaitu sebagai leading indicator dan lagging indicator.
5. Kesimpulan •
Balance Score Card dapat digunakan sebagai kerangka sasaran mutu lembaga sertifikasi personel agar lembaga tersebut memiliki indikator performa sistem manajemen mutu yang selaras dengan indikator performa kinerja lembaga
•
Sesuai dengan tujuan penelitian, hasil rancangan sasaran mutu berbasis kerangka Balance Score Card pada objek kajian menunjukkan 12 indikator sasaran mutu berbasis Balance Score Card dengan rincian 1 indikator perspektif keuangan, 5 indikator perspektif pelanggan, 3 perspektif proses internal, dan 3 perspektif pembelajaran & pertumbuhan
6. Daftar Pustaka 1.
ISO 17024:2003/Pedoman KAN 501 :2003, International Standard, Conformity Assessment – General requirement for Bodies Operating Certification of Persons
2.
Nurcahyo, Rahmat dan Sumaedi, Sik (2010). “Pengembangan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 Pada Industri Komponen Otomotif dengan Model Bimbingan Berkelompok”. Prosiding Seminar Nasional Pengkajian dan Penerapan Teknologi Industri. Universitas Mercu Buana
3.
Beiman, Irv and Johnson, Cristian. “Balanced Scorecard in Developed and Transitional Economies”
4.
Suprapto, Budi et all (2009) “The Implementation of Balance Score Card for Performance Measurement in Small and Medium Enterprises: Evidence from Malaysian Health Care Services” The Asian Journal of Technology Management Volume 2, Number 2, PP. 37-49
5.
Widjaya Tunggal, Amin (2009). “Mengukur dan Mengelola Keberhasilan Usaha dengan Balance Score Card”. Harvarindo. Jakarta
6.
Pienar, Heila and Penzhorn, Cecilia (2000). “Using the Balanced Scorecard to Facilitate Strategic Management at an Academic Information Service”. Libri, 2000, vol. 50, pp. 202–209
7.
Pineno, J. Charles. “The Business School Strategy: Continuous Improvement by Implementing the Balanced Scorecard” Shenandoah University. Research in Higher Education Journal
8.
ISO 9000:2005, International Standard, Fundamentals and vocabulary
9.
ISO 9001 :2008, International Standard, Quality Management Systems Requirements
427
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
PERLENGKAPAN OPTOELEKTRONIK BAGI PENGEMUDI UNTUK MEMANDU SECARA VISUAL TERHADAP BAGIAN BELAKANG KENDARAAN BERODA EMPAT ATAU LEBIH Drs. Sugiono Peneliti Utama Bidang Optik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Gedung 410, Kompleks PUSPIPTEK, Setu, Tangerang Selatan 15314 [emailprotected]; [emailprotected] INSTISARI Telah didisain perlengkapan optoelektronik untuk memandu pengemudi kendaraan beroda empat atau lebih secara visual untuk mengetahui situasi di belakang kendaraan dalam mengendalikan kendaraan, baik saat bergerak mundur maupun melakukan manuver tertentu yang dikehendaki pengemudi. Tujuan diadakannya perlengkapan ini adalah dalam rangka mencegah terjadinya serempetan atau tabrakan kendaraan berperlengkaan ini dengan kendaraan atau benda lain yang berada jalur yang masih dalam jangkauan pengemudinya secara lebih akurat dari pada yang konvensional dengan cermin bahu (shoulder mirror) dan cermin sisi (side mirrors). Perlengkapan yang terdiri dari kamera CCD, monotor televisi dan elemen pemandu spasial yang ditempel pada layar televisi ini telah dipasang di minibus. Penempatan kamera di bagian belakang kendaraan membuat pandangan yang ditayangkan di televisi terhindar dari halangan akibat adanya bagian kendaraan yang tak tembus pandang (blind spots) yang selama ini diderita oleh perlengkapan konvensional cermin bahu dan cermin sisi. Perlengkapan ini telah diuji coba di berbagai medan dan memberikan hasil yang sangat memuaskan. Kata-kunci: pemandu, pengemudi, kendaraan beroda empat, visual, gerakan mundur ABSTRACT An optoelectronic apparatus to guide a four- or more- wheel vehicle driver has been designed. The objective of the apparatus function is visually see a rear situation of the vehicle in driving, both when in reversed state and taking certain cruising maneuver desired by the driver. The goal in creating this apparatus is in order to avoid a crashing accident or collision of the equipped vehicle with other vehicles or objects located in lanes which are still in the driver’s range in more accurate than conventionally shoulder mirror and side mirrors. The apparatus consisting of a CCD camera, a television monitor and spatial guidance elements attached to the television screen has been installed in a van. The camera placement in the rear part of the vehicle makes displayed view in the television screen is avoided because of existing blind spots suffered in shoulder and side mirrors of conventional apparatus. This apparatus had been tried in a various field and result satisfactorily. Keywords: guidance, driver, four-wheel vehicle, visial, reverse driving
428
ISSN 977.2086796.00.2
1.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Pendahuluan Gerakan mundur pada kendaraan beroda empat atau lebih merupakan suatu keharusan yang tidak
terelakkan dalam aktivitas mengemudi kendaraan beroda empat atau lebih, selanjutnya disebut kendaraan. Gerakan tersebut, khususnya bagi pengemudi pemula, merupakan hal yang paling sulit dalam mengendalikan kendaraan karena ia harus melakukannya hanya dengan bantuan visual dari sejumlah cermin, yaitu cermin bahu (shoulder mirror), cermin samping kiri dan kanan (left and right side mirrors) untuk melihat keadaan di seputar kendaraannya. Di tambah lagi, adanya beberapa pandangan yang terhalang (blind spots) akibat berbagai bagian kendaraannya yang tidak tembus pandang, seperti tiang bodi di sisi kiri dan kanannya, apalagi pada kendaraan yang lebih besar, seperti truk, bus, dan mobil bak. Secara tradisional, pandangan yang terhalang tersebut dapat diatasi, atau paling tidak diminimumkan, dengan memanfaatkan ketiga cermin yang ada sebagaimana tersebut di atas secara bersamaan. Dengan semakin majunya perkembangan di bidang optoelektronik, khususnya elektronik, yang memunculkan berbagai modul optoelektronik dengan kemudahan mendapatkan dan kemurahan harganya, berbagai kegiatan yang semula menemui kesulitan untuk mewujudkannya, pada saat ini dapat diatasi, termasuk di dalamnya dalam hal kesulitan atau keterbatasan pandangan untuk memandu pengemudi dalam gerakan mundur kendaraan, yang pada saat itu diatasi dengan menambahkan lensa fresnel yang terbuat dari plastik yang lentur[1]. Modul optoelektronik yang dimaksud adalah kamera CCD (charge coupled device) dan monitor televisi jenis LCD (liquid crystal display) yang kompak, yang memberi kemudahan penempatannya dalam ruang pengemudi, khususnya di sekitar dashboard [2]. Makalah ini menguraikan tentang disain dan uji coba perlengkapan optoelektronik untuk memandu pengemudi secara visual terhadap bagian belakang kendaraan yang terdiri dari kamera CCD sebagai penangkap gambar yang ditempatkan di bagian belakang kendaraan dan monitor televisi jenis LCD sebagai sarana pemaparan yang dilihat pengemudi untuk memandu dalam kegiatan mengemudinya, khususnya gerakan mundur kendaraan, dan dilengkapi dengan elemen pemandu spasial yang ditempelkan pada permukaan layar monitor televisi yang mampu mengidentifikasi secara dini terhadap potensi benturan dengan kendaraan atau benda lain di belakang sisi kiri dan kanannya, demikian juga mengukur jarak kendaraan atau benda lain di belakang kendaraan secara lebih akurat dan antisipasi ruang-bebas (free space) bukaan pitu kiri dan kanan kendaraan pada saat diperlukan kemudian. Kontribusi penelitian yang dituangkan dalam makalah ini dalam wacana ilmu pengetahuan dan teknologi adalah pemanfaatan modul optoelektronik untuk keselamatan berkendaraan. 2. 2.1.
Dasar teoretis dan survai pendahuluan di lapangan Kamera CCD Sudut pandang visual yang diperoleh pengemudi dengan menggunakan cermin bahu, tergantung dari
jenis kendaraan dan posisi pengemudi terhadap cermin, demikian pula dengan cermin sisi kiri dan kanan. Gambar 1 memperlihatkan tiga jenis cermin pada salah satu jenis kendaraan. Sebagai gambaran, pada tabel 1 diperlihatkan sudut pandang yang diperoleh pada kendaraan pada Gambar 1 yang diamati penulis, Gambar 2
429
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
memperlihatkan salah satu contoh hasil pandangan melalui cermin-cermin tersebut pada salah satu kendaraan, termasuk blind spot-nya, dan pada tabel 1 juga diperlihatkan pandangan yang terhalang (blind spots, BS).
Cermin sisi kanan
Cermin bahu (di dalam kendaraan)
Cermin sisi kiri
Gambar 1 Tiga jenis cermin pada kendaraan. Contoh pada minibus Suzuki APV Arena Tabel 1 Sudut pandang horisontal cermin bahu, cermin sisi, dan sudut pandang total pada sebuah kendaraan pada Gambar 1 berbasiskan pada salah seorang pengemudi yang duduk normal di kursi pengemudi, termasuk blinds spot-nya Sudut cermin kiri (°) Efektif BS 27,37 4,6
Sudut cermin bahu (°) BS kiri Efektif BS kanan 1 23,59 1
Sudut cermin kanan (°) BS Efektif 5,98 25,24
Total (°) Efektif BS 76,2 12,58
Blind spot
Blind spot
Blind spot (a)
(b)
(c)
Gambar 2 Pandangan dari (a) cermin sisi kiri, (b) cermin bahu, dan (c) cermin sisi kanan untuk minibus Suzuki APV Arena sebagai salah satu sampel, termasuk blind spot-nya. Dengan pandangan visual yang demikian, tampak dengan jelas bahwa halangan pandangan yang diderita bagi pengemudi dapat diatasi dengan mengintegrasikan ketiga pandangan tersebut yang dilakukan secara bergiliran (sequencial). Dengan adanya pergiliran tersebut, maka pandangan yang terintegrasi yang seharusnya diperoleh pengemudi saat melakukan gerakan mundur akan tergantung seberapa ingat dan seberapa lama pengalaman pengemudi dalam mengemudikan kendaraan. Lain halnya jika padangan yang “terintegrasi” tersebut diperoleh pada saat yang sama dan hanya dari satu media yang diperuntukkan bagi pengemudi. Jika hal itu dapat dicapai, maka keterbatasan pandangan akibat
430
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
keterhalangan oleh bagian bodi kendaraan atau BS akan sirna dan kemudahan, khususnya bagi pengemudi pemula, akan diperoleh. Penelitian yang diungkapkan dalam makalah ini ditujukan untuk menyediakan fasilitas yang demikian sebagai ganti dari fasilitas secara tradisional yang disediakan manufaktur kendaraan konvensional. Dengan perlengkapan ini, pandangan terhadap bagian belakang kendaraan diperoleh melalui sebuah kamera CCD yang ditempatkan di bagian belakang kendaraan ⎯bisa di bagian atap atau di kaca belakang atau di sisi bawah di sekitar pelat nomor polisi, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya⎯ cahaya tampak yang dipancarkan oleh benda-benda dalam jangkauan medan pandangnya, setelah melalui lensa obyektifnya ditangkap oleh bidang CCD pada kamera CCD, kemudian diolah modul pengolah citra dalam kamera CCD dan disalurkan dalam bentuk sinyal video yang siap dipaparkan melalui sarana pemaparan video, yang dalam hal ini berupa monitor televisi.[3] Kelebihan penempatan kamera CCD di bagian atap menghadap ke belakang adalah memberikan pandangan yang dihasilkan menjadi lebih luas, mendekati pandangan mata burung (bird’s eye view) yang sangat baik untuk membantu memperoleh pandangan yang lebih luas saat mengendalikan kendaraan[3], namun hal tersebut mempunyai kelemahan yang berupa penyediaan sarana tambahan yang berupa sarana kedap air untuk kamera tersebut untuk menahan air hujan saat terjadi hujan atau uap air saat kelembaban di sekitar kendaraan tersebut meningkat yang dapat merusak komponen optik dan elektronik yang terdapat di dalamnya [4, 5], termasuk keterhalangan pandangan akibat tetesan air atau debu yang menempel pada lensa atau jendela tembus pandang pada kamera tersebut dan tentu saja komputer animasi yang mengolah data sekeliling kendaraan tersebut menjadi paparan citra yang informatif sebagaimana yand disediakan oleh sedan Nissan [6], di samping rawan terhadap vandalisme, seperti perusakan atau pencurian[7]. Kelebihan penempatan kamera CCD di sekitar pelat nomor polisi adalah ketersembunyiannya dari pandangan untuk mencegah vandalisme [7], namun kelemahannya adalah rawan terhadap halangan adanya penempelan kotoran dan cipratan air pada jendela kamera karena letaknya yang berada di bawah dekat dengan permukaan jalan [4]. Sementara itu, kelebihan dari penempatan kamera CCD di bagian belakang di dalam kendaraan adalah memperkecil vandalisme dengan upaya yang maksimumdan tidak perlu sarana kekedapan terhadap air dan uap air, namun kelemahannya adalah pandangan yang relatif lebih sempit di bandingkan dengan penempatan di bagian atap kendaraan. Dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing penempatan tersebut di atas, pemilihan yang diungkapkan dalam makalah ini lebih memfokuskan pada penempatan kamera CCD di bagian belakang di dalam kendaraan. Di samping masalah penempatan, berbagai pilihan kamera CCD untuk keperluan ini dapat dilakukan. Secara umum, kamera CCD dicirikan dengan ukuran bidang CCD-nya, antara lain 1/6”, ¼”, 1/3”, ½” dan 1” [3], dengan catatan bahwa semakin besar ukuran akan semakin baik dan semakin mahal. Di samping ukuran bidang CCD, jumlah piksel dalam bidang CCD tersebut yang menunjukkan resolusinya juga penting, dengan catatan bahwa semakin besar jumlah pikselnya semakin baik dan, tentu saja, semakin mahal [3].
2.2.
Monitor televisi Sementara itu, karena monitor televisi jenis tabung (CRT, cathode ray tube) rata-rata berukuran relatif
besar sehingga memakan tempat dalam penggunaan yang nyata di kendaraan, maka pilihan jatuh pada monitor televisi jenis LCD. Pilihan jatuh pada televisi dengan ukuran diagonal 7 inci dengan pertimbangan bahwa
431
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
televisi berukuran yang demikian telah umum dipakai untuk ditempatkan di kendaraan dan tidak terlalu memakan tempat ketika ditempatkannya di bagian depan pengemudi atau di sekitar dashboard.[2] 2.3. 2.3.1.
Elemen pemandu spasial [8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15] Jejak yang akan dilewati ban belakang kendaraan Pada beberapa tempat parkir, khususnya model yang mutakhir, di bagian dalam lantai parkir (bukan
yang berada langsung di tepi gang tempat kendaraan melintas) telah dilengkapi dengan tanggul penahan ban dengan asumsi bahwa ban kendaraan akan membentur tanggul ini sebelum membentur kendaraan lain atau tembok (lihat Gambar 3). Di beberapa area parkir, jumlah tanggul ini hanya satu, walaupun di area lain berjumlah 2. Oleh sebab itu, pengemudi mestinya mengarahkan ban kendaraannya pada tanggul ini sampai membenturnya sebagai indikator bahwa batas gerakan mundur maksimumnya telah dicapai. Apa yang dilakukan pengemudi kendaraan tanpa pemandu ini? Pengemudi hanya memperkirakan saja.
Gang kendaraan berlalu-lalang Area parkir Rute kendaraan yang mau parkir Tanggul penahan ban
Tembok pembatas
Gambar 3 Ilustrasi area parkir dan tanggul penahan ban kendaraan. Dengan bantuan pemandu yang diungkapkan pada penelitian yang dilengkapkan pada sebuah kendaraan, pengemudi secara langsung dapat mengarahkan bannya untuk dibenturkan pada tanggul ini secara akurat, apa lagi jika jumlah tanggulnya hanya satu. Hal ini dapat mencegah kecelakaan akibat gerakan kendaraan yang membentur tembok pembatas area parkir [16, 17]. Pada kasus lain, bisa saja terjadi bahwa area parkir yang tersedia tidak menyediakan tanggul sebagaimana tersebut di atas, misalnya saat parkir di tepi jalan secara serial. Pemandu jejak ban ini akan membantu pengemudi untuk memilih perlintasan bannya pada lintasan yang dikehendaki. 2.3.2.
Jejak yang akan dilewati bagian terluar (cermin sisi) kendaraan Ketika hendak parkir di ruang yang sempit, misalnya ruang kosong yang bagian kiri dan/atau kanannya
telah diisi oleh kendaraan lain (lihat Gambar 3), pengemudi kendaraan tanpa perlengkapan pemandu ini, pengemudi harus memperkirakan, dengan bantuan cermin kiri dan kanannya, apakah ruang sempit tersebut cukup untuk tempat parkir kendaraannya. Tentu saja bagi para pengemudi yang sudah berpengalaman bertahun-
432
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
tahun tidak akan mengalami kesulitan, namun bagaimana dengan pengemudi yang baru atau pengemudi dengan pengalaman yang minim? Dengan bantuan perlengkapan yang diungkapkan dalam makalah ini, pengemudi dapat melihat, apakah garis dan/atau kepanjangannya di tepi kiri dan kanan yang terdapat di layar monitor televisi, yang merupakan perwujudan dari proyeksi cermin sisi kiri dan kanannya, berada pada bodi atau cermin kanan dan/atau cermin kiri kendaraan lain yang akan berdampingan saat parkir nanti?. Pengemudi kendaraan berlengkapan ini mengendalikan kendaraannya sedemikian rupa agar garis tersebut tidak mengenai atau “membentur” bodi atau bagian terluar kendaraan yang akan berdampingan tersebut agar proses parkirnya terhindar dari benturan yang tidak dikehendaki. 2.3.3.
Ruang-bebas sisi (side free-space) terhadap bodi kendaraan Setara dengan butir 2.3.2. di atas, namun fasilitas ini lebih difokuskan pada penyediaan fasilitas
kenyamanan saat pintu kiri dan kanan kendaraan (yang bukan berupa sliding doors) nantinya dibuka untuk mencegah benturan pada tembok atau bodi kendaraan lain di sisi kiri dan kanannya setelah parkir. Ukuran ruang ini sangat tergantung dari jenis kendaraannya, di mana untuk Suzuki APV Arena adalah 90 cm.
Gambar 4. Ruang-bebas sisi kiri kendaraan setelah pintu dibuka yang lebarnya 90 cm dari proyeksi bodi kendaraan. 2.3.4.
Jarak benda di belakang dan kendaraan Agar pengemudi mendapat bantuan untuk memperkirakan jarak antara kendaraannya (dalam hal ini
bumper belakang) dan benda-benda yang terdapat di jalan, misalnya tembok atau bumper kendaraan orang lain, maka perlengkapan ini dilengkapi dengan pengukur jarak. Karena identifikasi jarak yang diperlukan pada perlengkapan ini tidak terlalu jauh, misalnya maksimum 5 meter, maka indikator garisnya adalah dengan memberikan tanda pada layar monitor televisi benda-benda yang berjarak 5 meter. Dengan cara yang setara, indikator jarak 2 meter dan ½ meter. 3.
Pembuatan Penempatan kamera CCD Tanpa mengesampingkan ukuran bidang CCD pada kamera yang tersedia di pasar, untuk keperluan
penelitian ini digunakan karena CCD dengan spesifikasi bidang CCD ¼”. Kamera CCD ini ditempatkan di dalam kendaraan pada posisi di atas tepi atas kaca belakang kendaraan yang diatur agar berada di tengah-tengah. Karena sifat perlengkapan ini yang baru pada tahap set-up laboratorium, maka penempatannya belum permanen (lihat Gambar 5a ). Kamera dipasang agar sedikit menunduk pada kemiringan sekitar 10 derajat dengan
433
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
perhitungan bahwa pusat sumbu optiknya menumbuk benda yang terdapat pada permukaan jalan pada jarak 5 meter (lihat Gambar 5b).
Kamera CCD
Bumper belakang (a)
5m
(b)
Gambar 5. (a) Pemasangan kamera CCD di bagian belakang kendaraan (b) Posisi kamera pada kemiringan 10 derajat ke bawah. Penempatan monitor televisi Penempatan monitor televisi di dashboard dengan mempertimbangkan kenyamanan pengemudi dalam menggunakannya telah disampaikan [2], dan oleh karenanya penempatan monitor televisi pada penelitian ini mengadopsinya (lihat Gambar 7).
Gambar 6. Televisi ditempatkan pada dashboard di depan radio-tape.[2] Instalasi elemen pemandu spasial Elemen pemandu jejak ban Gerakan mundur kendaraan yang dimaksud pada makalah ini adalah gerakan mundur dalam keadaan lurus, yaitu pada posisi setir kemudi dalam keadaan netral. Dalam keadaan posisi demikian, sebenarnya kita lebih mudah menduga atau mengetahui atau memperhitungkan kemana jejak ban kiri dan kanan akan melintas, yaitu lurus ke belakang yang berawal dari telapak ban. Diasumsikan ada tali atau tambang atau sejenisnya yang membentang dari telapak ban-belakang ke arah belakang kendaraan secara lurus, kemudian kendaraan ini dimundurkan pada posisi setir kemudi netral sebagaimana tersebut di atas, maka (hampir) dipastikan tali atau tambang yang membentang di belakang tersebut dilintasi oleh ban tersebut. Hal ini berarti, jika setiap kali kendaraan akan mundur lurus, kemudian disediakan tali atau tambang sebagaimana yang diilustrasikan di atas, maka (hampir) dipastikan bahwa ban kendaraan akan melindas tali atau tambang tersebut. Pada penelitian ini, tali atau tambang secara fisik yang dibentangkan di permukaan jalan di belakang kendaraan (lihat Gambar 7) digantikan oleh stiker yang berupa garis yang ditempelkan secara berimpit dengan gambar tali atau tambang
434
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
yang ditayangkan pada layar monitor televisi pada saat tali atau tambang tersebut masih berada di tempatnya. Dengan demikian, garis permanen yang terdapat pada layar monitor televisi merupakan perwujudan (representasi) dari tali atau tambang yang dibentangkan secara fisik di jalan yang berfungsi sebagai pemandu jejak ban pada arah mundur.
5m
Gambar 7. Tambang yang dibentangkan di permukaan jalan bagian belakang kendaraan sebagai pemandu gerakan mundur saat ditayangkan di layar monitor televisi, juga jarak 5 m dari bumper. Elemen pemandu proyeksi cermin sisi (bagian terluar kendaraan) Dengan metode yang sama sebagaimana dijelaskan pada 3.3.1, tali penanda vertikal (dengan pemberat) ditempelkan pada bagian terluar kaca sisi untuk memperoleh proyeksi bagian terluar kendaraan pada permukaan jalan tempat kendaraan berada (lihat Gambar 8). Seutas tali atau tambang dibentangkan ke arah belakang kendaraan yang sejajar dengan jejak ban ke belakang sebagai representasi jejak lintasan proyeksi bagian terluar kendaraan ke permukaan jalan ke arah belakang (lihat Gambar 8). Ketika garis tersebut terpampang pada permukaan layar monitor televisi, maka garis tersebut dengan stiker yang nantinya akan menunjukkan bagian permukaan jalan yang akan dilewati garis tersebut. Dengan demikian, ketika tali atau tambang tersebut dipindahkan dari tempatnya, fungsi tali atau tambang sebagai pemandu proyeksi bagian terluar kendaraan ke permukaan jalan digantikan sepenuhnya oleh stiker yang baru saja ditempel.
435
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Gambar 8. Proyeksi bagian terluar kendaraan pada permukaan jalan dan garis yang terbentang ke belakang sebagai representasi lintasannya ke belakang. Elemen pemandu ruang-bebas sisi (side free-space) terhadap bodi kendaraan Untuk mengetahui ruang-bebas di sisi kiri dan kanan kendaraan yang diperlukan, maka bentangan maksimum semua pintu sisi kendaraan tersebut diidentifikasi, khususnya bagian terluarnya, kemudian ditetapkan proyeksinya pada permukaan jalan dengan menggunakan tali pemberat vertikal. Dengan metode yang sama dengan sebagaimana yang dipaparkan pada 3.3.1 dan 3.3.2, stiker yang representatif dengan elemen pemandu ini ditempelkan pada permukaan layar monitor televisi.
Elemen pemandu jarak dengan bumper belakang Proyeksi bagian paling belakang dari bumper belakang kendaraan diidentifikasi. Benda yang berjarak 5 m dari proyeksi tersebut ke belakang diletakkan di permukaan jalan sebagai representasi obyek berjarak 5 m (lihat kotak meteran pada Gambar 7). Dengan melihat obyek tersebut pada layar monitor televisi kemudian menempelkan garis stiker secara mendatar pada layar tersebut, maka garis tersebut merupakan representasi benda yang berjarak 5 m dari bumper belakang. Dengan cara yang sama, dilakukan untuk benda-benda yang berjarak 10 m, 2 m dan 0,5 m. Dengan terpasangnya semua elemen tersebut, maka tampaknya paparan hasil pemasangan tersebut pada Gambar 10 di bawah ini.
Garis pemandu ruang bebas kanan Garis pemandu cermin sisi kanan Garis pemandu ban kanan
Garis pemandu ruang bebas kiri Garis pemandu cermin sisi kiri Garis pemandu ban kiri Garis pemandu jarak (2, 3, 4, 5 m)
Gambar 10. Paparan elemen perlengkapan pemandu kendaraan untuk gerakan mundur. Di samping itu, jarak kedaraan E 1747 GH ini berjarak 2 m dari kendaraan berlengkapan pemandu. 4.
Hasil uji coba dan pembahasan Berbekal perlengkapan pemandu yang telah dibuat dan diinstalasi pada sebuah kendaraan, dilakukan uji
coba di beberapa tempat yakni di Puspiptek (Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) Serpong, Tangerang Selatan. Jarak benda di belakang kendaraan
436
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Dengan elemen panduan jarak yang terdapat pada perlengkapan ini, jarak benda-benda yang berada di belakang kendaraan segera dapat diketahui, bukan hanya perkiraan semata, sehingga dapat membantu untuk mengantisipasi segala yang akan terjadi (lihat Gambar 10). Pemandu jejak ban Dengan elemen panduan jejak ban ke arah belakang yang terdapat pada perlengkapan ini, pengemudi segera dapat menentukan pilihan bagian permukaan jalan mana yang diinginkan untuk dilewati ban kendaraannya, bukan perkiraan yang selama ini tidak dapat dilihat ketika memanfaatkan perlengkapan cermin yang konvensional. Pemandu bagian terluar (cermin sisi) kendaraan Dengan elemen panduan proyeksi cermin sisi yang terdapat pada perlengkapan ini, pengemudi segera dapat mengambil keputusan apakah kendaraan ini akan menabrak kendaraan sebelahnya atau aman, bukan perkiraan yang selama ini tidak dapat dilihat ketika memanfaatkan perlengkapan cermin yang konvensional (lihat Gambar 11). Pemandu ruang-bebas sisi Dengan elemen panduan proyeksi ruang-bebas sisi yang terdapat pada perlengkapan ini, pengemudi segera dapat mengambil keputusan apakah ruang di sisi kendaraan ini akan leluasa bagi pintunya saat dibuka nantinya setelah parkir atau tindak nyaman, bukan hanya perkiraan semata yang selama ini dilakukan dengan memanfaatkan perlengkapan cermin yang konvensional.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 11 (a) Sisi kanan kendaraan yang telah diparkir tampak membahayakan di layar monitor televisi jika kendaraan terus bergerak mundur karena garis yang di tengah mengenai ban kendaraan (b) Setelah di lihat posisi yang sebenarnya (c) Sisi kanan kendaraan yang sama tampak aman atau tidak membahayakan karena garis yang di tengah tidak mengenai bagian apapun dari kendaraan yang telah diparkir sebelumnya (d) Dibandingkan dengan posisi yang sebenarnya. Setelah melakukan uji coba dengan memanfaatkan semua sarana yang disediakan pada perlengkapan ini, maka mengemudikan kendaraan dalam gerakan mundur sama sekali bukanlah suatu kegiatan yang menyulitkan, karena pengemudi segera dapat mengetahui apakah jejak bannya menyimpang dari yang diinginkan atau tidak, apakah benda-benda yang berada di belakang cukup aman karena pengemudi telah mengetahui jaraknya, apakah kaca sisinya akan bersinggungan dengan benda-benda lain, termasuk mobil di sebelahnya, di sisi kiri dan kanan kendaraan, dan yang terakhir apakah ruang bebas di kiri dan kanan kendaraannya cukup untuk membuka pintu saat telah parkir nantinya.
437
ISSN 977.2086796.00.2
5.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
Kesimpulan Berkendaraan dengan perlengkapan pemandu hasil penelitian yang diungkapkan dalam makalah ini
untuk gerakan mundur sama sekali bukanlah kegiatan yang menyulitkan melainkan menjadi kegiatan yang sangat mudah karena semua kendala yang semula ditemui ketika memanfaatkan alat bantu konvensional yang berupa tiga cermin, yaitu cermin bahu, cermin sisi kiri dan cermin sisi kanan yang terpisah. Jarak antara bendabenda di belakang kendaraan segera dapat diketahui, bukan hanya sekedar perkiraan. Permukaan jalan yang akan dijejaki oleh ban kendaraannya bisa diketahui secara pasti. Ruang mana yang aman untuk gerakan mundur, khususnya saat parkir, sehingga tidak menyerempet kendaraan di sebelahnya. Dan yang terakhir, saat parkir nantinya, apakah ruang di sebelah kiri dan kanan kendaraannya cukup lebar sehingga ketika pintu kendaraannya dibuka sebagai sarana keluarnya orang dari kendaraan tersebut cukup lebar sehingga pintunya tidak membentur benda lain, termasuk misalnya kendaraan di sebelahnya. Daftar pustaka [1]
1999 Optics and Optical Instruments Catalog, Edmund Industrial Optics, Barrington, NJ, USA, hal. 3233
[2]
Sugiono, Disain Optik-Elektronik Prototip Pemandu Cerdas bagi Pengemudi Kendaraan Beroda Rmpat, Anuual Meeting on Testing and Quality (AMTeQ), Tangerang, 2009, hal. 111-123
[3]
___, Charge-coupled device, (1 Januari 2010 pukul 14:30), http://en.wikipedia.org/wiki/Chargecoupled_device
[4]
Makoto Iikawa and Takahiro Kobayashi, Weather-Sealing Structure of a Lens Barrel; Pentax Corporation, Reston, VA US; USPC Class: 359513
[5]
Tanaka, Keita, Optical Element, Sony Corporation, Westfield, NJ US, Patent application number: 20090310205; http://www.faqs.org/patents/app/20090310205
[6]
___, Bird's-eye view of your car, (June 20, 2005 10:04 am) http://www.worldcarfans.com/10506208920/nissan-eliminating-blind-spots
[7]
Bonet, Garcia Fransisco, Bisiness plan for a technologically advanced securitity company, Master Thesis, Escola Politechnica Superior de Castelldevels, Universitat Politecnica de Catalunya, Spain, November 5th, 2008.
[8]
Sugiono, Drs, Cara untuk memandu Pengemudi Kendaraan Beroda Empat atau Lebih dalam mengendalikan Kendaraan dengan menggunakan Kaca Film, Paten Indonesia, ID 0 001 402, Jakarta, 10 Mei 1997.
[9]
Pemandu Keselamatan Berkendaraan, Koran Media Indonesia, 3 April 1999.
[10]
Pemandu Keselamatan Berkendaraan, Koran Republika, 24 April 1999.
[11]
Aryani, Bernadetta Diah, ASELI Indonesia, Lho...⎯Pemandu Pengemudi Kendaraan, Reader’s Digest Indonesia, Agustus 2007, halaman 85-91.
[12]
Kokpit F-16 di Mobil Sugiono, Koran Tempo, 13 Mei 2008.
[13]
Wijoseno,A. Bimo, Ingat Nyetir Ingat GAID, Majalah Intisari, halaman 144-146, 148-150, Juli 2008.
438
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
[14]
Pemandu Pengemudi Mobil: Dengan GAID, menyetir mobil menjadi mudah, Majalah Gatra, 10 Agustus 2009.
[15]
Sugiono, Alat Penduga Jarak pada Kendaraan Roda Empat, PPI-KIM, hal. 182-192, Puslitbang KIMLIPI, Tangerang, 1993.
[16]
Duta Mal akui Kelalaian ambruknya Dinding Parkir, Finroll News, 16 Juli 2009; 22:39, http://news.id.finroll.com/home/archive/102870-____duta-mal-akui-kelalaian-amburknya-dindingparkir____.html
[17]
Pipiet Tri Noorastuti, Lutfi Dwi Puji Astuti, DKI Sweeping Gedung Parkir Cegah Mobil Jatuh, Vivanews,
14
Juli
2009,
10:59
WIB,
http://metro.vivanews.com/news/read/74865-
dki_sweeping_gedung_parkir_cegah_mobil_jatuh
439
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
KAJIAN KEMAMPUAN SMK DALAM PROSES PENERAPAN STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN (SNP) BERBASIS SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001 Darmawan Baginda Napitupulu Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian-LIPI Gedung 410 Puspiptek [emailprotected] ABSTRAK Persoalan mutu pendidikan yang rendah menjadi persoalan nyata yang dihadapi bangsa Indonesia, yang berdampak pada mutu sumber daya manusia dan rendahnya daya saing bangsa. Upaya yang harus dilakukan dalam rangka memperbaiki mutu sumber daya manusia adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu program yang dilaksanakan Pemerintah adalah meningkatkan mutu sekolah sebagai basis utama pendidikan dengan mengembangkan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) dengan taraf internasional sehingga lulusannya memiliki daya saing internasional. Artinya untuk menjadi SBI, sekolah harus memiliki standar minimal SNP yang dikembangkan atau diperkaya dengan standar internasional salah satunya standar sistem manajemen mutu ISO 9001. Penelitian ini mengkaji kesiapan dan kemampuan sekolah khususnya sekolah menengah kejuruan (SMK) dalam menerapkan SNP dilihat dari sudut pandang sistem manajemen mutu. Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang bersifat eksploratif-deskriptif dimana pengambilan sampel dilakukan secara Purpossive Sampling terhadap SMK yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kesiapan dan kemampuan SMK cukup baik dalam proses penerapan SNP yang ditandai dengan score 65.61% walaupun namun masih terdapat kendalakendala yang dihadapi seperti sarana prasarana yang terbatas, kurikulum serta kualifikasi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang rendah. Kata Kunci : Sistem Manajemen Mutu, Standar Nasional Pendidikan, SMK, ISO 9001, SBI 1.
Pendahuluan
Visi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah terwujudnya insan Indonesia cerdas, beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berjati diri Indonesia, dan kompetitif secara global. Dalam merespon visi tersebut, Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang harus bekerja keras untuk meningkatkan mutu sumber daya manusianya yang masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan negara lain, khususnya di kawasan Asia. Upaya yang harus dilakukan dalam rangka memperbaiki mutu sumber daya manusia adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan [3]. Fokus utama yang harus diperhatikan dalam peningkatan mutu pendidikan adalah peningkatan institusi sekolah sebagai basis utama pendidikan, baik aspek manajemen, sumber daya manusia, maupun sarana dan prasarananya. Salah satu program yang dilaksanakan pemerintah agar perubahan dan perkembangan tersebut dapat direspon dengan cepat adalah dengan meningkatkan mutu sekolah melalui pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi: ... “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. “[4]. SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dengan mutu internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing yang bersifat internasional. SBI pada hakikatnya mengacu pada Standar Nasional Pendidikan meliputi 8 (delapan) standar, yaitu kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan,
440
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
pengelolaan, dan penilaian yang diperkaya, dikembangkan, diperluas, diperdalam melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan yang dianggap reputasi mutunya diakui secara internasional seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, UNESCO, ISO [5]. Dengan demikian diharapkan SBI mampu memberi jaminan bahwa baik dalam penyelenggaraan maupun hasil-hasil pendidikannya lebih tinggi daripada SNP [6]. Namun untuk mengembangkan atau memperluas SNP yang meliputi 8 (delapan) standar [7] menjadi standar yang bertaraf internasional tidaklah mudah. Di lapangan ditemui kesulitan dalam penerapan, yang diduga kurangnya pemahaman, komitmen, keterlibatan aktif, dll. SBI mensyaratkan adanya berbagai kriteria yang harus dipenuhi oleh penyelenggara sekolah, seperti : sekolah telah menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001; menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pada empat bidang studi; menjadi “teaching factory” memasarkan produk yang dihasilkan para siswanya ke masyarakat, siswa memiliki kemampuan TOEIC terendah 400, memiliki kerja sama dengan perusahaan asing sebagai rekan kerja atau sebagai tempat untuk praktek kerja, serta mampu mengirimkan para siswanya untuk praktek/ magang kerja ke luar negeri. Selain itu tampaknya program SBI ini tidak didahului dengan riset yang mendalam sehingga bentuk dan arah dari konsep SBI tidak begitu jelas [4]. Lebih-lebih lagi, berdasarkan hasil pengamatan Pudjo Sugito (2008), ditemukan fakta yang mengejutkan bahwa penyelenggaraan sekolah internasional ternyata kurang mencerminkan standar pendidikan bertaraf internasional; sekolah internasional tetapi berstandar lokal. Karena realitasnya, penyelenggaraan sekolah internasional tidak lebih dari sekolah-sekolah reguler lainnya [8]. Oleh karena itu untuk mewujudkan SBI, tahap pertama adalah menerapkan standar nasional pendidikan (SNP) dengan baik. Pada Penelitian, dikaji kesiapan dan kemampuan sekolah khususnya sekolah menengah kejuruan (SMK) dalam menerapkan SNP dilihat dari sudut pandang atau dikaitkan dengan sistem manajemen mutu ISO 9001. Hal ini dikarenakan sistem manajemen mutu ISO 9001 merupakan salah satu persyaratan wajib untuk menjadi SBI. ISO adalah standar sistem manajemen mutu yang sudah diakui secara internasional dan dapat diaplikasikan pada jenis organisasi apapun. Manfaat yang dapat diperoleh dari implementasi ISO adalah memberikan nilai tambah pada organisasi berupa peningkatan produktifitas, efisiensi dan kepuasan pelanggan serta penurunan biaya. 2.
LANDASAN TEORI
2.1 STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN (SNP) Berdasarkan beberapa peraturan perundangan yang menyangkut Standar Nasional Pendidikan (SNP) serta keterkaitannya dengan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan ISO maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat diilustrasikan, sebagai berikut :
441
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
DIAGRAM KERANGKA PIKIR REGULASI SNP KARAKTERISTIK SBI
KOMPONENSNP ISO 9001:2008
RESPONDEN / INFORMAN Nar a Sumber
KONTEKS INPUT Kajian Pustaka/Dokumen Wawancar a / Kuesioner
PROSES OUTPUT
Identifikasi Analisis Diskr iptif
OUTCOME
GAP Analysis
Kondisi Ideal
MATRIKS KETERKAITAN
Kondisi Eksisting
8 Prinsip Manajemen Mutu
Gambar 1. Kerangka Konsep SNP Berbasis Sistem Manajemen Mutu Dengan penjelasan bahwa setiap SMK yang akan menerapkan ISO 9001:2008 pada dasarnya harus terlebih dahulu sudah menerapkan 8 standar atau komponen yang terdapat dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang telah diatur dan ditetapkan di dalam masing-masing peraturan perundangan sebagaimana disebutkan pada Gambar 2 Delapan Standar yang Terdapat Dalam Standar Nasional Pendidikan.
KOMPETENSI LULUSAN
ISI
PERMEN 24/2006
PERMEN 06/2007
PROSES PERMEN 19/2007
PENGELOLAAN
ACUAN PROGRAM
PENILAIAN PENDIDIKAN
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN PP 11/2005
PERMEN 19/2007
PERMEN 20/2007
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PERMEN 13/2007 PERMEN 16/2007
PEMBIAYAAN
SARANA PRASARANA
PERMEN 44/2007
PERMEN 24/2007
Gambar 2. Delapan Standar yang terdapat dalam Standar Nasional Pendidikan Mengingat ISO 9000:2008 ini merupakan standar sistem manajemen mutu yang mengutamakan pendekatan proses, maka data-data yang perlu digali dalam pelaksanaan penelitian ini adalah data-data yang mengacu kepada kerangka konsep sistem yang terdiri dari komponen Konteks, Input, Proses, Output, dan Outcome, disertai dengan faktor-faktor yang terdapat di setiap komponen tersebut. Secara skematik sistem yang terdapat dalam SNP adalah sebagaimana terdapat pada Gambar 3 Skema Sistemik dalam Standar Nasional Pendidikan di bawah :
442
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
SKEMA SISTEMIK DALAM STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN (SNP)
TERUKUR PROSES
INPUT •Tenaga kependidikan •Kesiswaan •Sapras •Pembiayaan
• Kurikulum • Bahan ajar • Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM) • Penilaian • Manajemen • Kepemimpinan
OUTPUT •Prestasi belajar Siswa •Prestasi Guru dan Kepsek •Prestasi sekolah
Gambar 3. Skema Sistemik dalam Standar Nasional Pendidikan SNP secara sistemik yang diilustrasikan pada gambar 3 di atas merupakan sistem untuk dikembangkan lebih lanjut dan dilakukan analisis dalam penelitian ini untuk melihat keterkaitan antara komponen sistem yang terdapat dalam SNP dengan klosul atau pasal dalam ISO, dengan hasilnya sebagaimana terdapat dalam Tabel 1. Matriks ISO dengan SNP berdasarkan Komponen Sistem (konteks, input, proses, output, dan outcome). Tabel 1. Matriks Analisis Keterkaitan ISO Dengan Standar Nasional Pendidikan Berdasarkan Komponen Sistem FAKTOR-FAKTOR KOMPONEN KLAUSUL PADA ISO YANG DAPAT MEMPENGARUHI SISTEM 9001:2008 MUTU PENDIDIKAN BERDASARKAN SNP • KONTEKS
•
• INPUT
PROSES
•
• •
OUTPUT
OUTCOME
Pasal 5 (Tanggung Jawab Manajemen SMK) Pasal 8 (Pengukuran, analisis dan peningkatan) Pasal 4 (Sistem Manajemen SMK) Pasal 6 (Manajemen Sumber Daya Pendidikan)
Pasal 4 (Sistem Manajemen SMK) Pasal 8 (Pengukuran, analisis dan peningkatan)
•
Pasal 7 (Realisasi Jasa Pendidikan)
•
Pasal 8 (Pengukuran, analisis dan peningkatan)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 1. 2. 3. 4. 5.
Kemajuan Iptek Nilai dan harapan masyarakat Dukungan Pemerintah Tuntutan Globalisasi Tuntutan Otonomi Tuntutan pengembangan diri (SMK) Harapan SMK (Visi, Misi, Tujuan) Ketenagaan (pendidik/kependidikan) Kurikulum Kesiswaan/Peserta didik Sarana dan prasarana Pembiayaan Peraturan Perundang-undagnan Struktur Organisasi, deskripsi tugas dan fungsi Sistem Administrasi Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) Manajemen Sekolah Pendidikan Berbasis Masyarakat Penilaian Kepemimpinan
1. 2. 3. 1. 2. 3. 4.
Prestasi Belajar Siswa Prestasi Guru dan Kepala Sekolah Prestasi Sekolah Kesempatan melanjutkan sekolah Kesempatan Kerja Pengembangan Diri Pengembangan Sosial dan ekonomi masyarakat
443
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
2.2 8 Prinsip Manajemen Mutu Manfaat yang dapat diperoleh dari implementasi sistem manajemen mutu adalah memberikan nilai tambah pada organisasi berupa peningkatan produktifitas, efisiensi dan kepuasan pelanggan serta penurunan biaya. Dengan kata lain sistem manajemen mutu digunakan untuk mengarahkan dan mengontrol suatu organisasi berkaitan dengan mutu. Definisi modern tentang mutu dapat dijelaskan sebagai berikut yaitu sesuai dengan persyaratan (Conformance to requirements), sesuai dengan pemakaian (peningFitness for use) dan kepuasan pelanggan (User Satisfaction) [7]. Sedangkan menurut sistem manajemen mutu ISO 9000:2000, mutu (quality) didefinisikan sebagai derajat yang dicapai oleh karakteristik yang inheren dalam memenuhi persyaratan. Jadi dapat dikatakan bahwa mutu itu bukan hanya berhubungan dengan mutu produk saja, tetapi juga dengan persyaratan lain seperti : ketepatan pengiriman, biaya yang rendah, pelayanan yang memuaskan dengan pelanggan, dll. Untuk mencapai manfaat tersebut dalam hal peningkatan mutu, kegiatan organisasi harus dilandasi dengan beberapa prinsip manajemen mutu yang sudah ditetapkan dalam standar internasional, yang disebut dengan 8 prinsip manajemen mutu. Ke-8 prinsip manajemen mutu ini harus ditanamkan pada semua personil untuk dipahami dan mendasari tindakan-tindakan yang diperlukan dalam mengontrol dan meningkatkan mutu secara berkesinambungan sehingga sesuai dengan persyaratan pelanggan. Pada awalnya, 8 prinsip manajemen mutu disusun oleh para ahli Internasional yang berpartisipasi dalam ISO TC (Technical Committee) 176 – Quality Management and Quality Assurance, yang bertanggung jawab dalam pengembangan dan pemeliharaan standar-standar ISO 9000:2000. 8 prinsip manajemen mutu tersebut disusun sebagai suatu kerangka kerja (frame) bagi manajemen untuk membimbing organisasi menuju perbaikan kinerja organisasi atau peningkatan mutu. Ke-8 prinsip manajemen mutu tersebut adalah : 1. Perhatian kepada Pelanggan (Customer Focus) 2. Kepemimpinan (Leadership) 3. Partisipasi setiap orang (Involvement of People) 4. Pendekatan Proses (Process Approach) 5. Pendekatan sistem pada manajemen (System Approach to Management) 6. Perbaikan Berkelanjutan (Continual Improvement) 7. Pendekatan fakta untuk Pengambilan Keputusan (Factual Approach to Decision Making) 8. Hubungan saling menguntungkan dengan pemasok (Supplier Mutually Beneficial Relationship)
3.
Metodologi Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat eksploratif-deskriptif, dimana untuk
pengumpulan datanya dilakukan melalui survei dengan berbagai pihak yang dipandang berkaitan dengan penerapan SNP. Pengambilan sampel dilakukan secara Purpossive Sampling terhadap SMK yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, baik di tingkat Kota, Kabupaten maupun Provinsi. Data terkumpul dianalisa dengan pendekatan gap analysis menggunakan prinsip-prinsip sistem manajemen mutu dan standar SNP. Gap
444
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
analysis digunakan untuk membandingkan kondisi SMK yang ada dengan model yang akan dikembangkan berdasarkan standar ISO.
4.
Hasil penelitian dan pembahasan Untuk mengetahui kondisi dan kemampuan SMK, kesiapan serta permasalahan yang dihadapi dalam proses menuju akreditasi SNP, maka dilakukan survey terhadap SMK baik yang belum maupun yang telah terakreditasi. Dalam Tabel 2 dapat dilihat pengelompokkan kuesioner yang diajukan. Kuesioner sebagai instrumen dalam penelitian ini telah melalui uji validitas serta penyempurnaannya sebelum di bawa ke lapangan. Uji validasi diutamakan pada uji konstruksi dan isi kepada pihak non sampling, yakni para guru, kepala SMK dan Pejabat Dinas Pendidikan di Kota Tangerang Selatan.
445
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
Tabel 2. Variabel Penelitian Berdasarkan Standar Nasional Pendidikan No.
Variabel Penelitian
1
ISI Pengembangan kurikulum
2 3
PROSES Proses pembelajaran Penilaian hasil pembelajaran
4 5
KOMPETENSI LULUSAN Peningkatan kompetensi lulusan Kerjasama industri
6 7
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN Kualifikasi tenaga pendidik Kualifikasi tenaga kependidikan
8
SARANA PRASARANA Fasilitas Belajar Mengajar
9 10 11 12
PENGELOLAAN Standar Pengelolaan Pengambilan Keputusan Pedoman & Rencana kerja Pertanggungjawaban & Pengawasan
13
PEMBIAYAAN Pembiayaan pendidikan
14 15
PENILAIAN PENDIDIKAN Penilaian hasil belajar Akreditasi
Setiap SMK yang menjadi responden diajukan pertanyaan dalam bentuk kuesioner yang berjumlah 47 buah pertanyaan yang mencerminkan ada 8 variabel yaitu isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Kedelapan variabel ini diambil dari lingkup standar nasional pendidikan yang meliputi 8 standar yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar jpendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan. Hal ini dikarenakan dalam rangka proses menuju akreditasi, satuan pendidikan atau sekolah akan dinilai kelayakannya oleh badan akreditasi berdasarkan kriteria yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Delapan variabel standar tersebut dibagi lagi menjadi 15 sub variabel yang berkaitan dengan kriteria-kriteria pemenuhan standar nasional pendidikan. Dari hasil kuesioner, diperoleh jawaban sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3 dibawah ini. TABEL 4. KESIAPAN dan KEMAMPUAN SMK DALAM PROSES AKREDITASI SNP
446
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
No.
Uraian
1
ISI Pengembangan kurikulum
2 3
PROSES Proses pembelajaran Penilaian hasil pembelajaran
4 5
KOMPETENSI LULUSAN Peningkatan kompetensi lulusan Kerjasama industri
6 7
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN Kualifikasi tenaga pendidik Kualifikasi tenaga kependidikan
8
SARANA PRASARANA Fasilitas Belajar Mengajar
9 10 11 12
PENGELOLAAN Standar Pengelolaan Pengambilan Keputusan Pedoman & Rencana kerja Pertanggungjawaban & Pengawasan
13
PEMBIAYAAN Pembiayaan pendidikan
14 15
PENILAIAN PENDIDIKAN Penilaian hasil belajar Akreditasi TOTAL
Jawaban
Score
6 1/5 6 1/5
12 12
51.67% 51.67%
16 1/35 7 1/3 23 17/47
24 12 36
66.79% 61.11% 64.89%
7 1/2 35 1/2 43
12 48 60
62.50% 73.96% 71.67%
23 1/2 23 5/6 47 1/3
48 36 84
48.96% 66.20% 56.35%
6 1/5 6 1/5
12 12
51.67% 51.67%
12 16 1/2 33 3/4 15 2/9 77 17/36
12 24 48 24 108
100% 68.75% 70.31% 63.43% 71.73%
24 24
36 36
66.67% 66.67%
88 1/2 54 142 1/2
144 72 216
61.46% 75.00% 65.97%
370
6/89
564
65.61%
Jika diperhatikan pada Tabel 3 yaitu data kesiapan dan kemampuan SMK baik yang belum dan sudah terakreditasi yang diperoleh dari hasi kuesioner, jawaban dengan nilai tertinggi adalah pengelolaan yaitu 71.73%. Hal ini berarti responden dalam hal ini SMK dapat mengelola satuan pendidikannya dengan baik dari segi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Hal ini juga menunjukkan bahwa dari segi kepemimpinan (leadership), kepala sekolah memilliki visi dan misi yang jelas serta mampu memimpin sekolahnya dengan baik. Secara umum, kepala sekolah dibantu oleh beberapa wakil kepala sekolah yang bertanggung jawab dibidang akademik, sarana prasarana, kesiswaan, humas, manajemen mutu, dll. Jadi secara struktur, organisasi telah tertata dengan baik. Pengambilan keputusan akademik dan non akademik sudah dilakukan baik melalui rapat dewan pendidik dan komite sekolah sudah berjalan dengan baik. Dengan kata lain dapat dikatakan pihak SMK juga memenuhi prinsip pengambilan keputusan berdasarkan fakta (factual approach to Decision Making) dari 8 prinsip sistem manajemen mutu dimana pengambilan keputusan berdasarkan fakta yang ada kemudian dibahas secara terbuka pada melalui rapat yang melibatkan setiap orang (involvement of people). Kemudian jawaban tertinggi berikutnya adalah kompetensi lulusan yaitu 71.67%. Dengan kata lain dapat dikatakan responden dalam hal ini pihak SMK sudah berupaya secara terus menerus untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi perbaikan berkelanjutan (continual improvement) sudah dilakukan secara konsisten, Selan itu, SMK
447
ISSN 977.2086796.00.2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
juga umumnya telah menjalin kerjasama yang harmonis dan saling menguntungkan dengan industri dengan cara menyediakan rekrutmen pekerja bagi industri pada setiap akhir tahun. Dengan kata lain, SMK juga fokus kepada pelanggannya yaitu industri pengguna lulusan SMK sehingga telah memenuhi prinsip perhatian kepada pelanggan (customer focus) dari 8 prinsip sistem manajemen mutu Dari pembiayaan dengan nilai 66.67% berarti biaya pendidikan yang meliputi biaya investasi, biaya personal dan biaya operasi telah diatur besarnya sesuai standar yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi pendekatan sistem pada manajemen (system approach to management) telah dapat dipenuhi. Selain itu prinsip hubungan saling menguntungkan dengan pemasok (supplier mutually beneficial relationship) juga dipenuhi karena pembiayaa telah mengikuti standar yang dipasok oleh Pemerintah. Aspek penilaian pendidikan mencapai nilai 65.97% berdasarkan responden, dapat dikatakan sudah adanya mekanisme, prosedur dan instrumen penilaian terhadap peserta didik dimana telah memenuhi prinsip pendekatan proses (process approach) dari 8 prinsip sistem manajemen mutu karena aspek penilaian dilakukan melalui manajemen proses yab baik. Sedangkan dari segi akreditasi yang memperoleh nilai 75%, dapat dikatakan pihak SMK sebenarnya siap dalam melakukan proses akreditasi atau penilaian pemerintah terhadap kelayakan suatu program. Hanya saja ada beberapa kendala seperti keterbatasan SDM, dana dan persiapan dokumen karena belum mengalirnya budaya tulis/dokumentasi. Dengan kata lain, SMK sudah Dari segi proses dimana proses pembelajaran belum memilki sifat interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Hal ini tentu saja harus terus dikembangkan. Teknik penilaian berupa tes tertulis, observasi, tugas praktek dan tugas perseorangan atau kelompok juga harus terus dikembangkan agar meningkatkan kemauan siswa dalam belajar. Kendala yang lain dalam proses akreditasi adalah masalah sarana prasarana yang memperoleh nilai terendah yaitu 51.67%. Hal berarti banyak SMK yang punya keinginan mendapatkan akreditasi terbentur karena sarana prasarana yang belum memadai misalnya belum adanya laboratorium atau ruang bengkel sendiri atau ruang multimedia untuk praktek atau bahkan ruang kelas sehingga harus menumpang di SMK atau tempat yang lain. Namun tidak menutup kemungkinan ada juga SMK yang dari segi sarana prasarana sudah memadai tapi belum memiliki keinginan untuk terakreditasi. Selain itu, aspek pengembangan kurikulum yang juga memperoleh nilai terendah yaitu 51.67 %, harus terus disesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan Pemerintah berdasarkan usulan BSNP. Kendala juga terkait dengan tenaga pendidik dan tenaga pendidikan dimana memperoleh nilai yang cukup rendah yaitu 56.35%. Menurut standar nasional pendidikan (SNP), tenaga pendidik pada tingkat SMK harus mempunyai kualifikasi pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1). Namun berdasarkan hasil survei, masih banyak guru yang berkualifikasi dibawah persyaratan tersebut. Selain itu masih terdapat guru yang mengajarkan pelajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya dan tidak sedikit guru yang belum bersertifikat profesi guru (umumnya ≥5). Begitu juga tenaga kependidikan banyak yang belum memenuhi standar yang telah ditetapkan. Namun secara keseluruhan dari tabel 4 di atas, kesiapan dan kemampuan SMK dapat dikatakan cukup baik dalam rangka menuju akreditasi yaitu dengan nilai rata-rata 65.61%, meskipun terdapat kekurangan atau keterbatasan yang dimiliki. Hal ini juga selaras dimana SMK pada umumnya telah dapat memenuhi 8 prinsip sistem manajemen mutu. Dengan kata lain SMK sebenarnya sudah memiliki sistem manajemen yang baik dalam rangka menuju peningkatan kinerja. 5.
Kesimpulan
Dari hasil pengolahan data dan analisis yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan : 1. Dari segi kemampuan dan kesiapan menuju akreditasi pada tabel 13 dibawah, sejumlah SMK yang disurvei secara purposive sampling dibeberapa propinsi yaitu propinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Bali, dapat dikatakan bahwa SMK secara umum mampu untuk memperoleh akreditasi dari BAN-S/M. Hal ini juga selaras dimana SMK secara umum telah dapat memenuhi 8 prinsip dari sistem manajemen mutu. Dengan kata lain, SMK sudah memiliki sistem manajemen yang baik dalam rangka menuju peningkatan kinerja. Tabel-13. Rekapitulasi Kemampuan dan Kesiapan SMK dalam proses Akreditasi
448
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri UNPAM 2010
ISSN 977.2086796.00.2
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Uraian
Score
Kriteria
ISI PROSES KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN SARANA PRASARANA PENGELOLAAN PEMBIAYAAN PENILAIAN PENDIDIKAN
51.67% 64.89% 71.67% 56.35% 51.67% 71.73% 66.67% 65.97%
Cukup Baik Baik Baik Cukup Baik Cukup Baik Baik Baik Baik
TOTAL
65.61%
Baik
Tabel 14. Klasifikasi Kriteria Penilaian No. 1 2 3 4 5
2.
6.
Kriteria Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Sangat Kurang
Score 81-100% 61-80% 41-60% 21-40% 0-20%
Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa kendala yang dihadapi oleh SMK dalam proses akreditasi yaitu sarana prasarana yang masih sangat terbatas, kualifikasi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang masih rendah serta kurikulum yang masih jauh dibawah standar. Hal ini tentunya menuntut pihak SMK dan juga keterlibatan Pemerintah untuk meningkatkan mutu SMK.
Daftar pustaka
[1] ISO 9001:2000, Quality Management System –Requirements, Swiss, 2008 [2] ISO 9001:2008, Quality Management System –Requirements, Swiss, 2008 [3] Workshop Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) Tahap II 2008, LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) Sulsel, Juli 2008 [4] Satria Darma, Sekolah Bertaraf Internasional : Quo Vadiz, September 2007 [5] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, 2005 [6] Panduan Pelaksanaan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Direktorat Sekolah Menengah Pertama, Januari 2008 [7] Gene Netto, Rencana Sekolah Bertaraf Internasional, Juli 2007 [8] Pudjo Sugito, Menggugat Sekolah Bertaraf Internasional, Bali Post, Juli 2008 [9] ISO/IWA 2:2007, Guidellines for Implementation of ISO 9001:2000 in Education, Swiss, 2007
449